Anda di halaman 1dari 5

NAMA : FEBY INDRIYANI BALQIS

NIM : 165100501111034

KELAS/JURUSAN: BIOTEKNOLOGI-R / THP

DESKRIPSI OMAH MUNIR

Museum ini merupakan museum pertama di Indonesia yang dalam hal koleksi dan tema
mengangkat masalah-masalah Hak Asasi. Banyak kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) yang terjadi di Indonesia yang hingga kini masih gelap dan tidak terungkap ke publik.
Setidaknya ada beberapa kasus yang bisa dilihat di Museum HAM Omah Munir. Museum yang
didirikan di bekas kediaman almarhum Munir Said Thalib pada 8 Desember 2013. Di dalam
rumah itu tersebar memorabilia tentang Munir serta kasus yang sempat diperjuangkan Munir
sebelum terbunuh di atas pesawat terbang pada 7 September 2004. Rumah yang penuh dengan
semangat dan informasi, bukan kesedihan dan duka tentang Alm. Munir. Berbagai poster tentang
pelanggaran HAM dan upaya pencarian keadilan di Indonesia memenuhi dinding rumah seluas
250 meter persegi itu. Saat ini seluruh persoalan adalah kasus yang sempat ditangani Munir
dalam kurun waktu 1990 hingga 2004, tahun dia terbunuh. Seperti advokasi tuduhan upaya
pemberontakan Fernando Araujo di Timur Timur tahun 1992, Salah satunya adalah gambar
grafity para aktivis yang hilang menjelang reformasi. Tampak beberapa aktivis yang hilang
hingga kini seperti Wiji Thukul, Petrus Bima, dan lainnya. Kasus pembunuhan tiga petani Nipah
Madura tahun 1993, pembunuhan aktivis buruh wanita Marsinah tahun 1994, dan tentang upaya
Munir memperjuangkan keadilan terhadap puluhan korban penculikan Tim Mawar lewat Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sejak tahun 1998. Di Aceh Corner,
tampak deretan foto-foto mereka yang menjadi korban DOM terpampang di dinding. Tak hanya
foto, beberapa penjelasan di sampingnya juga menarik untuk dibaca, berjudul Aceh: Sebuah
hikayat panjang kekerasan, serta tragedi Beutong Aceh, dan grafik peristiwa-peristiwa penting
sejarah pelanggaran HAM di Aceh.

Kini Omah Munir telah memiliki perpustakaan yang berisi ribuan buku sumbangan. Buku
yang ada pun beragam, mulai dari buku pedoman populer milik Karl Marx Das Kapital, hingga
buku tentang tuntunan salat yang benar. Di dalamnya, selain membaca buku, muncul berbagai
diskusi hangat tentang sosial dan politik atau pun budaya setiap satu bulan sekali. Berbagai
organisasi pemuda di Batu ataupun kota lain rutin bertukar ide dan pikiran di Omah Munir.
Bangunan museum ini bisa menjadi tempat bagi banyak orang dengan ragam latar belakang
mendekatkan diri pribadi mereka, emosi dan pikiran dengan masalah-masalah HAM di
Indonesia. Merupakan sebuah inisiatif untuk menjadikan sosok pejuang HAM Indonesia.
Tumbuh Munir muda untuk terus melawan lupa. Terus menagih janji penegak hukum
menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang menjadi catatan hitam sejarah bangsa ini.
SEJARAH KEHIDUPAN MUNIR

Munir Said Thalib (1965 2004) meninggal di pesawat dalam perjalanan dari Jakarta
menuju Amsterdam ketika akan melanjutkan studi pasca sarjana mengenai hukum humaniter di
Belanda. Munir, biasa ia dipanggil, merupakan salah satu sosok yang memiliki keberanian dalam
membongkar praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh negara (Orba),
terutama mengenai kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilakukan aparat
militer. Berkat keberaniannya itu kemudian ia dinobatkan sebagai tokoh 1998 pilihan majalah
Ummat. Setelah sebelumnya ia juga mendapat penghargaan Yap Thiam Hien atas keberaniannya
membela hak kaum buruh. Munir merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara berasal dari
keluarga keturunan Arab dengan orang tua bernama Said Thalib dan Jamilah. Sejak kecil sifat
kerja kerasnya sudah terlihat, terutama setelah ayahnya meninggal. Hal itu terlihat ketika ia
sempat bekerja di perusahaan persewaan sound system, kemudian membuat serta menjual antena
UHF, menjual sepatu, dan menjual parabola yang kemudian dipasang di halaman gedung
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ia memiliki bakat bisnis karena latar
belakang keluarganya adalah seorang pedagang.

Karir hukumnya ditentukan saat pemilihan jurusan di Sekolah Menengah Atas, ia


memiliki dua pilihan. Pertama, saat diterima di jurusan IPA maka ia akan melanjutkan ke
fakultas teknik, sedangkan jika tidak diterima di IPA maka ia akan melanjutkan ke fakultas
hukum. Takdir kemudian memilih jalan yang kedua, ia tidak diterima di jurusan IPA dan pada
akhirnya ia masuk ke fakultas hukum Universitas Brawijaya. Ketika masuk ke jurusan hukum ia
sama sekali tidak mempunyai pandangan tentang profesi hukum serta tidak mengenal satu pun
sarjana hukum dari Indonesia. Berkat semangat kerja kerasnya yang sudah ditanamkan sejak
kecil, ia kemudian dikenal sebagai aktivis kampus yang cukup gesit. Ia sempat mengikuti
berbagai kegiatan selama kuliah antara lain:

Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang 1988.


Koordinator IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia 1989.
Anggota Forum Studi Mahasiswa untuk pengembangan berpikir, Unbraw 1988.
Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum Unbraw 1988.
Sekretaris Al Irsyad cabang Malang 1988.
Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Ketertarikan Munir selanjutnya terhadap persoalan hukum, tindakan kekerasan dan


pelanggaran hak asasi manusia, banyak dipengaruhi setelah pertemuannya dengan Bambang
Sugianto seorang demonstran. Kemudian dari pertemuan tersebut, mereka berdua intens sering
melakukan diskusi mengenai masalah hukum serta Munir mulai lebih sering membaca buku-
buku mengenai permasalahan perburuhan.

Munir kemudian memulai karirnya dengan berbekal pengalamannya sebagai aktivis kampus
dengan bergabung menjadi tenaga relawan (volunteer) Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Surabaya sejak 1989. Tahun 1991, Munir kemudian menjadi Ketua LBH Surabaya Pos Malang.
Setelah itu ia diposisikan sebagai koordinator divisi perburuhan dan divisi sipil serta politik di
LBH Surabaya (1992 1993). Kemudian ia menjabat Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya
(1993 1995). Selepas dari LBH Surabaya, Munir menjabat sebagai direktur LBH Semarang
(1996). Kemudian pada 1996, ia ditempatkan sebagai sekretaris bidang operasional YLBHI
(Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Mulai 1997 2001, ia ditempatkan sebagai
wakil ketua YLBHI bidang operasional.

Selama aktivitasnya di berbagai macam LBH, baik yang di Surabaya maupun di Jakarta,
Munir memposisikan dirinya sebagai seorang pengacara yang berpihak terhadap humanisme. Ia
membela orang-orang yang tertindas, yang menjadi korban kesewenang-wenangan oknum
militer dan kuasa politik, atas dasar kemanusiaan tanpa membedakan agama, suku, etnis, dan
kelas sosial para korban. Ia menjadikan kemanusiaan sebagai tema sentral perjuangannya. Hal itu
terlihat dari beberapa kasus pembelaan yang dilakukan Munir selama ia malang melintang di
LBH, antara lain:

Penasihat hukum warga Nipah, Madura dalam kasus pembunuhan petani oleh militer
1993.
Penasihat hukum sebelas buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Sidoarjo teman Marsinah
yang diberhentikan secara paksa kepada perusahaan dan pihak Kodim melalui hukum
perdata.
Penasihat hukum keluarga Marsinah yang dianiaya terlebih dahulu sebelum dibunuh.
Penasihat hukum Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus
kriminalisasi dengan tuduhan subversi dan gugatan tata usaha negara atas perkara
pemecatan Sri Bintang Pamungkas sebagai dosen di Universita Indonesia (1997).
Penasihat hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus PT Chief Samsung,
dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan (1995).
Penasihat hukum Muhadi supir yang dituduh melakukan penembakan terhadap petugas
polisi di Madura, Jawa Timur (1994).

Munir mensosialisasikan aturan main politik tanpa kekerasan, lewat pengembangan budaya
politik alternatif ke dalam wilayah publik yang terbuka dan demokratis. Karena itu ia menentang
keras penculikan, penyekapan, dan pelenyapan orang hanya karena orang tersebut hendak
menyampaikan aspirasinya ke dalam wilayah publik. Munir lewat KontraS ingin menumbuhkan
kepercayaan rakyat bahwa civil society sebagai bahan organik demokrasi, mampu memberikan
perlawanan sistemik terhadap kecenderungan negara yang hegemonial dan sifat-sifat kekuasaan
yang arbiter dan militeristik. Ia juga menentang keras penggunaan law of the ruler atau hukum
dari penguasa dan aparat militer yang menciptakan kekerasan struktural dan politik yang tidak
berkeadaban. Selama di KontraS ia masih sempat juga menjadi tim pengacara beberapa kasus
pelanggaran HAM, seperti :

Kasus penghilangan secara paksa 24 korban aktivis korban dan mahasiswa 1997 dan
1998.
Penasihat korban dan keluarga korban kasus Tanjung Priok 1984, hingga 1998.
Penasihat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di Semanggi I
(1998) dan Semanggi II (1999).
Penasihat hukum dan koordinator advokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh,
Lampung, dan Papua (ribuan kasus yang terrjadi akibat operasi militer).
Anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor timur tahun 1999.
Membongkar kasus penculikan yang dilakukan oleh Danjen Kopassus Prabowo Subianto
dengan Tim Mawarnya yang berujung pencopotan Prabowo dan diadilinya personel Tim
Mawar.

Sebagai seorang aktivis HAM nama Munir bukan hanya dikenal di tingkat nasional tetapi
juga sudah cukup dikenal di dunia internasional. Itu terlihat dari beberapa penghargaan yang
sudah diterimanya baik itu ketika berkarir di LBH maupun di KontraS. Berikut penghargaan atas
jasanya di dunia HAM:

Sebagai Leaders for the Millenium pilihan Asia Week tahun 2000
Man of The Year dari Majalah Ummat tahun 1998.
Seratus tokoh Indonesia Abad XX dari majalah Forum Keadilan.
Penganugerahan peniti emas sebagai alumni berprestasi dari Universitas Brawijaya tahun
1999.
The Right Livelihood Award (alternative nobel prizes) dari Swedia untuk pengembangan
kontrol sipil atas militer dan promosi HAM.
An Honourable Mention of the 2000 Unesco Madanjeet Singh Prize atas usahanya
mempromosikan toleransi dan anti kekerasan, Paris, November 2000.

KontraS sebagai organisasi yang dipimpinnya juga tidak terlepas dari berbagai penghargaan,
antara lain:

Suardi Tasrif Award tahun 1998 dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) untuk kategori
organisasi yang mengembangkan hak-hak informasi kepada masyarakat atas pelanggaran
HAM.
Serdadu Award (1998) dari organisasi para seniman dan pemusik jalanan Jakarata, atas
upayanya dalam mempromosikan penegakan HAM.
Yap Thiam Hien Award tahun 1998 sebuah penganugrahan paling bergengsi di bidang
HAM di Indonesia.
KontraS menjadi anggota dan partisipan AFAD, sebuah jaringan kerja organisasi yang
mengadvokasi kasus orang hilang se Asia Pacific.

Selepas dari kontraS, Munir kemudian mendirikan organisasi baru bernama Imparsial. Munir
banyak menghabiskan waktunya di tempat ini sebagai seorang Direktur Eksekutif sejak 2001
2004. Berbeda dengan KontraS yang fokus menangani kasus orang hilang sebagai respon praktik
kekerasan yang banyak terjadi dan menimbulkan korban jiwa yang banyak. Imparsial lebih
banyak bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di
Indonesia. Ketika sedang menjabat di Imparsial pula, Munir kemudian mendapatkan beasiswa
untuk melanjutkan studi pasca sarjana mengenai hukum di Utrecht, Belanda selama satu tahun.
Munir berangkat pada 6 September 2004 menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan
nomor penerbangan GA 974. Ia berangkat melalui bandara Soekarno Hatta dengan diantar oleh
istrinya Suciwati, para penumpang dipersilahkan masuk ke dalam pesawat pada pukul 21.30.
DSC_4029Munir meninggal di pesawat di wilayah udara Rumania setelah berulang kali mondar
mandir ke toilet untuk buang air dan muntah-muntah. Kemudian jenasah Munir diotopsi pihak
Belanda dan ternyata ditemukan racun Arsenik yang melebihi dosis di dalam tubuhnya.
Kemudian berdasarkan hasil penyidikan pihak Kepolisian Republik Indonesia ditangkap lah
Pollycarpus Budihari Priyanto dan ditetapkan sebagai tersangka. Dengan bukti-bukti yang
diungkapkan oleh istri Munir.

Beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Belanda, menurut kesaksian istrinya di


pengadilan Pollycarpus Budihari Priyanto atau akrab dipanggil Polly (seorang pilot Garuda yang
ditugaskan menjadi extra crew dalam penerbangan ke Belanda) sempat menghubungi Munir
dengan tujuan memonitor aktivitas Munir. Munir sendiri merasa tidak enak karena
keberangkatannya ke Belanda diketahui Polly. Polly sendiri dikemudian hari ditetapkan menjadi
tersangka pembunuhan Munir beserta dengan Muchdi Prawiro Pranjono (Muchdi PR). Kedua
tersangka ini divonis hukuman yang berbeda-beda, Polly dituntut dengan hukuman 20 tahun
penjara kemudian mengajukan banding ke MA dan dipotong masa tahanan sebanyak 14 tahun
dan sudah keluar di tahun 2013 ini. Sedangkan untuk Muchdi PR yang baru ditangkap di bulan
september 2008 kemudian setelah disidangkan di pengadilan dianggap tidak terlibat dalam kasus
pembunuhan Munir dan kemudian dibebaskan di tahun 2008 juga.

Terseretnya nama Muchdi karena ia menjabat sebagai Deputi V BIN/Penggalangan pada


tahun 2001 2005. Muchdi dianggap merupakan otak dari terbunuhnya Munir karena dianggap
memiliki dendam pribadi dengannya. Munir merupakan salah satu aktivis HAM yang
membongkar kasus penculikan para aktivis reformasi 1998 yang melibatkan tim Mawar yang
didalamnya terdapat Muchdi. Semenjak terbongkarnya kasus itu karir militer Muchdi kemudian
berhenti. Aktivitas Munir juga dianggap oleh orang-orang BIN menggangu dan membuat mereka
menjadi tidak nyaman. Sampai sekarang kasus pembunuhan aktivis HAM Munir masih belum
menemui titik terang, karena beberapa tokoh yang menjadi otak pembunuhannya belum
tertangkap dan masih berkeliaran secara bebas. Bahkan menempati jabatan-jabatan strategis di
pemerintahan. Kasus kematian Munir ini menjadi contoh sempurna wajah penegakan hukum di
Indonesia pasca orde Baru, khususnya bagaimana negara ini memperlakukan suatu kasus
pelanggaran HAM, sebuah kejahatan yang melibatkan aparatur negara yang menyalahgunakan
kewenangannya.

Anda mungkin juga menyukai