Anda di halaman 1dari 2

TUGAS 2

Irfan Kamil

063.19.045

Kasus Pelanggaran HAM

Kasus Munir

Munir Said Thalib tewas diracun di pesawat Garuda Indonesia dengan kode penerbangan GA-
974 yang seharusnya akan membawanya ke Belanda untuk melanjutkan studi. Hasil penyelidikan
tim forensik kepolisian Belanda mengungkap bahwa racun itu adalah senyawa arsenik, yang
dikonfirmasi kepolisian Indonesia.

Kasus itu akhirnya menghadirkan nama pelaku, yakni Pollycarpus Budihari Priyanto yang resmi
ditahan pada 2005 lalu. Dia adalah mantan pilot maskapai Garuda Indonesia. Namun
penelusuran menghasilkan bukti bahwa masih ada kejanggalan yang belum terungkap diungkap
terkait kematian Munir.

Siapa sejatinya Munir, dan mengapa proses penyelidikan kematiannya sangat penting meski
sudah bertahun-tahun lamanya?

Munir lahir di Batu, Jawa Timur 8 Desember 1965. Ketika berkuliah di Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, ia turut aktif dalam beberapa organisasi seperti Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) dan Al Irsyad. Latar organisasi yang berbasis keagamaan ini karena dirinya
dibesarkan dari keluarga Muslim keturunan Arab-Hadhrami.

"Dalam arti, ideologi bukan berarti dia kiri atau kanan. Bagi dia, Munir itu bukan intelektual
kok. Ndak punya buku dia, kalau sama saya diajak diskusi, duwur-duwur (tinggi-tinggi)
begitu, enggak nyampe," kenang Deddy Prihambudi, kawan kuliah Munir dikutip dari
dokumenter Watchdoc Documentary berjudul Kiri Hijau Kanan Merah tahun 2009.

Setelah lulus tahun 1989, Munir menjadi sukarelawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Malang. Dirinya turut aktif dalam mengajar dan mengadvokasi para buruh yang ditindas oleh
pengusaha, termasuk mengadvokasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada 1993 di
Sidoarjo. Aktivitasnya itu mulai tercium dan dicari-cari oleh tentara.

1996, Munir mulai bekerja di Yayasan Lembaga Hukum Indonesia di Jakarta (YLBHI), setelah
sebelumnya sempat menjabat direktur di LBH Semarang selama tiga bulan. Kemudian
tahun 1998, dia mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS).

Munir mendampingi 24 korban hilang dan keluarganya di masa peralihan pemerintahan Orde


Baru ke Reformasi (1997-1998). 14 korban di antaranya belum ada kabar hingga saat ini. Bahkan
Munir juga mengawal kasus pelanggaran HAM lainnya seperti Operasi Jaring Merah dan
Operasi Terpadu di Aceh, serta tergabung dalam Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di
Timor Timur (kini Timor Leste).
Menjelang Pilpres 2004, hiruk pikuk Indonesia sempat ramai atas para kandidat yang akan
dipilih. Selain itu sedang ramai juga tentang RUU Pertahanan Negara dan RUU TNI, dan Munir
sempat memberikan saran dan kritik.

Dia dengan pandangannya, memiliki gagasan agar tentara secara profesional memiliki struktur
dan peralatan yang memadai, gaji dan penghidupan yang layak, serta dapat menghormati
HAM untuk mewujudkan reformasi militer.

Ada banyak pasal-pasal bermasalah yang harus diubah untuk masalah ini. Tetapi pemerintahan
periode 2004-2009 masih menerapkan beberapa pasal yang sudah ada sejak Orde Baru.

Pada tahun itu juga, Interchurch Organisation for Development Co-operation (ICCO) yang
berbasis di Utrecht, Belanda, melirik dan memberikan beasiswa studi S2 pada Munir. Rencanaya
dia akan mengambil program master di Fakultas Hukum Utrecht University.

Irma, staf Imparsial—LSM HAM yang didirkan Munir pada 2002—biasanya bertugas untuk
membelikan tiket pesawat untuk Munir. "Saya suka memilih antara tiga penerbangan, misalkan
seperti KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij), Malaysia Airlines, atau Garuda,"
kenangnya.

"Dia mau selalu pakai Garuda, karena menurutnya 'Garuda itu memberikan devisa [pada]
negara',"

Setelah wafat akibat diracun dalam penerbangan, menimbulkan banyak desas-desus publik
mengenai siapa yang sejatinya membunuh Munir.

Menurut KontraS, ada banyak motif yang melatarbelakanginya, salah satunya akibat kasus-kasus
besar yang ditanganinya seperti kasus penghilangan orang, kasus Trisakti dan Semanggi, Timor
Timur, yang menyeret beberapa tokoh Angkatan Darat dan petinggi negara.

Dia membawa agenda besar untuk nantinya akan dituntaskan, seperti kelanjutan korban
penghilangan paksa, kasus HAM di Aceh dan Papua. Usahanya di bidang HAM juga
membuatnya dianugerahi penghargaan Right Livelihood Award tahun 2000.

Hingga saat ini, banyak pihak yang terus mengingat jasa dan menuntut penuntasan kasus
kematian Munir, mulai dari tuntutan hukum secara langsung, mural, hingga meme kritik tentang
penyelesaian kasusnya di sosial media.

Anda mungkin juga menyukai