Disusun oleh :
Kelas XII MIA 1
Rina Yulianti (No. 26)
Salah satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia yaitu kasus penculikan aktivis 1997/1998.
Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang
menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya
masih hilang).
Kasus penculikan terhadap aktivis yang terjadi pada tahun 1997 - 1998 merupakan suatu
bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Hal ini telah dilakukan proses penyelidikannya
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan telah direkomendasikan pula oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI untuk dibentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kasus ini. Walaupun
demikian, proses hukum terhadap kasus penculikan aktivis tersebut berjalan sangat lambat bahkan
tidak memiliki perkembangan yang berarti.
Permasalahan yang dibahas adalah apakah kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis
tahun 1997 - 1998 merupakan pelanggaran berat HAM menurut Undang-Undang Pengadilan HAM,
bagaimanakah proses penegakan hukum yang harus ditempuh untuk mengadili kasus penculikan dan
penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998, dan apakah terdapat yurisdiksi Pengadilan Pidana
Internasional (International Criminal Court) terhadap kasus penculikan dan penghilangan paksa
aktivis tahun 1997-1998 ditinjau dari perspektif hukum pidana intemasional.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif karena
menggunakan sumber data berupa data sekunder dan teknik pengumpulan datanya adalah studi
dokumen. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM,
peristiwa penculikan aktivis tahun 1997 - 1998 merupakan suatu bentuk pelanggaran berat terhadap
hak asasi manusia yaitu merupakan bentuk penghilangan orang secara paksa, penganiayaan,
penyiksaan, perampasan kemerdekaan dan pembunuhan yang digolongkan sebagai kejahatan
kemanusiaan sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Proses hukum yang harus ditempuh dalam kasus ini adalah dengan pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM karena kasus tersebut terjadi sebelum berlakunya undang-
undang pengadilan HAM.
Kasus penculikan ini juga menjadi yurisdiksi dari Pengadilan Pidana Internasional karena
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan Pidana Internasional bersifat pelengkap
dari pengadilan nasional sehingga baru dapat menjalankan fungsinya apabila negara yang memiliki
yurisdiksi untuk mengadili tidak mampu atau tidak mau untuk mengadili atau negara tersebut
melaksanakan suatu proses peradilan pura-pura. Berdasarkan asas non retroaktif kasus penculikan
terhadap korban yang telah kembali tidak menjadi yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional
sedangkan kasus penculikan terhadap korban yang belum kembali atau belum diketahui nasibnya
merupakan yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional karena kejahatannya masih berlanjut.
Pengadilan Pidana Internasional tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus ini juga disebabkan karena
Indonesia bukanlah negara pihak dalam Statuta Roma, akan tetapi apabila Dewan Keamanan PBB
menyatakan Indonesia sebagai wilayah yang diperluas dari pemberlakuan Statuta Roma maka kasus
ini dapat menjadi yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional.
4. Penembakan Mahasiswa Trisakti
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya
luka-luka). Kasus penembakan mahasiswa Trisakti merupakan salah satu kasus penembakan kepada
para mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi oleh para anggota polisi dan militer.
Sebelum peristiwa ini terjadi, demontrasi yang dimotori oleh mahasiswa di berbagai daerah
terus berlangsung. Isu yang diangkat saat itu adalah tentang krisis ekonomi yang berkepanjangan
dan penurunan harga barang pokok.
Mahasiswa Trisakti yang bertujuan untuk meminta pemerintah menurunkan harga berbagai
kebutuhan pokok melakukan demonstrasi. Dosen dan mahasiswa Trisakti berencana untuk menuju
ke gedung DPR / MPR guna menyuarakan aspirasi mereka. Pada tanggal 12 Mei 1998, pukul 10.00,
mereka kemudian berkumpul di dalam kampus. Pukul 12.30, setelah berkumpul di dalam kampus,
para peserta demonstrasi yang hampir semuanya berasal dari Universitas Trisakti (USAKTI)
kemudian melanjutkan aksi sesuai dengan rencana mereka yaitu di depan gedung DPR / MPR.
Namun, ketika mereka mulai bergerak, aparat keamanan yang awalnya Polisi telah melakukan
blokade di depan kantor Walikota Jakarta Barat. Mahasiswa kemudian melanjutkan aksi damai
mereka dengan melakukan orasi dan aksi duduk di jalan.
Aparat keamanan mulai berdatangan baik dari Kepolisian maupun Militer –pada saat itu ABRI-
memperkuat blokade. Para peserta aksi kemudian mencoba melakukan negosiasi dengan aparat
keamanan yang saat itu diwakili oleh Kapolres Jakarta Barat, Timur Pradopo. Usaha tersebut tidak
berhasil, akhirnya para peserta aksi mundur kembali ke dalam kampus. Saat mahasiswa mulai
bergerak mundur, terjadi provokasi dari seseorang yang memancing kemarahan peserta aksi.
Keadaan tersebut dapat dikendalikan oleh peserta aksi, mahasiswa kemudian bergerak masuk ke
dalam kampus.
Pukul 17.15, saat mahasiswa bergerak mundur, aparat keamanan melakukan penembakan
kearah mahasiswa. Tindakan tersebut membuat para peserta aksi panic dan tercerai - berai. Sebagian
besar berlari masuk ke dalam kampus Universitas Trisakti dan kearah Universitas Tarumanegara.
Saat mahasiswa telah berada di dalam kampus, aparat keamanan terus melakukan penembakan
kearah kampus. Mahasiswa kemudian membalasnya dengan melempar batu atau dengan benda yang
ada di sekitar mereka. Korban mulai berjatuhan, semua korban kemudian dibawa ke RS. Sumber
Waras untuk mendapatkan pertolongan.
Pada pukul 20.00, telah dipastikan bahwa empat orang mahasiswa tewas tertembak dansatu
orang dalam keadaan kritis. Semua korban tertembak peluru tajam ketika berada di dalam kampus
Usakti dan mengenai daerah vital seperti leher, kepala dan dada.
5. Pembantaian Santa Cruz / Insiden Dili
Kasus ini masuk dalam catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian
yang dilakukan oleh militer atau anggota TNI dengan menembak warga sipil di Pemakaman Santa
Cruz, Dili, Timor-Timur .
Timor Timur adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia, kita rasanya tidak akan pernah
lupa bagaimana Timor Timur dulu pernah menjadi sebuah provinsi di Indonesia, yaitu provinsi ke
27. Timor Timur berintegrasi dengan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah dijajah
selama 450 tahun oleh Portugal. Sebagai sebuah provinsi, Timor Timur atau lebih dikenal sebagai
Timtim sempat mempunyai 4 orang Gubernur sebelum melepaskan diri sebagai negara yang
berdaulat berdasarkan jajak pendapat yang diadakan Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB ) pada
tahun 1999.
Keempat Gubernur tersebut adalah : Arnaldo dos Reis Araujo ( 1976 - 1978 ), Guilherme
Maria Goncalves ( 1978 - 1982 ), Mario Viegas Carrascalao ( 1983 - 1992 ) dan Abilio Jose Osorio
Soares ( 1992 - 1999 ).
Insiden Dili atau Insiden Santa Cruz' terjadi pada saat masa kepemimpinan Gubernur Mario
Viegas Carrascalao yang terjadi pada tanggal 12 November 1991 di pemakaman Santa Cruz' di ibu
kota Dili.
Saat itu para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap
pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh
pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi
parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi
Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai
anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung
gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib
sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat
prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang
berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal
adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis
HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Alan
Nairn, dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk
Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video
tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari
penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak
Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di
Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The
Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan
permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor
Timur yang cukup besar, terjadi protes keras.
Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah
meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-
orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia
yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di
Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah
berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik
mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth
Evans, 'suatu penyimpangan'.
Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia)
disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada tahun 1960, yang menyebabkan
penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim
apartheid mendapatkan kutukan internasional.
Kejadian ini kini diperingati sebagai hari raya nasional oleh negara Timor Leste yang
merdeka. Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor Leste sebagai salah satu hari yang
paling berdarah dalam sejarah mereka, yang memberikan perhatian internasional bagi perjuangan
mereka untuk merebut kemerdekaan.
Sejarah memang tidak akan pernah hilang, apalagi sejarah buruk suatu bangsa. Namun hal itu bisa
dijadikan bahan renungan agar tidak akan pernah terjadi lagi.
7. Pembantaiaan Rawagede
Tembakan yang dilakukan tanpa peringatan terlebih dahulu dan dengan posisi siap tempur.
Tentara yang dibagian depan jongkok dan yang berada pada barisan belakang berdiri. Selain itu,
tentara yang berada di atas truk juga terus melakukan tembakan sambil melakukan gerakan-gerakan
tempur. Saat itu penduduk yang tidak lagi sempat lari melakukan tiarap tapi terus diberondong.
Selain melakukan tembakan kearah masa, TNI juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah
penduduk, sehingga banyak warga yang sedang di dalam rumah juga menjadi korban. Bahkan
mereka mengejar dan memasuki rumah-rumah penduduk dan melakukan pembantaian di sana.
Ketika melakukan tembakan para anggota tentara itu juga berteriak-teriak. Kalimat yang
paling sering diucapkan adalah "Akan kubunuh semua orang Aceh". Dalam aksi pembantaian
tersebut, 45 jiwa Tewas di tempat, 156 lainnya Luka-luka kebanyakan karena luka tembak, dan 10
diantaranya Hilang sampai saat ini tidak tahu keberadaannya. Banyak penduduk yang sudah
tertembak dan tidak bisa lari lagi masih terus diberondong oleh tentara dari belakang. Mereka benar
-benar melakukan pembantaian seperti sebuah pesta.
Tanggal 11 November 1998 siang, gerakan mahasiswa dan massa berbagai poros menumpuk
di Semanggi sehingga berjumlah puluhan ribu. Didalamnya termasuk para provokator dan LSM
koalisi Nasional. Pukul 15.15 WIB suasana makin memanas, massa mulai melempari petugas PHH
dengan batu, kayu dan botol berisi air seni. Pukul 16.10 WIB massa semakin brutal sehingga
petugas terpaksa menggunakan kendaraan pemadam kebakaran untuk menyemprotkan air ke arah
massa. Massa berhasil dipaksa mundur.Pada bagian lain, massa yang bergerak secara brutal,
memaksa pasukan PHH melepaskan tembakan gas air mata dan tembakan peringatan dengan peluru
hampa untuk membubarkan pengunjuk rasa.Semakin lama insiden semakin meningkat keras,
bahkan massa kerap kali melempari petugas dengan batu, botol dan bom molotov yang dapat
mengancam jiwa pasukan PHH. Kejadian terus berlangsung hingga pukul 24.00 WIB dan
menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak.Menhankam/Pangab sangat menyesalkan
terjadinya bentrokan ini dan selanjutnya memerintahkan Komandan Puspom untuk melakukan
pengusutan terhadap beberapa prajurit ABRI yang diduga terlibat dalam bentrok kekerasan dengan
mahasiswa yang melakukan unjuk rasa di Semanggi. Akibat kerusuhan telah menimbulkan korban
meninggal dunia 5 orang mahasiswa dan 3 orang warga masyarakat serta 226 orang luka-luka.
11. Video penganiayaan yang dilakukan Densus 88 Anti Teror pada 22 Januari 2007
Video penganiayaan yang dilakukan Densus 88 Anti Teroryang diduga terjadi pada 22
Januari 2007 di Tanah Runtuh, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah itu kini beredar luas di dunia
maya lewat YouTube. Komnas HAM meyakini penganiayaan terhadap terduga teroris itu bukanlah
rekayasa. Komnas HAM menyimpulkan, Densus 88 telah melakukan pelanggaran serius atas
kekerasan yang terjadi tersebut.
Polisi berhasil menyita sekitar 200 senjata api jenis M16 dan MK3 dari para warga yang
diduga berasal dari Pilipina. Satgas Polri juga menangkap sekitar 60 warga yang diduga sebagai
pelaku kekerasan, seorang di antaranya adalah Wiwin alias Rahman Kalahe.
Wiwin ditangkap karena diduga sebagai pelaku kekerasan terhadap siswi pada Oktober 2005.
Akhirnya dia divonis 10 tahun penjara dan sekarang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Palu.
Video penangkapan terhadap Wiwin itulah yang kemudian menyebar di Youtube. Video
yang berdurasi sekitar 13.55 menit tersebut berisi tindakan penganiayaan oleh polisi. Di dalam video
tergambar jelas puluhan polisi berpakaian seragam. Sebagian di antara mereka mirip seragam
Densus 88, serba hitam. Ada juga polisi berseragam Brigade Mobil. Mereka menenteng senjata laras
panjang.
Pada menit awal terlihat tiga warga dengan tangan terikat, berbaring di tengah tanah lapang
sambil bertelanjang dada. Seorang di antara mereka bernama Tugiran. Menit berikutnya, terlihat
seorang warga dengan tangan terborgol berjalan menuju tanah lapang seorang diri, belakangan
diketahui bernama Wiwin. Terdengar suara teriakan petugas kepada dia agar membuka celana.
Sambil berjongkok dia membuka celana. Gambar berikutnya, Wiwin sudah berdiri sambil berjalan,
namun tiba-tiba tersungkur. Dia terkena tembakan di dada tembus ke punggung. Dalam kondisi
tertembak, dia dipaksa berjalan menuju ke tanah lapang.
Meski Wiwin bersimbah darah, polisi tetap saja menginterogasi dia tanpa berusaha untuk
menolong. Bahkan ada di antara polisi yang justru mengingatkan Wiwin bahwa sebentar lagi akan
mati. "Win istigfar, kamu sudah mau mati," kata seorang polisi kepada Wiwin. Tim Bareskrim,
Propam dan Inspektur Pengawasan Umum, sedang menelusuri pelaku kekerasan di dalam video
tersebut. "Kami akan melakukan pendalaman lebih lanjut apa ada kaitan dengan kesalahan prosedur
dalam penanganan kasus tersebut waktu itu," Tokoh agama dan Komisioner Komnas HAM, Siane
Indriani, menegaskan video tersebut menjadi bukti indikasi pelanggaran HAM berat oleh personel
polisi. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahkan mendesak Densus 88 agar
dibubarkan
Tragedi berdarah di Ambon dan sekitarnya bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Menurut Majelis
Ulama Indonesia (MUI), sebelum peristiwa Iedul Fithri 1419H berdarah, tercatat beberapa peristiwa
penting yang dianggap sebagai pra-kondisi, bahkan jauh ke belakang pada tahun 1995. Beberapa
peristiwa itu (sebagian) adalah sebagai berikut.
15 Juni 1995: Desa berpenduduk Islam, Kelang Asaude (Pulau Manipa), diserang warga
Kristen Desa Tomalahu Timur, pada waktu Shubuh. Penyerangan dikoordinasikan oleh empat orang
yang nama-namanya dicatat oleh MUI.
21 Pebruari 1996 (Hari Raya Iedul Fithri) : Desa Kelang Asaude diserang lagi. Serangan
dilakukan oleh warga Tomahalu Timur dengan menggunakan batu dan panah. Tiga hari sebelumnya,
serombongan orang yang dipimpin oleh sersan (namanya tercatat) datang ke Desa Asaude,
menangkap raja (kepala desa) berikut istri dan anak-anaknya. Mereka menggeledah isi rumah dan
menginjak-injak peralatan keagamaan.
18 Nopember 1998: Korem 174 Pattimura didemo. Sejumlah besar mahasiswa Unpatti
(Universitas Pattimura) dan UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku), yang dimotori oleh
organisasi pemuda dan mahasiswanya menghujat Danrem Kolonel Hikayat. Demonstrasi
berlangsung dua hari. Mereka membakar beberapa mobil keamanan, melukai tukang becak, dan
merusak serta melempari kaca kantor PLN Cabang Ambon. Jatuh korban luka-luka, baik di pihak
mahasiswa maupun kalangan ABRI.
Beberapa bulan sebelumnya, berlangsung desas-desus dan teror. Isu pengusiran orang-orang
Bugis-Buton-Makassar (BBM) sudah beredar di tengah masyarakat yang membuat gelisah banyak
orang. Mereka kurang bisa membedakan suku Bugis dan Makassar. Kedua suku ini sebenarnya
adalah satu. Orang-orang Muslim suku lain (non-Maluku) juga diisukan untuk diusir. Produksi
pesanan senjata tajam ditengarai sangat tinggi. Pesanan dilakukan oleh kelompok tertentu.
Isu pengusiran BBM memang berbau SARA, terutama yang menangkut suku dan agama. Entah
bagaimana awalnya dari dalam Gereja. yang tepat, isu BBM bertiup dengan kencang dari kalangan
Kristen, bahkan kabarnya disuarakan oleh Gereja.
Menjelang akhir Nopember 1998: Sekitar 200 preman Ambon dari Jakarta, yang bekerja
sebagai penjaga keamanan tempat judi pulang kampung. Merekalah yang memulai bentrok dengan
penduduk Ketapang (Jakarta). Karena umat Islam Jakarta marah, mereka dikepung. Beberapa
darinya tewas. Sejumlah besar yang lain diminta masyarakat agar dievakuasi oleh aparat keamanan.
Sebagian dari mereka - sekitar 200 orang - inilah yang pulang ke Ambon.
Beberapa 'Test Case' Sebelum Iedul Fithri Berdarah
Setidaknya, ada tiga peristiwa penting yang dapat dianggap sebagai bagian dari tragedi Iedul
Fithri berdarah 1999. Ketiga peristiwa itu adalah peristiwa Wailete tanggal 13 Desember 1998,
peristiwa Air Bak 27 Desember 1998, dan peristiwa Dobo 14 dan 19 Januari 1999.
Peristiwa-perista di atas adalah sebuah 'test case' yang dinilai berhasil mendeteksi keberanian,
persatuan dan kesatuan serta kesiapan Ummat Islam se-Ambon untuk berperang. Kesabaran Ummat
Islam yang tengah menyongsong bulan Ramadhan itu dianggap suatu kelemahan terutama penilaian
terhadap suku Bugis-Buton-Makassar yang kurang kompak. Atas dasar penilaian demikian itu
tampaknya dijadikan peluang untuk mengobarkan Tragedi Iedul Fithri Berdarah. Hal ini terbukti
dengan tiba-tiba didatangkan ratusan preman dari Jakarta, eks-konflik Jalan Ketapang, Jakarta
sebagai pelaku di lapangan.
Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan
aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen
Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).
Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989.Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh
bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-
kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin
komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.Nurhidayat,
dalam catatan, pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia)
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok
sendiri di Jakarta.
Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan yang
kemudian terkenal dengan peristiwa Talangsari,Lampung .Gerakan di Talangsari itu, tercium oleh
aparat keamanan. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah
Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara)
merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Namun kedatangan Kapten
Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Kapten Soetiman pun tewas dan
dikuburkan di Talangsari.Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043
Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok
Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, terjadilah penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat
yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari yang selama ini
memendam antipati kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan dari kedua belah
pihak, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap,
namun yang sampai ke pengadilan 23 orang.
18. Pembantaian di Indonesia 1965–1966
Pelanggaran HAM di Wasior berawal dari konflik antara masyarakat yang menuntut ganti
rugi atas hak ulayat yang dirampas perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan. Dalam aksi
masyarakat pada akhir bulan Maret 2001 tiba-tiba saja “kelompok tidak dikenal bersenjata”
menembak mati 3 orang karyawan PT. DMP. Pasca penembakan, Polda Papua dengan dukungan
Kodam XVII Trikora melakukan“Operasi Tuntas Matoa.”
Operasi ini menyebabkan korban masyarakat sipil. Berdasar laporan KOMNAS HAM telah
terjadi indikasi kejahatan HAM dalam bentuk: 1. Pembunuhan (4 kasus); 2. Penyiksaan (39 kasus)
termasuk yang menimbulkan kematian (dead in custody); 3. Pemerkosaan (1 kasus); dan 5.
Penghilangan secara paksa (5 kasus); 6. Berdasarkan investigasi PBHI, terjadi pengungsian secara
paksa, yang menimbulkan kematian dan penyakit; serta 7. Kehilangan dan pengrusakan harta
milik.Namun Kejaksaaan Agung mengembalikan berkas yang dihimpun KOMNAS HAM dengan
alasan belum melengkapi dan memenuhi beberapa syarat formil dan materiil. Pada 29 Desember
2004, berkas tersebut dikembalikan lagi oleh Komnas HAM tanpa memperdulikan alasan dari
Kejagung dengan alasan wewenang Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan sudah sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sudah sembilan tahun, berkas Komnas HAM tentang indikasi kejahatan kemanusiaan atas
Kasus Wasior-Wamena yang dilakukan aparat negara tidak pernah mengalami kemajuan.
Komitmen Presiden Soesilo Bambang Yudoyono untuk membangun komunikasi konstruktif untuk
solusi damai Papua tidak akan mengalami kemajuan, bila rekomendasi Komnas HAM tentang
kejahatan HAM tidak pernah ditindaklanjuti.
20. Pelanggaran HAM berat di Provinsi Maluku
Maluku berdarah atau Ambon berdarah, adalah sebutan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi
di salah satu propinsi di wilayah timur Indonesia. Dimana pada saat itu terjadi kerusuhan yang
dilakukan oleh suku agama satu kepada suku dan agama lainnya tepat sebelum perayaan Hari Raya
Idul Fitri 1419H. Serangan itu telah banyak mengakibatkan banyak jatuh korban dan hak asasi
mereka ternodai. Tercatat lebih kurang sekitar 8 ribu orang meninggal dunia termasuk penduduk tak
berdosa menjadi korbannya, hampir 4 ribu orang mengalami luka berat, ribuan pemukiman warga,
kantor, pasar, sekolah, dan fasilitas umum lainnya dihancurkan. Akibat kejadian tersebut sekitar 692
ribu jiwa mengungsi ke tempat yang aman untuk menghindari serangan mendadak dari pertikaian itu.
Seperti yang banyak diceritakan pada pelajaran sejarah, peritiwa G30S PKI adalah peristiwa
dimana beberapa jenderal dan perwira TNI menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan secara
sadis pada malam 30 september sampai 1 oktober tahun 1965. Dalam catatan sejarah, pelaku dari
peritiwa G 30 S PKI adalah para anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Ketika itu para jenderal
dan perwira TNI dibunuh dan disiksa secara sadis, kecuali AH. Nasution saja yang berhasil
meloloskan diri, tetapi naas yang menjadi korban adalah seorang anak yang tak lain adalah putrinya
sendiri. Nama anak AH Nasution yang tertembak saat peristiwa G30S PKI adalah Ade Irma Suryani
Nasution termasuk sang ajudan bernama Lettu Pierre Tendean.
Tanggal 1 Oktober 1965 Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober
1965 sore hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat direbut kembali tanpa
pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan
Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30
S/PKI berada di sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.
Tanggal 2 Oktober 1965 Pada tanggal 2 Oktober, Halim Perdana Kusuma diserang oleh
satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto.
Pada pikul 12.00 siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
Tanggal 3 Oktober 1965 Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang
dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha
pencarian perwira TNI – AD dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi
tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI –
AD tersebut dibawah ke Lubang Buaya. Karena daerah terebut diselidiki secara intensif, akhirnya
pada tanggal 3 Oktober 1965 titemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh tersebut..
Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris tengah ¾ meter dengan
kedalaman kira – kira 12 meter, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.
Tanggal 4 Oktober 1965 Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya
dilanjutkan kembali (karena ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan
hari) yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO – AL dengan disaksikan pimpinan sementara
TNI – AD Mayjen Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut
terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi
bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
Tanggal 5 Oktober 1965 Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI – AD tersebut
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas
Besar Angkatan Darat.
Pada tanggal 6 Oktober, dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang
Kabinet Dwikora, para perwira TNI – AD tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi.
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI adalah sebuah kejadian yang
terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta
beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha
kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
23. Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Oknum TNI
Contoh pelanggaran Ham berat di Indonesia yang pertama dilakukan oleh oknum TNI.
Sebagaimana yang kita ketahui TNI atau Tentara Republik Indonesia sejatinya bertugas untuk
menjaga keutuhan negara dari serangan pihak luar yang mencoba merusak dan menghancurkan
keutuhan negara, tetapi pada masa kekuasaan Presiden Soeharto,TNI beralih fungsi sebagai alat
untuk memperkuat kekuasaan. Banyak kasus tindakan kriminal, penculikan dan pembunuhan
kepada orang-orang yang menentang pemerintah.
3 Juni 2011 sekitar pukul 23.00 WIB, 11 anggota TNI berpakaian bebas mendatangi Cafe
Holand. Salah satu anggota TNI kemudian memesan minuman dengan budget Rp 1,5 juta.
Setelah menghabiskan 11 botol minuman, beberapa anggota TNItersebut kemudian turun ke arena
dansa. Adu mulut bermula ketika salah satu anggota TNI ditegur oleh korban karena merokok di
arena dansa. Merasa tak menerima, anggota TNI itu melakukan pemukulan terhadap korban.
4 Juni 2011 sekitar pukul 00.30 WIB, keributan di dalam kafe masih berlangsung. Kemudian
korban keluar kafe untuk mengadukan bahwa dirinya sedang dianiaya kepada kakaknya yang
bernama Yuli Edi Tomson, yang saat itu berada di warung sebelah kafe.
Edi lantas masuk ke dalam kafe, berupaya menahan puluhan anggota TNI tersebut keluar untuk
mencari korban. Perang mulut kembali terjadi. Korban sempat mempertanyakan tindakan
anggota TNI tersebut. Namun, salah satu anggota TNI bernama Chandra Sakti, mengeluarkan
sangkur (pisau) lalu menusukannya ke arah jantung korban. Setelah itu, anggota TNI tersebut
membuang pisaunya dan menjauh dari lokasi kejadian. Korban sempat meminta tolong kepada
kakaknya yang masih berada di dalam kafe.
4 Juni 2011 sekitar pukul 00.45, setelah mengetahui adiknya ditusuk, Edi bersama rekan
korban bernama Ricardo langsung melarikan korban ke Rumah Sakit Melia, Cimanggis. Namun,
nyawa korban tidak tertolong lagi.
Setelah kejadian penikaman tersebut, pelaku bernama Chandra ditangkap warga di sekitar kafe.
Pelaku langsung diserahkan kepada Polsek Cimanggis beserta barang bukti pisau yang digunakan
untuk menikam korban. Dikatakan Edi, beberapa hari setelah kejadian, dirinya sempat mendatangi
Detasemen Polisi Militer TNI di Cijantung untuk menanyakan kelanjutan laporan pembunuhan
adiknya. Namun, menurut Edi, hingga saat ini dirinya tidak pernah mendapat informasi lebih lanjut
kasus tersebut. "Saya sempat bertemu dengan Letnan Durajak, tapi dia menyuruh saya bertemu
dengan Kapten Nova di Brigif 17. Tapi, ketika saya ke sana, tidak ada tanggapan mengenai kasus ini
dan soal ganti rugi untuk keluarga korban," tutur Edi.
Sementara itu, anggota Subpemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM, Komnas HAM, Jhony
N Simanjuntak, berjanji akan mengupayakan pengusutan kasus pembunuhan tersebut.
Ia menilai, beberapa kasus jika berkaitan penegakan hukum dari satuan militer agak sulit dihadapi
dan selalu berakhir dengan kebuntuan.
24. Tragedi di Jambo Keupok pada 17 Mei 2003
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Komnas
HAM segera melakukan penyelidikan pro justisia terhadap peristiwa tragedi Jambo Keupok,
Kecamatan Kota Bahagia, Aceh Selatan dan mendorong Pemerintah Aceh bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Tragedi Jambo Keupok pada 17 Mei 2003 adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat
yang wilayah Aceh Selatan. Sebanyak 16 orang penduduk sipil tak berdosa mengalami penyiksaan,
penembakan, pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) dan pembakaran serta 5
orang lain turut mengalami kekerasan oleh anggota TNI.Peristiwa ini diawali setelah sebelumnya
ada informasi dari seorang informan (cuak) kepada anggota TNI bahwa pada 2001-2002, Desa
Jambo Keupok termasuk salah satu daerah basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Informasi tersebut
kemudian ditindaklanjuti oleh aparat keamanan dengan melakukan razia dan menyisir kampung-
kampung.
Dalam operasinya, aparat keamanan sering melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk
sipil; seperti penangkapan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan dan perampasan harta
benda. Puncaknya pada 17 Mei 2003, sekitar pukul 7 pagi, sebanyak 3 (tiga) truk reo berisikan
ratusan pasukan berseragam militer.Berbekal topi baja, sepatu lars, membawa senjata laras panjang
dan beberapa pucuk senapan mesin, para tentara mendatangi desa Jambo Keupok dan memaksa
seluruh pemilik rumah keluar. Lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak semua disuruh keluar
dan dikumpulkan di depan rumah seorang warga.
TNI kemudian menginterogasi warga satu per satu, menanyakan keberadaan orang-orang
GAM yang mereka cari. Ketika warga menjawab tidak tahu, pelaku langsung memukul dan
menendang warga. Peristiwa tersebut mengakibatkan 4 warga sipil mati dengan cara disiksa dan
ditembak, 12 warga sipil mati dengan cara disiksa, ditembak, dan dibakar hidup-hidup."Sebanyak 3
rumah warga dibakar, 1 orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 4 orang
perempuan ditendang dan dipopor dengan senjata," kata Haris Azhar, Koordinator Badan Pekerja
Kontras lewat rilis yang dikirim ke merdeka.com, Jumat (17/5).
Peristiwa ini juga membuat warga harus mengungsi selama 44 hari ke sebuah Masjid karena
takut tentara akan kembali datang ke desa Jambo Keupok. Peristiwa itu sudah 10 tahun berlalu,
namun warga Jambo Kepuok tidak memperoleh keadilan dari negara. Bahkan mereka hingga saat
ini masih mengalami trauma. Banyak anak-anak korban yang tidak mampu melanjutkan pendidikan
karena tidak memiliki biaya (berhenti pada SD, SLTP dan SLTA). Sementara, proses hukum
terhadap para pelaku belum juga dilakukan. Oleh sebab itu Kontras mendesak kepada komnas HAM
segera menyelidiki peristiwa ini termasuk memeriksa para pelaku yang terlibat secara akuntabel dan
transparan. Kontras juga mendorong Pemerintah Aceh dan DPRA segera membahas dan
membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang merupakan amanat dari MoU Helsinki
tahun 2005.
Peristiwa ini diawali setelah sebelumnya ada informasi dari seorang informan (cuak) kepada
anggota TNI bahwa pada tahun 2001-2002, Desa Jambo Keupok termasuk salah satu daerah basis
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh aparat keamanan
dengan melakukan razia dan menyisir kampung-kampung yang berada di Kecamatan Bakongan.
Dalam operasinya, aparat keamanan sering melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil;
seperti penangkapan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan dan perampasan harta benda.
Puncaknya adalah ketika pada 17 Mei 2003, sekitar pukul 7 pagi, sebanyak 3 (tiga) truk reo
berisikan ratusan pasukan berseragam militer dengan memakai topi baja, sepatu lars, membawa
senjata laras panjang dan beberapa pucuk senapan mesin mendatangi desa Jambo Keupok dan
memaksa seluruh pemilik rumah untuk keluar. Lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak semua
disuruh keluar dan dikumpukan didepan rumah seorang warga.
Para pelaku yang diduga merupakan anggota TNI Para Komando (PARAKO) dan Satuan Gabungan
Intelijen (SGI) menginterogasi warga satu persatu untuk menanyakan keberadaan orang-orang GAM
yang mereka cari. Ketika warga menjawab tidak tahu, pelaku langsung memukul dan menendang
warga. Peristiwa tersebut mengakibatkan 4 warga sipil mati dengan cara disiksa dan ditembak, 12
warga sipil mati dengan cara disiksa, ditembak, dan dibakar hidup-hidup, 3 rumah warga dibakar, 1
orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 4 orang perempuan ditendang dan
dipopor dengan senjata. Peristiwa ini juga membuat warga harus mengungsi selama 44 hari ke
sebuah Mesjid karena takut anggota TNI akan kembali datang ke desa Jambo Keupok.
10 tahun sudah, warga Jambo Kepuok tidak memperoleh keadilan dari negara. Bahkan mereka
hingga saat ini masih mengalami trauma. Banyak anak-anak korban yang tidak mampu melanjutkan
pendidikan karena tidak memiliki biaya (berhenti pada SD, SLTP dan SLTA). Sementara, proses
hukum terhadap para pelaku belum juga dilakukan.
25. Kasus Bom Bali
Kasus Bom Bali juga menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM terbesar di Indonesia.
Peristiwa ini terjadi pada 12 November 2002, di mana terjadi peledakan bom oleh kelompok teroris
di daerah Legian Kuta, Bali. Total ada 202 orang yang meninggal dunia, baik dari warga lokal
maupun turis asing mancanegara yang sedang berlibur. Akibat peristiwa ini, terjadi kepanikan di
seluruh Indonesia akan bahaya teroris yang terus berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya.
Kronologi Bom Bali 2002
12 Oktober 2002 Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali diguncang bom.
Dua bom meledak pada pukul 23.05 Wita. Lebih dari 200 orang tewas, sedangkan 200 lebih lainnya
luka berat maupun ringan.. Pada pukul 23.15 Wita, bom meledak di Renon, berdekatan dengan
kantor Konsulat Amerika Serikat. Namun tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.
16 Oktober 2002 Pemeriksaan saksi untuk kasus terorisme itu mulai dilakukan. Lebih dari 50
orang telah dimintai keterangan di Polda Bali. Untuk membantu Polri, Tim Forensik Australia ikut
diterjunkan untuk identifikasi jenazah.
20 Oktober 2002 Tim Investigasi yang telah dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan,
bom di Paddy’s Pub berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX
berbobot antara 50-150 kg. Sementara bom di dekat konsulat Amerika Serikat menggunakan jenis
TNT berbobot kecil yakni 0,5 kg.
29 Oktober 2002 saat itu Megawati Soekarno Putri terus mendesak polisi untuk menuntaskan
kasus yang mencoreng nama Indonesia itu. Putri Soekarno itu memberi deadline, kasus harus tuntas
pada November 2002.
30 Oktober 2002Titik terang pelaku bom Bali I mulai muncul. Tiga sketsa wajah tersangka
pengebom itu dipublikasikan.
4 November 2002Polisi mulai menunjukkan prestasinya. Nama dan identitas tersangka telah
dikantongi petugas. Tak Cuma itu, polisi juga mengklaim telah mengetahui persembunyian para
tersangka. Mereka tidak tinggal bersama namun masih di Indonesia.
5 November 2002 Salah satu tersangka kunci ditangkap. Amrozi bin Nurhasyim ditangkap di
rumahnya di di DesaTenggulun, Lamongan, JawaTimur.
6 November 2002 10 Orang yang diduga terkait ditangkap di sejumlah tempat di Pulau Jawa.
Hari itu juga, Amrozi diterbangkan ke Bali dan pukul 20.52 WIB, Amrozy tiba di Bandara Ngurah
Rai.
7 November 2002 Abu Bakar Ba’asyir yang disebut-sebut punya hubungan dengan Amrozi
membantah. Ba’asyir menilai pengakuan Amrozi saat diperiksa di Polda Jatim merupakan rekayasa
pemerintah dan Mabes Polri yang mendapat tekanan dari Amerika Serikat.
8 November 2002 Status Amrozi dinyatakan resmi sebagai tersangka dalam tindak pidana
terorisme.
9 November 2002 Tim forensic menemukan residu bahan-bahan yang identik
denganunsurbahanpeledak di TKP. SementaraJenderalDa’iBachtiar,
Kapolripadasaatitumengatakankesaksian Omar Al-FarouqtentangketerlibatanUstad Abu
BakarBa’asyirdanAmrozidalamkasusbom valid.
10 November 2002 Amrozimembeberkan lima orang yang menjaditimintipeledakan. Ali Imron,
Ali Fauzi, Qomaruddinadalaheksekutor di Sari Club dan Paddy’s. Sementara M
GufrondanMubarokmenjadi orang yang membantumempersiapkanpeledakan. Polisi pun memburu
Muhammad Gufron (kakakAmrozi), Ali Imron (adikAmrozi), dan Ari Fauzi (saudara lain
dariibukandungAmrozi). KakaktiriAmrozi, Tafsir. Tafsirdianggaptahuseluk-belukmobil Mitsubishi
L-300 danmeminjamkanrumahnyauntukdipakaiAmrozisebagaibengkel.
11 November 2002 Tim gabunganmenangkapQomaruddin, petugaskehutanan yang
jugatemandekatAmrozi di DesaTenggulun, Solokuro, Lamongan.
Qomaruddindidugaikutmembantumeracikbahanpeledakuntukdijadikanbom.
17 November 2002 Imam Samudra, IdrisdanDulmatindidugamerupakanperajikbom Bali I.
Bersama Ali Imron, Umar alias Wayan, dan Umar alias Patek,
merekapunditetapkansebagaitersangka.
26 November 2002 Imam Samudra, satulagitersangkabom Bali, ditangkap di dalam bus Kurnia
di kapalPelabuhanMerak. Rupanyadiahendakmelarikandirike Sumatera.
1 Desember 2002 Tim InvestigasiBom Bali I berhasilmengungkap mastermind bom Bali yang
jumlahnyaempat orang, satu di antaranyaanggotaJamaahIslamiah (JI).
3 Desember 2002 Ali Gufron alias Muklas (kakakAmrozi) ditangkap di Klaten, Jawa Tengah.
4 Desember 2002Sejumlahtersangkabom Bali I ditangkap di Klaten, Solo, Jawa Tengah, di
antaranya Ali Imron (adikAmrozi), Rahmat, danHermiyanto. Sejumlahwanita yang
didugaistritersangkajugaditangkap.
16 Desember 2002PolisimenangkapanakAshuri, Atang, yang masihsiswa SMU di Lamongan.
Tim jugaberhasilmenemukan 20 dus yang berisibahankimiajenis potassium kloratseberatsatu ton di
rumahkosongmilikAshuri di DesaBanjarwati, KecamatanPaciran, Lamongan yang
didugamilikAmrozi.
18 Desember 2002 Tim Investigasi GabunganPolri-polisi Australia
membukadanmembeberkanDokumen Solo, sebuahdokumen yang dimiliki Ali Gufron.
Dalamdokumentersebutberisitatacaramembuatsenjata, racun, dan merakitbom.
Dokumenitujugamemuatbuku-bukutentangJamaahIslamiah (JI)
dantopografisuatudaerahsertasejumlahrencanaaksi yang akan dilakukannya.
5 Januari 2003Berkas perkara Amrozi diserahkan kepada Kejaksaan Tinggi Bali.
16 Januari 2003 Ali Imron bersama 14 tersangka yang ditangkap di Samarinda tiba di Bali.
8 Februari 2003 Rekonstruksi bom Bali I
12 Mei 2003Sidang pertama terhadap tersangka Amrozi.
2 Juni 2003 Imam Samudra mulai diadili.
30 Juni 2003 Amrozi dituntut hukuman mati
7 Juli 2003 Amrozi divonis mati
28 Juli 2003 Imam Samudra dituntut hukuman mati.
10 September 2003 Imam Samudra divonis mati.
28 Agustus 2003 Ali Gufron alias Muklas dituntut hukuman mati
2 Oktober 2003 Ali Gufron divonis mati.
30 Januari 2007 PK pertamaAmrozi cs ditolak
30 Januari 2008 PK kedua diajukan dan ditolak
21 Mei 2008 PK ketiga diajukan dan kembali ditolak
21 Oktober 2008 Mahkamah Konstitusi tolak uji materi terhadap UU Nomor
2/Pnps/1964soal tata cara eksekusi mati yang diajukan Amrozi cs.
9 November 2008 Amrozi cs dieksekusi mati di Nusa kambangan.
26. Tragedi Kemanusiaan etnis Tionghoa (1998)
Tragedi Kemanusiaan etnis Tionghoa (13 - 15Mei 1998). Sebelas tahun sudah tragedi (13-15)
Mei 1998 berlalu. Tragedi kemanusiaan ini menyisakan banyak keprihatinan dan tanya bagi banyak
orang, khususnya bagi para keluarga korban yang harus kehilangan keluarga dengan cara paksa,
perempuan yang menjadi korban pemerkosaan dan etnis Tionghoa yang dijadikan korban kekejaman
para pihak yang tidak bertanggung jawab. Ratusan manusia menjadi korban, dengan amat
mengenaskan mereka terpanggang kobaran api di dalam Yogya Plaza, Kleder, Jakarta Timur.
Tragedi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, namun terjadi juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Tragedi ini merupakan rentetan kejadian yang memilukan, dimana sehari sebelumnya (12 Mei 1998)
empat mahasiswa Universitas Trisakti menjadi korban penembakan oleh aparat TNI pada saat
menggelar aksi menuntut Reformasi. Kejadian 11 tahun silam tersebut adalah sejarah kelam bangsa
ini. Namun sampai dengan saat ini tak juga ada pertanggungjawaban pemerintah atas terjadinya
tragedi Mei 1998
KASUS TANJUNG PRIOK (1984)
C. Daftar Jenis - Jenis Pelanggaran HAM pada Peristiwa Tanjung Priok 1984
a. Pembunuhan secara kilat (summary killing)
Tindakan pembunuhan secara kilat (summary killing) terjadi di depan Mapolres
Metro Jakarta Utara tanggal 12 September 1984 pkl 23.00 akibat penggunaan kekerasan
yang berlebihan dari yang sepatutnya terhadap kelompok massa oleh satu regu pasukan dari
Kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno Mascung dengan senjata semi
otomatis. Para anggota pasukan masing-masing membawa peluru yang diambil dari gudang
masing-masing sekitar 5-10 peluru tajam. Atas tindakan ini jatuh korban 24 orang tewas, 54
luka berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try Soetrisno Pangdam V Jaya korban
kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot Subroto.
b. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention)
Setelah peristiwa, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap
orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Korban
diambil di rumah atau ditangkap disekitar lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160
orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang.
Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para
korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis.
c. Penyiksaan (Torture)
Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis
mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain
dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain.
d. Penghilangan orang secara paksa (Enforced or involuntary disappearance)
Penghilangan orang ini terjadi dalam tiga tahap, pertama adalah menyembunyikan
identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari cara
penguburan yang dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan
dilakukan di malam hari. Kedua adalah menyembunyikan korban dengan cara melarang
keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan
penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan
serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit
untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.