Anda di halaman 1dari 50

PKN

KASUS – KASUS PELANGGARAN


HAM DI INDONESIA

Disusun oleh :
Kelas XII MIA 1
Rina Yulianti (No. 26)

UPTD SMA NEGERI 1 WATES


TAHUN PELAJARAN 2016 / 2017
1. Kasus Pembunuhan Munir
Munir sang pejuang hak asasi manusia.
Ia lahir di Malang, Jawa Timur pada tanggal 8
Desember 1965 tepatnya di Kota Batu. Nama
lengkapnya adalah Munir Said Thalib (alm)dan
meninggal pada tanggal 7 September 2004. Pria
keturunan arab lulusan fakultas hukum
Universitas Brawijaya ini merupakan seorang
aktivis dan pejuang HAM Indonesia. Munir
mendirikan komisi untuk orang hilang dan
korban kekerasan (Kontras) pada tanggal 16
April 1996. Atas perjuangannya yang tak kenal
lelah dia pun memperoleh The Rightlivehood
Award di Swedia (2000) di bidang pemajuan
HAM dan kontrol sipil terhadap militer di
indonesia.

Kronologis pembunuhan Munir hingga


proses pengadilan tersangka pembunuh Munir
berawal dari Munir naik pesawat Garuda
Indonesia GA-974 pada pukul 21.55 WIB
menuju Singapura untuk kemudian transit di Singapura dan terbang kembali ke Amsterdam. Tiba di
Singapura pada pukul 00.40 waktu Singapura. Kemudian pukul 01.50 waktu Singapura Munir
kembali terbang dan menuju Amsterdam. Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura,
awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama
Munir yang duduk di kursi nomor 40G menderita sakit. Munir bolak - balik ke toilet.
Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di
sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya.
Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7
September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa,
Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik
Belanda) menemukan jejak – jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga
dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada
yang menduga bahwa oknum - oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya. Salah satunya
adalah kebencian para penguasa orde baru terhadap gerakan “human right‟ Munir . Mereka
“penguasa” yang telah semena - mena menindas, membunuh, dan membantai rakyat kecil mendapat
perlawanan keras dari Munir.Orang pertama yang menjadi tersangka pertama pembunuhan Munir
(dan akhirnya terpidana) adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama persidangan, terungkap
bahwa pada 7 September 2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas
palsu dan mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam.
Aksi pembunuhan Munir semakin terkuak tatkala Pollycarpus “meminta” Munir agar
berpindah tempat duduk dengannya. Dan pada akhirnya, 20 Desember 2005 Pollycarpus BP
dijatuhi vonis 20 tahun hukuman penjara. Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus tidak mengakui
dirinya sebagai pembunuh Munir, berbagai alat bukti dan skenario pemalsuan surat tugas dan hal-
hal yang janggal. Mahkama Agung telah menjatuhkan putusan dalam perkara No. 1185 K/Pid/2006
dan dibacakan pada sidang terbuka untuk umum pada tanggal 3 oktober 2006.
Akhirnya terungkap nomor yang pernah menghubungi Pollycarpus dari agen Intelinjen
Senior adalah seorang mantan petinggi TNI, yakni Mayor Jenderal (Purn) Muchdi Purwoprandjono.
Muchdi PR ditangkap pada 6 Juni 2008. Lalu ia disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta dan pada
awal Desember 2008, jaksa penuntut umum (JPU) kasus pembunuhan Munir menuntut Muchdi PR
dihukum 15 tahun penjara. Muchdi PR terbukti menganjurkan dan memberikan sarana kepada
terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto untuk membunuh Munir. Jaksa juga menunjuk bukti
transaksi panggilan dari nomor telepon yang diduga milik Pollycarpus ke nomor yang diduga milik
Muchdi, Tanggal tanggal 31 Desember 2008, majelis hakim menvonis bebas Muchdi Pr atas
keterlibatannya dalam pembunuhan aktivis HAM.
Eksaminasi memperoleh temuan fakta yang menjadi bahan analisis eksaminasi ini : bahwa
Munir meninggal karena diracun, penyebab kematian adalah keracunan arsenik akut. Bahwa benar
Pollycarpus menggunakan surat tugas palsu untuk berangkat ke singapur, pada Blok Note milik
Pollycarpus yang disita oleh penyidik ditemukan skema susunan tempat duduk pesawat yang
dilingkari oleh Pollycarpus untuk bertukar tempat dengan Munir. Pollycarpus melakukan
pembicaraan melalui telepon dengan personil BNI, dapat terlihat pada adanya hu bngan antara
Pollycarpus dengan dengan agen BNI Bambang Irawan yang terjadi pada tanggal 14 Mei 2003 pada
saat mereka pergi ke Aceh dan Timor - Timur.
Putusan Mahkama Agung yang memutuskan terdakwa Pollycarpus bersalah menggunakan
surat palsu dan membebaskannya dari dakwaan pembunuhan berencana, adalah putusan yang tidak
tepat. Sementara itu penanganan kasus pembunuhan Munir tidak dilakukan sebagaimana mestinya.
Penanganan proses hukum seperti ini membuat kasus pembunuhan Munir tidak juga berhasil
diungkap. Padahal ada sejumlah keanehan atau kejanggalan yang masih menjadi tanda tanya besar
dalam mengungkap kebenaran dan keadilan kasus ini. namun, disetiap tingkatan proses hukum
terdpat reduksi fakta dan bahkan dalam putusan pengadilan tingkat pertama terdapat pemunculan
fakta yang tiba-tiba tanpa didukung alat bukti persidangan. Hal inilah yang juga turut mempengaruhi
proses hukum serta keseluruhan.
2. Pembunuhan Aktivis Buruh Wanita, Marsinah

Marsinah lahir tanggal 10 April 1969.


Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini
merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin.
Sejak usia tiga tahun, Marsinah telah ditinggal
mati oleh ibunya. Bayi Marsinah kemudian
diasuh oleh neneknya —Pu’irah— yang tinggal
bersama bibinya —Sini— di desa Nglundo,
Nganjuk, Jawa Timur.
Pendidikan dasar ditempuhnya di SD
Karangasem 189, Kecamatan Gondang. Sedang
pendidikan menengahnya di SMPN 5 Nganjuk.
Sedari kecil, gadis berkulit sawo matang itu
berusaha mandiri. Menyadari nenek dan bibinya
kesulitan mencari kebutuhan sehari-hari, ia
berusaha memanfaatkan waktu luang untuk
mencari penghasilan dengan berjualan makanan
kecil.
Di lingkungan keluarganya, ia dikenal
anak rajin. Jika tidak ada kegiatan sekolah, ia
biasa membantu bibinya memasak di dapur.
Sepulang dari sekolah, ia biasa mengantar makanan untuk pamannya di sawah. Berbeda dengan
teman sebayanya yang lebih suka bermain-main, ia mengisi waktu dengan kegiatan belajar dan
membaca. Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya pergi untuk menyaksikan siaran berita televisi.
Ketika menjalani masa sekolah menengah atas, Marsinah mulai mandiri dengan mondok di
kota Nganjuk. Selama menjadi murid SMA Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswa yang cerdas.
Semangat belajarnya tinggi dan ia selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas. Jalan
hidupnya menjadi lain, ketika ia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia tidak punya cukup
biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Pergi meninggalkan desa adalah sebuah langkah hidup yang sulit terelakan. Kesempatan
kerja di pedesaan semakin sempit. Kerja sebagai buruh tani makin kecil peluangnya. Sekarang ani-
ani—alat tradisional penuai padi—sudah berganti dengan sabit yang lebih efisien dan tidak
memerlukan jumlah tenaga kerja sebanyak sebelumnya. Perkembangan teknologi semakin
menyingkirkan para buruh tani. Tidak mengherankan, bau keringat bercampur tanah sawah sudah
tidak lagi memenuhi udara pedesaan. Lenguhan sapi yang kelelahan membajak tanah semakin
jarang terdengar. Ia telah disingkirkan oleh deru mesin traktor.
Ujungnya adalah tidak ada pilihan lagi selain pergi ke kota. Maka ia berusaha mengirimkan
sejumlah lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan gresik. Akhirnya ia diterima
di pabrik sepatu BATA di Surabaya tahun 1989. setahun kemudian ia pindah ke pabrik arloji Empat
Putra Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang
membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya
yang menjadi buruh pabrik.
Kegagalan menerskan ke perguruan tinggi bukannya membuat semangat belajarnya padam.
Ia berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu mengubah nasib seseorang. Karena itu, untuk
menambah pengetahuan dan keterampilan, Marsinah mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris
di Dian Institut, Sidoarjo. Kursus komputer dengan paket Lotus dan Word Processor sempat
dirampungkan beberapa waktu sebelum ia meninggal. Semangat belajar yang tinggi juga tampak
dari kebiasaannya menghimpun rupa-rupa informasi. Ia suka mendengarkan warta berita, baik lewat
radio maupun televisi. Minat bacanya juga tinggi. Saking senangnya membaca, ia terpaksa memakai
kacamata. Pada waktu-waktu luang, ia seringkali membuat kliping koran. Malahan untuk kegiatan
yang satu ini ia bersedia menyisihkan sebagian penghasilannya untukmembeli koran dan majalah
bekas, meskipun sebenarnya penghasilannya pas-pasan untuk menutup biaya hidup.
Ia dikenal sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, tingan tangan dan setia kawan. Ia
sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada
kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk. Selain itu ia seringkali membantu
kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang
pemberani.
Paling tidak dua sifat yang terakhir disebut—pemberani dan setia kawan—inilah yang
membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS
(Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah—resah karena ada kabar kenaikan upah
menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para
pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu
tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk
membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.
Keresahan tersebut akhirnya berbuah perjuangan. Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT.
CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Sebagian buruh bergerombol dan
mengajak teman-teman mereka untuk tidak masuk kerja. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor
Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah
yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang
hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan
mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-
sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik
menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak ketinggalan, para satpam juga mengibas-
ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan
tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi
berlangsung. Marsinah dan kawan-kawannya menginginkan untuk berunding dengan pegusaha.
Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-
kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan
dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum
dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen
50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah
kesepakatan bersama.
Pertentangan antara buruh dengan pengusaha belum berakhir. Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh
dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa
babibu, tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa
menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul
8 buruh di-PHK di tempat yang sama. Hukum menjadi kehilangan gigi ketika senapan tentara ikut
bermain.
Marsinah sadar betul bahwa peristiwa yang menimpa kawan-kawannya adalah suatu
keniscayaan di negeri milik pengusaha ini. Dari kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya, dari
keluhan-keluhan kawan-kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan yang teriakkan, dan dari
apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya memberinya pengetahuan tentang
ketidakberesan yang melanda segala lapisan dalam masyarakat kita.
Kemarahannya meledak saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. “Saya
tidak terima! Saya mau (melapor) ke paklik saya yang jadi jaksa di Surabaya!” teriak Marsinah
gusar. Dengan gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya, lantas pergi.
Tidak ada yang tahu kemana perginya Marsinah. Yang pasti, Marsinah tidak lagi terlihat di pabrik
tempat ia bekerja.
Sampai akhirnya pada tanggal 9 Mei 1993 Marsinah ditemukan meninggal dunia. Mayatnya
ditemukan di gubuk petani dekat hutang Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi
bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas
pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan
terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya
ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang
sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas,
mengenaskan.
Marsinah adalah sosok perjuangan yang telah dihancurkan oleh sebuah ketakutan dan
kecurigaan. Tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa jiwanya tidak bisa dipenjara. Jiwanya akan
membumbung tinggi untuk berubah menjadi lidah-lidah api yang akan menghanguskan segala
bentuk ketidakadilan.
3. Penculikan Aktivis 1997/1998

Salah satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia yaitu kasus penculikan aktivis 1997/1998.
Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang
menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya
masih hilang).
Kasus penculikan terhadap aktivis yang terjadi pada tahun 1997 - 1998 merupakan suatu
bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Hal ini telah dilakukan proses penyelidikannya
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan telah direkomendasikan pula oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI untuk dibentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kasus ini. Walaupun
demikian, proses hukum terhadap kasus penculikan aktivis tersebut berjalan sangat lambat bahkan
tidak memiliki perkembangan yang berarti.
Permasalahan yang dibahas adalah apakah kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis
tahun 1997 - 1998 merupakan pelanggaran berat HAM menurut Undang-Undang Pengadilan HAM,
bagaimanakah proses penegakan hukum yang harus ditempuh untuk mengadili kasus penculikan dan
penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998, dan apakah terdapat yurisdiksi Pengadilan Pidana
Internasional (International Criminal Court) terhadap kasus penculikan dan penghilangan paksa
aktivis tahun 1997-1998 ditinjau dari perspektif hukum pidana intemasional.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif karena
menggunakan sumber data berupa data sekunder dan teknik pengumpulan datanya adalah studi
dokumen. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM,
peristiwa penculikan aktivis tahun 1997 - 1998 merupakan suatu bentuk pelanggaran berat terhadap
hak asasi manusia yaitu merupakan bentuk penghilangan orang secara paksa, penganiayaan,
penyiksaan, perampasan kemerdekaan dan pembunuhan yang digolongkan sebagai kejahatan
kemanusiaan sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Proses hukum yang harus ditempuh dalam kasus ini adalah dengan pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM karena kasus tersebut terjadi sebelum berlakunya undang-
undang pengadilan HAM.
Kasus penculikan ini juga menjadi yurisdiksi dari Pengadilan Pidana Internasional karena
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan Pidana Internasional bersifat pelengkap
dari pengadilan nasional sehingga baru dapat menjalankan fungsinya apabila negara yang memiliki
yurisdiksi untuk mengadili tidak mampu atau tidak mau untuk mengadili atau negara tersebut
melaksanakan suatu proses peradilan pura-pura. Berdasarkan asas non retroaktif kasus penculikan
terhadap korban yang telah kembali tidak menjadi yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional
sedangkan kasus penculikan terhadap korban yang belum kembali atau belum diketahui nasibnya
merupakan yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional karena kejahatannya masih berlanjut.
Pengadilan Pidana Internasional tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus ini juga disebabkan karena
Indonesia bukanlah negara pihak dalam Statuta Roma, akan tetapi apabila Dewan Keamanan PBB
menyatakan Indonesia sebagai wilayah yang diperluas dari pemberlakuan Statuta Roma maka kasus
ini dapat menjadi yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional.
4. Penembakan Mahasiswa Trisakti

Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya
luka-luka). Kasus penembakan mahasiswa Trisakti merupakan salah satu kasus penembakan kepada
para mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi oleh para anggota polisi dan militer.
Sebelum peristiwa ini terjadi, demontrasi yang dimotori oleh mahasiswa di berbagai daerah
terus berlangsung. Isu yang diangkat saat itu adalah tentang krisis ekonomi yang berkepanjangan
dan penurunan harga barang pokok.
Mahasiswa Trisakti yang bertujuan untuk meminta pemerintah menurunkan harga berbagai
kebutuhan pokok melakukan demonstrasi. Dosen dan mahasiswa Trisakti berencana untuk menuju
ke gedung DPR / MPR guna menyuarakan aspirasi mereka. Pada tanggal 12 Mei 1998, pukul 10.00,
mereka kemudian berkumpul di dalam kampus. Pukul 12.30, setelah berkumpul di dalam kampus,
para peserta demonstrasi yang hampir semuanya berasal dari Universitas Trisakti (USAKTI)
kemudian melanjutkan aksi sesuai dengan rencana mereka yaitu di depan gedung DPR / MPR.
Namun, ketika mereka mulai bergerak, aparat keamanan yang awalnya Polisi telah melakukan
blokade di depan kantor Walikota Jakarta Barat. Mahasiswa kemudian melanjutkan aksi damai
mereka dengan melakukan orasi dan aksi duduk di jalan.
Aparat keamanan mulai berdatangan baik dari Kepolisian maupun Militer –pada saat itu ABRI-
memperkuat blokade. Para peserta aksi kemudian mencoba melakukan negosiasi dengan aparat
keamanan yang saat itu diwakili oleh Kapolres Jakarta Barat, Timur Pradopo. Usaha tersebut tidak
berhasil, akhirnya para peserta aksi mundur kembali ke dalam kampus. Saat mahasiswa mulai
bergerak mundur, terjadi provokasi dari seseorang yang memancing kemarahan peserta aksi.
Keadaan tersebut dapat dikendalikan oleh peserta aksi, mahasiswa kemudian bergerak masuk ke
dalam kampus.
Pukul 17.15, saat mahasiswa bergerak mundur, aparat keamanan melakukan penembakan
kearah mahasiswa. Tindakan tersebut membuat para peserta aksi panic dan tercerai - berai. Sebagian
besar berlari masuk ke dalam kampus Universitas Trisakti dan kearah Universitas Tarumanegara.
Saat mahasiswa telah berada di dalam kampus, aparat keamanan terus melakukan penembakan
kearah kampus. Mahasiswa kemudian membalasnya dengan melempar batu atau dengan benda yang
ada di sekitar mereka. Korban mulai berjatuhan, semua korban kemudian dibawa ke RS. Sumber
Waras untuk mendapatkan pertolongan.
Pada pukul 20.00, telah dipastikan bahwa empat orang mahasiswa tewas tertembak dansatu
orang dalam keadaan kritis. Semua korban tertembak peluru tajam ketika berada di dalam kampus
Usakti dan mengenai daerah vital seperti leher, kepala dan dada.
5. Pembantaian Santa Cruz / Insiden Dili

Kasus ini masuk dalam catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian
yang dilakukan oleh militer atau anggota TNI dengan menembak warga sipil di Pemakaman Santa
Cruz, Dili, Timor-Timur .
Timor Timur adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia, kita rasanya tidak akan pernah
lupa bagaimana Timor Timur dulu pernah menjadi sebuah provinsi di Indonesia, yaitu provinsi ke
27. Timor Timur berintegrasi dengan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah dijajah
selama 450 tahun oleh Portugal. Sebagai sebuah provinsi, Timor Timur atau lebih dikenal sebagai
Timtim sempat mempunyai 4 orang Gubernur sebelum melepaskan diri sebagai negara yang
berdaulat berdasarkan jajak pendapat yang diadakan Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB ) pada
tahun 1999.
Keempat Gubernur tersebut adalah : Arnaldo dos Reis Araujo ( 1976 - 1978 ), Guilherme
Maria Goncalves ( 1978 - 1982 ), Mario Viegas Carrascalao ( 1983 - 1992 ) dan Abilio Jose Osorio
Soares ( 1992 - 1999 ).
Insiden Dili atau Insiden Santa Cruz' terjadi pada saat masa kepemimpinan Gubernur Mario
Viegas Carrascalao yang terjadi pada tanggal 12 November 1991 di pemakaman Santa Cruz' di ibu
kota Dili.
Saat itu para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap
pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh
pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi
parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi
Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai
anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung
gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib
sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat
prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang
berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal
adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis
HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Alan
Nairn, dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk
Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video
tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari
penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak
Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di
Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The
Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan
permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor
Timur yang cukup besar, terjadi protes keras.
Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah
meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-
orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia
yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di
Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah
berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik
mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth
Evans, 'suatu penyimpangan'.
Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia)
disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada tahun 1960, yang menyebabkan
penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim
apartheid mendapatkan kutukan internasional.
Kejadian ini kini diperingati sebagai hari raya nasional oleh negara Timor Leste yang
merdeka. Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor Leste sebagai salah satu hari yang
paling berdarah dalam sejarah mereka, yang memberikan perhatian internasional bagi perjuangan
mereka untuk merebut kemerdekaan.
Sejarah memang tidak akan pernah hilang, apalagi sejarah buruk suatu bangsa. Namun hal itu bisa
dijadikan bahan renungan agar tidak akan pernah terjadi lagi.

6. Peristiwa Tanjung Priok (2010)


Kasus ini murni pelanggaran HAM. Bermula ketika warga sekitar Tanjung Priok, Jakarta
Utara melakukan demonstrasi beserta kerusuhan yang mengakibatkan bentrok antara warga dengan
kepolisian dan anggota TNI yang mengakibatkan sebagian warga tewas dan luka-luka.

7. Pembantaiaan Rawagede

Peristiwa ini merupakan pelanggaran HAM berupa penembakan beserta pembunuhan


terhadap penduduk kampung Rawagede (sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa
Barat) oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 diringi dengan dilakukannya Agresi
Militer Belanda I. Puluhan warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang kebanyakan dibunuh
tanpa alasan yang jelas. Para keluarga korban mencoba untuk meminta keadilan akibat perlakukan
tentara Belanda ke Pengadilan Belanda, dan tanpa diduga gugatan mereka di kabulkan Pengadilan
setempat, tentu saja hal ini menggembirakan para keluarga korban karena usaha selama ini akhirnya
bisa mendapatkan sedikit rasa keadilan. Banyak orang yang tidak mengetahui sebetulnya apa serta
bagaimana Peristiwa Sejarah Tragedi Pembantaian Rawagede.
Kronologis Tragedi Rawagedeh ini yaitu pembantaian tentara Belanda pada tahun 1947
ketika Agresi militer Belanda ke 1 yang mengakibatkan sekitar 430 – an penduduk Rawagedeh
meninggal dunia. Para keluarga korban mencoba untuk meminta keadilan akibat perlakukan tentara
Belanda ke Pengadilan Belanda, dan tanpa diduga gugatan mereka di kabulkan Pengadilan setempat,
tentu saja hal ini menggembirakan para keluarga korban karena usaha selama ini akhirnya bisa
mendapatkan sedikit rasa keadilan. Banyak orang yang tidak mengetahui sebetulnya apa serta
bagaimana Peristiwa Sejarah Tragedi Pembantaian Rawagede.
Kronologi Sejarah Tragedi Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian
pembunuhan Kampung Rawagede (terletak di Desa Balongsari, Rawamerta , Karawang) yang
bertempat diantara Karawang dan Bekasi oleh tentara Belanda ketika melakukan agresi militer
pertama nya pada tanggal 9 Desember 1947. Akibat peristiwa ini sebanyak 431 penduduk
meninggal dunia.
Sebelum perjanjian Renville ditandatangani, Tentara Belanda yang tergabung dalam Divisi
satu atau disebut juga Divisi 7 Desember melakukan pembersihan unit pasukan TNI dan pejuang-
pejuang Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dalam operasinya di daerah
Karawang, para tentara Belanda ini memburu Kapten Lukas Kustario yang merupakan Komandan
Kompi Siliwangi dan juga menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi
Siliwangi. Beliau berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Selain itu di
wilayah Rawagede ini juga banyak laskar dan pejuang Indonesia.
Pada tanggal 9 Desember 1947, satu hari setelah perundingan Renville. Tentara Belanda
mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Tetapi mereka tidak menemukan
satupun pucuk senjata disana. Kemudian para tentara Belanda ini mengumpulkan semua penduduk
di lapangan terbuka. Penduduk laki-laki disuruh berjejer, dan ditanya keberadaan para pejuang serta
Tentara Indonesia. Tetapi tidak ada satupun penduduk yang mengatakan keberadaan mereka.
Kemudian akibat bungkamnya para penduduk, pemimpin tentara Belanda memerintahkan
untuk menembak mati seluruh penduduk laki-laki, baik yang sudah tua maupun remaja. Beberapa
orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun banyak yang terlukan karena terkena
tempakan. Tentara Belanda menembak mati dengan memberondong dengan senapan mesin tanpa
ampun. Karena peristiwa itu sekitar 431 penduduk Rawagede tewas. Sebetulnya korban tewas
lebih dari 431, karena banyak mayat yang hanyut dibawa ke sungai karena banjir dan hujan deras.
Keesokan harinya tentara Belanda meninggalkan desa tersebut. Para wanita yang masih
hidup menguburkan mayat-mayat penduduk laki-laki tersebut dengan peralatan
sederhana. Dikarenakan tidak dapat menggali terlalu dalam, jenazah ditutup dengan potongan kayu
dan ada yang menggunakan daun pintu kemudian diurug tanah seadanya, akibatnya bau mayat
masih tercium selama beberapa hari.
Selain itu banyak beberapa versi dan kronologi mengenai Sejarah Tragedi Pembantaian
Rawagede ini. Kemudian untuk jumlah korban yang tewas juga masih menjadi perdebatan banyak
ahli sejarah. Mengenai jumlah korban tewas, beberapa sumber menyebut angka berbeda. Menurut
buku De Excessennota, tentara Belanda mengeksekusi sekitar 20 orang penduduk, total jumlah
korban tewas selama operasi berlangsung 150 jiwa. Sementara pada batu peringatan di Taman
Makam Pahlawan Sampurnaraga, jumlah korban tewas di Rawagede pada tanggal 9 Desember 1947
tersebut 431 jiwa.
8. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari Harian Umum Bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas
yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.
Kronologi Kasus ini berawal dariSri Roso yang dihukum 9 bulan penjara pada 2 Juli 1999.
Dia dinyatakan bersalah atas kasus suap Rp 1 miliar kepada Yayasan Dharmais, yayasan yang
dikelola Presiden Soeharto. Uang itu dijanjikannya sebagai imbalan bila diangkat kembali sebagai
bupati Bantul 1996-2001. Pernyataan itu dituangkan dalam surat bersegel dikirim ke yayasan
ditandatangani oleh R Noto Suwito yang tak lain adalah adik Soeharto.
Beberapa tulisan Udin mengkritisi kekuasaan Orde Baru dan militer. Tulisan yang cukup
menyengat di antaranya '3 Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul', 'Soal Pencalonan Bupati
Bantul: banyak 'Invisible Hand' Pengaruhi Pencalonan', 'Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT
Hanya Diberikan Separo' dan 'Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis'.
Pria kelahiran Bantul, 18 Februari 1964 ini meninggal pada 16 Agustus 1996, pukul 16.50
WIB, usai dianiaya oleh orang tak dikenal di sekitar rumahnya di Dusun Gelangan Samalo Jalan
Parangtritis Km 13 Yogyakarta, dengan sebatang besi yang dipukulkan ke kepalanya.
Udin sempat mendapatkan perawatan di RS Bethesda. Setelah sempat koma karena gegar
otak, akhirnya Udin menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit tersebut.
Tak hanya itu, sebelum meninggal, banyak juga kejadian yang aneh dan ganjil yang terjadi
terkait kematian Udin. Sekitar pukul 21.00 WIB, di kantor harian Bernas, Udin menemui seorang
tamu yang sebelumnya ingin menemui Joko Mulyono, wartawan Bernas untuk liputan Bantul.Lelaki
tersebut mengaku sebagai Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul dan kedatangannya untuk
urusan tanah.
Namun, setelah pertemuan singkat itu Udin terlihat gelisah di kantor. Pukul 21.30 WIB,
selesai menulis berita, Udin bergegas pulang ke Bantul dengan Honda Tiger 2000 warna merah hati.
Belakangan orang yang ditemui Udin tersebut adalah Hatta Sunanto (anggota DPRD Bantul dan
adik Sukrisno, Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul), serta ditemani seorang calo tanah
bernama Suwandi. Salah satu tetangga Udin yang berada di warung bakmi yakni Ny Ponikem sering
melihat beberapa laki-laki yang dicurigai mendatangi rumah Udin. Hingga akhirnya, malam tragedi
meninggalnya Udin pun terjadi. Udin dianiaya lelaki tak dikenal di sekitar rumahnya Jalan
Parangtritis Km 13,5 Bantul hingga luka parah dan tak sadarkan diri.
Udin lalu dilarikan ke RSU Jebugan Bantul, karena tak mampu, Udin terus dilarikan ke RS
Bethesda Yogyakarta. Kemudian, Rabu 14 Agustus 1996 sekitar pukul 08.00 WIB di RS Bethesda
Yogyakarta, Udin menjalani operasi karena terjadi pendarahan hebat di kepalanya akibat
penganiayaan hebat yang dialami Udin malam sebelumnya.
Hingga akhirnya, tim medis RS Bethesda Yogyakarta pada Jumat 16 Agustus pukul 16.58
WIB, menyatakan Udin meninggal dunia Malamnya, sekitar pukul 23.30 WIB, jenazah Udin
disemayamkan sebentar di kantor Harian Bernas untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari
rekan-rekannya. Jenazah Udin dilepas dan dimakamkan di tempat pemakaman umum Trirenggo
Bantul tepat pada tanggal 17 Agustus, saat bangsa Indonesia merayakan peringatan hari ulang tahun
ke-51 kemerdekaan Republik Indonesia. Beberapa pejabat, di antaranya Sri Sultan
Hamengkubuwono X, Pangdam IV Diponegoro, Kapolda Jateng-DIY dan sejumlah pejabat
pemerintahan meminta agar kasus Udin diusut tuntas. Siapapun terlibat dalam kasus harus diproses
secara hukum.
Namun, apa yang terjadi? Upaya pengaburan kasus pembunuhan Udin pun oleh berbagai
pihak terjadi. Sekitar pukul 20.00 WIB, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1996, Serma Edy
Wuryanto ditemani dua anggota Polres Bantul berangkat dari Mapolres Bantul ke kediaman
orangtua Udin di Gedongan Trirenggo Bantul. Mereka bermaksud meminjam sisa darah operasi
Udin yang tidak jadi ikut dikubur bersama jenazah Udin.
Kapolres Bantul saat itu Letkol Pol Ade Subardan mengatakan tidak ada dalang dalam kasus
Udin meski tersangka belum tertangkap. Kapolres Bantul juga sesumbar akan menangkap pelaku
pembunuh Udin dalam waktu tiga hari usai konferensi pers berlangsung sambil mengatakan biar
Bupati Bantul tidur nyenyak.
Pada 26 Agustus 1996 sekitar pukul 09.00 WIB, Tempat Kejadian Perkara (TKP) di rumah
Udin baru diberi police line setelah 13 hari usai kejadian pembunuhan Udin berlalu. Kemudian,
Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid saat itu di Jakarta
menegaskan, oknum ABRI yang terlibat dalam kasus Udin akan ditindak tegas.
Namun, anehnya, usai pernyataan Syarwan Hamid muncul, sekitar pukul 10.30 WIB, police
line di TKP rumah Udin dicopot kembali oleh polisi. Sehingga police line ini yang dipasang hanya
selama 25 jam usai dipasang untuk kepentingan penyidikan.
Kasus kematian Udin yang disebut-sebut menjadi tumbal kepentingan politik dan tentara itu
sampai saat ini tidak pernah terkuak. Carut marut lembaga hukum yang telah dipimpin oleh 16
Kapolda di Yogyakarta tak mampu memecahkan kasus terbunuhnya pekerja pers itu. Bahkan,
lembaga peradilan sampai saat ini tak mampu menjadikan kasus terbunuhnya Udin menjadi terang
benerang.

9. Peristiwa Aceh (1990)


Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari
pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur
politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
Senin, 3 Mei 1999 atau sebelas tahun silam, banyak darah berceceran di sekitar simpang PT
KKA. Jeritan dan tangisan para korban memecah telinga siapa saja yang pernah mendengar. Saat itu,
harga peluru tentara begitu murahnya, karena bisa dihambur-hamburkan dengan sangat mudah.
Setelah itu, puluhan mayat dan ratusan korban tergelatak, ada yang sudah kaku, banyak juga yang
masih bernyawa sambil merintih, yang lainnya berlarian seperti dikejar air tsunami, mencari tempat
yang bisa dijadikan tempat berlindung.
Saat tragedi itu, korban luka-luka tak terhitung. Hanya data yang dikumpulkan oleh Tim
Pencari Fakta (TPF) Aceh Utara menyebutkan 115 orang mengalami luka parah, sementara 40 orang
lainnya meninggal dunia. Dari jumlah itu, ada 6 orang masih sangat kanak-kanak, termasuk Saddam
Husein (7 tahun) menjadi korban kebuasan aparat negara.
Sementara data yang dikeluarkan Koalisi NGO HAM Aceh, menyebutkan sekitar 46
orangmeninggal (dua orang meninggal ketika menjalani perawatan di RSUZA Banda Aceh),
sebanyak 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam insiden tersebut.
Meskipun banyak pihak melupakan peristiwa itu, tidak bagi para korban. Jamaluddin,
misalnya, sampai sekarang masih terkenang dengan tragedi paling kejam dalam hidupnya. Jamal,
kelahiran Sawang, Aceh Utara mengisahkan, bahwa saat peristiwa itu terjadi, dirinya melihat
banyak sekali korban tembakan yang rubuh. Jamal juga mendengar jeritan tangis dari para ibu dan
bapak yang melihat warga tertembak.
Jamal sendiri mengaku, saat tragedi itu, tubuh-tubuh warga yang kena tembakan jatuh
menindihnya. Dengan sisa tenaga yang ada, mayat-mayat diambil dan diletakkan di tempat yang
layak. Jamal mengaku, tak tahu harus berkata apa saat itu. Jamal, sendiri luput dari maut.Jamal
berharap Pemerintah Aceh tidak melupakan peristiwa itu. Kalau memang ini pelanggaran HAM,
pelakunya harus diadili. Karena itulah keadilan bagi korban.
Kronologi peristiwa sebelum kejadian Jumat malam, 30 April 1999, Sekitar jam 20.30 WIB
masyarakat Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, mengadakan rapat akbar untuk memperingati
1 Muharram yang bertepatan dengan 30 April 1999. Oleh pihak keamanan, peringatan 1 Muharram
yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat Islam di manapun di seluruh Propinsi Aceh, disebut
sebagai ceramah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Lalu muncul kabar bahwa seorang anggota TNI dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom
berpangkat Sersan, bernama Adityawarman, hilang saat melakukan penyusupan di tengah kegiatan
ceramah (Keterangan Kapuspen TNI, nama anggotanya yang hilang itu adalah Sersan Kepala Edi,
dari Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh Utara). Tidak jelas apakah anggota TNI itu benar hilang
atau terjadi berbagai kemungkinan lainnya, tetapi yang pasti tidak satupun dari penduduk yang
mengetahui keberadaannya. Dan yang pasti lagi, malam itu tidak terjadi apa-apa yang berarti di
Desa Cot Murong. Sabtu malam, 1 Mei 1999 Sebuah truk militer dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo
Rungkom berputar-putar dikawasan Desa Cot Murong dengan aktivitas yang tidak jelas, tetapi hari
itu tidak terjadi apa-apa.
Minggu pagi, 2 Mei 1999 Mulai pukul 05.00 WIB pasukan Den Rudal 001/Pulo Rungkom
mulai melakukan operasi di kawasan Desa Cot Murong. Pada minggu pagi itu masyarakat sedang
melakukan persiapan pelaksanaan kenduri memberi makan untuk anak-anak yatim sehubungan
dengan pringatan 1 Muharram yang dilaksanakan sejak Jumat malam sebelumnya. Masyarakat
memotong 4 ekor lembu di halaman Masjid Al-Abror, Cot Murong.
Pada saaat itulah, sekitar jam 11.00 WIB datang pasukan Den Rudal ke tempat kenduri dan
dengan dalih menanyakan anggotanya yang hilang sehari sebelumnya mulai memuli warga setempat.
Dilaporkan, waktu itu ada tidak kurang 20 orang yang dianiaya oleh anggota TNI tersebut. Praktek
kekerasan dan penganiayaan dengan bertindak kasar, menampar dan memukuli hingga cedera, telah
terjadi. Ketika sedang melancarkan aksinya, penduduk sempat mencatat kata-kata yang dikeluarkan
para anggota TNI yaitu "AKAN KAMI TEMBAK SEMUA ORANG ACEH APABILA SEORANG
ANGGOTA KAMI TIDAK DITEMUKAN". Menyadari kondisi yang mulai mencemaskan tersebut
kemudian para warga dari Desa Murong dan desa-desa tentangga seperti Desa Lancang Barat,
Kecamatan Nisam dan Paloh Lada, yang terdiri dari pemuda, wanita, orang tua serta anak-anak
berkumpul untuk mencegah kemungkinan penganiayaan lebih lanjut, apalagi aparat militer telah
mengeluarkan ancaman yang cukup menakutkan.
Tiba-tiba, pada pukul 13.00 WIB datang lagi pasukan tambahan yang terdiri dari 7 truk
anggota TNI ke lokasi kenduri. Melihat itu, masyarakat yang telah berkumpul dari berbagai penjuru
Kecamatan mencoba menghadang.
Tepat pukul 14.00 WIB terjadi negosiasi (membuat perjanjian) antara masyarakat
Kecamatan Dewantara dengan Danramil Kecamatan Dewantara yang diketahui pihak MUI
Kecamatan, yang isinya: "TNI tidak akan datang lagi ke Desa Cot Murong dengan alasan apapun".
Saat Kejadian Minggu malam, 2 Mei 1999. Masyarakat desa mengetahui adanya penyusupan
anggota TNI antara jam 20.00 WIB sampai dinihari ke Desa Cot Murong dan Desa Lancang Barat.
Bahkan penduduk pun mengetahui adanya sebuah boat yang diperkirakan milik militer berupaya
untuk melakukan pendaratan di pantai Desa Cot Murong, namun batal karena terlanjur diketahui
oleh warga setempat. Sampai waktu itu tidak terjadi apa-apa, namun kecemasan penduduk semakin
memuncak, dan sejak saat itu mereka semua mulai berkumpul sampai Senin pagi.
Senin pagi, 3 mei 1999. Tepat pada pukul 09.00 WIB, 4 truk pasukan TNI datang lagi
memasuki Desa Lancang Barat, desa tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul merasa
cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang (tanpa senjata api). Lalu datang
Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang KKA dan mulai melakukan negosiasi dengan
aparat TNI. Aparat berkeras dan negosiasi mentok. Camat tetap berpegang kepada perjanjian
terdahulu yang telah disepakati oleh masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI
tidak lagi melakukan kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu beralangsung cukup lama.
Waktu sudaah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB. Untuk menunjukkan kesungguhan hati dan
permohonan yang sangat besar agar pasukan segera ditarik dan pihak TNI menghormati perjanjian
yang telah dibuat, Camat Marzuki Amin sempat mencopot tanda jabatan dari dadanya. Tetapi malah
sang Camat kemudian dipukuli oleh tentara. Pada saat itu tiba-tiba satu truk milik TNI bergerak dan
sambil berlalu, dari atas truk para tentara melempari batu ke arah masyarakat, dan masyarakat yang
terpancing balas melempari batu ke atas truk. Pada saat yang hampir bersamaan juga seorang
anggota tentara berlari kearah semak-semak dan masyarakat yang terpancing mengejarnya. Tiba-tiba
dari arah semak itu terdengar satu letusan senjata. Letusan senjata itulah yang seperti sebuah
"komando" disusul oleh rentetan serangan. Pembantaian segera dimulai. Tepat jam 12.30 WIB.
Saat Kejadian. Pukul 12.30 WIB, Suara gemuruh dan teriakan manusia memenuhi Simpang
KKA. Ribuan orang berlarian menghindari serangan dari TNI. Dua wartawan RCTI (Umar HN dan
Said Kaban) yang kebetulan sudah berada di tempat itu sempat merekam moment-moment penting
yang terjadi baik dengan foto atau video. Dapat dikatakan, hasil rekamannya itu menjadi salah-satu
bukti yang paling akurat dan tidak mungkin dapat dipungkiri tentang bagaimana peristiwa yang
sebenarnya.

Tembakan yang dilakukan tanpa peringatan terlebih dahulu dan dengan posisi siap tempur.
Tentara yang dibagian depan jongkok dan yang berada pada barisan belakang berdiri. Selain itu,
tentara yang berada di atas truk juga terus melakukan tembakan sambil melakukan gerakan-gerakan
tempur. Saat itu penduduk yang tidak lagi sempat lari melakukan tiarap tapi terus diberondong.
Selain melakukan tembakan kearah masa, TNI juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah
penduduk, sehingga banyak warga yang sedang di dalam rumah juga menjadi korban. Bahkan
mereka mengejar dan memasuki rumah-rumah penduduk dan melakukan pembantaian di sana.
Ketika melakukan tembakan para anggota tentara itu juga berteriak-teriak. Kalimat yang
paling sering diucapkan adalah "Akan kubunuh semua orang Aceh". Dalam aksi pembantaian
tersebut, 45 jiwa Tewas di tempat, 156 lainnya Luka-luka kebanyakan karena luka tembak, dan 10
diantaranya Hilang sampai saat ini tidak tahu keberadaannya. Banyak penduduk yang sudah
tertembak dan tidak bisa lari lagi masih terus diberondong oleh tentara dari belakang. Mereka benar
-benar melakukan pembantaian seperti sebuah pesta.

10. Peristiwa Semanggi (1998)


Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan
dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal
dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia,
yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II
terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang
lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka - luka.

Tanggal 11 November 1998 siang, gerakan mahasiswa dan massa berbagai poros menumpuk
di Semanggi sehingga berjumlah puluhan ribu. Didalamnya termasuk para provokator dan LSM
koalisi Nasional. Pukul 15.15 WIB suasana makin memanas, massa mulai melempari petugas PHH
dengan batu, kayu dan botol berisi air seni. Pukul 16.10 WIB massa semakin brutal sehingga
petugas terpaksa menggunakan kendaraan pemadam kebakaran untuk menyemprotkan air ke arah
massa. Massa berhasil dipaksa mundur.Pada bagian lain, massa yang bergerak secara brutal,
memaksa pasukan PHH melepaskan tembakan gas air mata dan tembakan peringatan dengan peluru
hampa untuk membubarkan pengunjuk rasa.Semakin lama insiden semakin meningkat keras,
bahkan massa kerap kali melempari petugas dengan batu, botol dan bom molotov yang dapat
mengancam jiwa pasukan PHH. Kejadian terus berlangsung hingga pukul 24.00 WIB dan
menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak.Menhankam/Pangab sangat menyesalkan
terjadinya bentrokan ini dan selanjutnya memerintahkan Komandan Puspom untuk melakukan
pengusutan terhadap beberapa prajurit ABRI yang diduga terlibat dalam bentrok kekerasan dengan
mahasiswa yang melakukan unjuk rasa di Semanggi. Akibat kerusuhan telah menimbulkan korban
meninggal dunia 5 orang mahasiswa dan 3 orang warga masyarakat serta 226 orang luka-luka.

11. Video penganiayaan yang dilakukan Densus 88 Anti Teror pada 22 Januari 2007
Video penganiayaan yang dilakukan Densus 88 Anti Teroryang diduga terjadi pada 22
Januari 2007 di Tanah Runtuh, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah itu kini beredar luas di dunia
maya lewat YouTube. Komnas HAM meyakini penganiayaan terhadap terduga teroris itu bukanlah
rekayasa. Komnas HAM menyimpulkan, Densus 88 telah melakukan pelanggaran serius atas
kekerasan yang terjadi tersebut.
Polisi berhasil menyita sekitar 200 senjata api jenis M16 dan MK3 dari para warga yang
diduga berasal dari Pilipina. Satgas Polri juga menangkap sekitar 60 warga yang diduga sebagai
pelaku kekerasan, seorang di antaranya adalah Wiwin alias Rahman Kalahe.
Wiwin ditangkap karena diduga sebagai pelaku kekerasan terhadap siswi pada Oktober 2005.
Akhirnya dia divonis 10 tahun penjara dan sekarang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Palu.
Video penangkapan terhadap Wiwin itulah yang kemudian menyebar di Youtube. Video
yang berdurasi sekitar 13.55 menit tersebut berisi tindakan penganiayaan oleh polisi. Di dalam video
tergambar jelas puluhan polisi berpakaian seragam. Sebagian di antara mereka mirip seragam
Densus 88, serba hitam. Ada juga polisi berseragam Brigade Mobil. Mereka menenteng senjata laras
panjang.
Pada menit awal terlihat tiga warga dengan tangan terikat, berbaring di tengah tanah lapang
sambil bertelanjang dada. Seorang di antara mereka bernama Tugiran. Menit berikutnya, terlihat
seorang warga dengan tangan terborgol berjalan menuju tanah lapang seorang diri, belakangan
diketahui bernama Wiwin. Terdengar suara teriakan petugas kepada dia agar membuka celana.
Sambil berjongkok dia membuka celana. Gambar berikutnya, Wiwin sudah berdiri sambil berjalan,
namun tiba-tiba tersungkur. Dia terkena tembakan di dada tembus ke punggung. Dalam kondisi
tertembak, dia dipaksa berjalan menuju ke tanah lapang.
Meski Wiwin bersimbah darah, polisi tetap saja menginterogasi dia tanpa berusaha untuk
menolong. Bahkan ada di antara polisi yang justru mengingatkan Wiwin bahwa sebentar lagi akan
mati. "Win istigfar, kamu sudah mau mati," kata seorang polisi kepada Wiwin. Tim Bareskrim,
Propam dan Inspektur Pengawasan Umum, sedang menelusuri pelaku kekerasan di dalam video
tersebut. "Kami akan melakukan pendalaman lebih lanjut apa ada kaitan dengan kesalahan prosedur
dalam penanganan kasus tersebut waktu itu," Tokoh agama dan Komisioner Komnas HAM, Siane
Indriani, menegaskan video tersebut menjadi bukti indikasi pelanggaran HAM berat oleh personel
polisi. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahkan mendesak Densus 88 agar
dibubarkan

12. Peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jejak pendapat (1999)


Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di timor
timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
Indonesia - Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.

Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang


terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi
aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk
membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan
Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan
pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi
kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin
manambah kecaman dari dari masyarakat internasional,
Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor Timur.
Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan
negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur.
Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis
menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak
pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari
Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan
bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor
Timur. keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan
pemerintahan Habibie sendiri.
Dalam kasus pembantaian yang terjadi di kota Dili,melibatkan 3 kelompok yang pro integrasi.
Kelompok-kelompok tersebut antara lain, kelompok Aitarak, Pasukan Pejuang Integrasi, dan
Pasukan TNI. Latar belakang dari pembantaian tersebut, adalah kerena ketidak setujuan terhadap
kelompok yang pro atau yang menginginkan Timor-Timur lepas dari negara Indonesia, sehingga
menjadi negara yang merdeka. Spesifikasi dari kesalahan Eurico adalah bahwa ia tidak melakukan
pencegahan ketika salah seorang anggota kelompok itu berpidato dalam sebuah apel akbar
peresmian PAM swakarsa, yang isinya:
- Semua Pimpinan CNRT harus dihabiskan ;
- Bunuh para Pemimpin CNRT ;
- Orang-orang Pro Kemerdekaan harus dibunuh ;
- Bunuh Manuel Viegas Carrascalao ;
- Keluarga Carrascalao harus dibunuh ;
- Bunuh Leandro Isaac, David Dias Ximenes, Manuel Ciegas Carrascalao ;
- Bunuh keluarga Manuel Viegas Carrascalao ;
13. Kasus Ambon (1999)
Peristiwa yang terjadi di Ambon ni berawal dari masalah sepele yang merambat kemasalah
SARA, sehingga dinamakan perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan
yang memakan banyak korban.

Tragedi berdarah di Ambon dan sekitarnya bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Menurut Majelis
Ulama Indonesia (MUI), sebelum peristiwa Iedul Fithri 1419H berdarah, tercatat beberapa peristiwa
penting yang dianggap sebagai pra-kondisi, bahkan jauh ke belakang pada tahun 1995. Beberapa
peristiwa itu (sebagian) adalah sebagai berikut.
15 Juni 1995: Desa berpenduduk Islam, Kelang Asaude (Pulau Manipa), diserang warga
Kristen Desa Tomalahu Timur, pada waktu Shubuh. Penyerangan dikoordinasikan oleh empat orang
yang nama-namanya dicatat oleh MUI.
21 Pebruari 1996 (Hari Raya Iedul Fithri) : Desa Kelang Asaude diserang lagi. Serangan
dilakukan oleh warga Tomahalu Timur dengan menggunakan batu dan panah. Tiga hari sebelumnya,
serombongan orang yang dipimpin oleh sersan (namanya tercatat) datang ke Desa Asaude,
menangkap raja (kepala desa) berikut istri dan anak-anaknya. Mereka menggeledah isi rumah dan
menginjak-injak peralatan keagamaan.
18 Nopember 1998: Korem 174 Pattimura didemo. Sejumlah besar mahasiswa Unpatti
(Universitas Pattimura) dan UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku), yang dimotori oleh
organisasi pemuda dan mahasiswanya menghujat Danrem Kolonel Hikayat. Demonstrasi
berlangsung dua hari. Mereka membakar beberapa mobil keamanan, melukai tukang becak, dan
merusak serta melempari kaca kantor PLN Cabang Ambon. Jatuh korban luka-luka, baik di pihak
mahasiswa maupun kalangan ABRI.
Beberapa bulan sebelumnya, berlangsung desas-desus dan teror. Isu pengusiran orang-orang
Bugis-Buton-Makassar (BBM) sudah beredar di tengah masyarakat yang membuat gelisah banyak
orang. Mereka kurang bisa membedakan suku Bugis dan Makassar. Kedua suku ini sebenarnya
adalah satu. Orang-orang Muslim suku lain (non-Maluku) juga diisukan untuk diusir. Produksi
pesanan senjata tajam ditengarai sangat tinggi. Pesanan dilakukan oleh kelompok tertentu.
Isu pengusiran BBM memang berbau SARA, terutama yang menangkut suku dan agama. Entah
bagaimana awalnya dari dalam Gereja. yang tepat, isu BBM bertiup dengan kencang dari kalangan
Kristen, bahkan kabarnya disuarakan oleh Gereja.
Menjelang akhir Nopember 1998: Sekitar 200 preman Ambon dari Jakarta, yang bekerja
sebagai penjaga keamanan tempat judi pulang kampung. Merekalah yang memulai bentrok dengan
penduduk Ketapang (Jakarta). Karena umat Islam Jakarta marah, mereka dikepung. Beberapa
darinya tewas. Sejumlah besar yang lain diminta masyarakat agar dievakuasi oleh aparat keamanan.
Sebagian dari mereka - sekitar 200 orang - inilah yang pulang ke Ambon.
Beberapa 'Test Case' Sebelum Iedul Fithri Berdarah
Setidaknya, ada tiga peristiwa penting yang dapat dianggap sebagai bagian dari tragedi Iedul
Fithri berdarah 1999. Ketiga peristiwa itu adalah peristiwa Wailete tanggal 13 Desember 1998,
peristiwa Air Bak 27 Desember 1998, dan peristiwa Dobo 14 dan 19 Januari 1999.
Peristiwa-perista di atas adalah sebuah 'test case' yang dinilai berhasil mendeteksi keberanian,
persatuan dan kesatuan serta kesiapan Ummat Islam se-Ambon untuk berperang. Kesabaran Ummat
Islam yang tengah menyongsong bulan Ramadhan itu dianggap suatu kelemahan terutama penilaian
terhadap suku Bugis-Buton-Makassar yang kurang kompak. Atas dasar penilaian demikian itu
tampaknya dijadikan peluang untuk mengobarkan Tragedi Iedul Fithri Berdarah. Hal ini terbukti
dengan tiba-tiba didatangkan ratusan preman dari Jakarta, eks-konflik Jalan Ketapang, Jakarta
sebagai pelaku di lapangan.

14. Kasus Poso (1998 – 2000)


Telah terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang diakhiri dengan
bentuknya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso. Kaum
terpelajar asal Poso dan Morowali yang berdiam di Sulawesi Tengah dan Jawa, khususnya yang
menjadi anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), dikejutkan oleh surat pimpinan gereja
mereka ke Komisi I DPR-RI. Melalui surat bernomor MS GKST No. 79/X/2003, tertanggal 28
Oktober 2003, Pjs. MS GKST, pimpinan gereja terbesar di Sulawesi Tengah itu mengusulkan
penetapan darurat sipil di wilayah Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali. Surat itu
ditandatangani oleh Ketua I Majelis Sinode GKST, Pendeta Arnold R. Tobondo dan Sekretaris I
Majelis Sinode, Lies Sigilipu-Saino.
Dari balik bukit yang melingkari sebagian kota Poso, ayam-ayam hutan mulai berkokok
merdu dan lantang membangunkan warga muslim di sekitar nya untuk berwudhu dan menyembah
Tuhan diwaktu subuh. Bersamaan dengan itu terdengar dentingan-dentingan hingar binger suara
tiang-tiang listrik yang sengaja diketuk bertubi-tubi sebagai isyarat bahwa barisan sang angkara
murka telah memasuki pintu gerbang kota Poso.
Warga muslim yang masih gelagapan dari lelap dikala itu merasa sangat bingung,
dikarenakan ibadah tempur dan ibadah sholat dating pada waktu yang bersamaan. Beberapa saat
muslim – muslim itu masih dalam kebimbangan untuk memilih apa yang harus didahulukan antara
berjihad atau sholat subuh, disebabkan kedua masalah itu merupakan ibadah wajib. Momentum
tersebutlah yang dimanfaatkan pasukan ninja yang dipimpin oleh seorang residivis bernama
Kornelis Tibo melancarkan aksi biadab mereka.
Hasil evaluasi akhir tahun yang dilakukan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) sebuah LSM
ternama di Sulwesi Tengah mengungkapkan jumlah korban tewas dan cedera akibat rentetan aksi
kekerasan di daerah bekas konflik Poso sepanjang tahun 2005 meningkat tajam dibanding dua tahun
sebelumnya. Sumber : Harian sore Mercusuar Palu
Dari sedikitnya 27 kasus tindak kekerasan yang terjadi sepanjang 2005 yaitu berupa
penembakan 10 kasus, pembunuhan 4 kasus dan pengeboman 12 kasus, mengakibatkan korban
meninggal dunia mencapai 31 orang dan luka-luka sebanyak 108 orang.
Arianto Sangaji, direktur YTM, kepada wartawan, Rabu (28/12), mengatakan korban
manusia terbanyak terjadi ketika dua bom berkekuatan dashyat mengguncang Tentena (kota kecil di
tepian Danau Poso) pada 28 Mei 2005 yang mengakibatkan 23 orang tewas dan 97 lainnya cedera.
Disusul pembunuhan dengan cara mutilasi di kota Poso 29 Oktober lalu yang menewaskan tiga
siswi SMA setempat dan mencederai seorang lainnya. Ia menjelaskan, jumlah kasus tindakan
kekerasan di wilayah Poso tahun 2005 itu beserta akibat yang ditimbulkannya jauh meningkat
dibanding keadaan dua tahun sebelumnya.

15. Kasus Dayak dan Madura (2000)


Terjadi bentrokan antara suku dayak dan madura (pertikaian etnis) yang juga memakan
banyak korban dari kedua belah pihak.

18 Februari warga Madura mula menguasai Sampit. Dengan mengacung-acungkan senjata,


puluhan warga Madura pawai keliling kota. Mereka menggunakan berbagai kendaraan, mulai roda
dua sampai roda empat. Mereka tak hanya berpawai. Setiap bertemu warga Dayak, mereka mengejar
dan membunuhnya. Sedikitnya, sepuluh rumah dibakar.Tujuh orang tewas saat warga Madura
menguasai Sampit. Bahkan, seorang ibu muda hamil tujuh bulan ikut dibunuh dengan dirobek
perutnya. “Itu fakta,” kata Bambang Sakti, tokoh muda Dayak asal Sungai Samba. Situasi itu
membuat Sampit Minggu malam mencekam. Listrik padam total. Pembakaran di perkampungan
warga di Jalan Baamang berlangsung sporadis. Pengungsi mulai membanjiri gedung pertemuan di
depan rumah jabatan bupati sampit. Tapi, kemudian dialihkan ke kantor bupati. Yang mengungsi
bukan hanya warga Madura. Juga Dayak dan Cina. Mereka berdesak-desakan mengungsi. Ini terjadi
karena mereka belum tahu betul siapa yang menguasai jalanan di Sampit malam itu: Madura atau
Dayak. Di pengungsian, Madura dan Dayak malah rukun. “Saya saat itu ikut mengungsi,’
ujar seorang wartawan lokal. Untuk menghadang orang Dayak keluar-masuk Sampit, warga Madura
melakukan penjagaan di pertigaan Desa Bajarum yang mengarah kota Kecamatan Kota Besi.
Penjagaan juga terjadi di Perenggean, Kecamatan Kuala Kuayan, dan desa-desa pedalaman Hilir
Mentayan. Selama berpawai itu, warga Madura terus berteriak-teriak mencari tokoh Dayak. “Mana
Panglima Burung? Mana tokoh Dayak?” tantang mereka.
Tak hanya itu, seorang tokoh Madura melakukan orasi lewat pengeras suara, “Sampit akan
jadi Sampang kedua, Sampit jadi Sampang Kedua”. Mereka juga memasang spanduk: Selamat
datang orang Dayak di kota Sampang, Serambi Mekkah. “Spanduk itu yang kami cari sekarang,”
kata Bambang Sakti. Bambang juga bilang telah menemukan sejumlah bom di rumah-rumah warga
Madura. “Ini bukan isapan jempol,” tuturnya. Sedikitnya, pasukan Dayak sudah menyerahkan 300
bom yang ditemukan di rumah warga Madura. Begitu juga beberapa pucuk pistol. “Tidak tahu
bagaimana tindak lanjutnya,” jelasnya. Kabarnya, bom-bom itu dirakit di Jawa, lalu dikirimkan ke
Sampit. Tapi, sumber Jawa Pos menyebutkan, bom rakitan dibuat di Sampit. Lalu, didistribusikan ke
berbagai warga Madura di kecamatan. Mereka bilang bom itu untuk mempertahankan diri jika
sewaktu-waktu diserang warga Dayak. Tapi, karena bom itu pula, 112 warga Madura di
Kecamatann Perenggean dibantai di lapangan kecamatan. Ini setelah warga Dayak menemukan bom
di rumah seorang warga Madura
Melihat aksi penguasaan warga pendatang itu, warga Dayak tak tinggal diam. Mereka lantas
membawa bala bantuan pasukan dari Dayak pedalaman. Warga Dayak yang tiba lebih dulu
melakukan perlawanan sporadis. Selasa malam (20 Februari), peta kekuatan mulai berbalik. Warga
Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai (DAS) Mentaya,seperti Seruyan, Ratua
Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito berdatangan ke kota Sampit melalui hilir Sungai
Mentaya dekat pelabuhan. Pasukan Dayak pedalaman yang rata-rata berusia muda tak lebih 25
tahun membekali diri dengan berbagai ilmu kebal. Jumlahnya sekitar sekitar 320 orang. Pasukan itu
lalu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya, pusat permukiman warga Madura. Meski dalam
jumlah kecil, kemampuan bertempur pasukan khusus Dayak sangat teruji. Buktinya, mereka mampu
memukul balik warga Madura yang terkosentrasi di berbagai sudut jalan Sampit. Dengan ilmu kebal,
mereka melawan ribuan warga Madura. Bahkan, mereka sanggup menghadapi bom yang banyak
digunakan warga Madura.
Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak.
Tapi, bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan
warga Madura tewas seketika. Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan
ditembak. Mereka justru memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga keder. Sejak itu,
mental Madura pun langsung down. Strategi yang diterapkan warga Dayak dalam serangan balik
cukup jitu. Selain masuk lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung
merapat ke bibir sungai. Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota
pinggir sungai di tepian kota Sampit. Strategi ini untuk menghindari pengawasan orang Madura.
Lantas, secara tiba-tiba, mereka muncul dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat
kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman terus bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti,
Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan
Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tak luput dari
sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh. Sebagian lari. Sejumlah
becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah yang hancur. Rumah tokoh Madura lain seperti
Haji Satiman dan Haji Ismail juga dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat Nabi yang dikenal
sebagai jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di Sampit, Samuda,
maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan pasukan inti Dayak kemudian diikuti
warga Dayak lain. Mereka mencari rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga
Madura dibunuh secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.
Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum
menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada
pasukannya. Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah
sadar. Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura
dan non-Madura. “Dari jarak sekitar 200 meter, baunya sudah tercium,” ujar Itu tak berlebihan. Saat
ada evakuasi, di tengah jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non Madura.
Sebelum masuk ke loksi penampungan, mereka kena sweeping Dayak. Meski orang itu ada di
tengah pengungsi, masih juga tercium dan disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai. Agar
serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando warga Dayak menggunakan Hotel
Rama sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu
kekebalan oleh para panglima. Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala manusia. Tapi,
para tokohnya sempat meloloskan diri. Kini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police
line. Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke berbagai kota Kecamatan
Kotawaringin Timur. Sasaran pertama, Samuda, ibu kota Kecamatann Mentaya Hilir Selatan, dan
Parebok yang banyak dihuni warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit
karena banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes Libasu Taqwa.
Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat berlindung banyak warga Madura.
Warga Madura di kecamatan lain pun tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan
korban jatuh dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh
wilayah Kalimantan Tengah. Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman karena hampir tak ada warga
Madura yang tingga di semua kota kecamatan. Penghuninya, saat itu, banyak yang lari
menyelamatkan diri ke hutan, baik Palangkaraya, Sampit, maupun Samuda.
16. Kasus TKI di Malaysia (2002)
Terjadi peristiwa penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia dari persoalan
penganiayaan oleh majikan sampai gaji yang tidak dibayar.
17. Peristiwa Talangsari (1989)

Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan
aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen
Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).
Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989.Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh
bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-
kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin
komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.Nurhidayat,
dalam catatan, pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia)
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok
sendiri di Jakarta.
Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan yang
kemudian terkenal dengan peristiwa Talangsari,Lampung .Gerakan di Talangsari itu, tercium oleh
aparat keamanan. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah
Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara)
merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Namun kedatangan Kapten
Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Kapten Soetiman pun tewas dan
dikuburkan di Talangsari.Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043
Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok
Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, terjadilah penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat
yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari yang selama ini
memendam antipati kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan dari kedua belah
pihak, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap,
namun yang sampai ke pengadilan 23 orang.
18. Pembantaian di Indonesia 1965–1966

Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang


yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di
Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang
dipenjara dalam peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa
transisi ke Orde Baru: Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan
jatuhnya presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto.Kudeta yang
gagal menimbulkan kebencian terhadap komunis karena kesalahan dituduhkan kepada PKI.
Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik, sosial, dan militer, dan PKI dinyatakan sebagai
partai terlarang. Pembantaian dimulai pada Oktober 1965 dan memuncak selama sisa tahun sebelum
akhirnya mereda pada awal tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu kota Jakarta, yang kemudian
menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuanvigilante (orang yang menegakkan hukum
dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang
dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun
pembantaian terburuk terjadi di basis-basis PKI di Jawa Tengah, Timur,Bali, dan Sumatera Utara.
Usaha Soekarno yang ingin menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme melalui
Nasakom telah usai. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dilenyapkan oleh dua pilar
lainnya-militer dan Islam politis;[1][2] dan militer berada pada jalan menuju kekuasaan. Pada Maret
1967, Soekarno dicopot dari kekuasaannya oleh Parlemen Sementara, dan Soeharto menjadi
Presiden Sementara. Pada Maret 1968 Soeharto secara resmi terpilih menjadi presiden.Pembantaian
ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit
perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional. Penjelasan memuaskan untuk
kekejamannya telah menarik perhatian para ahli dari berbagai prespektif ideologis. Kemungkinan
adanya pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan
kontrol ketat terhadap sistem politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari
masa kepresidenan Soeharto. DiBarat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai
kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.
19. Wasior-Wamena

Pelanggaran HAM di Wasior berawal dari konflik antara masyarakat yang menuntut ganti
rugi atas hak ulayat yang dirampas perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan. Dalam aksi
masyarakat pada akhir bulan Maret 2001 tiba-tiba saja “kelompok tidak dikenal bersenjata”
menembak mati 3 orang karyawan PT. DMP. Pasca penembakan, Polda Papua dengan dukungan
Kodam XVII Trikora melakukan“Operasi Tuntas Matoa.”
Operasi ini menyebabkan korban masyarakat sipil. Berdasar laporan KOMNAS HAM telah
terjadi indikasi kejahatan HAM dalam bentuk: 1. Pembunuhan (4 kasus); 2. Penyiksaan (39 kasus)
termasuk yang menimbulkan kematian (dead in custody); 3. Pemerkosaan (1 kasus); dan 5.
Penghilangan secara paksa (5 kasus); 6. Berdasarkan investigasi PBHI, terjadi pengungsian secara
paksa, yang menimbulkan kematian dan penyakit; serta 7. Kehilangan dan pengrusakan harta
milik.Namun Kejaksaaan Agung mengembalikan berkas yang dihimpun KOMNAS HAM dengan
alasan belum melengkapi dan memenuhi beberapa syarat formil dan materiil. Pada 29 Desember
2004, berkas tersebut dikembalikan lagi oleh Komnas HAM tanpa memperdulikan alasan dari
Kejagung dengan alasan wewenang Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan sudah sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sudah sembilan tahun, berkas Komnas HAM tentang indikasi kejahatan kemanusiaan atas
Kasus Wasior-Wamena yang dilakukan aparat negara tidak pernah mengalami kemajuan.
Komitmen Presiden Soesilo Bambang Yudoyono untuk membangun komunikasi konstruktif untuk
solusi damai Papua tidak akan mengalami kemajuan, bila rekomendasi Komnas HAM tentang
kejahatan HAM tidak pernah ditindaklanjuti.
20. Pelanggaran HAM berat di Provinsi Maluku

Maluku berdarah atau Ambon berdarah, adalah sebutan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi
di salah satu propinsi di wilayah timur Indonesia. Dimana pada saat itu terjadi kerusuhan yang
dilakukan oleh suku agama satu kepada suku dan agama lainnya tepat sebelum perayaan Hari Raya
Idul Fitri 1419H. Serangan itu telah banyak mengakibatkan banyak jatuh korban dan hak asasi
mereka ternodai. Tercatat lebih kurang sekitar 8 ribu orang meninggal dunia termasuk penduduk tak
berdosa menjadi korbannya, hampir 4 ribu orang mengalami luka berat, ribuan pemukiman warga,
kantor, pasar, sekolah, dan fasilitas umum lainnya dihancurkan. Akibat kejadian tersebut sekitar 692
ribu jiwa mengungsi ke tempat yang aman untuk menghindari serangan mendadak dari pertikaian itu.

Kronologi Terjadinya Konflik Maluku


1999 Januari Perkelahian jalanan yang kecil meningkat menjadi kerusuhan di
kota Ambon dan sekitarnya.
Maret Kekerasan massal menyebar ke pulau lain di Maluku.
Mei Kampanye pemilihan umum dimulai dan kekerasan berkurang.
Juni Pemilihan umum.
Juli Kekerasan massal dimulai lagi di kota Ambon.
Oktober Provinsi Maluku Utara dipisah dari Provinsi Maluku.
Desember Konflik meningkat setelah gereja Silo dibakar dan pembantaian
terjadi di desa Muslim Tobel.
2000 Mei Laskar Jihad tiba di Ambon.
Juni Pembantaian di Galela dekat Tobelo di Maluku Utara.
Senjata polisi dicuri dan disebarkan ke masyarakat sipil.
Darurat sipil diberlakukan di Maluku dan Maluku Utara dan
ribuan tentara dikerahkan.
Desember Front Kedaulatan Maluku (FKM) menyatakan kemerdekaan
Republik Maluku Selatan (RMS).
2001 Januari Batalyon Gabungan (Yongab) melakukan “operasi pembersihan”
dengan target kelompok garis keras Muslim.
Juni Yongab melakukan “operasi pembersihan” lainnya.
2002 Pebruari Perjanjian Damai Malino (Malino II) ditandatangani.
April Kantor pemerintahan provinsi Maluku dibakar.
Desa Soya diserang, setelah itu kekerasan mulai berkurang di
Maluku.
Mei Pemimpin Laskar Jihad, Ja’far Umar Talib dan FKM, Alex
Manuputti ditangkap.
Oktober Laskar Jihad hilang dari Maluku.
2003 Mei Darurat sipil dicabut dari provinsi Maluku Utara.
September Darurat sipil dicabut dari provinsi Maluku.
2004 April FKM mengibarkan bendera RMS, memicu kerusuhan di kota
Ambon yang menewaskan 40 orang.
Juni Pemilihan umum.
21. Pelanggaran HAM berat antar suku di Sambas, Kalimantan Barat
Tampaknya agama dan suku sering menjadi pemicu meletusnya konflik dan kerusuhan di
Indonesia. Tak peduli dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu kita orang
Indonesia. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pun tak melekat dalam hati. Dan inilah yang
terjadi di Sambas, Kalimantan Barat. Dimana telah terjadi kerusuhan besar antar suku yang
menyebabkan banyaknya jatuh korban jiwa di Sambas (1970-1999). Sekali lagi HAM telah dinodai.
Kerusuhan Sambas merupakan peristiwa pecahnya pertikaian antar etnis pribumi dengan pendatang,
yakni suku Dayak dengan Madura yang mencapai klimaks pada tahun 1999. Akibat pertikaian
tersebut, data menyebutkan terdapat 489 orang tewas, 202 orang mengalami luka berat dan ringan,
3.833 pemukiman warga diobrak-abrik dan dimusnahkan, 21 kendaraan dirusak, 10 rumah ibadah
dan sekolah dirusak, dan 29.823 warga Madura mengungsi ke daerah yang lebih aman.
Pada tanggal 17 Januari 1999 pukul 01.30 WIB telah ditangkap dan dianiaya pelaku
pencurian ayam warga suku Madura oleh warga suku Melayu.
Pada tanggal 19 Januari 1999 sekitar 200 orang suku madura dari suatu desa menyerang
warga suku Melayu desa lainnya.
Hari berikutnya terjadi perkelahian antara warga suku Madura dan warga suku Melayu
karena tidak membayar ongkos angkot. Kejadian ini berkembang menjadi perkelahian antara
kelompok dan antara desa yang disertai pembakaran, pengrusakan dan tindak kekerasan lainnya.
Warga suku Melayu dibantu suku Dayak melakukan penyerangan, pembakaran, pengrusakan,
penganiayaan dan pembunuhan terhadap warga suku Madura dan selanjutnya saling membalas.
Peristiwa berkembang dengan terjadinya pengungsian warga Madura dalam jumlah cukup
besar menuju Singkawang dan Pontianak.
22. Pelanggaran HAM berat pada peristiwa G30S

Seperti yang banyak diceritakan pada pelajaran sejarah, peritiwa G30S PKI adalah peristiwa
dimana beberapa jenderal dan perwira TNI menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan secara
sadis pada malam 30 september sampai 1 oktober tahun 1965. Dalam catatan sejarah, pelaku dari
peritiwa G 30 S PKI adalah para anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Ketika itu para jenderal
dan perwira TNI dibunuh dan disiksa secara sadis, kecuali AH. Nasution saja yang berhasil
meloloskan diri, tetapi naas yang menjadi korban adalah seorang anak yang tak lain adalah putrinya
sendiri. Nama anak AH Nasution yang tertembak saat peristiwa G30S PKI adalah Ade Irma Suryani
Nasution termasuk sang ajudan bernama Lettu Pierre Tendean.
Tanggal 1 Oktober 1965 Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober
1965 sore hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat direbut kembali tanpa
pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan
Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30
S/PKI berada di sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.
Tanggal 2 Oktober 1965 Pada tanggal 2 Oktober, Halim Perdana Kusuma diserang oleh
satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto.
Pada pikul 12.00 siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
Tanggal 3 Oktober 1965 Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang
dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha
pencarian perwira TNI – AD dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi
tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI –
AD tersebut dibawah ke Lubang Buaya. Karena daerah terebut diselidiki secara intensif, akhirnya
pada tanggal 3 Oktober 1965 titemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh tersebut..
Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris tengah ¾ meter dengan
kedalaman kira – kira 12 meter, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.
Tanggal 4 Oktober 1965 Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya
dilanjutkan kembali (karena ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan
hari) yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO – AL dengan disaksikan pimpinan sementara
TNI – AD Mayjen Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut
terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi
bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
Tanggal 5 Oktober 1965 Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI – AD tersebut
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas
Besar Angkatan Darat.
Pada tanggal 6 Oktober, dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang
Kabinet Dwikora, para perwira TNI – AD tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi.
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI adalah sebuah kejadian yang
terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta
beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha
kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
23. Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Oknum TNI

Contoh pelanggaran Ham berat di Indonesia yang pertama dilakukan oleh oknum TNI.
Sebagaimana yang kita ketahui TNI atau Tentara Republik Indonesia sejatinya bertugas untuk
menjaga keutuhan negara dari serangan pihak luar yang mencoba merusak dan menghancurkan
keutuhan negara, tetapi pada masa kekuasaan Presiden Soeharto,TNI beralih fungsi sebagai alat
untuk memperkuat kekuasaan. Banyak kasus tindakan kriminal, penculikan dan pembunuhan
kepada orang-orang yang menentang pemerintah.
3 Juni 2011 sekitar pukul 23.00 WIB, 11 anggota TNI berpakaian bebas mendatangi Cafe
Holand. Salah satu anggota TNI kemudian memesan minuman dengan budget Rp 1,5 juta.
Setelah menghabiskan 11 botol minuman, beberapa anggota TNItersebut kemudian turun ke arena
dansa. Adu mulut bermula ketika salah satu anggota TNI ditegur oleh korban karena merokok di
arena dansa. Merasa tak menerima, anggota TNI itu melakukan pemukulan terhadap korban.
4 Juni 2011 sekitar pukul 00.30 WIB, keributan di dalam kafe masih berlangsung. Kemudian
korban keluar kafe untuk mengadukan bahwa dirinya sedang dianiaya kepada kakaknya yang
bernama Yuli Edi Tomson, yang saat itu berada di warung sebelah kafe.
Edi lantas masuk ke dalam kafe, berupaya menahan puluhan anggota TNI tersebut keluar untuk
mencari korban. Perang mulut kembali terjadi. Korban sempat mempertanyakan tindakan
anggota TNI tersebut. Namun, salah satu anggota TNI bernama Chandra Sakti, mengeluarkan
sangkur (pisau) lalu menusukannya ke arah jantung korban. Setelah itu, anggota TNI tersebut
membuang pisaunya dan menjauh dari lokasi kejadian. Korban sempat meminta tolong kepada
kakaknya yang masih berada di dalam kafe.
4 Juni 2011 sekitar pukul 00.45, setelah mengetahui adiknya ditusuk, Edi bersama rekan
korban bernama Ricardo langsung melarikan korban ke Rumah Sakit Melia, Cimanggis. Namun,
nyawa korban tidak tertolong lagi.
Setelah kejadian penikaman tersebut, pelaku bernama Chandra ditangkap warga di sekitar kafe.
Pelaku langsung diserahkan kepada Polsek Cimanggis beserta barang bukti pisau yang digunakan
untuk menikam korban. Dikatakan Edi, beberapa hari setelah kejadian, dirinya sempat mendatangi
Detasemen Polisi Militer TNI di Cijantung untuk menanyakan kelanjutan laporan pembunuhan
adiknya. Namun, menurut Edi, hingga saat ini dirinya tidak pernah mendapat informasi lebih lanjut
kasus tersebut. "Saya sempat bertemu dengan Letnan Durajak, tapi dia menyuruh saya bertemu
dengan Kapten Nova di Brigif 17. Tapi, ketika saya ke sana, tidak ada tanggapan mengenai kasus ini
dan soal ganti rugi untuk keluarga korban," tutur Edi.
Sementara itu, anggota Subpemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM, Komnas HAM, Jhony
N Simanjuntak, berjanji akan mengupayakan pengusutan kasus pembunuhan tersebut.
Ia menilai, beberapa kasus jika berkaitan penegakan hukum dari satuan militer agak sulit dihadapi
dan selalu berakhir dengan kebuntuan.
24. Tragedi di Jambo Keupok pada 17 Mei 2003
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Komnas
HAM segera melakukan penyelidikan pro justisia terhadap peristiwa tragedi Jambo Keupok,
Kecamatan Kota Bahagia, Aceh Selatan dan mendorong Pemerintah Aceh bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Tragedi Jambo Keupok pada 17 Mei 2003 adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat
yang wilayah Aceh Selatan. Sebanyak 16 orang penduduk sipil tak berdosa mengalami penyiksaan,
penembakan, pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) dan pembakaran serta 5
orang lain turut mengalami kekerasan oleh anggota TNI.Peristiwa ini diawali setelah sebelumnya
ada informasi dari seorang informan (cuak) kepada anggota TNI bahwa pada 2001-2002, Desa
Jambo Keupok termasuk salah satu daerah basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Informasi tersebut
kemudian ditindaklanjuti oleh aparat keamanan dengan melakukan razia dan menyisir kampung-
kampung.
Dalam operasinya, aparat keamanan sering melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk
sipil; seperti penangkapan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan dan perampasan harta
benda. Puncaknya pada 17 Mei 2003, sekitar pukul 7 pagi, sebanyak 3 (tiga) truk reo berisikan
ratusan pasukan berseragam militer.Berbekal topi baja, sepatu lars, membawa senjata laras panjang
dan beberapa pucuk senapan mesin, para tentara mendatangi desa Jambo Keupok dan memaksa
seluruh pemilik rumah keluar. Lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak semua disuruh keluar
dan dikumpulkan di depan rumah seorang warga.
TNI kemudian menginterogasi warga satu per satu, menanyakan keberadaan orang-orang
GAM yang mereka cari. Ketika warga menjawab tidak tahu, pelaku langsung memukul dan
menendang warga. Peristiwa tersebut mengakibatkan 4 warga sipil mati dengan cara disiksa dan
ditembak, 12 warga sipil mati dengan cara disiksa, ditembak, dan dibakar hidup-hidup."Sebanyak 3
rumah warga dibakar, 1 orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 4 orang
perempuan ditendang dan dipopor dengan senjata," kata Haris Azhar, Koordinator Badan Pekerja
Kontras lewat rilis yang dikirim ke merdeka.com, Jumat (17/5).
Peristiwa ini juga membuat warga harus mengungsi selama 44 hari ke sebuah Masjid karena
takut tentara akan kembali datang ke desa Jambo Keupok. Peristiwa itu sudah 10 tahun berlalu,
namun warga Jambo Kepuok tidak memperoleh keadilan dari negara. Bahkan mereka hingga saat
ini masih mengalami trauma. Banyak anak-anak korban yang tidak mampu melanjutkan pendidikan
karena tidak memiliki biaya (berhenti pada SD, SLTP dan SLTA). Sementara, proses hukum
terhadap para pelaku belum juga dilakukan. Oleh sebab itu Kontras mendesak kepada komnas HAM
segera menyelidiki peristiwa ini termasuk memeriksa para pelaku yang terlibat secara akuntabel dan
transparan. Kontras juga mendorong Pemerintah Aceh dan DPRA segera membahas dan
membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang merupakan amanat dari MoU Helsinki
tahun 2005.
Peristiwa ini diawali setelah sebelumnya ada informasi dari seorang informan (cuak) kepada
anggota TNI bahwa pada tahun 2001-2002, Desa Jambo Keupok termasuk salah satu daerah basis
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh aparat keamanan
dengan melakukan razia dan menyisir kampung-kampung yang berada di Kecamatan Bakongan.
Dalam operasinya, aparat keamanan sering melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil;
seperti penangkapan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan dan perampasan harta benda.
Puncaknya adalah ketika pada 17 Mei 2003, sekitar pukul 7 pagi, sebanyak 3 (tiga) truk reo
berisikan ratusan pasukan berseragam militer dengan memakai topi baja, sepatu lars, membawa
senjata laras panjang dan beberapa pucuk senapan mesin mendatangi desa Jambo Keupok dan
memaksa seluruh pemilik rumah untuk keluar. Lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak semua
disuruh keluar dan dikumpukan didepan rumah seorang warga.
Para pelaku yang diduga merupakan anggota TNI Para Komando (PARAKO) dan Satuan Gabungan
Intelijen (SGI) menginterogasi warga satu persatu untuk menanyakan keberadaan orang-orang GAM
yang mereka cari. Ketika warga menjawab tidak tahu, pelaku langsung memukul dan menendang
warga. Peristiwa tersebut mengakibatkan 4 warga sipil mati dengan cara disiksa dan ditembak, 12
warga sipil mati dengan cara disiksa, ditembak, dan dibakar hidup-hidup, 3 rumah warga dibakar, 1
orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 4 orang perempuan ditendang dan
dipopor dengan senjata. Peristiwa ini juga membuat warga harus mengungsi selama 44 hari ke
sebuah Mesjid karena takut anggota TNI akan kembali datang ke desa Jambo Keupok.
10 tahun sudah, warga Jambo Kepuok tidak memperoleh keadilan dari negara. Bahkan mereka
hingga saat ini masih mengalami trauma. Banyak anak-anak korban yang tidak mampu melanjutkan
pendidikan karena tidak memiliki biaya (berhenti pada SD, SLTP dan SLTA). Sementara, proses
hukum terhadap para pelaku belum juga dilakukan.
25. Kasus Bom Bali

Kasus Bom Bali juga menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM terbesar di Indonesia.
Peristiwa ini terjadi pada 12 November 2002, di mana terjadi peledakan bom oleh kelompok teroris
di daerah Legian Kuta, Bali. Total ada 202 orang yang meninggal dunia, baik dari warga lokal
maupun turis asing mancanegara yang sedang berlibur. Akibat peristiwa ini, terjadi kepanikan di
seluruh Indonesia akan bahaya teroris yang terus berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya.
Kronologi Bom Bali 2002
12 Oktober 2002 Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali diguncang bom.
Dua bom meledak pada pukul 23.05 Wita. Lebih dari 200 orang tewas, sedangkan 200 lebih lainnya
luka berat maupun ringan.. Pada pukul 23.15 Wita, bom meledak di Renon, berdekatan dengan
kantor Konsulat Amerika Serikat. Namun tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.
16 Oktober 2002 Pemeriksaan saksi untuk kasus terorisme itu mulai dilakukan. Lebih dari 50
orang telah dimintai keterangan di Polda Bali. Untuk membantu Polri, Tim Forensik Australia ikut
diterjunkan untuk identifikasi jenazah.
20 Oktober 2002 Tim Investigasi yang telah dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan,
bom di Paddy’s Pub berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX
berbobot antara 50-150 kg. Sementara bom di dekat konsulat Amerika Serikat menggunakan jenis
TNT berbobot kecil yakni 0,5 kg.
29 Oktober 2002 saat itu Megawati Soekarno Putri terus mendesak polisi untuk menuntaskan
kasus yang mencoreng nama Indonesia itu. Putri Soekarno itu memberi deadline, kasus harus tuntas
pada November 2002.
30 Oktober 2002Titik terang pelaku bom Bali I mulai muncul. Tiga sketsa wajah tersangka
pengebom itu dipublikasikan.
4 November 2002Polisi mulai menunjukkan prestasinya. Nama dan identitas tersangka telah
dikantongi petugas. Tak Cuma itu, polisi juga mengklaim telah mengetahui persembunyian para
tersangka. Mereka tidak tinggal bersama namun masih di Indonesia.
5 November 2002 Salah satu tersangka kunci ditangkap. Amrozi bin Nurhasyim ditangkap di
rumahnya di di DesaTenggulun, Lamongan, JawaTimur.
6 November 2002 10 Orang yang diduga terkait ditangkap di sejumlah tempat di Pulau Jawa.
Hari itu juga, Amrozi diterbangkan ke Bali dan pukul 20.52 WIB, Amrozy tiba di Bandara Ngurah
Rai.
7 November 2002 Abu Bakar Ba’asyir yang disebut-sebut punya hubungan dengan Amrozi
membantah. Ba’asyir menilai pengakuan Amrozi saat diperiksa di Polda Jatim merupakan rekayasa
pemerintah dan Mabes Polri yang mendapat tekanan dari Amerika Serikat.
8 November 2002 Status Amrozi dinyatakan resmi sebagai tersangka dalam tindak pidana
terorisme.
9 November 2002 Tim forensic menemukan residu bahan-bahan yang identik
denganunsurbahanpeledak di TKP. SementaraJenderalDa’iBachtiar,
Kapolripadasaatitumengatakankesaksian Omar Al-FarouqtentangketerlibatanUstad Abu
BakarBa’asyirdanAmrozidalamkasusbom valid.
10 November 2002 Amrozimembeberkan lima orang yang menjaditimintipeledakan. Ali Imron,
Ali Fauzi, Qomaruddinadalaheksekutor di Sari Club dan Paddy’s. Sementara M
GufrondanMubarokmenjadi orang yang membantumempersiapkanpeledakan. Polisi pun memburu
Muhammad Gufron (kakakAmrozi), Ali Imron (adikAmrozi), dan Ari Fauzi (saudara lain
dariibukandungAmrozi). KakaktiriAmrozi, Tafsir. Tafsirdianggaptahuseluk-belukmobil Mitsubishi
L-300 danmeminjamkanrumahnyauntukdipakaiAmrozisebagaibengkel.
11 November 2002 Tim gabunganmenangkapQomaruddin, petugaskehutanan yang
jugatemandekatAmrozi di DesaTenggulun, Solokuro, Lamongan.
Qomaruddindidugaikutmembantumeracikbahanpeledakuntukdijadikanbom.
17 November 2002 Imam Samudra, IdrisdanDulmatindidugamerupakanperajikbom Bali I.
Bersama Ali Imron, Umar alias Wayan, dan Umar alias Patek,
merekapunditetapkansebagaitersangka.
26 November 2002 Imam Samudra, satulagitersangkabom Bali, ditangkap di dalam bus Kurnia
di kapalPelabuhanMerak. Rupanyadiahendakmelarikandirike Sumatera.
1 Desember 2002 Tim InvestigasiBom Bali I berhasilmengungkap mastermind bom Bali yang
jumlahnyaempat orang, satu di antaranyaanggotaJamaahIslamiah (JI).
3 Desember 2002 Ali Gufron alias Muklas (kakakAmrozi) ditangkap di Klaten, Jawa Tengah.
4 Desember 2002Sejumlahtersangkabom Bali I ditangkap di Klaten, Solo, Jawa Tengah, di
antaranya Ali Imron (adikAmrozi), Rahmat, danHermiyanto. Sejumlahwanita yang
didugaistritersangkajugaditangkap.
16 Desember 2002PolisimenangkapanakAshuri, Atang, yang masihsiswa SMU di Lamongan.
Tim jugaberhasilmenemukan 20 dus yang berisibahankimiajenis potassium kloratseberatsatu ton di
rumahkosongmilikAshuri di DesaBanjarwati, KecamatanPaciran, Lamongan yang
didugamilikAmrozi.
18 Desember 2002 Tim Investigasi GabunganPolri-polisi Australia
membukadanmembeberkanDokumen Solo, sebuahdokumen yang dimiliki Ali Gufron.
Dalamdokumentersebutberisitatacaramembuatsenjata, racun, dan merakitbom.
Dokumenitujugamemuatbuku-bukutentangJamaahIslamiah (JI)
dantopografisuatudaerahsertasejumlahrencanaaksi yang akan dilakukannya.
5 Januari 2003Berkas perkara Amrozi diserahkan kepada Kejaksaan Tinggi Bali.
16 Januari 2003 Ali Imron bersama 14 tersangka yang ditangkap di Samarinda tiba di Bali.
8 Februari 2003 Rekonstruksi bom Bali I
12 Mei 2003Sidang pertama terhadap tersangka Amrozi.
2 Juni 2003 Imam Samudra mulai diadili.
30 Juni 2003 Amrozi dituntut hukuman mati
7 Juli 2003 Amrozi divonis mati
28 Juli 2003 Imam Samudra dituntut hukuman mati.
10 September 2003 Imam Samudra divonis mati.
28 Agustus 2003 Ali Gufron alias Muklas dituntut hukuman mati
2 Oktober 2003 Ali Gufron divonis mati.
30 Januari 2007 PK pertamaAmrozi cs ditolak
30 Januari 2008 PK kedua diajukan dan ditolak
21 Mei 2008 PK ketiga diajukan dan kembali ditolak
21 Oktober 2008 Mahkamah Konstitusi tolak uji materi terhadap UU Nomor
2/Pnps/1964soal tata cara eksekusi mati yang diajukan Amrozi cs.
9 November 2008 Amrozi cs dieksekusi mati di Nusa kambangan.
26. Tragedi Kemanusiaan etnis Tionghoa (1998)

Tragedi Kemanusiaan etnis Tionghoa (13 - 15Mei 1998). Sebelas tahun sudah tragedi (13-15)
Mei 1998 berlalu. Tragedi kemanusiaan ini menyisakan banyak keprihatinan dan tanya bagi banyak
orang, khususnya bagi para keluarga korban yang harus kehilangan keluarga dengan cara paksa,
perempuan yang menjadi korban pemerkosaan dan etnis Tionghoa yang dijadikan korban kekejaman
para pihak yang tidak bertanggung jawab. Ratusan manusia menjadi korban, dengan amat
mengenaskan mereka terpanggang kobaran api di dalam Yogya Plaza, Kleder, Jakarta Timur.
Tragedi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, namun terjadi juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Tragedi ini merupakan rentetan kejadian yang memilukan, dimana sehari sebelumnya (12 Mei 1998)
empat mahasiswa Universitas Trisakti menjadi korban penembakan oleh aparat TNI pada saat
menggelar aksi menuntut Reformasi. Kejadian 11 tahun silam tersebut adalah sejarah kelam bangsa
ini. Namun sampai dengan saat ini tak juga ada pertanggungjawaban pemerintah atas terjadinya
tragedi Mei 1998
KASUS TANJUNG PRIOK (1984)

A. Kronologi Peristiwa Kasus Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok 1984


Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada pertengahan tahun 1984, merupakan
salah satu dari sekian banyak rentetan jejak dan fakta kelamnya masa pemerintahan Suharto.
Rejim Suharto setelah menyingkiran gerakan politik kiri memandang organisasi-organisasi Islam
politik sebagai musuh utamanya. Organisasi Islam politik disebut sebagai kelompok “ekstrim
kanan“ yang mengancam kesejahteraan masyarakat. Mereka menentang kebijakan-kebijakan
seperti indoktrinasi ideologi di institusi-institusi pendidikan atau perencanaan perundang-
undangan asas tunggal, dimana kebijakan tersebut memaksa partai-partai dan organisasi-
organisasi untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar ideologi mereka.
Kelompok islam menentang karena tidak mau menempatkan agamanya di posisi ke dua.
Demikian juga di Tanjung Priok, sebuah daerah pelabuhan di sebelah utara Jakarta, pada awal
tahun 1984 muncul sebuah gerakan perlawanan. Amir Biki seorang pengusaha dan mubaligh,
mengorganisir beberapa tabligh akbar dimana dalam acara tersebut terdapat kotbah-kotbah kritis
tentang korupsi, dominasi ekonomi masyarakat indonesia keturunan tionghoa dan perencanaan
perundang-undangan asas tunggal.
Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan dengan
matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembataian
Tanjung Priok, Ini adalah bagian dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan
kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran
korban. Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai “The Killing field” juga bukan tanpa survey
dan anlisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi tanjung priok yang menjadi dasar
pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah basis Islam yang kuat. Mayoritas
penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana. kebanyakan penduduknya bekerja sebagai
buruh galangan kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah
ditambah dengan pendidikan yang minim seperti itu menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah
yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut
berbagai isu.

B. Kronologi peristiwa Tanjung Priok 1984


a. Sabtu, 8 September 1984
Terjadi konflik antara jemaat mesjid Assa’dah di Tanjung Priok dan petugas Babinsa
setempat, sersan satu Hermanu. Setelah jemaat tidak menggubris perintah Hermanu yang
menyuruh agar mencabut spanduk-spanduk yang mengkritik pemerintah di sekitar mesjid
tersebut, maka sersan satu tersebut dengan cara yang tidak sopan mencoba sendiri mencabut
poster tersebut. Hal ini membuat marah para jemaat.
b. Senin 10 September 1984
Usaha peleraian yang dilakukan oleh dua orang takmir masjid Syarifuddin Rambe
dan Sofwan Sulaeman sementara usaha peleraian sedang berlangsung, orang-orang yang
tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar
sepeda motor petugas Koramil itu. Sejumlah tentara segera melakukan penangkapan
terhadap 4 orang yaitu: Rambe, Sulaeman, pengurus mushola Achmad Sahi dan seorang tuna
karya Muhamad Noor.
c. Selasa, 11 September 1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan
empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir
Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah
orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada
masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan
ternyata sia-sia.
d. Pada tanggal 12 September
Amir Biki dan mubaligh lainnya ikut acara tabligh akbar yang berisikan kritik
terhadap pemerintah. Sebetulnya acara ini tidak ada hubungannya dengan kasus
penangkapan tersebut. Namun Amir Biki dan pendakwah lainnya menggunakan kesempatan
tersebut untuk mengajukan tuntutan pembebasan atas empat tahanan yang sudah disebut
diatas. Ketika ultimatum yang diajukan Biki yaitu bila pembebasan empat tersangka tersebut
hingga pukul 11 malam tidak dipenuhi, ia mengerahkan massa yang berkumpul untuk
mengadakan aksi protes. Sekitar 1,500 massa berjalan beriring-iring menuju markas Kodim
Jakarta Utara, tempat dimana empat orang tersangka tadi ditahan. Pada saat massa berada di
depan Polres Metro Jakarta Utara mereka di hadang oleh satuan regu artileri pertahanan
“Udara Sedang“, Arhanudse yang segera melepaskan tembakan ke arah massa. Sampai hari
ini seberapa jauh dan penyebab pembantaian ini belum jelas. Pimpinan militer pada waktu
itu menyatakan bahwa prajurit artileri atas dasar pertahanan darurat menembaki massa yang
bersenjata.
Sembilan dinyatakan tewas dan lima puluh tiga luka-luka. Para saksi dan kelompok-
kelompok oposisi memberitakan tentang aksi militer yang terencana itu bahwa jumlah
korban meninggal ditafsir lebih banyak lagi, yaitu berkisar antara 400 sampai 700 orang.
Organisasi-organisasi HAM berkesimpulan bahwa mantan Panglima ABRI (Angkatan
Bersenjata Indonesia) Benny Murdani dan Pangdam V Jaya Try Sutrisno telah
memerintahkan atau setidaknya dengan sadar telah membiarkan aksi pembantaian tersebut.
Menurut laporan para saksi mata Murdani dan Sutrisno ,tengah malam di tempat
kejadian mengontrol pelaksaan menutup-nutupi aksi pembantaian tersebut. Mayat-mayat
dimasukkan ke dalam truk-truk militer lalu di bawa ke tempat lain dan dikuburkan di tempat-
tempat yang tidak diketahui. Sedangkan korban luka-luka dilarikan ke rumah sakit Angkatan
Darat Gatot Subroto, dimana mereka dilarang untuk menerima kunjungan dari keluarga
mereka. Korban yang luka-luka pada aksi demonstrasi tersebut dijatuhi hukuman karena aksi
perlawanan menentang kekuasaan negara.

C. Daftar Jenis - Jenis Pelanggaran HAM pada Peristiwa Tanjung Priok 1984
a. Pembunuhan secara kilat (summary killing)
Tindakan pembunuhan secara kilat (summary killing) terjadi di depan Mapolres
Metro Jakarta Utara tanggal 12 September 1984 pkl 23.00 akibat penggunaan kekerasan
yang berlebihan dari yang sepatutnya terhadap kelompok massa oleh satu regu pasukan dari
Kodim Jakarta Utara dibawah pimpinan Serda Sutrisno Mascung dengan senjata semi
otomatis. Para anggota pasukan masing-masing membawa peluru yang diambil dari gudang
masing-masing sekitar 5-10 peluru tajam. Atas tindakan ini jatuh korban 24 orang tewas, 54
luka berat dan ringan. Atas perintah Mayjen Try Soetrisno Pangdam V Jaya korban
kemudian dibawa dengan tiga truk ke RSPAD Gatot Subroto.
b. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention)
Setelah peristiwa, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap
orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Korban
diambil di rumah atau ditangkap disekitar lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160
orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang.
Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para
korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis.
c. Penyiksaan (Torture)
Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis
mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain
dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain.
d. Penghilangan orang secara paksa (Enforced or involuntary disappearance)
Penghilangan orang ini terjadi dalam tiga tahap, pertama adalah menyembunyikan
identitas dan jumlah korban yang tewas dari publik dan keluarganya. Hal itu terlihat dari cara
penguburan yang dilakukan secara diam-diam ditempat terpencil, terpisah-pisah dan
dilakukan di malam hari. Kedua adalah menyembunyikan korban dengan cara melarang
keluarga korban untuk melihat kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan
penahanan aparat. Ketiga adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan
serta identitas korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit
untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.

D. Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984 Dalam Perspektif Pancasila


a. Sila Pertama
Kita dapat mengetahui beberapa nilai pancasila yang telah dilanggar. Coba kia lihat
dari masing-masing sila dimulai dari sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Dalam
kasus ini terdapat sedikitnya beberapa hal yang menyinggung masalah agama terutama islam,
kali ini agama islamlah yang menjadi fokus utama kekejaman pemerintahan orde baru ini.
Dalam keterangan diatas terdapat kalimat yang menyatakan bahwa pada zaman orde baru ini
segala bentuk kegiatan yang sifatnya keislaman akan dianggap sebagai tintak kejahatan,
padahal secara jelas diterangkan dalam sila pertama ini bahwa setiap masyarakat indonesia
diwajibkan mempunyai Tuhannya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya dan tidak
berarti bahwa semua orang harus memiliki tuhan yang sama karena bukan itu yang
sebenarnya dimaksudkan dalam artian berketuhanan yang maha esa.
b. Sila Ketiga
Menurut sila ketiga yang berbunyi Persatuan Indonesia ini mempunyai makna bahwa
rakyat Indonesia harus bersatu padu dalam kebersamaan memajukan Indonesia seperti
halnya semboyan Indonesia yakni “Bhineka Tunggal Ika“, sedangkan apa yang dibahas
dalam artikel diatas sungguh tidak mencerminkan sifat persatuan, dibuktikan dengan adanya
baku tembak antara warga Tanjung Priok oleh militer, bukankah itu disebut sebagai
pelanggaran terhadap nilai sila 3 dalam pancasila?
c. Sila Keempat
Lalu dengan sila ke-empat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan“, seperti sila-sila sebelumnya, sila ini pun
tidak dijalankan dengan baik, karena hal ini tidak akan terjadi apabila musyawarah masih
menadi bekal utama dalam memecah permasalahan.
d. Sila Kelima
Sila terakhir adalah “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“, sila ini juga telah
dilanggar dengan adanya bukti sifat Suharto yang bertindak tidak adil dan memilah-milah
terhadap rakyatnya.

E. Upaya Penyelesaian Kasus Tanjung Priok 1984


Solusi untuk memecahkan permasalahan pelanggaran HAM peristiwa Tanjung Priok ini
terdiri dari 2, yaitu:
1. Solusi Represif
Solusi Represif ini merupakan solusi yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan dan
mengungkap kebenaran dari peristiwa Tanjung Priok ini. Pencarian kebenaran ini bukan
tentang siapa yang akan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman karena hal tersebut tidak
akan bisa mengembalikan semua yang telah hilang dan semua yang telah rusak menjadi
kembali utuh. Tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana keadilan itu bisa ditegakkan,
dengan adanya keadilan di negeri ini telah mengindikasikan bahwa saat ini pengadilan telah
bebas dari intervensi militer maupun pemerintah. Adapun langkah-langkah yang bisa
ditempuh untuk mencari kebenaran ini adalah:
· Mengajukan kembali kasus Tanjung Priok ini kedalam persidangan
· Mencari bukti-bukti baru terkait peristiwa tersebut dengan berkerjasama dengan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
· Mencari saksi-saksi baru yang bisa menceritakan kronologis yang sebenarnya
tentang Peristiwa tersebut.
2. Solusi Preventif
Solusi Preventif ini adalah solusi yang dapat dilakukan agar di masa yang akan
datang kejadian ini tidak akan terulang lagi. Adapun solusi-solusi preventif yang dapat
dilakukan adalah:
Mengamalkan Pancasila sebagaimana mestinya sebagai ideology bangsa, dan
menjalankan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pancasila dengan UUD 1945 ini harus
bisa di amalkan secara bersamaan dan saling melengkapi. Ini dilakukan agar apa yang terjadi
di masa orde baru tentang Hegemoni Pancasila tidak terulang lagi karena dengan adanya
UUD 1945 maka menjadi penjamin terlindungan HAM bagi warga negara Indonesia.
• Pemerintah dan instansi terkait misalnya militer dalam konteks ini harus bisa menahan
sikap ketika sedang menjalankan tugas demi terjalinnya komunikasi yang baik dengan
masyarakat. Dan ketika terjadi permasalahan hendaknya mampu diselesaikan dengan
musyawarah mufakat antara masing-masing pihak dengan melibatkan lembaga-lembaga
social kemasyarakatan (LSM) sebagai penengah dan pengawas dalam proses pemecahan
masalah.
• Pemerintah, pemuka agama, dan tokoh-tokoh masyarakat hendaknya saling berdiskusi
dan menjalin hubungan yang harmonis. Dengan begitu pemimpin-pemimpin dari
berbagai elemen tersebut mampu mengontrol perilaku anak buahnya. Agar tidak ada lagi
adu domba dari segelintir orang yang memanfaatkan keuntungan jika terjadi konflik.

Anda mungkin juga menyukai