Anda di halaman 1dari 8

Filosofi Bebetan Kain Jarik

Pada kesempatan kali ini akan membahas tentang filosofi bebetan kain jarik yang pernah di tulis oleh ust @salimafillah. Jadi kali
ini ceritanya merepost karena tertarik untuk diulas dan di buat file di blog ini.

BEBET: Membebat SYAHWAT

Bebetan kain jarik

Melanjutkan perbincangan tentang Busana Taqwa setelah uraian tentang Surjan dan Peranakan, inilah kain yang kita kenakan
sebagai bawahan. Salah satu sebutannya "bebet", dibaca pepet seperti "e" pada "baper", jadi memakainya disebut "bebetan".

Di antara maknanya ialah bahwa perut dan bawah perut adalah markas syahwat yang harus dibebeti, dibebat, dikendalikan
agar tak liar. Kain ini di-wiru, dilipat rapi pada bagian ujungnya yakni sebagai pengingat terjaganya sifat wara'/wira'i. Ialah
menjaga diri dari segala yang dimurkai Allah, juga hal yang samar meragukan, bahkan dari hal mubah yang berlebihan. Pada
pria, ukuran wirunya 3 jari, sementara pada kain dodot untuk perempuan adalah separuhnya. Yang kami kenakan ini adalah
wiru engkol, selain wiru lurus yang biasa dikenakan Sultan, penanda lebih dituntutnya sifat istiqamah bagi pemimpin.

Bebet adalah perwujudan firman Allah;

"Adapun orang yang takut pada keagungan Rabbnya dan mencegah diri dari hawa nafsunya, surgalah tempat tinggalnya." (QS
An Naazi'aat 40-41).

Motif kain bebet biasanya disesuaikan kesempatan memakainya. Jika raja-raja dikhususkan memakai Parang Rusak Barong
rancangan Sultan Agung, berpola lereng menanjak dan berbentuk seperti ombak, sebagai pengingat bahwa hidup penuh ujian
yang tiada henti, dan setiap saat kita harus mampu memaknai sehingga iman terus dinaikkan, dikuatkan, mendaki menuju
keridhaan Allah.

1
Motif batik Wahyu Tumurun Yogyakarta

Maknya motif batik Wahyu Tumurun, artinya Nuzulul Quran, yang dulu amat disukai Sultan Hamengkubuwana I untuk beri'tikaf
menyambut Lailatul Qadr.

Unsur-unsurnya adalah: -Redi (gunung bercahaya dengan gua di tengahnya; Jabal Nur & Gua Hira', tempat wahyu pertama
turun)

-Elar (sayap malaikat)

-Sawung (ayam jago)

(tanazzalul malaaikatu warruuhu fiiha biidzni Rabbihim min kulli amrin, salaamun hiya hatta mathla'il fajr, QS Al Qadr)

-Ketopong (mahkota terbang), karena penghafal Quran dipakaikan mahkota yang bersinar melebihi cahaya mentari.

-Lung-lungan (cabang-cabang tumbuhan), sebab yang ashluha tsabit maka far'uha fissamaa' (QS Ibrahim 24).

-Kusuma (bunga) & buah Sawo Kecik (sarwo becik, serba baik); sebab akhlaq pembaca Quran harus harum mewangi & manis
rasanya. (QS Ibrahim 25)

-Isen-isen Keras (susunan batuan granit di pegunungan), sebagai pengingat bahwa gunungpun akan hancur karena takut pada
Allah jika Al Quran diturunkan padanya (QS Al Hasyr 21). Dan jangan sampai hati kita mengeras bagai batu; padahal di antara
batupun ada yang di selanya mengalir sungai, ada yang terbelah kemudian memancarkan air, & ada yang meluncur jatuh
karena takut pada Allah. (QS Al Baqarah 74)

2
Nah, pasangan ikat pinggang untuk menguatkan bebatan kain ini disebut kamus dan timang. Sebab taqwa harus diikat dengan
ilmu. Ilmu yang pertama diajarkan pada Adam adalah bahasa, isim-isim, kosakata, (Wa 'allama Adamal asma-a kullaha) maka
kamus jadi sebutan ikatan dalamnya. Adapun ikatan luar disebut timang, sebab ilmu wajib dituntut dari timangan, dari buaian
hingga liang lahat.

Penulis : Salim A. Fillah

Share dari facebook

Cara Mewiru kain jarik

Kain jarik yang sudah di wiru

3
Sejarah Lurik

Lurik, Dari Masa ke Masa

Abstrak

"Indonesia dikaruniai keragaman suku bangsa yang masing-masing memiliki budayanya sendiri. Hal tersebut terlihat pula pada
cara berpakaian yang tidak sama antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya, berbeda dalam gaya, bentuk serta
bahan yang digunakan, kemudian menjadi ciri khas masing-masing daerah bersangkutan. Demikian halnya dengan masyarakat
Jawa di Yogyakarta, memiliki pakaian tradisional yang khas, yaitu salah satunya lurik."

Lurik merupakan nama kain, kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garisgaris, yang merupakan lambang
kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S.,
2000). Selain berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik juga memiliki fungsi sebagai status simbol dan fungsi ritual
keagamaan. Motif lurik yang dipakai oleh golongan bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh rakyat biasa, begitu pula
lurik yang dipakai dalam upacara adat disesuaikan dengan waktu serta tujuannya.

Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau dari sesuatu benda yang dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki
makna yang mengandung petuah, cita-cita, serta harapan kepada pemakainya. Namun demikian saat ini pengguna lurik
semakin sedikit dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu. Perajinnya pun dari waktu ke waktu mulai menghilang.

Lurik menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa
Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka warna
benang. Kata lurik berasal dari akar kata rik yang artinya garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi
pemakainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain tenun yang memiliki corak jalurjalur, sedangkan
dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02) pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau lorek-lorek, yang berarti
garis-garis dalam bahasa Indonesia.

Dan berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lurik merupakan kain yang
diperoleh melalui proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun.
Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang tukel, tahap pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan,
pengelosan dan pemaletan, penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang dihasilkan berupa
garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.

Tidak banyak ditemui tulisan mengenai kain tenun lurik. Hanya ada beberapa saja, antara lain yang ditulis oleh Nian S.Djoemena
dalam bukunya yang berjudul Lurik, Garis-garis Bertuah. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai proses pembuatan kain lurik
beserta alat yang digunakan. Selain itu, diuraikan pula mengenai macam macam motif lurik, makna, waktu pemakaian, dan
fungsinya secara garis besar terutama dalam acara ritual keagamaan dan dalam upacara perkawinan. Lurik yang diuraikan
dalam buku tersebut tidak hanya terbatas pada motif lurik Yogyakarta, ada pula motif Jawa Tengah dan Tuban, ada pula motif
irip lurk yang terdapat di luar Jawa maupun Juan Indonesia. Namun, buku ini belum menjelaskan lebih lanjut mengenai
perkembangan lurik saat ini dan usaha pelestariannya. Kain lurik merupakan kain tenun dengan motif garisgaris pada sehelai
kain. Kata Lurik berasal dari bahasa Jawa yaitu lorek yang berarti lajur atau garis (Djoemena, Nian.S: 2000). Namun pakaian atau
kain dengan motif lorek tidak dapat secara langsung disebut lurik, karena lurik harus memenuhi persyaratan yang berkaitan
dengan bahan tertentu dan diolah melalui proses tertentu pula, mulai dari pewarnaan, pencelupan, pengkelosarf, pemaletan,
peghanian, pencucukan, penyetelan, sampai pada penenunan, hingga nantinya menjadi kain yang slap dipakai. Motif kain lurik
ternyata tidak hanya berupa garis-garis membujur saja, tetapi dalam perkembangannya kemudian, motif kotak-kotak sebagai
hasil kombinasi antara garis melintang dengan garis membujur dapat dikategorikan sebagai lurik.

Tidak hanya berupa garis, motif kain lurik ada juga yang berupa kotak-kotak yang merupakan perpaduan dua garis vertikal dan
horisontal yang pada kain tenun yang bercorak garis atau kotak saja, akan tetapi termasuk pula kain polos dengan berbagai
warna, seperti merah dan hijau atau dikenal dengan nama lurik polosan. Seperti apa yang diungkapkan Dibyo bahwa "Sifat lurik
yaitu: bahannya dari katun, gambar garis, tetapi kadang bikin kotak-kotak, ataupun polos. Meskipun polos, namanya tetap
lurik."

4
Nilai Kehidupan

Salah satu keunggulan manusia adalah bahwa ia memiliki daya kreatif untuk membuat, membentuk apa yang ada di
sekelilingnya, kemudian diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Daya kreativitas tersebut merupakan bagian yang penting
dalam proses berkarya seni. Seni merupakan kegiatan kreatif imajinasi manusia untuk menerangkan, memahami, dan
menikmati kehidupan (Haviland:1993). Dengan daya kreatif yang dimilikinya, manusia berusaha menciptakan pakaian yang
dibuat dari kapas atau bahan lain, kemudian ditenun menjadi kain. Kain dijahit menjadi pakaian.

Seni memiliki tujuan praktis. Tujuan praktis ini merupakan guna atau manfaat yang diperoleh secara langsung bagi
penggunanya. Tujuan praktis dari pakaian yaitu untuk melindungi tubuh dari hawa dingin, gigitan serangga, terik matahari dan
berbagai gangguan lainnya. Selain itu seni memiliki fungsi sebagai norma perilaku yang teratur, meneruskan adat kebiasaan dan
nilai-nilai budaya (Haviland:1993). Dalam adat berpakaian, seperti dalam penggunaan kain lurik, terdapat nilai budaya yang
akan disampaikan dan untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.

Pada suatu masyarakat tradisional, selain memiliki fungsi guna atau manfaat, pakaian seringkali memiliki fungsi lain seperti
fungsi status simbol, maupun ritual keagamaan, pada motif- motif tertentu terdapat kandungan nilai, harapan, dan sebagainya.
Orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi berbeda pakaiannya dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, pakaian
yang dikenakan seorang bangsawan berbeda dengan rakyat biasa, entah itu berbeda model maupun motifnya. Begitu pula
pakaian yang dipakai untuk upacara tertentu berbeda dengan yang dipakai pada hari biasa.

Sesuai dengan keanekaragaman umat manusia, pakaian yang digunakan juga bermacammacam dan bervariasi. Pada
masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisinya seperti yang terdapat pada kelompok-kelompok suku bangsa di
Indonesia, pakaian yang digunakan menunjukkan identitas dari suatu suku bangsa. Dalam hal ini pakaian bukanlah semata-mata
sebagai suatu benda materi yang hanya dipakai tanpa memiliki arti apapun. Kain lurik misalnya, merupakan suatu simbol karena
ia memiliki makna. Simbol merupakan tanda yang dapat ditafsirkan (Geertz:1992,17) atau diekplanasikan. Makna-makna
tersebut merupakan sesuatu yang tidak tampak tetapi dapat dilihat melalui penafsiranpenafsiran, pemahaman-pemahaman
yang kemudian ditata sedemikian rupa. Simbol merupakan segala sesuatu (benda, peristiwa, tindakan, ucapan, dan sebagainya)
yang telah ditempeli arti tertentu. Simbol bukan milik individu, namun milik suatu kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat
tersebut terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki sistem pengetahuan, gagasan, ide, adat kebiasaan serta norma perilaku
yang sama, yang diungkapkan dalam tata cara kehidupan manusia yang terwujud dalam benda-benda budaya.

Kain tenun lurik merupakan salah satu benda budaya karena dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu. Benda ini merupakan
wujud fisik dari ide, nilai, maupun norma yang mengatur dan memberi arah bagi masyarakat pada suatu kebudayaan tertentu.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (2000) bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu norma sebagai tata
kelakuan yang mengatur dan memberi arah, aktivitas yang berpola, dan benda hasil karya manusia sebagai wujud fisiknya.

Manusia tidak dapat terlepas dari simbol, karena manusia adalah binatang yang terjerat dalam jaringan-jaringan makna yang
ditenunnya sendiri (Geertz:1992). Di setiap waktu dan disegala tempat, manusia selalu berhubungan dengan simbol atau
lambang karena is berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapanungkapan simbolis (Herusatoto: 1987). Simbol atau
lambang ini merupakan hal yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Menurut Ernst Cassirer (1944) bahwa manusia tidak
dapat melihat„ menemukan, dan mengenai dunia secara langsung tetapi melalui berbagai simbol. Simbol yang terwujud dalam
benda-benda budaya, dalam hal ini adalah kain tenun lurik merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat pendukungnya.
Melalui kain lurik ini terdapat pesan, nasihat dan panduan hidup yang disampaikan dan diharapkan nantinya dapat terus
diteruskan ke generasi selanjutnya. Terdapat beberapa hal mengenai simbol seperti ditulis oleh C.A Van Peursen (1976), bahwa
simbol atau lambang memperlihatkan kaidah dalam perbuatan manusia. Kaidah itu berhubungan dengan seluruh pola
kehidupan, perbuatan, dan harapan manusia. Simbol muncul ketika manusia sedang belajar dan untuk menampung hasil
belajarnya manusia menggunakan media bahasa, baik bahasa lisan, tulisan, gerak, maupun visual. Pengetahuan yang diperoleh
manusia dari hasil belajar semakin lama semakin bertambah. Untuk mempermudah penyerapan pengtahuan yang semakin
banyak tersebut, bahasa kemudain dialihkan menjadi lambang, simbol abstrak. Pengertian bahasa disini menjadi meluas
meliputi berbagai bentuk lambang berupa tarian, gambar, kata, maupun isyarat. Lambang yang diungkapkan melalui media
bahasa ini digunakan dalam rangka meneruskan, mewariskan ajaran kepada generasi setelahnya. Dari simbol yang terdapat
pada kain lurik ini dapat ditemukan harapan, ungkapan, pelajaran positif yang dapat diambil dan dijadikan pelajaran bagi
generasi selanjutnya dalam menentukan langkah menuju kehidupan yang lebih baik. Meskipun saat ini tidak banyak lagi yang
mengetahui apa makna dibalik motif lurik, namun ada sebagian orang yang berusaha bertahan untuk membuat dan
mengenakannya baik dalam acara-acara tertentu, maupun dalam kehidupan sehari-hari.

5
Sejarah Lurik

Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi
kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat
dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk
menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong. Dan
beberapa situs peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik sudah dikenal sebagai karya
tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lampau, dapat dilihat dari cerita Wayang Beber
yang menggambarkan seorang ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya.
Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam salah satu relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang
menenun dengan alat tenun gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun
1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik (Djoemena, Nian.S:2000).

Pada awalnya, motif lurik masih sangat sederhana, dibuat dalam warna yang terbatas, yaitu hitam, putih atau kombinasal
antarkeduanya. Pada jaman dahulu proses pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan bahan yaitu benang (lawe).
Benang ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna dominan hitam dan putih. Selanjutnya, benang tadi diberi warna
dengan menggunakan pewarna tradisional, yaitu yang bernama Tarum) dan dari kulit batang mahoni. Hasil rendaman daun
pohon Tom menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang mahoni menghasilkan warna coklat.

Sebelum ditenun, benang dicuci berkali-kali, kemudian dipukul-pukul hingga lunak (dikemplong), setelah itu dijemur, lalu
dibaluri nasi dengan menggunakan kuas yang terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan atau benang ini kaku, kemudian diberi
warna. Setelah itu dijemur kembali dan benang siap untuk ditenun. Dahulu, alat yang digunakan untuk menenun dikenal dua
macam alat, yaitu alat tenun bendho dan alat tenun gendong. Adapun alat tenun bendho terbyat dari bambu atau batang kayu,
biasanya digunakan untuk membuat stagen. Stagen yaitu ikat pinggang dari tenunan benang yang sangat panjang dan
digunakan untuk pengikat kain (jarik) oleh para wanita Jawa. Alat tenun ini digunakan dengan posisi berdiri. Disebut sebagai
alat tenun bendho karena alat yang digunakan untuk merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sedangkan alat
tenun gendong digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar, maupun jarik (kain panjang). Disebut demikian
karena salah satu bagiannya diletakkan di belakang pinggang, sehingga tampak seperti digendong. Dalam proses pembuatan
kainnya, penenun dalam posisi duduk memangku alat tenun tersebut.

Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh semua orang, sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya, atau
tapih/nyamping/jarik (kain untuk bawahan). Untuk pria, sebagai bahan baju pria, di Solo disebut dengan beskap, sedangkan di
Yogyakarta dinamakan dengan surjan. Selain itu, lurik juga dibuat selendang (jarik gendong) yang biasanya dipakai oleh bakul
(pedagang) di pasar untuk menggendong tenggok (wadah yang terbuat dari anyaman bambu), terutama di daerah Solo dan
Klaten Jawa Tengah. Selain dibuat untuk bahan pakaian ataupun selendang, yang lebih penting lagi bahwa kain lurik ini dahulu
digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain seperti ruwatan,
siraman, mitoni, dan sebagainya.

Beberapa Macam Corak Lurik

Meskipun motif lurik ini hanya berupa garisgaris, namun variasinya sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik
tradisional, seperti yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) mengenai nama-nama corak, yaitu antara lain: corak klenting
kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng,
ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang sekebon, dan sebagainya. Dalam
Ensiklopedi Indonesia (1997) di-

sebutkan pula beberapa motif seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Dalam perkembangannya muncul
motif- motif lurik baru yaitu: yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, dan masih banyak lagi.
Motif yang paling mutahir adalah motif hujan gerimis, tenun ikat, dam mimi, dan galer.

Dahulu macam ragam corak lurik sangat banyak, tetapi sekarang banyak yang sudah terlupakan. Tidak semua orang termasuk
para perajin lurik yang ada sekarang ini tahu dan ingat motif apa saja yang pernah ada, seperti yang dialami oleh Pak Dibyo.
Saat ini perusahaan tenun lurik seperti milik Bapak Dibyo Sumarto, yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia tidak membuat motif
lurik seperti yang disebutkan di atas, karena peminatnya tidak ada lagi. Motif-motif lurik yang sekarang dibuat lebih bervariasi,
disesuaikan dengan warna-warna yang sedang disukai atau sedang trend. Jadi, motif atau corak lurik yang ia buat cenderung
selalu berubah dan makin berkembang. Beberapa motif disesuaikan dengan yang dikehendaki oleh para pembeli. Begitu pula
dengan perusahaan tenun lurik yang dikelola oleh Ibu Nur. Beliau bahkan tidak banyak membuat motif tenun jika tidak ada

6
pesanan. Beberapa kain lurik ia buat saat ini lebih banyak untuk seragam sekolah dan selendang. Begitu pula dengan
perusahaan tenun Kurnia yang lebih banyak mendapatkan pesanan dari sekolah-sekolah yang membutuhkan seragam. Selain
itu pembelinya kebanyakan dari siswa sekolah yang sedang praktek tata busana.

Namun demikian, perusahaan tenun ini masih membuat beberapa kain lurik tradisional yang masih dipakai dari jaman dulu
hingga sekarang, yaitu yang dipakai di lingkungan keraton seperti yang dikenakan oleh para abdi dalem dan para prajuritnya.

Motif yang dipakai para abdi dalem kerajaan tersebut dinamakan corak telu-pat atau tiga empat dalam bahasa Indonesia.
Pakaian dengan motif ini dinamakan baju peranakan. Baju ini dikenakan oleh mereka ketika sowan atau caos (menghadap raja).

lain kluwung, gedog madu, sulur ringin, atau tuluh watu. Selain itu, ada pula motif lurik lain yang juga hanya digunakan oleh
orang-orang tertentu pada waktu tertentu pula, yaitu yang dikenakan oleh abdi dalem dan para punggawa keraton. Ketika
menghadiri pisowanan (mengahadap raja), para abdi dalem memakai baju peranakan dengan motif telu pat, sedangkan para
prajurit keraton masingmasing juga memakai motif lurik yang telah ditentukan. Prajurit Jogokaryan memakai motif Jogokaryo,
prajurit Mantrijeron memakai motif mantrijero, begitu pula dengan prajurit Patangpuluhan memakai motif patangpuluh.
Seperti yang diutarakan oleh Pak Dibyo bahwa "Motif keraton memang memiliki corak tersendiri. Ada yang me-namakannya
lurik tiga empat, untuk para abdi dalem. Nama motifnya yaitu tiga empat, untuk per-anakan...prajurit keraton antara lain
mantrijero, jogo-karyo, patangpuluh. Motifnya sendiri-sendiri. Motif untuk abdi dalem untuk caos atau sowan yaitu motif tiga
empat." Motif lurik untuk prajurit kraton lainnya adalah motif ketanggung yaitu yang dikenakan oleh prajurit Ketanggungan.
Mengenai motif yang tidak boleh dipakai oleh setiap orang dikatakan oleh Ibu Nur, "Ya seperti yang dipakai oleh para abdi
dalem, peranakan, hanya dipakai oleh kalangan keraton. Tidak bisa dipakai umum."

Namun saat ini, menurut apa yang dituturkan oleh Pak Dibyo, bahwa para pembeli bebas memilih motif mana yang
dikehendaki. Pembeli boleh memakai kain lurik dengan berbagai macam corak, entah itu yang semestinya di pakai untuk sowan
atau caos, ataupun yang digunakan untuk prajurit keraton. Untuk saat ini, biasanya motif lurik yang tidak boleh dikenakan atau
dijual untuk umum yaitu yang dipakai untuk seragam sekolah, karena motif tersebut sudah merupakan identitas atau ciri khas
sekolah yang bersangkutan.

Lurik Masa Kini

Tidak seperti beberapa puluh tahun yang lalu, saat ini tidak banyak masyarakat yang menaruh minat pada lurik terutama untuk
dikenakan sebagai busana sehari-hari. Hal ini tampak pada surutnya jumlah pesanan di beberapa perusahaan tenun lurik yang
ada di Yogyakarta. Bahkan di beberapa tempat, perusahaan tenun lurik tradisional banyak yang gulung tikar. Seperti yang
terjadi di daerah Krapyak Wetan. Dahulu, di sekitar wilayah tersebut banyak rumah atau tempat produksi tenun lurik, namun
sekarang yang tertinggal hanya satu yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia yang dimiliki Bapak Dibyo. Menurut cerita masyarakat
setempat, di dusun Mlangi, Kabupaten Sleman pernah berdiri perusahaan tenun lurik tradisional, tetapi saat ini sudah tidak ada
lagi. Beberapa tempat lain yang diperkirakan masih terdapat tempat pembuatan tenun lurik, yaitu di dusun Nggamplong,
Godean, Sleman, atau di beberapa tempat di Kabupaten Kulonprogo.

Dahulu di sana banyak ditemui perusahaan tenun lurik, namun sekarang jika masih ada jumlahnya sangat sedikit. Menurut
beberapa orang, berbagai macam motif yang dulu pernah dibuat, sekarang sudah tidak dibuat lagi karena peminatnya pun
sudah tidak ada. Banyak perajin di perusahaan tenun tradisional yang sudah berusia lanjut, tetapi tidak ada regenerasi perajin
untuk meneruskan keahliannya tersebut. Saat ini orang lebih memilih pekerjaan lain dari pada menenun. Dahulu, ketika
seorang perajin menenun, ketika ada waktu senggang ia minta anaknya untuk ikut menenun. Si anak diberi pelajaran sedikit
demi sedikit, sehingga lama kelamaan ia bisa meneruskan pekerjaan orang tuanya. Tetapi saat ini hal ini sudah sulit dilakukan.
Generasi muda tidak lagi mau menenun, lebih memilih pekerjaan lainnya.

Kondisi ini mendorong seorang mendorong beberapa desainer seperti Ninik Darmawan, kelompok Lawe, PPPPTK Seni dan
Budaya untuk mengembangkan produk tekstil dengan bahan dasar lurik untuk diangkat kembali menjadi produkproduk
modern, yang tidak hanya terbatas untuk pakian saja, tetapi lurik dijadikan sebagai bahan tas, dompet, map, dan lain
sebagainya. Untuk busana desainer Ninik Darmawan telah mengembangkan beberapa fashion seperti gaun panjang, kemeja
pria, rok, jaket, dan sebagainya. Beberapa pakaian merupakan gabungan motif lurik dengan kain batik. Ninik mengembangkan
kain tenun lurik tersebut karena kain yang bercorak garis-garis ini memiliki nilai kesederhanaan. Kain yang tebuat dari bahan
katun tersebut sebenarnya juga sangat cocok dengan iklim di Indonesia. Tetapi memang kesan bahwa lurik merupakan pakaian
rakyat cukup kental. Apa yang hendak disampaikannya melalui setiap desainnya yaitu bahwa motif lurik ini sebenarnya dapat
dikembangkan dan dapat dikenakan di berbagai tempat dan waktu. Menurutnya dengan sentuhan desain, kain tersebut dapat
diolah, dikembangkan, dijadikan busana masa kini, tanpa merubah arti atau makna yang terkandung di dalamnya.

7
Produk-produk tekstil dari bahan lurik dengan desain baru yang indah, tidak kalah menariknya apabila dibandingkan dengan
busana-busana dari bahan batik atau bahan lainnya. Ternyata lurik menyimpan kekuatan yang begitu dahsyat, sebagai bagian
dari kehidupan masa kini. Apa yang dilakukan Ninik Darmawan, Lawe, dan PPPPTK Seni dan Budaya sebagai suatu bentuk
transformasi budaya, yang mengangkat budaya lama Indonesia menjadi suatu budaya baru dengan tidak meninggalkan
kekayaan yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya.

Tradisi bukanlah suatu barang yang mati, tetapi ia berkembang dan menjelma menjadi ujud baru mengikuti perubahan jaman.
Tradisi melayani kebutuhan kehidupan manusia, sehingga tradisi harus sesuai dengan jiwa jamannya, tradisi yang tidak berubah
akan menghambat perkembangan dan akan menjadi nilai atau produk yang basi. Dengan demikian seni tradisi seperti lurik
harus dapat melayani kehidupan manusia masa kini, sehingga lurik akan lebih bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan dari
masa ke masa.

Tulisan ini semoga memberi inspirasi kepada desainer di berbagai tempat di Indonesia, untuk mengangkat tenun daerah
menjadi bagian kehidupan modern, mengingat Indonesia begitu kaya dengan berbagai macam tekstil khususnya tenun, kita
akan temukan berbagai ragam tenun yangt indah sejak tanah Papua sampai dengan Nangroe Aceh Darussalam. Semoga
kekayaan tersebut tidak menjadi kesepian dan mati, tetapi menjadi enerji baru yang memberi kesegaraan sebagai sebuah
bangsa yang kaya dan besar..***

Artikel diambil dari “Lurik, Dari Masa ke Masa”

Majalah ARTISTA No. 1 & 2 Vol. 10 Thn. 2007

Ditulis oleh : Feti Anggraeni, S.Ant,

Instruktur, pemerhati, dan pengkaji tekstil

Technoart Park PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai