Anda di halaman 1dari 4

Bejuluk Beadek, Nilai Sosial Gelar Adat

Lampung (1)
 Zainudin Hasan, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung  04 Nov 2017 - 16:30

Gawi Agung Bejuluk Beadek Lampung Tengah. gsfored.com

NILAI sosial adalah konsepsi abstrak tentang apa yang baik sehingga harus dianut
dan apa yang buruk sehingga harus dihindari. Contoh dari nilai sosial yang dianut
oleh orang Lampung adalah piil pesenggiri, sakai sambayan, nemui nyimah, nengah
nyappur, dan bejuluk beadek.
Nilai sosial tersebut kemudian telah menjadi falsafah hidup yang turun temurun dan
mendarah daging terwarisi sejak dari zaman dahulu, berpuluh-puluh bahkan beratus
tahun lamanya hidup berkembang menjadi adab, adah, dan adat. Membudaya
mengakar serta melekat meskipun terkadang mulai tergerus perubahan zaman.

Nilai-nilai tersebut kadang hilang ditinggalkan namun ada yang masih tetap terwarisi,
terpelihara dan terjaga bahkan menarik untuk digali, dari mana, untuk apa, apa
urgensinya dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.  
Dalam sistem kekerabatan keluarga dan hubungan masyarakat adat pada
masyarakat adat Lampung ada istilah yang namanya tutokh, juluk,
dan adek. Tutokh adalah panggilan untuk sistem kekerabatan yang bersifat
bertingkat/berkasta/memiliki stratifikasi. Contoh tutokh orang Lampung
seperti: kanjang, kunjung, kanjeng, anjeng, agen, regen, anjung, tuan, pun, puan,
uwan, wan, wanda, kanda, pusat, gusti, kiyay, batin, tati, titah, itah, papahan,
sumbahan, rajo, ajo, menak, minak, agungan, kagungan, baginda, ginda, junjun,
junjunan, ahi, ahun, ahuya, susi, sus, ses, radin, adin, uda, udo, cikwo, yunda, dan
sebagainya.

Tutokh tersebut sangat banyak karena Lampung hampir banyak menyerap bahasa


panggilan dari berbagai macam suku bangsa dan bahasa termasuk panggilan uni,
teteh, dan daing.
Sedangkan juluk adalah nama lain atau gelar yang diberikan kepada seseorang
yang masih kecil atau belum menikah yang sifatnya juga bertingkat. Juluk tersebut
diberikan melalui proses ruyang-ruyang mandi pagi. Proses pemberian gelar
dilakukan dengan cara nyanang yaitu menabuh canang disaksikan tokoh-tokoh adat
dan perwatin dalam rapat permusyawaratan adat. Dan saat pemberian gelar adat
tersebut dibacakan pula pepancor, yaitu sejenis pantun yang biasa dibacakan pada
saat pemberian gelar-gelar adat pada masyarakat adat Lampung. Juluk adalah
nama kecil panggilan adat Lampung biasanya pemberian dari kakek yang melekat
terus sampai kemudian ia mendapat adek.

Adek adalah nama lain atau gelar yang diberikan kepada seseorang (orang
Lampung) yang telah menikah yang sifatnya juga bertingkat/berkasta. Proses
pemberian gelarnya pun hampir sama yakni dilakukan dengan cara nyanang yaitu
menabuh canang disaksikan tokoh-tokoh adat dan perwatin dalam rapat
permusyawaratan adat. Adek tersebut didapat dan “diterangkan” melalui
prosesi begawi mupadun adat atau minimal melalui begawi nguruk di way (begawi
kecil dalam sistem hukum adat Lampung Pepadun, khususnya Lampung Marga
Sungkai Bunga Mayang).

Dengan prosesi begawi mupadun atau begawi nguruk di way tersebut seseorang


mendapatkan adek sehingga sah secara adat untuk dapat diterima dalam pergaulan
adat (nyelesai ko rasan adat) karena telah menyelesaikan acara adat di tiyuh
kediamannya disaksikan tokoh-tokoh adat paksi, perwatin, tuha raja bidang
suku dari tiyuh dan marga lainnya di sekitar. 

Suku
Lampung merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Indonesia.
Berragam
seni budaya yang dimilikinya merupakan aset bangsa yang perlu terus
dilestarikan. Salah satu upacara adat suku Lampung yang masih lestari
hingga
kini adalah upacara  bejuluk buadok  (pemberian gelar adat).

Bejuluk buadok sendiri
termasuk dalam lima falsafah hidup suku Lampung selain Nemui
Nyimah  (pemurah, suka memberi),  Piil Pesenggiri  (harga diri,
memperjuangkan nilai-nilai positif),  Nengah Nyappur (suka bergaul),
dan Sakai Sambayan (gotong royong). Kelima falsafah ini masih terus
dipegang oleh suku
Lampung baik pepadun maupun saibatin. 
Suku Lampung yang berasal dari  pepadun biasanya mendiami
wilayah dataran, pegunungan maupun perdalaman. Sedangkan suku
Lampung yang
dikelompokkan dalam  saibatin
biasanya mendiami wilayah pesisir, baik di pinggir sungai maupun laut.
Bahasa
mereka juga dikelompokkan menjadi dua dialek, yakni dialek api dan nyow.
Pada
Minggu, 22 Desember 2013 saya sempat mengikuti
prosesi upacara bejuluk buadok marga
Tiuh Balak Way Kanan. Prosesi ini dilaksanakan pada saat resepsi
pernikahan kyai  Azwin Nurkholis dan wo Roki Nurhera. Salah satu tokoh adat
setempat, Bapak Hamidi didapuk sebagai pemimpin upacara adat tersebut.
Beliau naik
keatas panggung tanda upacara adat akan segera dimulai.
Prosesi adat Lampung (Foto: dok teraslampung.com)
Suasana
begitu hikmat. Mula-mula ia menyapa para pendengar dengan sapaan khas
Lampung.
“ Tabik pun  ” , suara itu menggema
memenuhi seisi ruangan. “ Ya, pun “ jawab
para pendengar dengan syahdu. Sebagian peserta upacara adat memang
berasal dari
suku Jawa. Wo Roki Nurhera sendiri
berasal dari suku Jawa. Maka wajar saja jika sebagian besar pesertanya
merupakan suku Jawa.
Sebagian
besar mereka baru tahu sapaan khas Lampung ini walaupun mereka telah
lama
tinggal di Lampung. Bagi suku Lampung, sapaan tabik pun, merupakan hal
yang wajar dan biasa, karena sapaan ini
sering diperdengarkan dalam upacara-upacara adat. Tapi, bagi suku di luar
Lampung, ini merupakan hal yang “luar biasa”. Secara tidak
langsung dalam upacara adat bejuluk
buadok kali ini juga bisa dijadikan sebagai ajang untuk transfer of culture.
Pada
prosesi bejuluk buadok yang saya saksikan kali ini
memang tidak serumit upacara bejuluk
buadok yang seperti biasanya. Biasanya, upacara bejuluk
buadok biasanya masuk dalam rangkaian upacara begawi  yang diadakan
selama 7 hari 7 malam. Kerbau merupakan
binatang yang biasanya tak pernah absen setiap begawi digelar.
Tak
berapa lama, Pak Hamidi selaku tokoh adat setempat melakukan
tradisi angkonan. Roki Nurhera mempelai wanita yang
berasal dari suku Jawa diangkat sebagai “anak kandung”. Hal ini dilakukan
agar
setiap ada upacara adat yang digelar oleh masyarakat adat marga Tiuh
Balak, Roki
bisa diterima dan diikutsertakan. Hal ini tentu akan lain ceritanya jika Roki
tidak mengikuti aturan adat ini.
Kain
tapis tujuh warna, uang adat kelipatan dua puluh empat ataupun prosesi
minum
dengan gelas yang ditukar tidak saya temukan pada tradisi angkonan kali ini.
Memang, tradisi angkonan kali ini diadakan
dengan cara yang sederhana. Prosesi angkonan kali ini hanya dengan
membacakan
melalui teks tertulis bahwa Roki Nurhera diangkat sebagai anak kandung dari
tokoh adat tersebut. Dan kini, Roki secara sah bisa diterima keluarga besar
mempelai pria.
Selepas
prosesi angkonan, prosesi selanjutnya
adalah inti dari upacara bejuluk buadok
yakni pemberian adok ( gelar ). Kyai Azwin Nurkholis yang memakai kain
tumpal dengan kopiah emas di kepalanya
mendapatkan gelar Rajo Gusti sedangkan wo
Roki Nurhera yang berbalut kain tapis dan siger balak di kepalanya kini
bergelar
Sangun Ratu.
Maka,
kini dalam kehidupan keseharian mereka dipanggil sesuai dengan gelar
mereka. Makna
dari upacara adat ini adalah bahwa setiap anak manusia harus harus tahu
dengan jelas
silsilah keluarganya. Itulah sebabnya upacara adat bejuluk buadok terus
dilestarikan oleh suku Lampung hingga kini. Tabik.

Anda mungkin juga menyukai