Anda di halaman 1dari 8

ANTROPOLOGI KESEHATAN

SUKU SUNDA

1. Pengertian
Suku Sunda merupakan suku yang memiliki kebudayaan Sunda dan
menggunakan bahasa Sunda sebagai pengantar dalam kehidupan sehari-harinya, dan
berkembang serta tumbuh di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti yang
diungkapkan oleh Harsodjo (dalam Koentjaraningrat, 2004, hlm. 307) bahwa: Secara
antropologi budaya dapat dikatakan, yang disebut suku bangsa Sunda adalah orang-
orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa ibu bahasa Sunda serta
dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah
Jawa Barat, daerah yang sering juga disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Ciri
kepribadian orang sunda adalah sangat mencintai dan menghayati kesenian, manusia
yang optimis, suka dan mudah gembira, watak terbuka, bersifat terlalu perasa.
Kebudayaan Sunda mengalami perubahan-perubahan disebabkan oleh bertambahnya
penduduk.
Suku Sunda (Urang Sunda) adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian
barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah
administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan wilayah barat Jawa Tengah
(Banyumasan). Tatar sunda merupakan wilayah (tanah, tatar) yang menurut sumber
setempat meliputi bagian barat Pulau Jawa, dengan batas sebelah timur, (sampai akhir
abad ke-16) adalah Sungai Cimapali (Kali Pemali sekarang), tetapi kemudian batas itu
pindah ke sebelah barat Sungai Cilosari.
Menurut Tome’ Pires, orang Portugis, pada tahun 1513, batas sebelah timur
adalah Sungai Cimanuk. Batas sebelah barat Tatar Sunda berupa laut yang
memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra, yang disebut Selat Sunda. Letak selat
ini sangat strategis sehingga memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah
kawasan ini, yaitu sebagai salah satu jalan yang dilalui rute perdagangan laut, yang
menghubungkan kawasan Nusantara dan Asia Tenggara dengan kawasan Asia Timur,
Asia Selatan, dan Asia Barat serta kemudian Eropa sejak awal masa sejarah (abad-
abad pertama Masehi).

2. Ciri-Ciri Fisik
Penampilan orang Sunda pada umumnya menarik perhatian kita karena
kemiripan dengan suku Melayu. Warna kulit agak kecokelatan, sedikit kurang gelap
dibandingkan dengan orang Jawa. Warna mata adalah coklat atau hitam. Rambut
kepala berwarna hitam dan panjang, agak kasar, dan sering dengan beberapa
gelombang. Gaal atau keriting di pelipis dianggap sebagai tanda keindahan. Rambut
keriting jarang terjadi, dan tampaknya disebabkan oleh pengaruh darah asing.
Pengecualian untuk penampilan tidak seperti albino, yang disebutkan penulis buku ini
beberapa orang ditemukan albino. Ini ditandai dengan warna kulit putih, rambut
terang dan mata kemerahan.
Wajah orang Sunda umumnya berjanggut. Jika seseorang mengembangkan
janggut tipis, ia biasanya menghilangkan bulu dengan catut/pinset (tangetje).
Kebanyakan pria, memeliharanya dengan sangat hati-hati. Panjang tubuh tetap di
bawah orang Eropa. Orang Sunda jarang mencapai panjang lima kaki. Para wanita
umumnya lebih pendek dan lebih ramping dari pada pria. Dahi biasanya cukup tinggi.
Mata, yang ekspresinya sering sayu, ditutupi alis tipis. Celah mata posisi miring yang
jelas terlihat pada banyak orang, tetapi kurang dari pada di Ghana; lebih luas dari
Cina, lebih dekat daripada Eropa.
Hidung kecil, biasanya rata di bagian atas, dengan titik bulat, cukup lebar dan
lubang hidung lebar. Namun, hidung yang berbentuk baik juga tidak jarang. Mulut
biasanya besar (tetapi tidak menonjol), dan dengan bibir tebal. Mulut kecil yang halus
dengan bibir tipis akan terjadi lebih dari sekarang jika suka mengunyah sirih tidak
terlalu membahayakannya. Gigi pada dasarnya indah, teratur, dan putih, tetapi
kebiasaan mengikir gigi dan menghitamkannya akan menghilangkan semuanya.
Tubuh kurus, pinggang ramping, jari-jari halus, tumit sempit, sendi kenyal,
dipasangkan dengan warna tubuh kuning keemasan (koneng), ini adalah karakteristik
utama kecantikan.

3. Pola Kekerabatan
Suku Sunda memperhitungkan dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari
garis bapak maupun ibu. Sistem keluarga dalam Suku Sunda bersifat parental, garis
keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang
bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama
Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan
Suku Sunda.
Suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk
menunjukkan hubungan kekerabatan. Contohnya pertama, saudara yang berhubungan
langsung, ke bawah dan vertikal yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao,
canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua,
saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi,
atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang
berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak
kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya.
Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah)
yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa
Indonesia, makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan. Hubungan seseorang
dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau keluarga dalam Suku Sunda
menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya tercermin dari
adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu yang langsung dan
vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak langsung dan
horisontal (dulur, dulur misan, besan), melainkan juga berdampak kepada masalah
ketertiban dan kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati
kedudukan lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada
anak, incu, alo, suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih
tinggi dari paman/bibi.
Hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan menentukan kedudukan
seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya, menentukan bentuk hormat
menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling menolong di antara
sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi tidaknya pernikahan di antara
anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru.

4. Adat-istiadat
a. Upacara Sepitan/Sunatan Sunda
Upacara sunatan/khitanan dilakukan dengan maksud agar alat vitalnya
bersih dari najis. Anak yang telah menjalani upacara sunatan dianggap telah
melaksanakan salah satu syarat utama sebagai umat Islam. Upacara Sepitan
anak perempuan diselenggarakan pada waktu anak itu masih kecil atau masih
bayi, supaya tidak malu.
Upacara sunatan diselenggarakan biasanya jika anak laki-laki
menginjak usia 6 tahun. Dalam upacara sunatan selain paraji sunat, juga
diundang para tetangga, handai tolan dan kerabat. Pada pelaksanaannya pagi-
pagi sekali anak yang akan disunat dimandikan atau direndam di kolam
sampai menggigil (kini hal semacam itu jarang dilakukan lagi berhubung
teknologi kesehatan sudah berkembang).
Kemudian dipangku dibawa ke halaman rumah untuk disunat oleh
paraji sunat (bengkong), banyak orang yang menyaksikan diantaranya ada
yang memegang ayam jantan untuk disembelih. Ada yang memegang petasan
dan macam-macam tetabuhan sambil menyanyikan marhaba.
Bersamaan dengan anak itu disunati, ayam jantan disembelih sebagai
bela, petasan disulut, dan tetabuhan dibunyikan. Kemudian anak yang telah
disunat dibawa ke dalam rumah untuk diobati oleh paraji sunat. Tidak lama
setelah itu para undangan pun berdatangan, baik yang dekat maupun yang
jauh.
Mereka memberikan uang/ nyecep kepada anak yang disunat itu agar
bergembira dan dapat melupakan rasa sakitnya. Pada acara ini adapula yang
menyelenggarakan hiburan seperti wayang golek, sisingaan atau aneka tarian.\
b. Upacara Adat Perkawinan
Sebelum Akad Nikah:
1) Neundeun Omongan: yaitu kunjungan orang tua laki-laki atau anaknya
kepada orang tua perempuan untuk mengatakan isi hatinya untuk
menyimpan janji (neundeun omongan). Orang tua laki-laki menginginkan
agar bisa menyatukan anaknya dengan anak prempuan calon besan.
Menurut Hasan Mustopa, orang yang mampu biasanya mengutus orang
lain yang memiliki kecakapan dalam berbicara untuk proses neundeun
omongan ini.
2) Ngalamar: nanyaan atau nyeureuhan yaitu kunjungan orang tua jejaka
untuk meminang/melamar si gadis. Dalam kunjungan tersebut dibahas
pula mengenai rencana waktu penikahannya. Sebagai acara penutup dalam
ngalamar ini si pelamar memberikan uang sekedarnya kepada orang tua si
gadis sebagai panyangcang atau pengikat, kadang-kadang dilengkapi pula
dengan sirih pinang selengkapnya disertai kue-kue dan buah-buahan.
Mulai saat itu si gadis telah terikat dan disebut orang bertunangan.
3) Seserahan: yaitu menyerahkan si jejaka calon pengantin pria kepada calon
mertuanya untuk dikawinkan kepada si gadis. Pada acara ini biasa dihadiri
oleh para kerabat terdekat, di samping menyerahkan calon pengantin pria
juga barang-barang berupa uang, pakaian, perhiasan, kosmetik dan
perlengkapan wanita, dalam hal ini tergantung pula pada kemampuan
pihak calon pengantin pria. Upacara ini dilakukan 1 atau 2 hari sebelum
hari perkawinan atau ada pula yang melaksanakan pada hari perkawinan
sebelum akad nikah dimulai.
4) Ngaras dan siraman. Aras adalah Ritual yang dilakukan untuk memohon
ampunan dari orang tua, biasanya dengan membasuh kedua kaki orang
tua. Sedangkan siraman, merupakan upacara yang untuk menyiram kedua
calon mempelai oleh orang tua dan karuhun (sesepuh) yang masih hidup.
Ritual ini menjadi penanda bahwa ini adalah siraman terakhir seorang
ayah dan ibu pada anaknya. Ia tidak akan lagi dimandikan oleh orang tua.
Kedua calon mempelai melakukan ritual ini di rumah masing-masing.
5) Ngeuyeuk Seureuh, artinya mengerjakan dan mengatur sirih serta
mengait-ngaitkannya. Upacara ini dilakukan sehari sebelum hari
perkawinan, yang menghadiri upacara ini adalah kedua calon pengantin,
orang tua calon pengantin dan para undangan yang telah dewasa. Upacara
ini dipimpin oleh seorang pengetua. Benda perlengkapan untuk upacara
ini seperti sirih beranting, setandan buah pinang, mayang pinang,
tembakau, kasang jinem/kain, elekan, dan lain-lain, semuanya
mengandung makna/perlambang dalam kehidupan berumah tangga.
Upacara ngeuyeuk seureuh dimaksudkan untuk menasihati kedua calon
mempelai tentang pandangan hidup dan cara menjalankan kehidupan
berumah tangga berdasarkan etika dan agama, agar bahagia dan selamat.

Akad Nikah

Upacara akad nikah biasa dilaksanakan di Mesjid. Penghulu atau pegawai


penghulu datang dan menikahkan kedua mempelai. Adapun pelaksanaannya
adalah kedua mempelai duduk bersanding diapit oleh orang tua kedua
mempelai, mereka duduk berhadapan dengan penghulu yang di kanan kirinya
di dampingi oleh 2 orang saksi dan para undangan duduk berkeliling. Yang
mengawinkan biasanya wali dari mempelai perempuan atau mewakilkan
mewakilkan secara tertulis kepada penghulu.

Kalimat menikahkan dari wali atau penghulu disebut ijab, sedang sambutan
dari mempelai pria disebut qobul (kabul). Adapun urutannya seperti ini:

a) Wali membaca bismillahirraḥmānirraḥīm, astagfirullāh al-‘aẓīm tiga kali;


membaca syahadat (asyhadu ‘allā ilāha illā Allah tiga kali; kemudian ia
melanjutkan dengan permohonan untuk menikahkan pada yang akan
menikahkan: “Saya minta tolong untuk mengawinkan anak saya Nyai ...
kepada Jang ... dengan maskawin Rp ... diutang/dibayar kontan, saya
menyetujui Nyai bersuami kepada Jang ... dan ta‘līq-nya diminta;
b) Yang akan menikahkan (penghulu), akan menjawab, “Saya terima”;
c) Kemudian penghulu membacakan khutbah nikah;
d) Selesai khutbah, ia memegang kedua ibu jari calon mempelai pria, dan
minta kepada hadirin untuk menyaksikan;
e) Penghulu memberikan ucapan pengantar, lalu ia berkata: “Jang ...saya
nikahkah Anda kepada Nyai ... anak perempuan Bapak ... yang
mewakilkannya pada saya dengan maskawin Rp ... diutang/dibayar
kontan”;
f) Mempelai pria menjawabnya dengan ucapan “Saya terima nikahnya
Nyai... kepada saya dengan maskawin Rp... diutang/ dibayar kontan”;
g) Pembacaan doa oleh yang menikahkan;
h) Pembacaan ta‘līq talak oleh pengantin laki-laki;
i) Pengantin laki-laki kemudian bersalaman dengan yang menikahkan, orang
tua, mertua, dan orang-orang yang hadir;
j) Pengantin perempuan baru keluar dari kamar, ia menyalami suaminya dan
orang-orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh sang suami.
Bersalaman dengan orang tua biasanya dibuat satu ritual tersendiri, yaitu
sungkeman. Sungkeman dilakukan kepada ayah dan ibu kedua belah
pihak. Disertai dengan lantunan pantun dari juru pantun yang berisi
wejangan kepada kedua mempelai. Mereka memohon maaf dan doa restu
agar mampu menjalani kehidupan dengan baik.

Setelah Akad Nikah


a) Sawer (Nyawer).
Perlengkapan yang diperlukan adalah sebuah bokor yang berisi beras kuning,
uang kecil (receh)/logam, bunga, dua buah tektek (lipatan sirih yang berisi
ramuan untuk menyirih), dan permen. Pada pelaksanaannya kedua mempelai
duduk di halaman rumah di bawah cucuran atap (panyaweran). Upacara dipimpin
oleh juru sawer. Juru sawer menaburkan isi bokor tadi kepada kedua pengantin
dan para undangan sebagai selingan dari syair yang dinyanyikan olehnya sendiri.
Adapun makna dari upacara nyawer tersurat dalam syair yang ditembangkan juru
sawer, intinya adalah memberikan nasehat kepada kedua mempelai agar saling
mengasihi, berbagi dan mendoakan agar kedua mempelai mendapatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam membina rumah tangganya, hidup rukun
sampai di akhir hayatnya.
b) Nincak Endog (injak telur).
Upacara ini dilaksanakan setelah upacara nyawer, dengan perlengkapan:
ajug37/lilin, seikat harupat (sagar enau) berisikan 7 batang, sebuah tunjangan atau
barera (alat tenun tradisional) yang diikat kain tenun poleng, sebuah elekan,
sebutir telur ayam mentah, sebuah kendi berisi air, dan batu pipisan, semua
perlengkapan ini memunyai perlambang. Ini semua dilakukan dengan prosesi
Pelaksanaan: a) mempelai berdiri di atas tangga rumah berhadap-hadapan, pria
berada di tangga bagian bawah memegang ajug/lilin, b) ajug/ lilin dinyalakan, c)
mempelai wanita membakar ujung harupat selanjutnya, dipadamkan dipatahkan
kemudian dibuang, d) mempelai pria menginjak telur dan elekan sampai pecah, e)
kaki bekas menginjak telur dibasuh air kendi oleh mempelai wanita, f) dan
kendinya langsung dihempaskan ke tanah hingga hancur.
c) Upacara Buka Pintu.
Setelah upacara nincak endog, mempelai wanita masuk ke dalam rumah
sedangkan mempelai pria menunggu di luar. Pintu (dalam arti simbolis)39 akan
dibukakan setelah mempelai pria mengucapkan syahadat. Upacara ini, biasanya
diwakilkan kepada 2 orang juru pantun yang saling tanya jawab. Diawali dengan
ketukan tiga kali dari pihak mempelai pria (yang diwakilkan ke juru pantun),
setelah itu terjadi tanya jawab yang berupa nasehat dan petuah, dan diakhiri
dengan permintaan mempelai wanita untuk membaca dua kalimah syahadat.
Petuah dan nasehat dilantunkan dalam bentuk pupuh.40 Setelah selesai, barulah
mempelai pria dibolehkan masuk ke rumah mempelai wanita.
d) Upacara Huap Lingkung.
Posisi kedua mempelai saling berdampingan, wanita di sebelah kiri pria. Di depan
mereka telah tersedia 2 kepalan nasi kuning dari ketan dan bakakak ayam
(panggang ayam yang bagian dadanya dibelah dua). Mula-mula bakakak ayam
dipegang kedua mempelai lalu saling tarik menarik hingga menjadi dua. Siapa
yang mendapatkan bagian terbesar dialah yang akan memeroleh rejeki besar di
antara keduanya.42 Dalam posisi saling merangkul tangan keduanya di belakang
pundak pasangan. Kemudian mereka saling menyuapi nasi ketan kuning. Upacara
ini menjadi simbol akan pelayanan pertama istri pada suaminya, memberi nasihat
untuk tetap rukun.

Anda mungkin juga menyukai