Anda di halaman 1dari 6

Adat istiadat dapat dipahami sebagai upacara tradisional yang dilalui sepanjang hidup manusia pada

suatu kolektivitas tertentu. Dalam ilmu antropologi dikenal dengan istilah circle of life (daur hidup).
Mulai dari bagaimana anggota kolektivitas tersebut kawin sampai dengan bagaimana matinya tentu
memiliki tata tersendiri. Salah satu contoh bahwa adat dijadikan sebagai pandangan hidup adalah seloko
adat yang berbunyi, “Adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan Kitabullah, merupakan filosofi
dasar dari adat. Artinya, sarak sebagai ajaran agama Islam yang bersumber dari Kitab Alquran dan khadis
dijadikan landasan pelaksanaan aturan kemasyarakatan yang dinamai dengan adat. Untuk itu perlu
dipahami beberapa tingkatan adat, yaitu adat yang sebenarnya adat, adat yang diadatkan dan adat yang
teradat.

Adat yang sebenarnya adat, adalah prinsip yang tidak bisa diubah-ubah. Adat yang sebenar-benarnya
adat adalah ritus prosesi yang sudah dianggap benar dan sesuai secara moral dan norma yang dianut
oleh masyarakat. Dalam prosesi perkawinan misalnya, tidak boleh menikah lebih dahulu baru meminang
kepada orangtua atau wali, adalah mustahil menurut pandangan adat. Pada zaman dahulu sebelum
listrik dikenal dan dimanfaat secara luas seperti sekarang ini, acara perkawinan dilaksanakan di atas
rumah panggung yang disambung-sambung. Namun sekarang ini cara seperti zaman dahulu itu sudah
tidak berlaku lagi. Muncul adat yang diadatkan yaitu dengan sistem undangan tertulis kepada kerabat
dan handai taulan untuk menghadiri resepsi perkawinan. Resepsi perkawinanpun tidak dilaksanakan di
atas rumah panggung lagi, tetapi diganti dengan pemakaian kursi di lapangan terbuka atau gedung
tertentu.

Adat yang diadatkan; adalah kebiasaan yang diadatkan oleh pemimpin maupun penguasa pada suatu
kurun waktu tertentu, dan terus berlaku sampai jika diubah oleh penguasa berikutnya. Kalau boleh
diibaratkan sebagai peraturan pelaksanaan dari adat yang sebenarnya adat.

Adat yang teradat; merupakan konsensus bersama yang dirasakan cukup baik sebagai pedoman
bersikap menghadapi suatu masalah atau peristiwa. Adat teradat inilah yang populer kita kenal sebagai
"tradisi". Adat yang teradat adalah kebiasaan yang terbarukan dari tatacara penyelenggaraan adat.

Tradisi yang bersumber dari budaya asli berasimilasi dengan budaya dan ajaran Islam, bukanlah sesuatu
yang aneh, sepanjang tetap berpegang kepada Sunah Rasul. Sebelum kedatangan bangsa Barat di
kawasan Nusantara ini, adat merupakan satu-satunya sistem yang menata kehidupan masyarakat dan
pemerintahan, terutama di kerajaan Melayu khususnya dan Nusantara umumnya. Untuk mengantisipasi
kemungkinan yang akan terjadi kehancuran peradaban manusia, mereka menciptakan norma-norma
kehidupan yang dapat menjamin ketertiban, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bagi mereka sendiri,
dan anak cucunya sepanjang zaman. Norma-norma itu berupa aturan-aturan yang sangat esensial bagi
kehidupan yang tertib, arnan dan damai. Aturan-aturan itu antara lain mengatur, hubungan antara
wanita dan pria, aturan mengenai harta kekayaan, yang menjadi tumpuan kehidupan manusia, norma-
norma tentang tata krama pergaulan dan sistem kekerabatan serta lain-lainnya yang berhubungan
dengan kemasyarakatan.

Masyarakat Melayu Jambi menganut sistem garis keturunan patriakat dan matrilinear. Kekhasan lain,
adat Melayu Jambi merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari di Melayu Jambi, dan
tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat,
hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara
adat.

Adat Melayu Jambi merupakan peraturan dan undang-undang atau hukum adat yang berlaku dalam
kehidupan sosial masyarakat MelayuJambi, terutama yang bertempat tinggal di Alam Melayu Jambi,
Sumatera Barat. Adat adalah landasan bagi kekuasaan para nenek mamak, datuk, tengganai, dan
penghulu, dan dipakai dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Adat yang terangkum dalam
seloko menata keseluruhan interaksi manusia dengan manusia, manuisa dengan kelompok, manusia
dengan alam, dan manusia dengan kosmologi. Dalam seloko tercermin betapa dahsyat nilai, kaidah, dan
norma yang ada dibatang tubuh sastra lisan ini. Kaidah, nilai, dan norma yang ada dalam tradisi lisan
seloko tidak hanya mengatur kehidupan dunia bagi pendukungnya tetapi juga kehidupan akhirat.

Peninggalan harta benda dan waris ditata sedemikian rupa walaupun tergantung pada cupak gantang
selingkungan. Artinya, lain daerah, lain pula kaidah yang mengatur warisan menurut adat. Tata aturan
waris ini merupakan hukum adat yang paling banyak diperlukan masyarakat dalam mencari keadilan
berkaitan dengan warisan yang ditinggalkan oleh peninggal waris. Perhatikan larik-larik seloko berikut,
“" Petuih tali, balik ke tembang, pecah jung, balik kekualo ". Makna larik seloko tersebut adalah jika anak
laki-laki itu sakit bangit (jatuh miskin, cerai dari isterinya), ia dapat kembali kesanak betinonyo untuk
menyambung hidupnyo. Disamping itu, dalam pembagian harta waris ini jika seorang meninggal waris
mempunyai anak, yang anak itu meninggal dunia pula, akan tetapi anak yang meninggal itu, meninggal
anak ketnrunannya, maka keturunannya itu (cucunya) juga berhak mendapat warisan. Hal-hal yang
diwariskan seorang laki-laki yang menjadi ayah dari anak-anak dalam sebuah keluaga adalah pesoko
seperti sawah, tanah, rumah, perhiasan, dan lain-lain.

Seloko juga menata hal-hal penting yang menjadi sumber kehidupan masyarakat seperti tanah dan
kebun yag disebuh dengan “rimbo lepeh hutang tenang”. Rimbo lepeh hutan tenang” merupakan hutan
belukar nan dikendano .(dipelihara), perimbon, taruko, hak alko, seseko lia ". Artinya :Rimbo lepeh
hutan tenang. Kawasan yang disebut rimbo lepeh hutan tenang itu ialah kawasan tanah yang takluk
pada rajo. kawasan (tanah) itu disebut rimbo larangan, artinya tanah dalam kawasan itu tidak boleh
menjadi milik perorangan, namun rakyat/penduduk dapat memungut hasil hutan dalam rimbo lepeh
hutan tenang itu.

Kemudian untuk menentukan siapa yang berhak memungut hasil hutan didalam hutan lepeh rimbo
tenang itu, maka penduduk yang bersangkutan haruslah lebih dahulu memberi tando-tando yang
dinamakan dalam adat "dendang lalu".Dendang itu ada beberapa macam yakni :

" Dendang bulu sepengimbau (tidak berlaku lagi).

Dendang tere betegak batu (tidak berlaku lagi)

Dendang buah kelike batang (tidak berlaku lagi).

Dendang dama betudung kelakai (tidak berlaku lagi).


Dendang kayu bertakuk baris (masih ada yaitu menunjukkan sebatang

kayu yang ditakuk sekelilingnya).

Larik-larik seloko ini menyatakan bahwa ada seseorang yang akan menebang dan mengambil kayunya.

Taruko ialah tanah pertanian yang baru dibuat, hak milik atas tanah itu menurut ico pakai mempunyai
tanda-tanda sebagai berikut: Masih ada suri bajak parit melitang, Kok unja agi tqjaju, Kok kandang agi
belarik, Masih adu tanaman mudo nan kadi ulang, Tanaman tuo nan kadi janguh, Nan ditanam serempak
tubuh, Nan dilambuk serempak gedang ".

Hal alko adalah padang buah-buahan atau sekelompok padang buah-buahan, dengan seluko adat
disebut : " Kok durian lah seko, Kok kelapo lah gayu ". Seseko lia (berpencaran). Pemilihan atas
kelompok-kelompok buah-buahan yang berpencaran, kemuningkanan antara kelompok pada buah-
buahan pertama dengan kelompok buah-buahan yang lain terdapat kebun atau kelompok buah-buahan
milik seseorang atau beberapa orang. Hak atas tanah pada kelompok yang berpencaran itu ditentukan
dengan seluko adat : •

" Sejulai dan kayu, serentang urat". Hak milik menurut adat :

Syarat - syarat untuk menjadi hak milik menurut adat adalah :

1. Diperdapat dari usaha cencang tanah, jerih payah syah

2. Diperdapat dari warisan yang syah.

3. Diperdapat dari hibbah yang syah.

Seloko “dusun sekato penghulu, rantau jenang, dan rumah sekato tengganai. Ungkapan ini
menunjukkan bahwa jabatan penghulu, patih dalam, tuo tengganai, jenang, nenek mamak, datukl, dan
kepala adat sangat dihargai dan titahnya dihormati serta diataati. Dalam seloko dinyatakan, memakan
habis, memancung putus. Keputusan yang dibuat pemangku adat ini melalui musyawarah untuk
mupakat dipandang sebagai patwa yang harus ditaati, dilaksanakan, dan diterima oleh masyarakat.

Pemimpin adat tersebut bagaikan beringin besar, batangnyo tampek basanda, daunnyo tampek
belindung ketiko hujan, beteduh ketiko paneh, akar besaknyo tempat besilo, pegi tempat betanyo, balek
tampek babarito”. Ketua Adat, di samping menguasai aturan, adat, dan hukum adat juga berfungsi
sebagai pengendali yang memastikan bahwa semua aturan, adat, dan hukum adat dilaksanakan secara
adil untuk semua anggota masyarakat adat. Hal ini ditunjukkan dalam seloko, raja adil raja disembah,
raja zalim raja disanggah. Titah, fatwa, keputusan, dan anjuran, perintah Raja harus dilankan oleh semua
anggota masyarakat adat tanpa kecuali.

Dari uraian diatas seloko merupakan suatu aturan yang tertulis yang muncul dari mengalaman hidup
para tetua adat, pemuka agama dan pihak yang memerintah di desa yang juga dilibatkan pemerikira tuo
tengganagi, cerdik pandai, aturan yang meraka susunan ini lah yang menjadi seloko adat jambi. Seloko
adat jambi ini sudah hidup berabad-abad dari zaman kerajaan Melayu lama sampai sekarang hal ini
menunjukkan pertahanan yang cukup lama di tengan masyakarat.

Salah satu contoh pepatah adat dalam suatu adat adalah bulek aek dek pembuluh, bulek kato
demufakat, pipih boleh dilayangkan bulek boleh digolekkan. Hal ini berarti bahwa kesepakatan di atas
segalanya demokrasi yang terbangin yang mufakat ini yang membuat keputusan yang menjadi
tanggungannya dan tidak ada satu pun pihaknya yang menantang, tidak menaati, atau tidak
menjalankan keputusan ini.

Peranan Orang Adat Dalam Pemerintahan Desa.

Sebagai sudah disebutkan di atas, bahwa tali tigo sepilin itu terdiri dari :

1. Pejabat Pemerintahan Desa.


2. Pemangku Adat.
3. Pegawai Syarak.

Pemerintahan Dusun dipegang oleh keparapatan Dusun yang dipimpin oleh Kepala Dusun, yang
merupakan Instansi yang tertinggi dalam Pemerintahan Desa. Pemerintahan dusun dalam arti sempit
adalah Kepala Dusun atau Depati memerintah ditambah dengan nenek mamak memerintah, juru tulis
dusun, hulubalang, alingan (pesuruh), tukang canang dan pegawai syarak (kahdi, imam,khatib dan bilal).
Sedangkan Pemerintahan Dusun dalam arti luas adalah Pemerintahan Dusun dalam arti sempit
diitambah dengan kerapatan dusun.

Kerapatan Dusun yang memegang kekuasaan yang tertinggi dalam dusun, dan kerapatan inilah yang
mendelegasikan sebagai kekuasaannya kepada Pemerintah Dusun. Dalam arti sempit, kerapatan dusun
inilah yang mengawasi segala tindak tanduk dari Pemerintahan Dusun sehari-hari. Fungsi dari kerapatan
Dusun adalah memilih Kepala Dusun, memilih dan menunjuk nenek memerintah mamak , Pegawai
Mesjid, Juru Tulis Dusun, Hulubalang, Alingan dan Tukang Canang. Kerapatan dusun merupakan
pemegang kekuasaan Pemerintah yang tertinggi dalam dusun.

Fungsi Lembaga Adat


a. Membantu Pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pembangunan disegala bidang, terutama
dibidang kemasyarakatan dan sosial budaya.

b. Member! kedudukan hukum menurut Hukum Adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta
kekayaan masyarakat hukum adat tiap- tiap Tingkat lembaga Adat guna kepentingan hubungan
keperdataan adat, juga dalam hal adanya persengketaan atau perkara perdata adat.

c. Menyelenggarakan Pembinaan dan Pengembangan nilai-nilai adat istiadat di Daerah Jambi, dalam
dalam rangka memperkaya, melestarikan dan megembangkan kebudayaan Nasional pada umumnya dan
kebudayaan Daerah Jambi pada khusunya.

d. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan ketentuan-ketentuan adat istiadat yang hidup dalam
masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat.

Disamping itu kepada Lembaga Adat ini diberikan pula tugas-tugas seperti :

1. Menggali dan mengembangkan adat istiadat dalam upaya melestarikan kebudayaan nasional.

2. Mengurus dan mengola hal- hal yang berkaitan dan berhubungan dengan adat istiadat di Daerah
Jambi.

3. Menyelesaikan perkara-perkara perdata adat istiadat di Daerah Jambi sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan Perundang-undanganyang berlaku.

4. Mengiventarisasikan, mengamankan, memelihara dan mengurus serta memanfaatkan sumber-


sumber kekayaan yang dimiliki oleh Lembaga Adat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat .

KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM MASYARAKAT

Hukum adat disebut juga hukum asli dan hukum perdamaian yang adil dan patut, adil menurut orang
yang tahu pada hukum dan pada adat dan patut menurut orang yang tahu pada nilai harga sesuatu.
Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Menurut
hukum adat untuk menentukan salah atau benar sesuatu perbuatan diteliti (disimak) dari ungkapan-
ungkapan dalam pepatah dan petitih serta seloko adat yang ada kaitannya dengan perbuatan (kejadian)
tersebut dalam ungkapan :

Pinjam memulangkan. Sumbing meniti. Terpijak benang arang, hitam tapak. Tesuruk digunung kapur,
putih tengkuk.

Sia-sia negeri alah. Tateko hutang tumbuh.

Pinjam k. Hilang mengganti.


PERANAN TALI TIGO SEPILIN.

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemrin-tahan Desa Dalam Daerah
Tingkat I Propinsi Jambi, yang dimaksud dengan Desa adalah Marga, Mendapo dan Kampung. Marga
terdapat dalam Kabupaten Sarolangun Bangko, Bungo Tebo, Batang Hari dan Tanjung Jabung. Mendapo
terdapat dalam Kabupaten Kerinci, sedangkan Kampung terdapat dalam Kotamadya Jambi. Dengan
berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemrin-tahan Desa, maka bentuk Desa seperti
tersebut diatas diharuskan dan diganti dengan Desa bentuk baru yang dinamakan dengan Desa dan
Kelurahan.

Menurut pasal 1 Undang-undang diatas yang dimaksud dengan Desa adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi Pemerintahan terendah, langsung di bawah Camat dan
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai
organisasi Pemerintahan terendah langsung di bawah Camat yang tidak berhak menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri.

Tali tigo sepilin atau sering juga disebut orang dengan tungku tigo sejerang, merupakan kata atau
kalimat perumpamaan mengenai kerja sama tiga kelompok penguasa dalam membangun Desanya. Tiga
kelompok penguasa itu adalah: a. Pejabat Pemerintahan Desa. b. Pemangku Adat. c. Pegawai Syarak.

Yang dimaksud dengan para Pejabat Pemerintahan Desa adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala-
kepala Urusan dan Kepala- kepala Dusun, termasuk juga anggota Lembaga Musyawarah Desa (LMD).
Sedangkan Pejabat Pemerintahan Kelurahan, adalah Kepala Kelurahan, Sekretaris Kelurahan, Kepala-
kepala Urusan dan Kepala-kepala Lingkungan. Penangku Adat itu berupa Depati, Nenek Mamak, Rio,
Penghulu, Ngabi, Mangku, Datuk, Orang Tuo, Cerdik Pandai dan para Tengganai. Sedangkan yang
dimaksud dengan Pegawai Syarak adalah Kahdi, Imam, Khatib dan Bilal. Mereka ini berasal dari para alim
ulama dan guru -guru agama yang ada dalam Desa dan Kelurahan.

Anda mungkin juga menyukai