Pengertian
Sementara itu, Ter Haar menyebut bahwa hukum adat ialah keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam adanya keputusan adat.
Hukum Adat secara umum sendiri merupakan sebuah hukum kebiasaan, yang
berarti hukum tersebut di dalamnya memiliki aturan yang dibuat atau dirumuskan
berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan juga berkembang
sehingga menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang ditaati oleh masyarakat
setempat.
Hukum Adat sendiri juga diakui pula oleh negara sebagai bentuk hukum sah.
Dimana, setelah negara Indonesia merdeka, hukum adat menjadi salah satu dari
beberapa aturan yang dibuat dan terdapat di dalam UUD 1945.
Seperti halnya yang tertulis dalam pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945, yang
menjelaskan bahwa “Indonesia sebagai negara mengakui serta menghormati
kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan juga prinsip NKRI atau
Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti halnya yang diatur di dalam
undang-undang”.
Hukum ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu hukum tertua jika
dibandingkan dengan sistem hukum lain yang ada di negara Indonesia karena
telah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakatnya.
Hukum adat adalah kepercayaan turun temurun masyarakat daerah yang masih
dianut. Di dalamnya terdapat aturan yang berkaitan dengan perkawinan, upacara
adat dan upacara kematian yang diatur oleh hukum adat. Berikut ini adalah contoh
hukum adat di Indonesia:
Contoh hukum adat masyarakat Jawa yang masih hidup dan berlangsung hingga
saat ini adalah tradisi menghitung kalender. Menghitung penanggalan Jawa tidak
hanya berkaitan dengan hal-hal mistis, tetapi merupakan syarat untuk
mendapatkan ridho Illahi. Perhitungan penanggalan Jawa umumnya digunakan
sebagai:
Dikutip dari website JDIH Karangasem, Hukum adat Awig-awig Bali tercantum
dalam SK Provinsi Bali No. 3 tahun 2003. Awig-awig yang dianut Desa
Pakraman Bali meliputi beberapa hal seperti:
o Mengaksama (memaafkan)
o Dedosaan (denda finansial)
o Kerampang (penilaian harta)
o Kasepekang (tidak berbicara) untuk jangka waktu tertentu
o Kaselong (diusir dari desanya)
o Upacara Prayascita (upacara pembersihan desa)
Namun, orang suku Dani yang tinggal di pegunungan Halmahera, Papua berbeda.
Hukum adat yang ada bahkan terkesan menambah penderitaan keluarga yang
ditinggalkan dengan harus memotong jari tangan mereka.
Setiap ada anggota keluarga yang meninggal, anggota suku harus memotong
buku jarinya sebagai pengingat bahwa anggota keluarga tersebut tidak lengkap
lagi.
Mengapa buku jari? Karena tangan melambangkan kesempurnaan, jika ada yang
hilang, hidup jelas tidak lagi sempurna.
Di Aceh, contoh hukum adat yang berlaku adalah hukum bertingkat berdasarkan
ketidakadilan yang dilakukan oleh masyarakat, terlepas apakah itu kelas bawah
dari atasan. Dimulai dengan teguran, kemudian harus meminta maaf di depan
umum, sampai akhirnya ada hukum yang besar dan sampai pelakunya dihukum
secara fisik.
Upacara Tikam Tanah adalah ritual adat yang dilakukan oleh orang luar yang
masuk ke Pulau Selaru untuk suatu tujuan. Menurut penduduk asli Pulau Selaru,
seluruh wilayah Desa Petuan, terutama beberapa wilayah yang disakralkan
masyarakat masih dihuni oleh leluhur. Oleh karena itu, pengunjung dari luar desa
harus melakukan ritual pengenalan yang disebut ritual adat muspika, sebagai
isyarat kepada leluhur, agar tamu desa tidak diganggu. Ritual ini menunjukkan
bahwa tamu desa dianggap sebagai bagian dari masyarakat desa.
Bali yang menganut paham patrilineal atau gender laki-laki, memiliki hukum
waris keluarga yang seratus persen berada di tangan laki-laki.
Walaupun hanya boleh dikenakan oleh anak perempuan, hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa tanggung jawab laki-laki dalam keluarga dianggap lebih besar
daripada tanggung jawab perempuan.
Tetapi hukum ini hanya berlaku bagi perempuan Hindu. Hal ini tidak berlaku bagi
perempuan Bali yang berpindah agama.
Suku Naulu masih mengikuti hukum adat mahar berupa kepala manusia yang
terpenggal hingga tahun 2005. Memang mengerikan, namun masyarakat
setempat percaya bahwa hal itu akan membawa keabadian bagi keluarga mereka
di masa depan. Untungnya, pemerintah melarang penegakan hukum ini.
Salah satu kampung Dayak Mualang yang masih mengikuti adat dan tradisinya
adalah Dayak Mualang di Desa Resak Balai, Kecamatan Belitang Hilir, Wilayah
Administratif Sekadau. Desa ini termasuk desa kecil dengan 63 keluarga. Masih
ada rasa kekeluargaan dan keterikatan yang sangat kuat di sini dalam kehidupan
sosial sehari-hari. Rasa kekeluargaan dan rasa memiliki tidak lepas dari ketaatan
dan ketaatan sebagai pedoman hidup bersama. Bagi orang Dayak Mualang di sini,
setiap ada masalah atau perselisihan di desa, selalu mengutamakan hukum adat.
Dayak Mualang Kampung Resak Balais percaya bahwa hukum adat adalah jalan
terbaik dan tetap memberikan rasa keadilan dalam menyelesaikan masalah atau
perselisihan. Tidak ada yang tidak bisa ditangani oleh hukum umum. Bagi
masyarakat Dayak Mualang asli, tujuan hukum adat adalah untuk mengatur
ketertiban dalam masyarakat. Hukum adat sangat penting karena menjaga dan
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan
manusia dengan Sang Pencipta agar tetap terjaga, seimbang, damai dan harmonis.
Hukum adat Dayak Mualang terdiri dari beberapa jenis atau tingkatan. Mulai dari
common law yang mengatur tingkah laku manusia hingga common law yang
berkaitan dengan pengelolaan tanah dan sumber daya alam. Jadi bagi Dayak
Mualang, hukum adat adalah hal yang sangat sakral. Oleh karena itu, jika terjadi
pelanggaran hukum umum, semua pelanggar harus dikenakan hukuman biasa dan
harus memperhatikan hukuman. Saba, menurut Dayak Mualang, adalah satuan
penyebutan sanksi adat.
Salah satu hukum adat yang masih dipatuhi oleh penduduk asli Dayak Mualang
di desa Resak Balai adalah adat butang atau nupu. Hukum adat ini merupakan
bagian dari hukum adat perkawinan. Pernikahan adalah penyatuan dua orang
yang sangat berbeda yang tidak dapat dibubarkan oleh siapa pun, jadi jika salah
satu pria atau wanita menolak pernikahan tersebut, hukum adat berlaku untuk
keduanya. Butang adalah perselingkuhan atau perzinahan yang dilakukan oleh
pria beristri atau sebaliknya wanita beristri. Hukum adat butang ini diperuntukkan
bagi semua orang (laki-laki dan perempuan) yang mempunyai pasangan yang sah
atau yang sudah menikah.
o Saut: Jenis hukuman yang dimulai dari kasus yang ringan. Hukuman saut
merupakan suatu lambang perdamaian dengan roh gaib sekitarnya.
o Satanga' Baar (setengah pati nyawa): Jenis keputusan terhadap sesuatu
kasus, baik yang disengaja atau tidak. Dampak pada korban adalah cacat
seumur hidup atau luka parah.
o Pati Nyawa atau Raga Nyawa atau Baar: Jenis keputusan bagi setiap kasus
yang menyebabkan kematian seseorang. Pelaku dikenakan hukum adat
serta hukum formal yang berlaku (dilaporkan kepada pihak yang berwajib)
o Adat Kampung: Jenis hukuman yang dikenakan kepada pelaku di mana
kasusnya langsung tertangkap basah dan telah terbukti adanya perbuatan
yang melanggar adat kampung.
11.Dll,
o ERA LAMPAU.
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno,
zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut
menurut ahli-ahli; hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia di
sekitar abad 12 & 13. Diawali masuknya kultur China di pedalaman Kalimantan,
disusul kemudian kedatangan bangsa India dengan kultur Hindu dan Budha,
kultur Islam (melalui kaum Gujarat yang sebagian besar merupakan pedagang
dari jazirah Arab) dan kultur Kristen (melalui pendatang para saudagar dari
daratan Eropa) yang masing-masing mempengaruhi kultur asli Nusantara yang
sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum
adat. Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil
akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan
peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur
Kristen.
o ERA KOLONIALISME.
Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat
hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Istilah “Hukum Adat” dikemukakan
pertama kalinya oleh Cristian Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul
“De Atjehers” (orang-orang Aceh) dan “Het Gayo Land” (Tanah Gayo) Tahun
1893, yang kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollenhoven dalam bukunya
yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah
ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 mulai
menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda.
Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada
hukum adat, adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur
dengan kitabnya yang disebut Civacasana.
2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang
disebut Kitab Gajah Mada.
3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.
4. Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava.
Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa
VOC karena ada kepentingan atas Negara jajahannya (menggunakan politik
opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus Negara-
negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang memimpin
daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum Belanda di Negara
jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret 1621 yang baru
dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De Carventer yang
sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai pada suatu
kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup. Oleh karena
itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga
perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu:
1. Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang dengan kitab
hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusus pidana adat (menurut
Van Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2. Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM”
(pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck
mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan
Goa.
3. COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai
nikah, talak, dan warisan.
4. HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk
para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.
CATATAN. Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah
Hindia Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau hukum yang berlaku di
Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas
konkordansi. Konkordansi (Asas Konkordansi) adalah suatu asas yang
melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda
pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada Golongan Eropa yang ada
di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu).Mengenai hukum adat timbulah
masalah bagi pemerintah kolonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan
bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan
sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda.
Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan
pemerintah kolonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik
pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah kolonial yang ada
di Indonesia ini, maka secara ringkasnya undang-undang yang bertujuan
menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat seterusnya didalam sistem
perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki
apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi
Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal
2. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan
penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk
kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan
kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah-
daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum
terlaksana.
4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang-
undang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa.
Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk
pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen
Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
5. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan
amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh
golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan
usaha ini gagal.
6. Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta
membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan
Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha
ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr
Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undang-
undang kesatuan itu tidak mungkin.
a. Di dalam perundang-undangan:
i. Dalam A.B. (Algemenee Bepalingen van Wetgeving) = Ketentuan-
Ketentuan Umum Perundang-undangan) pada Pasal 11 digunakan
istilah “Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen en Gebruiken”
(Peraturan-peraturan Agama, Lembaga-lembaga Rakyat dan
Kebiasaan-kebiasaan).
ii. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 Ayat (3)
menggunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen en
Gebruiken” (Peraturan-peraturan Agama, Lembaga-lembaga
Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).
iii. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 78 Ayat (2)
menggunakan istilah “Godsdienstige Wetten en Oude
Herkomsten” (Peraturan-peraturan Agama dan Naluri-naluri)
iv. Dalam I.S. (Indische Staatsregelling = Peraturan Hukum Negara
Belanda – semacam UUD bagi Pemerintahan Hindia Belanda)
Pasal 128 Ayat (4) menggunakan istilah “Instelingen Des Volks”
(Lembaga-lembaga Rakyat)
v. Dalam I.S. Pasal 131 Ayat (2) sub b. berbunyi “Met Hunne
Godsdientige Wetten en Gewoonten Samenhangende Rechts-
Regelen” (Aturan-aturan Hukum Yang Berhubungan dengan
Agama-agama dan Kebiasaaan-kebiasaan Mereka)
vi. Staadblad 1929 No.221 jo. No.487 yang sudah menggunakan
istilah “Adatrecht”
b. Di kalangan para ilmuwan:
Sebelum perundang-undangan menggunakan istilah “Adatrecht” di
kalangan para ilmuwan menggunakan berbagai istilah atau
terminologi:
i. Nederburgh – Wet en Adat
ii. Joynboll – Handleiding Tot de Kennis van de Mohammedaanse
Wet
iii. Het Personenrecht Voor de Inlanders op Java en Madura (Hukum
Pribadi untuk Golongan Bumiputera di Jawa dan Madura).
c. Di kalangan masyarakat: Lazim menggunakan berbagai istilah sesuai
dengan Bahasa daerahnya masing-masing.
i. Masyarakat Jawa dan Madura menggunakan istilah ‘Adat’ saja.
ii. Masyarakat Ngadhu di Flores menggunakan istilah ‘Adha’ dan
‘Gua’. Adha adalah istilah untuk hukum adat atau kebiasaan yang
bersifat keduniawian dan mempunyai ancaman sanksi yang
bersifat jasmani, sedangkan Gua adalah istilah yang ditujukan
kepada kebiasaan yang bersifat kerohanian dengan sanksi dari
leluhur.
iii. Masyarakat Gayo menggunakan istilah ‘Eudeut’.
iv. Masyarakat Minangkabau menggunakan istilah ‘Lembaga
Adat/Adat Lembaga’.
v. Masyarakat Maluku dan Minahasa menggunakan istilah ‘Adat
Kebiasaan’.
vi. Masyarakat Batak dan Karo memakai kata ‘Basa’ (bicara)
Sukardi
Sukardi dalam bukunya Sistem Hukum Indonesia juga menjelaskan, hukum adat
adalah keseluruhan kaidah maupun norma baik yang dibuat secara tertulis
ataupun tidak tertulis dan berasal dari kebiasaan masyarakat Indonesia atau adat
istiadat yang di dalamnya digunakan untuk mengatur tingkah laku kehidupan
masyarakatnya, sanksi juga akan dikenakan pada pihak yang melanggarnya.
Mohammad Koesnoe
Mohammad Koesnoe juga mengatakan awal mula adanya hukum adat sendiri di
Indonesia tidak diketahui secara pasti. Namun, jika dibandingkan dengan bentuk
hukum lainnya, seperti hukum Barat dan juga hukum Islam, hukum yang satu ini
merupakan bentuk hukum tertua berdasarkan usianya. Dimana, sebelum tahun
1927 sendiri hukum adat telah ada dan berkembang di tengah masyarakat
Indonesia. Hingga setelah tahun 1927, hukum adat akhirnya dipelajari serta
diperhatikan secara seksama sebagai pelaksanaan politik hukum pemerintah
Belanda, setelah teori resepsi yang ada dikukuhkan pada pasal 134 ayat 2 I.S.
1925.
Prof. Dr. Hazairin Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat
yaitu kaidahkaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan
umum dalam masyarakat itu.
Prof. Dr. Soepomo, S.H. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam
peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan
atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan
hukum.
CATATAN. Dari berbagai pengertian adat istiadat yang dikemukakan para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum adat merupakan peraturan atau norma
tak tertulis yang pembuatannya berfungsi untuk mengatur tingkah laku
masyarakat. Dalam hukum adat terdapat sanksi; dan hukum ini bahkan diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18B ayat (2).
Dengan kata lain, negara pun mengakui adanya hukum adat sebagai sistem
hukum Indonesia. Hukum Adat secara umum sendiri merupakan sebuah hukum
kebiasaan yang berarti hukum tersebut di dalamnya memiliki aturan yang dibuat
atau dirumuskan berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan juga
berkembang sehingga menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang ditaati oleh
masyarakat setempat.
1. Sumber Pengenal
Pertama, sumber pengenal yang menurut B Ter Haar merupakan keputusan
penguasa adat. Namun, pernyataan ini sendiri dibantah oleh Mohammad
Koesnoe. Dimana, menurut beliau sumber pengenal pada hukum adat sendiri
adalah apa yang sebenarnya terlaksana masyarakat setempat di dalam pergaulan
hukum, baik perilaku atau tingkah laku yang hanya sekali dilakukan maupun
berulang kali.
2. Sumber Isi
Kedua, sumber isi. Sumber hukum adat yang satu ini merupakan kesadaran
hukum yang ada dan hidup di tengah masyarakat adat setempat.
3. Sumber Pengikat
Ketiga, sumber pengikat yang merupakan rasa malu yang timbul akibat
berfungsinya sistem nilai yang ada di dalam masyarakat adat yang bersangkutan
maupun berbagai upaya lainnya yang pada akhirnya terkena pada orang yang
bersangkutan jika tidak mematuhi atau melanggar aturan dan hukum adat yang
berlaku.
Dengan kata lain Hukum Adat Dapat Bersumber dari beberapa hal berikut ini:
1. Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat
2. Kebudayaan tradisionil rakyat
3. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
5. Pepatah adat
6. Yurisprudensi adat
7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-
ketentuan hukum yang hidup.
8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh Raja-Raja.
9. Doktrin tentang hukum adat
10.Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat
11.Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa kekuatan mengikat yang
ada pada hukum adat adalah kesadaran hukum yang dimiliki oleh anggota
masyarakat adat yang bersangkutan.
Perbedaan antara adat dengan hukum adat dapat dilihat dari pendapat para ahli,
sebagai berikut:
1. Terhaar; Suatu adat akan menjadi hukum adat, apabila ada keputusan dari
kepala adat dan apabila tidak ada keputusan maka itu tetap merupakan
tingkah laku/ adat.
2. Van Vollen Hoven: Suatu kebiasaan/adat akan menjadi hukum adat,
apabila kebiasaan itu diberi sanksi.
3. Van Dijk: Perbedaan antara hukum adat dengan adat terletak pada sumber
dan bentuknya. Hukum Adat bersumber dari alat-alat perlengkapan
masyarakat dan tidak tertulis dan ada juga yang tertulis, sedangkan adat
bersumber dari masyarakat sendiri dan tidak tertulis.
4. L. Pospisil: Untuk membedakan antara adat dengan hukum adat maka
harus dilihat dari atribut-atribut hukumnya yaitu:
a. Atribut authority, yaitu adanya keputusan dari penguasa masyarakat
dan mereka yang berpengaruh dalam masyarakat.
b. Intention of Universal Application: Bahwa putusan-putusan kepala
adat mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku
juga dikemudian hari terhadap suatu peristiwa yang sama.
c. Obligation (rumusan hak dan kewajiban): Yaitu dan rumusan hak-
hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang masih hidup. Dan
apabila salah satu pihak sudah meninggal dunia misal nenek
moyangnya, maka hanyalah putusan yang merumuskan menangani
kewajiban saja yang bersifat keagamaan.
5. Adanya sanksi/imbalan: Putusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan
dengan sanksi/ imbalan yang berupa sanksi jasmani maupun sanksi rohani
berupa rasa takut, rasa malu, rasa benci dan sebagainya.
6. Adat/kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum adat
hanyalah sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum adat.
7. Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkan
adat tidak mempunyai nilai/ biasa.
1. Tradisional
Hukum adat sudah turun temurun sejak dahulu kala, dari nenek leluhur sampai
anak cucu. Eksistensinya tetap dipertahankan sampai sekarang.
2. Relegius – Magis
Corak berikutnya adalah komunal atau kemasyarakatan yang memiliki arti bahwa
kehidupan manusia selalu dilihat dalam bentuk kelompok atau sebuah satu
kesatuan yang utuh. Seorang individu tidak dapat hidup sendiri dan
membutuhkan individu lainnya dikarenakan manusia merupakan makhluk hidup
yang dimana akan selalu hidup bermasyarakat. Oleh sebab itu, kepentingan
bersama harus terlebih dahulu diutamakan dibandingkan dengan kepentingan
pribadi. Komunal atau kemasyarakatan sendiri juga memiliki beberapa makna
lain, seperti halnya sebagai berikut:
4. Demokrasi
Memiliki arti bahwa segala sesuatu harus diselesaikan dengan menjunjung tinggi
nilai kebersamaan dan kepentingan bersama masyarakat harus terlebih dahulu
diutamakan dibandingkan dengan kepentingan pribadi yang sesuai dengan asas
permusyawaratan dan perwakilan pada sistem pemerintahan. Seperti contohnya
sendiri adalah melakukan musyawarah di Balai Desa dan setiap tindakan atau
pilihan yang diambil pamong desa adalah berdasarkan hasil musyawarah yang
telah dilakukan tersebut oleh masyarakat.
5. Kontan
Corak kelima ini merupakan dimana pemindahan maupun peralihan hak dan juga
kewajiban harus dilakukan di saat yang sama dan dilakukan secara serentak
dengan maksud untuk menjaga keseimbangan yang ada di dalam pergaulan di
tengah masyarakat.
Corak ini memiliki arti terdapat tanda yang terlihat yaitu setiap perbuatan maupun
keinginan pada setiap sebuah hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan
benda atau bentuk wujud maupun nyata. Hal ini juga berarti bahwa tidak ada janji
yang dibayar dengan janji, semua hal yang dilakukan harus memiliki tindakan
nyata dengan begitu tidak ada kecurigaan yang muncul antara satu sama lain.
8. Tidak dikodifikasi
Hukum adat tidak “dibukukan” (tidak dibuat jadi satu buku), tidak tertulis seperti
layaknya kitab Undang-Undang (misalnya KUHPer). Hal ini membuat hukum
adat mudah diubah. Namun ada juga yang tertulis, tapi tidak mengikat semua
kalangan, hanya untuk orang tertentu saja. Misalnya, hanya untuk keluarga orang-
orang kerajaan atau bangsawan. Adapun yang tertulis, namun tidak secara
sistematis.
Dalam hukum adat hal ini bertujuan untuk menyelesaikan beberapa konflik.
Sangat jarang ditemukan ada kasus yang sampai ke meja pengadilan atau jalur
litigasi. Hal ini pula yang menjadikan ciri khas bangsa kita, Indonesia. Murah
berteman, murah senyum dan suka berdamai.
Bentuk Hukum Adat
Hukum yang satu ini sendiri memiliki perbedaan dengan berbagai sistem hukum
yang berlaku dan berkembang di Indonesia, dimana hukum adat sendiri
merupakan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang seiring
perkembangan masyarakat yang ada di dalamnya. Beberapa hukum adat yang ada
juga sempat diupayakan agar menjadi hukum perundang-undangan dan hal ini
juga berarti berusaha mengubah hukum tidak tertulis ini menjadi hukum tertulis.
Seperti salah satu contohnya, Undang-undang Pokok Agraria pada tahun 1950.
Namun, setelah diubah menjadi bentuk tertulis, hukum adat tersebut memiliki
bentuk yang berbeda dari hukum adat sebelumnya.
Animisme sendiri adalah kepercayaan mengenai segala hal yang ada di alam
semesta memiliki nyawa. Animisme sendiri terbagi menjadi dua macam, sebagai
berikut.
• Fetisisme, yang merupakan pemujaan terhadap jiwa yang ada di alam
semesta, yang dipercaya memiliki kemampuan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan manusia, seperti halnya matahari, samudra, halilintar,
gua, taufan, tanah, pohon besar, dan masih banyak lagi.
• Spiritisme, yang merupakan pemujaan terhadap roh leluhur maupun roh
lainnya yang dianggap baik maupun yang dianggap jahat.
2. Faktor agama
Agama Islam
Agama Islam sendiri dibawa oleh pedagang yang berasal dari Timur Tengah pada
abad ke 14 dan juga awal abad ke 15. Pengaruh dari agama Islam sendiri dapat
dilihat melalui hukum perkawinan yang membahas mengenai cara
melangsungkan serta memutuskan sebuah perkawinan. Pengaruh dari hukum
perkawinan agama Islam ini sendiri juga dapat dilihat melalui hukum adat yang
ada di beberapa daerah Indonesia seperti halnya Jawa dan juga Madura. Di daerah
Aceh juga pengaruh dari agama Islam sangatlah kuat. Namun, pengaruh ini
sendiri berbeda-beda tergantung daerahnya, seperti halnya di beberapa daerah
walaupun sudah diberlakukannya hukum perkawinan Islam, tetap melakukan
upacara perkawinan berdasarkan hukum adat. Seperti contohnya di Lampung,
Tapanuli.
Agama Kristen
Agama Kristen sendiri pertama kali masuk ke dalam Indonesia dibawa oleh para
pedagang Barat. Dimana, aturan hukum agama Kristen sendiri memiliki pengaruh
yang cukup besar di Indonesia terhadap pengaruh hukum keluarga dan juga
hukum perkawinan. Selain itu, agama kristen juga memiliki pengaruh yang besar
pada bidang sosial. Secara khusus dapat dilihat pada dampaknya di bidang
pendidikan dan juga kesehatan, dengan adanya pendirian berbagai lembaga
pendidikan dan rumah sakit.
Faktor pengaruh perkembangan yang ketiga adalah kekuasaan yang lebih tinggi.
Yang dimaksud sendiri adalah adanya kekuasaan raja, kepala Kuria, Nagari, dan
berbagai hal lainnya.
Teori ini dikemukakan oleh Mr. LCW Van Der Berg. Menurut teori Reception in
Complexu: Kalau suatu masyarakat itu memeluk agama tertentu maka
hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang
dipeluknya. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama
yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian.
Terhadap teori ini hampir semua sarjana memberikan tanggapan dan kritikan,
antara lain:
Van Vollen Hoven berpendapat bahwa pembidangan hukum adat adalah sebagai
berikut:
1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2. Tentang Pribadi
3. Pemerintahan dan Peradilan
4. Hukum Keluarga
5. Hukum Perkawinan
6. Hukum Waris
7. Hukum Tanah
8. Hukum Hutang piutang
9. Hukum Delik Adat
10.Sistem sanksi.
Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman
Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang
mengajukan pembidangan, sebagai berikut:
1. Hukum Tanah
2. Transaksi tanah
3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4. Hukum perutangan
5. Status badan pribadi
6. Hukum kekerabatan
7. Hukum perkawinan
8. Hukum waris
9. Hukum delik adat.
Selo Soemardjan menekankan pada faktor perbedaan “culture” dari setiap suku
bangsa, yang menjadi titik tolak adanya suatu masyarakat majemuk. Konsepsi
tersebut di atas, kemudian diperhalus dan diperluas dengan mengambil kriteria
cirri-ciri struktur sosial dan kebudayaan, sehingga menimbulkan klasifikasi tiga
bentuk masyarakat sebagai berikut:
1. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana, yang ciri-
ciri utamanya adalah:
a. Hubungan dalam keluarga dan dalam masyarakat setempat amat
kuat.
b. Organisasi sosial pada pokoknya didasarkan atas adat-istiadat yang
terbentuk menurut tradisi.
c. Kepercayaan kuat pada kekuatan-kekuatan gaib yang
mempengaruhi kehidupan manusia, akan tetapi tidak dapat dikuasai
olehnya.
d. Tidak ada lembaga-lembaga khusus untuk memberi pendidikan
dalam bidang teknologi; keterampilan diwariskan oleh orang tua
kepada anak sambil berpraktek dengan sedikit teori dan pengalaman,
dan tidak dari hasil pemikiran atau eksperimen.
e. Tingkat buta huruf tinggi.
f. Hukum yang berlaku tidak ditulis, tidak kompleks dan pokok-
pokoknya diketahui dan dimengerti oleh semua anggota dewasa dari
masyarakat.
g. Ekonominya sebagaian besar meliputi produksi untuk keperluan
keluarga sendiri atau buat pesanan kecil setempat, sedang uang
sebagai alat penukar dan alat pengukur harga berperan terbatas.
h. Kegiatan ekonomi dan sosial yang memerlukan kerja sama orang
banyak dilakukan secara tradisional dengan gotong royong tanpa
hubungan kerja antara buruh dengan majikan
2. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan madya, yang ciri-ciri
utamanya:
a. Hubungan dalam keluarga tetap kuat, tetapi hubungan dalam
masyarakat setempat sudah mengendor dan menunjukkan gejala-
gejala hubungan atas dasar perhitungan ekonomi.
b. Adat-istiadat masih dihormati, tetapi sikap masyarakat mulai
terbuka buat pengaruh dari luar.
c. Dengan timbulnya rasionalitas dalam cara berfikir orang maka
kepercayaan pada kekuatan-kekuatan gaib baru timbul apabila orang
sudah kehabisan akal untuk menanggulangi sesuatu masalah.
d. Didalam masyarakat timbul lembaga-lembaga pendidikan formal
kirakira sampai tingkat sekolah lanjutan pertama, tetapi masih jarang
sekali adanya lembaga pendidikan keterampilan atau kejuruan.
e. Tingkat buta huruf bergerak menurun
f. Hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis.
g. Ekonomi masyarakat memberi kesempatan lebih banyak kepada
produksi buat pasaran, halmana mulai menimbulkan deferensiasi
dalam struktur masyarakat; dengan sendirinya peranan uang
meningkat.
h. Gotong royong tradisional tinggal buat keperluan sosial di kalangan
keluarga besar dan tetangga, tetapi gotong-royang buat keperluan
umum dan buat kegiatan ekonomis dilakukan atas dasar upah uang.
3. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan pra modern atau
modern, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Hubungan antara manusia didasarkan terutama atas kepentingan-
kepentingan pribadi.
b. Hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain dilakukan secara
terbuka dalam suasana saling pengaruh-mempengaruhi, kecuali
dalam penjagaan rahasia penemuan baru dalam industri.
c. Kepercayaan kuat pada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai sarana untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
d. Masyarakat tergolong-golong menurut bermacam-macam profesi
serta keahlian yang masing-masing dapat dipelajari dan ditingkatkan
dalam lembaga-lembaga pendidikan keterampilan dan kejuruan.
e. Tingkat pendidikan formal adalah tinggi dan merata
f. Hukum yang berlaku pada pokoknya hukum tertulis yang amat
kompleks adanya.
g. Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang
didasarkan atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran lain.
Famili di Minangkabau:
• Tata susunan yang tetap yang disebut rumah Jurai
• Pengurus sendiri yaitu yang diketuai oleh Penghulu Andiko, sedangkan
Jurai dikepalai oleh seorang Tungganai atau Mamak kepala waris.
• Harta pusaka sendiri
Daerah Banten:
• Persekutuan terdiri atas beberapa ampian
• Kepala Kampung disebut Kokolot/ Tua-tua
• Desa dikepali oleh kepala desa yang disebut Jaro.
Suasana masyarakat desa yang damai, tentram dan penuh rasa kebersamaan
mengalami perubahan yang mengganggu ketentraman dan kedamaian. Perubahan
tersebut dapat dilihat dari zamannya, sebagai berikut:
Adapun objek hak ulayat ini adalah semua tanah yang terdapat dalam
lingkungan masyarakat hukum Adat yang bersangkutan. Sedangkan yang
menjadi subjeknya adalah semua anggota masyarakat hukum Adat yang
bersangkutan. Orang dari luar masyarakat hukum Adat tersebut boleh
memanfaatkan tanah yang berada dalam wilayah ulayat itu dengan seizin dari
penguasa Adat setempat.
Hak Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat
dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hukum adat sendiri adalah
serangkaian aturan yang mengikat pada suatu masyarakat yang tidak tertulis, dan
bersumber dari kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada suatu masyarakat
tertentu yang kemudian diterima menjadi hukum secara turun temurun. Hak
tanah ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat dimiliki oleh
masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
warganya. Posisinya kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Maka dari itu, konsepsi hak tanah ulayat menurut hukum tanah adat mencakup
nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah
secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak tanah
ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak tanah ulayat
bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat
hukum adat atas tanah yang bersangkutan.
b. Kekuatan hukum hak ulayat berlaku keluar adalah bahwa hak ulayat
dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Masyarakat dari luar wilayah hukum adat dilarang
masuk di lingkungan tanah wilayah hukum adat tersebut tanpa izin
penguasa adat. Boleh masuk dengan syarat membayar apa yang disebut
“pengisi adat”. Jika orang luar masuk tanpa izin dianggap melakukan
tindak pidana yang akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan hukum
Adat yang berlaku pada wilayah adat tersebut.
Hukum adat adalah satu satu cabang ilmu hukum yang patut dipelajari.
Mempelajari hukum adat memberikan manfaat yang tidak sedikit. Dengan
mempelajari hukum adat, kita dapat memahami pedoman dan pengaturan apa
yang menjadi landasan suatu masyarakat untuk mengatur kehidupan bersama
mereka. Pada gilirannya, dengan mengetahui hukum adat dapat membantu kita
pula untuk menentukan hukum nasional seperti apa yang akan dibentuk.
Sedangkan Hukum Adat, yang merupakan salah satu bentuk hukum tidak tertulis.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, walaupun hukum yang satu ini tidak secara
resmi tertulis, namun kadang kala memiliki sifat memaksa kepada masyarakat
yang ada di dalamnya. Hal ini dikarenakan, masyarakat adat yang ada di
dalamnya juga memiliki keyakinan akan hukum tersebut sehingga patuh untuk
menaatinya dan percaya akan menerima sanksi jika hukum tersebut tidak
dijalankan dan dilanggar. Adat yang memiliki sanksi disebut dengan hukum adat.
Sedangkan yang tidak memiliki sanksi adalah kebiasaan. Defisini hukum adat
adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungan satu sama
lain. Baik kebiasaan maupun kesusilaan dalam bermasyarakat. Sebelumnya,
peraturan adat ini menggunakan istilah Peraturan Keagamaan dalam undang-
undang. Pada masa Hindia Belanda, hukum adat yang berlaku tidak tunduk
kepada KUH Perdata dan hukum kebiasaan. Fungsinya untuk mengatur
masyarakat adat agar mendapatkan hidup yang damai. Jika ada yang melanggar
hukum adat maka dikenakan sanksi adat, seperti halnya pemberian sanksi kepada
pelanggar hukum kedaulatan di Indonesia. Berdasarkan Hukum Adat, Sanksi adat
bisa berupa memberikan persembahan, ritual, atau membayar denda adat, hingga
dikucilkan bahkan diusir dari komunitas warga atau marganya. Sehingga hukum
adat merupakan sesuatu peraturan atau hukum yang diberikan mengikat. Hukum
adat berlaku bagi orang-orang yang lahir sebagai bagian dari suatu adat tersebut.
Sehingga antara satu adat dengan yang lain mungkin akan memiliki peraturan
atau sanksi yang berbeda. Ketika seseorang memasuki sebuah wilayah yang
masih berpegang pada hukum adat, maka seseorang asing tersebut tetap harus
mengikuti peraturan yang ada di hukum adat tersebut (dimana bumi dipijak, disitu
langit dijunjung). Namun, jika seseorang tersebut sudah keluar dari wilayah
tersebut, maka hukum adat tersebut sudah tidak berlaku. Sumber hukum adat
adalah peraturan-peraturan tidak tertulis yang terus tumbuh dan berkembang
ditengah masyarakat serta dipertahankan. Sebenarnya nilai-nilai dan sifat hukum
adat sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Contohnya, gotong-royong,
musyawarah mufakat, dan keadilan. Meski tak tertulis dan tidak ada cara khusus,
hukum adat tetap berlaku, dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela
dikarenakan memang miliknya hingga sampai saat ini.
Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun-
temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan
tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya, hukum adat yang
masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan
hukum.
Dengan mempelajari hukum adat akan memberikan manfaat yang tidak sedikit.
Secara garis besarnya dengan mempelajari hukum adat, kita dapat memahami
pedoman dan pengaturan apa yang menjadi landasan suatu masyarakat untuk
mengatur kehidupan bersama mereka. Pada gilirannya, dengan mengetahui
hukum adat dapat membantu kita pula untuk menentukan hukum nasional seperti
apa yang akan dibentuk.
Hal tersebut diatas dapat dilihat dalam Pembentukan Undang-Undang tentang
Masyarakat Adat yang saat ini masih dalam tahap Rancangan Undang-Undang
(RUU) dan sedang menunggu pengesahan dari Pemerintah Republik Indonesia.
_Lihat RUU Masyarakat Adat.