Anda di halaman 1dari 40

o HUKUM ADAT

Pengertian

Adat/Istiadat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (dilakukan


secara terus menerus) dan dipertahankan oleh para pendukungnya. Kebiasaan
merupakan cerminan suatu bangsa sebagai jelmaan jiwa bangsa (volkgeist) itu
sendiri yang secara terus menerus berkembang secara evolusi dari abad ke abad.
Perkembangannya itu ada yang cepat dan ada yang lambat. Di dalamnya terdapat
nilai-nilai yang menjadi dasarnya yang menjadi pedoman bagi mereka untuk
merubah, memperbaharui, atau menghilangkan sesuatu bagian dari kebiasaan
yang dianggap tidak fungsional lagi. Kebiasaan yang dilakukan secara berulang
(ajeg) menciptakan adat istiadat. Kebiasaan tersebut pun diturunkan dari generasi
ke generasi. Usai munculnya adat istiadat, maka akan hadir hukum adat yang
berkembang di tradisi masyarakat. Dan mempunyai sanksi.

Bagi Van Vollenhoven, seorang antropolog Belanda, hukum adat merupakan


keseluruhan aturan yang mengikat cara masyarakat bertingkah laku. Aturan ini
berlaku pada daerah tertentu, lengkap dengan sanksi yang sesuai.

Sementara itu, Ter Haar menyebut bahwa hukum adat ialah keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam adanya keputusan adat.

Hukum Adat secara umum sendiri merupakan sebuah hukum kebiasaan, yang
berarti hukum tersebut di dalamnya memiliki aturan yang dibuat atau dirumuskan
berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan juga berkembang
sehingga menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang ditaati oleh masyarakat
setempat.

Hukum Adat sendiri juga diakui pula oleh negara sebagai bentuk hukum sah.
Dimana, setelah negara Indonesia merdeka, hukum adat menjadi salah satu dari
beberapa aturan yang dibuat dan terdapat di dalam UUD 1945.

Seperti halnya yang tertulis dalam pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945, yang
menjelaskan bahwa “Indonesia sebagai negara mengakui serta menghormati
kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan juga prinsip NKRI atau
Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti halnya yang diatur di dalam
undang-undang”.
Hukum ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu hukum tertua jika
dibandingkan dengan sistem hukum lain yang ada di negara Indonesia karena
telah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakatnya.

Contoh Hukum Adat di Indonesia

Hukum adat adalah kepercayaan turun temurun masyarakat daerah yang masih
dianut. Di dalamnya terdapat aturan yang berkaitan dengan perkawinan, upacara
adat dan upacara kematian yang diatur oleh hukum adat. Berikut ini adalah contoh
hukum adat di Indonesia:

1. Hukum Adat Perhitungan Kalender masyarakat Jawa

Contoh hukum adat masyarakat Jawa yang masih hidup dan berlangsung hingga
saat ini adalah tradisi menghitung kalender. Menghitung penanggalan Jawa tidak
hanya berkaitan dengan hal-hal mistis, tetapi merupakan syarat untuk
mendapatkan ridho Illahi. Perhitungan penanggalan Jawa umumnya digunakan
sebagai:

o Menetapkan hari libur penting


o Menetapkan waktu pernikahan yang sesuai
o Mengatur tanggal hajatan besar
o Mengatur waktu yang baik untuk pindah rumah.

2. Hukum Adat: Awig-awig di Desa Pakraman, Bali

Dikutip dari website JDIH Karangasem, Hukum adat Awig-awig Bali tercantum
dalam SK Provinsi Bali No. 3 tahun 2003. Awig-awig yang dianut Desa
Pakraman Bali meliputi beberapa hal seperti:

o Mengaksama (memaafkan)
o Dedosaan (denda finansial)
o Kerampang (penilaian harta)
o Kasepekang (tidak berbicara) untuk jangka waktu tertentu
o Kaselong (diusir dari desanya)
o Upacara Prayascita (upacara pembersihan desa)

3. Hukum adat Dayak Kalis, Kalimantan

Contoh hukum adat lainnya adalah masyarakat Dayak di Kalimantan. Melansir


Situs Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 4 (empat) jenis
hukum adat pada masyarakat Dayak Kalis, antara lain:
o Saut: jenis hukuman yang diawali dengan kejadian kecil. Hukuman
mati adalah simbol perdamaian dengan roh-roh gaib yang
mengelilinginya.
o Sanga’ Bar (separuh jiwa): putusan perkara, baik disengaja maupun
tidak. Akibat yang dialami korban adalah cacat seumur hidup atau
luka berat.
o Pati Nyawa atau Tubuh atau Bar: Semacam keputusan dalam hal
apapun yang menyebabkan kematian seseorang. Penjahat tunduk
pada hukum adat dan hukum formal yang ada (diberitahukan kepada
pihak berwenang)
o Kampung Adat: Jenis hukuman yang diberikan kepada penjahat jika
kasusnya segera ditangkap dan terbukti perbuatannya melanggar
adat istiadat desa.

4. Hukum Adat Potong Jari, Papua

Kesedihan atas meninggalnya salah satu anggota keluarga biasanya diungkapkan


dengan menangis atau meratapi kehilangan hingga kesedihan mereda.

Namun, orang suku Dani yang tinggal di pegunungan Halmahera, Papua berbeda.
Hukum adat yang ada bahkan terkesan menambah penderitaan keluarga yang
ditinggalkan dengan harus memotong jari tangan mereka.

Setiap ada anggota keluarga yang meninggal, anggota suku harus memotong
buku jarinya sebagai pengingat bahwa anggota keluarga tersebut tidak lengkap
lagi.

Mengapa buku jari? Karena tangan melambangkan kesempurnaan, jika ada yang
hilang, hidup jelas tidak lagi sempurna.

5. Hukum Adat Turunan, Aceh

Di Aceh, contoh hukum adat yang berlaku adalah hukum bertingkat berdasarkan
ketidakadilan yang dilakukan oleh masyarakat, terlepas apakah itu kelas bawah
dari atasan. Dimulai dengan teguran, kemudian harus meminta maaf di depan
umum, sampai akhirnya ada hukum yang besar dan sampai pelakunya dihukum
secara fisik.

6. Hukum Adat Tikam Tanah

Upacara Tikam Tanah adalah ritual adat yang dilakukan oleh orang luar yang
masuk ke Pulau Selaru untuk suatu tujuan. Menurut penduduk asli Pulau Selaru,
seluruh wilayah Desa Petuan, terutama beberapa wilayah yang disakralkan
masyarakat masih dihuni oleh leluhur. Oleh karena itu, pengunjung dari luar desa
harus melakukan ritual pengenalan yang disebut ritual adat muspika, sebagai
isyarat kepada leluhur, agar tamu desa tidak diganggu. Ritual ini menunjukkan
bahwa tamu desa dianggap sebagai bagian dari masyarakat desa.

7. Hukum Waris Adat, Bali

Bali yang menganut paham patrilineal atau gender laki-laki, memiliki hukum
waris keluarga yang seratus persen berada di tangan laki-laki.

Walaupun hanya boleh dikenakan oleh anak perempuan, hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa tanggung jawab laki-laki dalam keluarga dianggap lebih besar
daripada tanggung jawab perempuan.

Undang-undang sedikit berubah pada tahun 2010, ketika perempuan diberikan


hak untuk mewarisi, yaitu: setengah dari properti, sepertiga dari yang sebelumnya
digunakan untuk warisan.

Tetapi hukum ini hanya berlaku bagi perempuan Hindu. Hal ini tidak berlaku bagi
perempuan Bali yang berpindah agama.

8. Hukum Adat Mahar, Maluku

Suku Naulu masih mengikuti hukum adat mahar berupa kepala manusia yang
terpenggal hingga tahun 2005. Memang mengerikan, namun masyarakat
setempat percaya bahwa hal itu akan membawa keabadian bagi keluarga mereka
di masa depan. Untungnya, pemerintah melarang penegakan hukum ini.

9. Hukum Adat Dayak Mualang Butang

Masyarakat adat pada umumnya, khususnya Masyarakat Adat Dayak Kalimantan


Barat, harus diatur dengan peraturan atau hukum adat. Tentu saja hukum
adat setiap daerah, sub suku atau masyarakat tidak sama. Keberadaan adat ini
merupakan warisan leluhur. Hukum adat yang berbeda berlaku untuk setiap
masyarakat adat Dayak Kalimantan Barat atau sub-suku Dayak. Dari hukum
umum perkawinan, hukum umum Butang (menipu/zina) sampai hukum umum
pembunuhan atau sifat hidup. Hukum adat juga mengatur pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam, seperti pemanfaatan hutan bersama (common
jungle). Sama halnya dengan penduduk asli Dayak Mualang atau sub suku Dayak
Mualang.

Salah satu kampung Dayak Mualang yang masih mengikuti adat dan tradisinya
adalah Dayak Mualang di Desa Resak Balai, Kecamatan Belitang Hilir, Wilayah
Administratif Sekadau. Desa ini termasuk desa kecil dengan 63 keluarga. Masih
ada rasa kekeluargaan dan keterikatan yang sangat kuat di sini dalam kehidupan
sosial sehari-hari. Rasa kekeluargaan dan rasa memiliki tidak lepas dari ketaatan
dan ketaatan sebagai pedoman hidup bersama. Bagi orang Dayak Mualang di sini,
setiap ada masalah atau perselisihan di desa, selalu mengutamakan hukum adat.
Dayak Mualang Kampung Resak Balais percaya bahwa hukum adat adalah jalan
terbaik dan tetap memberikan rasa keadilan dalam menyelesaikan masalah atau
perselisihan. Tidak ada yang tidak bisa ditangani oleh hukum umum. Bagi
masyarakat Dayak Mualang asli, tujuan hukum adat adalah untuk mengatur
ketertiban dalam masyarakat. Hukum adat sangat penting karena menjaga dan
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan
manusia dengan Sang Pencipta agar tetap terjaga, seimbang, damai dan harmonis.

Hukum adat Dayak Mualang terdiri dari beberapa jenis atau tingkatan. Mulai dari
common law yang mengatur tingkah laku manusia hingga common law yang
berkaitan dengan pengelolaan tanah dan sumber daya alam. Jadi bagi Dayak
Mualang, hukum adat adalah hal yang sangat sakral. Oleh karena itu, jika terjadi
pelanggaran hukum umum, semua pelanggar harus dikenakan hukuman biasa dan
harus memperhatikan hukuman. Saba, menurut Dayak Mualang, adalah satuan
penyebutan sanksi adat.

Salah satu hukum adat yang masih dipatuhi oleh penduduk asli Dayak Mualang
di desa Resak Balai adalah adat butang atau nupu. Hukum adat ini merupakan
bagian dari hukum adat perkawinan. Pernikahan adalah penyatuan dua orang
yang sangat berbeda yang tidak dapat dibubarkan oleh siapa pun, jadi jika salah
satu pria atau wanita menolak pernikahan tersebut, hukum adat berlaku untuk
keduanya. Butang adalah perselingkuhan atau perzinahan yang dilakukan oleh
pria beristri atau sebaliknya wanita beristri. Hukum adat butang ini diperuntukkan
bagi semua orang (laki-laki dan perempuan) yang mempunyai pasangan yang sah
atau yang sudah menikah.

10.Hukum Adat Dayak Kalis, Kalimantan

Contoh hukum adat lainnya berlaku pada masyarakat Dayak, Kalimantan.


Melansir dari situs Kebudayaan Kemdikbud, ada empat jenis hukum adat
masyarakat Dayak Kalis, di antaranya:

o Saut: Jenis hukuman yang dimulai dari kasus yang ringan. Hukuman saut
merupakan suatu lambang perdamaian dengan roh gaib sekitarnya.
o Satanga' Baar (setengah pati nyawa): Jenis keputusan terhadap sesuatu
kasus, baik yang disengaja atau tidak. Dampak pada korban adalah cacat
seumur hidup atau luka parah.
o Pati Nyawa atau Raga Nyawa atau Baar: Jenis keputusan bagi setiap kasus
yang menyebabkan kematian seseorang. Pelaku dikenakan hukum adat
serta hukum formal yang berlaku (dilaporkan kepada pihak yang berwajib)
o Adat Kampung: Jenis hukuman yang dikenakan kepada pelaku di mana
kasusnya langsung tertangkap basah dan telah terbukti adanya perbuatan
yang melanggar adat kampung.

11.Dll,

Sejarah Hukum Adat

o ERA LAMPAU.

Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno,
zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut
menurut ahli-ahli; hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia di
sekitar abad 12 & 13. Diawali masuknya kultur China di pedalaman Kalimantan,
disusul kemudian kedatangan bangsa India dengan kultur Hindu dan Budha,
kultur Islam (melalui kaum Gujarat yang sebagian besar merupakan pedagang
dari jazirah Arab) dan kultur Kristen (melalui pendatang para saudagar dari
daratan Eropa) yang masing-masing mempengaruhi kultur asli Nusantara yang
sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum
adat. Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil
akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan
peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur
Kristen.

o ERA KOLONIALISME.

Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat
hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Istilah “Hukum Adat” dikemukakan
pertama kalinya oleh Cristian Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul
“De Atjehers” (orang-orang Aceh) dan “Het Gayo Land” (Tanah Gayo) Tahun
1893, yang kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollenhoven dalam bukunya
yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah
ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 mulai
menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda.

Berawal dari penyamaran yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje dimana ia


memeluk Islam dengan nama Abdul Ghaffar/Affan Ghaffar untuk memasuki,
memahami dan mengetahui cara berpikir atau pola pikir masyarakat Aceh yang
mayoritas memeluk agama Islam. Hal tersebut ia lakukan dikarenakan selama +-
300 tahun lamanya Belanda menguasai sebagian besar kerajaan-kerajaan di
Indonesia, hanya Aceh-lah yang belum tersentuh sama sekali dengan kekuasaan
Belanda. Belanda tidak mampu menguasai Aceh karena Belanda tidak menguasai
hukum dan budaya masyarakat Aceh. Atas usaha yang dilakukan Hurgronje
tersebut akhirnya Belanda mampu menguasai Hukum Tata Negara Aceh dan
menguasai pola pikir masyarakat Aceh dan akhirnya menguasai Aceh dari tahun
1917-1919 hingga kemerdekaaan RI 17 Agustus 1945. Setelah terjadi akulturasi
itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inlandsrecht” menurut Van
Vollenhoven terdiri dari:
“Inlandsrecht”
(Hukum Adat atau Hukum Pribumi)

Yang Tidak Ditulis Yang Ditulis


(jus non scriptum) (jus Scriptum)

Hukum Asli Penduduk Ketentuan Hukum Agama

Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada
hukum adat, adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur
dengan kitabnya yang disebut Civacasana.
2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang
disebut Kitab Gajah Mada.
3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.
4. Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava.

Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di


lingkungan istana, ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat
sebagai berikut:
1. Di Tapanuli Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan sosial di tanah
Batak), Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan
ketentuan-ketentuan Batak).
2. Di Jambi Undang-Undang Jambi
3. Di Palembang Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang
tanah di dataran tinggi daerah Palembang).
4. Di Minangkabau Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang tentang
hukum adat delik di Minangkabau)
5. Di Sulawesi Selatan Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan
pengangkatan laut bagi orang-orang wajo)
6. Di Bali Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa (peraturan
desa) yang ditulis didalam daun lontar.

Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa
VOC karena ada kepentingan atas Negara jajahannya (menggunakan politik
opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus Negara-
negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang memimpin
daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum Belanda di Negara
jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret 1621 yang baru
dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De Carventer yang
sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai pada suatu
kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup. Oleh karena
itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga
perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu:
1. Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang dengan kitab
hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusus pidana adat (menurut
Van Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2. Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM”
(pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck
mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan
Goa.
3. COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai
nikah, talak, dan warisan.
4. HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk
para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.

Pencatatan hukum adat oleh orang luar negeri diantaranya:


1. Robert Padtbrugge (1679), ia seorang gubernur Ternate yang
mengeluarkan peraturan tentang adat istiadat Minahasa.
2. Francois Valetijn (1666-1727) yang menerbitkan suatu ensiklopedia
tentang kesulitan-kesulitan hukum bagi masyarakat.

Periodesasi hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam:


1. Jaman Daendels (1808-1811) Beranggapan bahwa memang ada hukum
yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari
hukum eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum
eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya.
2. Jaman Raffles (1811-1816) Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris
membentuk komisi MACKENZIE atau suatu panitia yang tugasnya
mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di masyarakat, untuk
mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk
pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi
ini yaitu pada tanggal 11 Pebruari 1814 dibuat peraturan yaitu regulation
for the more effectual Administration of justice in the provincial court of
Java yang isinya:
a. Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
b. Susunan pengadilan terdiri dari Residen’s court, Bupati’s court dan
Division court
c. Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling
d. Yang berlaku adalah native law dan unchain costum untuk Bupati’s
court dan untuk Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.
3. Zaman Komisi Jenderal (1816-1819) Pada zaman ini tidak ada perubahan
dalam perkembangan hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah
ada.
4. Zaman Van der Capellen (1824) Pada zaman ini tidak ada perhatian hukum
adat bahkan merusak tatanan yang sudah ada.
5. Zaman Du Bush Pada zaman ini sudah ada sedikit perhatian pada hukum
adat, yang utama dalam hukum adat ialah hukum Indonesia asli.
6. Zaman Van den Bosch Pada zaman ini dikatakan bahwa hukum waris itu
dilakukan menurut hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran
antara peraturan Bramein dan Islam.
7. Zaman Chr. Baud. Pada zaman ini sudah banyak perhatian pada hukum
adat misalnya tentang melindungi hak-hak ulayat.

Pada tahun 1918 putera-putera Indonesia membuat disertasi mengenai hukum


adat di Balai Perguruan Tinggi di Belanda, antara lain:
1. Kusumaatmadja tahun 1922 yang menulis tentang wakaf
2. Soebroto tahun 1925 yang menulis tentang sawah vervavding (gadai
sawah)
3. Endabumi tahun 1925 yang menulis tentang Bataks grondenrecht
(hukum tanah suku Batak).
4. Soepomo tahun 1927 yang menulsi tentang Vorstenlands grondenrecht
(hak tanah di kerajaan-kerajaan).

Adapun penyelidikan tentang hukum adat di Indonesia dilakukan oleh:


1. Djojodigoeno/ Tirtawinata yang menulis tentang Hukum Adat privat Jawa
Tengah.
2. Soepomo yang menulis tentang Hukum Adat Jawa Barat
3. Hazairin yang membuat disertasinya tentang “Redjang”

CATATAN. Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah
Hindia Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau hukum yang berlaku di
Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas
konkordansi. Konkordansi (Asas Konkordansi) adalah suatu asas yang
melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda
pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada Golongan Eropa yang ada
di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu).Mengenai hukum adat timbulah
masalah bagi pemerintah kolonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan
bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan
sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda.
Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan
pemerintah kolonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik
pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah kolonial yang ada
di Indonesia ini, maka secara ringkasnya undang-undang yang bertujuan
menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat seterusnya didalam sistem
perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki
apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi
Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal
2. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan
penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk
kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan
kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah-
daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum
terlaksana.
4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang-
undang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa.
Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk
pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen
Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
5. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan
amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh
golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan
usaha ini gagal.
6. Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta
membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan
Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha
ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr
Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undang-
undang kesatuan itu tidak mungkin.

Dan pada tahun 1927 Pemerintahan Hindia Belanda mengubah haluannya,


menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah
Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi”
beralih ke “kodifikasi”.

Istilah Hukum Adat (Adat Recht)

a. Di dalam perundang-undangan:
i. Dalam A.B. (Algemenee Bepalingen van Wetgeving) = Ketentuan-
Ketentuan Umum Perundang-undangan) pada Pasal 11 digunakan
istilah “Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen en Gebruiken”
(Peraturan-peraturan Agama, Lembaga-lembaga Rakyat dan
Kebiasaan-kebiasaan).
ii. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 Ayat (3)
menggunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen en
Gebruiken” (Peraturan-peraturan Agama, Lembaga-lembaga
Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).
iii. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 78 Ayat (2)
menggunakan istilah “Godsdienstige Wetten en Oude
Herkomsten” (Peraturan-peraturan Agama dan Naluri-naluri)
iv. Dalam I.S. (Indische Staatsregelling = Peraturan Hukum Negara
Belanda – semacam UUD bagi Pemerintahan Hindia Belanda)
Pasal 128 Ayat (4) menggunakan istilah “Instelingen Des Volks”
(Lembaga-lembaga Rakyat)
v. Dalam I.S. Pasal 131 Ayat (2) sub b. berbunyi “Met Hunne
Godsdientige Wetten en Gewoonten Samenhangende Rechts-
Regelen” (Aturan-aturan Hukum Yang Berhubungan dengan
Agama-agama dan Kebiasaaan-kebiasaan Mereka)
vi. Staadblad 1929 No.221 jo. No.487 yang sudah menggunakan
istilah “Adatrecht”
b. Di kalangan para ilmuwan:
Sebelum perundang-undangan menggunakan istilah “Adatrecht” di
kalangan para ilmuwan menggunakan berbagai istilah atau
terminologi:
i. Nederburgh – Wet en Adat
ii. Joynboll – Handleiding Tot de Kennis van de Mohammedaanse
Wet
iii. Het Personenrecht Voor de Inlanders op Java en Madura (Hukum
Pribadi untuk Golongan Bumiputera di Jawa dan Madura).
c. Di kalangan masyarakat: Lazim menggunakan berbagai istilah sesuai
dengan Bahasa daerahnya masing-masing.
i. Masyarakat Jawa dan Madura menggunakan istilah ‘Adat’ saja.
ii. Masyarakat Ngadhu di Flores menggunakan istilah ‘Adha’ dan
‘Gua’. Adha adalah istilah untuk hukum adat atau kebiasaan yang
bersifat keduniawian dan mempunyai ancaman sanksi yang
bersifat jasmani, sedangkan Gua adalah istilah yang ditujukan
kepada kebiasaan yang bersifat kerohanian dengan sanksi dari
leluhur.
iii. Masyarakat Gayo menggunakan istilah ‘Eudeut’.
iv. Masyarakat Minangkabau menggunakan istilah ‘Lembaga
Adat/Adat Lembaga’.
v. Masyarakat Maluku dan Minahasa menggunakan istilah ‘Adat
Kebiasaan’.
vi. Masyarakat Batak dan Karo memakai kata ‘Basa’ (bicara)

Asas Konkordansi adalah suatu asas yang melandasi diberlakukannya


hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk
diberlakukan juga kepada Golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda
(Indonesia pada masa itu). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang
berada di Indonesia diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum
perdata yang berlaku di negeri Belanda.
Asas Konkordansi yang tertera dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (“IS”)
untuk orang Eropa sudah berlaku semenjak permulaan kekuasaan Belanda
menduduki Indonesia. Contoh perundang-undangan yang diberlakukan atas asas
konkordansi adalah Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) dan Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Pengantar Hukum Indonesia (hal. 8) menjelaskan bahwa Asas Konkordansi yang
tertera dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (“IS”) untuk orang Eropa sudah
berlaku semenjak permulaan kekuasaan Belanda menduduki Indonesia. Sejarah
Asas Konkordansi dimulai ketika di negeri Belanda pada tanggal 1 Oktober
1838 terbentuk perundang-undangan baru, maka dalam 1839 di negeri Belanda
oleh Raja diangkat sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud
Haarlem untuk menyesuaikan kodifikasi (pembukuan hukum dalam suatu
himpunan undang-undang dalam materi yang sama) Belanda itu sehingga cocok
buat “Hindia Belanda” atau Indonesia saat itu. Panitia itu merencanakan:
a. Reglement op de Rechterlijke Organisatie = Peraturan tentang Organisasi
Peradilan;
b. Algemene Bepalingen voor de Wetgeving = Ketentuan-ketentuan umum
mengenai perundang-undangan
c. Burgerlijke Wetboek = Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
d. Wetboek van Koophandel = Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
e. dan beberapa ketentuan mengenai kejahatan-kejahatan yang dilakukan
lantaran “faillissement” dan dalam keadaan nyata tidak mampu (“staat
van kennelijk onvermogen”), seperti juga pada “surseance” pembayaran.

Setelah panitia tersebut dibubarkan, di Hindia Belanda Mr. H. L. Wichers,


Presiden Hooggerechtshof mendapat perintah untuk membantu Gubernur
Jenderal dalam hal memperlakukan kitab-kitab hukum yang baru itu dan dalam
hal merencanakan pasal-pasal yang masih belum ada. Rencana Mr. Wichers itu
dikuatkan oleh Gubernur Jenderal:
a. Reglement op de Strafvordering bagi raa van Justitie di Jawa dan
Hooggerechtshof Hindia Belanda;
b. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering untuk pengadilan-
pengadilan tersebut;
c. Reglement op de uitoefening van de Politie, de Burgerlijke Rechtspleging
en de Strafvordering bagi yang disebut pengadilan-pengadilan Bumiputera
(Indlands Reglement);
d. Ketentuan-ketentuan istimewa untuk menjamin supaya perundang-
undangan yang baru dengan teratur berlaku di daerah-daerah luar Jawa dan
Madura;
e. Ketentuan-ketentuan tentang mulai berlakunya dan peralihan kepada
perundang-undangan baru.

Semua peraturan tersebut di atas berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal


tanggal 3 Desember 1847 Staatsblad No. 57 mulai berlaku pada tanggal 1 Mei
1848. Namun, Reglement op de Rechterlijke Organisatie yang semula akan
berlaku untuk seluruh Hindia Belanda ternyata tidak mungkin, maka pada tanggal
tersebut dinyatakan hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, sedangkan keadaan
yang waktu itu terdapat di daerah-daerah luar Jawa dan Madura tetap
dilangsungkan. Di jaman penjajahan Belanda, HIR dan RBg adalah undang-
undang yang mengatur hukum acara perdata dan pidana bagi penduduk pribumi.
Perbedaannya, HIR berlaku di pulau Jawa dan Madura sedangkan RBg berlaku
di luar Jawa dan Madura.

Menurut informasi dari jurnal Analisa dan Evaluasi Peraturan Perundang-


undangan Peninggalan Kolonial Belanda yang dapat di akses dari laman Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), secara garis besar sistem hukum yang
berlaku bagi masing-masing golongan adalah sebagai berikut:
a. Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa:
i. Burgerlijke Wetboek dan Wetboek van Koophandel yang berlaku di
negeri Belanda (sesuai asas konkordansi)
ii. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering dan Reglement op de
Strafvordering
b. Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat dalam
bentuk tidak tertulis. Berlakunya hukum adat tidak mutlak, dan jika
diperlukan, dapat diatur dalam peraturan khusus (ordonansi).
c. Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing:
i. Hukum perdata dan Hukum pidana adat mereka.
ii. Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur Asing
Cina untuk wilayah Hindia Belanda.
Bahwa Asas Konkordansi adalah suatu asas yang melandasi diberlakukannya
hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan
juga kepada Golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa
itu). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia
diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri
Belanda.
o ERA (PASCA) KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Dasar Berlakunya Hukum Adat di Indonesia

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus


1945, ada banyak peraturan hukum yang menjadi dasar berlakunya hukum adat,
yakni sebagai berikut:
1. UUD NRI Tahun 1945
Konstitusi kita yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, mengakui adanya hukum adat. Kita dapat melihat dalam Pasal 18B ayat (2)
yang berbunyi s.b: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Juga Pasal 28I ayat (3):
“identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”.

2. Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960


MPRS juga mengeluarkan ketetapan yang mengakui hukum adat. Dapat dilihat
dalam lampiran A Paragraf 402 Ketetapan MPRS/No.II/MPRS/1960:
a. Azas-azas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara
dan berlandaskan pada hukum adat yang tidak menghambat perkembangan
masyarakat adil dan Makmur.
b. Di dalam usaha ke arah homogenitas dalam bidang hukum supaya
diperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
c. Dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan hukum
waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan lainnya.

3. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria


Undang-undang yang biasa disebut UUPA ini juga mengakui adanya hukum
adat. Pasal yang mengaturnya adalah pasal 3 sampai pasal 5 UUPA.
Misalnya: Pasal 3 UUPA: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal
1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

4. Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah


Dalam PP ini, hukum adat juga tetap diakui. Dapat terlihat dalam beberapa pasal
dan penjelasannya. Misalnya: Pasal 24 ayat (2) PP No.24/1997:
“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan
berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan
selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon
pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh
yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh
kesaksian kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh
masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun
pihak lainnya.”
5. UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Undang-undang kehutanan juga mengakui akan adanya hukum adat.
Dapat dilihat dari: Pasal 4 ayat (3) UU No.41 Tahun 1999
“Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum
adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional”.
6. UU No.22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi
Kita dapat melihatnya dari pasal berikut: Pasal 33 ayat (3) UU No.22 Tahun
2001:
a. Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada:
tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan
prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah
milik masyarakat adat;
b. lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah di sekitarnya;
c. bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara;
d. bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan
sekitarnya, kecuali dengan izin dari instansi Pemerintah, persetujuan
masyarakat, dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.

7. UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan


Pengaturan tentang perikanan ini juga mengakui adanya hukum adat.
Hal tersebut dapat kita lihat dari pasal: Pasal 6 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004:
“Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan
lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat”.

8. UU No.48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman


UU Kekuasaan kehakiman juga mengakui adanya hukum adat, yakni hukum yang
hidup ditengah-tengah masyarakat. Hal tersebut dalam dilihat dalam pasal: Pasal
5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.
9. dll,

Pengertian Hukum Adat Menurut Pakar Hukum

Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven


Definisi hukum adat menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven adalah
keseluruhan aturan tingkah laku sebuah masyarakat yang berlaku serta memiliki
sanksi dan juga belum dikodifikasikan.

Prof. Mr. B. Terhaar Bzn


Menurut Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn, hukum adat merupakan keseluruhan
peraturan yang menjelma ke dalam keputusan yang diambil oleh kepala adat serta
berlaku spontan terhadap masyarakat di dalamnya. Beliau melalui teori
“Keputusan” yang terkenalnya juga menyatakan bahwa dalam melihat apakah
sebuah adat istiadat yang ada merupakan sebuah hukum adat, maka terlebih
dahulu perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap pihak yang
melanggar peraturan yang ada.

Dr. Sukanto, S.H.


Selanjutnya, definisi hukum adat menurut Dr. Sukanto, S.H. adalah sebuah
kompleks adat yang pada umumnya tidak ditulis atau dikitabkan, tidak
dikodifikasikan serta memiliki sifat memaksa. Hukum ini juga memiliki sanksi
oleh sebab itu ada pula akibat hukumnya.

Sukardi
Sukardi dalam bukunya Sistem Hukum Indonesia juga menjelaskan, hukum adat
adalah keseluruhan kaidah maupun norma baik yang dibuat secara tertulis
ataupun tidak tertulis dan berasal dari kebiasaan masyarakat Indonesia atau adat
istiadat yang di dalamnya digunakan untuk mengatur tingkah laku kehidupan
masyarakatnya, sanksi juga akan dikenakan pada pihak yang melanggarnya.

Mawardi Muzamil dan Anis Mashdurohatun


Selanjutnya, mantan Guru Besar Hukum Adat Universitas Airlangga, Mawardi
Muzamil dan Anis Mashdurohatun melalui bukunya yang berjudul Perbandingan
Sistem Hukum juga menjelaskan definisi hukum adat sebagai sebuah sistem
hukum yang ada dan telah lama berlaku di Indonesia.

Mohammad Koesnoe
Mohammad Koesnoe juga mengatakan awal mula adanya hukum adat sendiri di
Indonesia tidak diketahui secara pasti. Namun, jika dibandingkan dengan bentuk
hukum lainnya, seperti hukum Barat dan juga hukum Islam, hukum yang satu ini
merupakan bentuk hukum tertua berdasarkan usianya. Dimana, sebelum tahun
1927 sendiri hukum adat telah ada dan berkembang di tengah masyarakat
Indonesia. Hingga setelah tahun 1927, hukum adat akhirnya dipelajari serta
diperhatikan secara seksama sebagai pelaksanaan politik hukum pemerintah
Belanda, setelah teori resepsi yang ada dikukuhkan pada pasal 134 ayat 2 I.S.
1925.

Mr. J.H.P. Bellefroid


Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan
keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.


Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.

Prof. Dr. Hazairin Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat
yaitu kaidahkaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan
umum dalam masyarakat itu.

Soeroyo Wignyodipuro, S.H. Hukum adat adalah suatu ompleks norma-norma


yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta
meliputi peraturanperaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari
dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati
oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

Prof. Dr. Soepomo, S.H. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam
peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan
atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan
hukum.

CATATAN. Dari berbagai pengertian adat istiadat yang dikemukakan para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum adat merupakan peraturan atau norma
tak tertulis yang pembuatannya berfungsi untuk mengatur tingkah laku
masyarakat. Dalam hukum adat terdapat sanksi; dan hukum ini bahkan diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18B ayat (2).

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat


serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.”

Dengan kata lain, negara pun mengakui adanya hukum adat sebagai sistem
hukum Indonesia. Hukum Adat secara umum sendiri merupakan sebuah hukum
kebiasaan yang berarti hukum tersebut di dalamnya memiliki aturan yang dibuat
atau dirumuskan berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan juga
berkembang sehingga menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang ditaati oleh
masyarakat setempat.

Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat Unsur-Unsur


Daripada Hukum Adat sebagai berikut:
1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat.
2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral
4. Adanya keputusan kepala adat
5. Adanya sanksi/ akibat hukum
6. Tidak tertulis (kodifikasi)
7. Ditaati dalam masyarakat

Terdapat 4 (empat) Macam Sifat Hukum Adat, yaitu:


1. Komunal, hukum adat memiliki sifat kebersamaan yang kuat.
2. Magis-religius, memiliki pandangan hidup dan cara berpikir yang
memadukan kepercayaan, seperti kesaktian dan ghaib.
3. Pikiran konkret, hukum adat memperhatikan hubungan hukum
nyata.
4. Visual, hukum adat disebabkan oleh suatu ikatan dalam masyarakat.
Misalnya, tata cara upacara pernikahan yang berbeda antara satu
daerah dengan daerah lainnya.

Sumber Hukum Adat

1. Sumber Pengenal
Pertama, sumber pengenal yang menurut B Ter Haar merupakan keputusan
penguasa adat. Namun, pernyataan ini sendiri dibantah oleh Mohammad
Koesnoe. Dimana, menurut beliau sumber pengenal pada hukum adat sendiri
adalah apa yang sebenarnya terlaksana masyarakat setempat di dalam pergaulan
hukum, baik perilaku atau tingkah laku yang hanya sekali dilakukan maupun
berulang kali.

2. Sumber Isi
Kedua, sumber isi. Sumber hukum adat yang satu ini merupakan kesadaran
hukum yang ada dan hidup di tengah masyarakat adat setempat.

3. Sumber Pengikat
Ketiga, sumber pengikat yang merupakan rasa malu yang timbul akibat
berfungsinya sistem nilai yang ada di dalam masyarakat adat yang bersangkutan
maupun berbagai upaya lainnya yang pada akhirnya terkena pada orang yang
bersangkutan jika tidak mematuhi atau melanggar aturan dan hukum adat yang
berlaku.

Dengan kata lain Hukum Adat Dapat Bersumber dari beberapa hal berikut ini:
1. Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat
2. Kebudayaan tradisionil rakyat
3. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
5. Pepatah adat
6. Yurisprudensi adat
7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-
ketentuan hukum yang hidup.
8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh Raja-Raja.
9. Doktrin tentang hukum adat
10.Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat
11.Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa kekuatan mengikat yang
ada pada hukum adat adalah kesadaran hukum yang dimiliki oleh anggota
masyarakat adat yang bersangkutan.

Perbandingan Antara Adat Dengan Hukum Adat

Perbedaan antara adat dengan hukum adat dapat dilihat dari pendapat para ahli,
sebagai berikut:
1. Terhaar; Suatu adat akan menjadi hukum adat, apabila ada keputusan dari
kepala adat dan apabila tidak ada keputusan maka itu tetap merupakan
tingkah laku/ adat.
2. Van Vollen Hoven: Suatu kebiasaan/adat akan menjadi hukum adat,
apabila kebiasaan itu diberi sanksi.
3. Van Dijk: Perbedaan antara hukum adat dengan adat terletak pada sumber
dan bentuknya. Hukum Adat bersumber dari alat-alat perlengkapan
masyarakat dan tidak tertulis dan ada juga yang tertulis, sedangkan adat
bersumber dari masyarakat sendiri dan tidak tertulis.
4. L. Pospisil: Untuk membedakan antara adat dengan hukum adat maka
harus dilihat dari atribut-atribut hukumnya yaitu:
a. Atribut authority, yaitu adanya keputusan dari penguasa masyarakat
dan mereka yang berpengaruh dalam masyarakat.
b. Intention of Universal Application: Bahwa putusan-putusan kepala
adat mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku
juga dikemudian hari terhadap suatu peristiwa yang sama.
c. Obligation (rumusan hak dan kewajiban): Yaitu dan rumusan hak-
hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang masih hidup. Dan
apabila salah satu pihak sudah meninggal dunia misal nenek
moyangnya, maka hanyalah putusan yang merumuskan menangani
kewajiban saja yang bersifat keagamaan.
5. Adanya sanksi/imbalan: Putusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan
dengan sanksi/ imbalan yang berupa sanksi jasmani maupun sanksi rohani
berupa rasa takut, rasa malu, rasa benci dan sebagainya.
6. Adat/kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum adat
hanyalah sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum adat.
7. Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkan
adat tidak mempunyai nilai/ biasa.

5 (lima) Corak Hukum Adat Indonesia

1. Tradisional

Hukum adat sudah turun temurun sejak dahulu kala, dari nenek leluhur sampai
anak cucu. Eksistensinya tetap dipertahankan sampai sekarang.

2. Relegius – Magis

Berdasarkan kepercayaan tradisional masyarakat Indonesia, setiap masyarakat


yang ada dikelilingi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara. Hal ini dilakukan
agar masyarakat tersebut tetap hidup dengan aman tentram bahagia dan berbagai
hal lainnya. Selain itu, tidak ada pula hal yang membatasi antara dunia lahir
dengan dunia gaib serta tidak ada pula pemisah antara berbagai macam lapangan
kehidupan, seperti halnya kehidupan manusia, alam, arwah nenek moyang serta
kehidupan makhluk lainnya. Adanya pemujaan yang dilakukan terhadap arwah
khususnya kepada nenek moyang dilakukan sebagai pelindung adat istiadat yang
perlu dilakukan demi kebahagiaan masyarakat di dalamnya. Di dalam setiap
kegiatan maupun perbuatan bersama, seperti halnya membuka lahan tanah
pertanian, menanam, membangun rumah serta berbagai peristiwa penting lainnya
juga harus mengadakan upacara religius dengan tujuan untuk mendapat berkah
serta dalam prosesnya tidak ada halangan dan dapat berjalan dengan baik.
Relegiues Magis sendiri juga memiliki beberapa makna lain, seperti halnya
sebagai berikut:

• Memiliki sifat kesatuan batin


• Terdapat kesatuan antara dunia lahir dengan dunia gaib
• Terdapat hubungan dengan arwah nenek moyang serta makhluk halus
lainnya
• Mempercayai kehadiran kekuatan gaib
• Melakukan pemujaan terhadap arwah nenek moyang
• Dalam memulai setiap kegiatan harus selalu melakukan upacara relegius
• Mempercayai kehadiran roh halus, hantu yang ada di alam semesta
• Mempercayai adanya kekuatan sakti
• Terdapat beberapa pantangan

3. Komunal atau kemasyarakatan atau kebersamaan

Corak berikutnya adalah komunal atau kemasyarakatan yang memiliki arti bahwa
kehidupan manusia selalu dilihat dalam bentuk kelompok atau sebuah satu
kesatuan yang utuh. Seorang individu tidak dapat hidup sendiri dan
membutuhkan individu lainnya dikarenakan manusia merupakan makhluk hidup
yang dimana akan selalu hidup bermasyarakat. Oleh sebab itu, kepentingan
bersama harus terlebih dahulu diutamakan dibandingkan dengan kepentingan
pribadi. Komunal atau kemasyarakatan sendiri juga memiliki beberapa makna
lain, seperti halnya sebagai berikut:

• Manusia di dalam kemasyarakatan memiliki sifat terikat dan tidak


terbebaskan dari segala perbuatannya
• Setiap orang di masyarakat memiliki hak dan juga kewajiban yang sesuai
dengan kedudukannya
• Hak subjektif yang ada memiliki fungsi sosial
• Kepentingan masyarakat bersama harus terlebih dahulu diutamakan
dibandingkan dengan kepentingan pribadi
• Memiliki sifat gotong royong
• Nilai kesopan santunan serta kesabaran
• Berprasangka baik
• Memiliki rasa saling menghormati satu sama lain

4. Demokrasi
Memiliki arti bahwa segala sesuatu harus diselesaikan dengan menjunjung tinggi
nilai kebersamaan dan kepentingan bersama masyarakat harus terlebih dahulu
diutamakan dibandingkan dengan kepentingan pribadi yang sesuai dengan asas
permusyawaratan dan perwakilan pada sistem pemerintahan. Seperti contohnya
sendiri adalah melakukan musyawarah di Balai Desa dan setiap tindakan atau
pilihan yang diambil pamong desa adalah berdasarkan hasil musyawarah yang
telah dilakukan tersebut oleh masyarakat.

5. Kontan

Corak kelima ini merupakan dimana pemindahan maupun peralihan hak dan juga
kewajiban harus dilakukan di saat yang sama dan dilakukan secara serentak
dengan maksud untuk menjaga keseimbangan yang ada di dalam pergaulan di
tengah masyarakat.

6. Konkrit dan Visual

Corak ini memiliki arti terdapat tanda yang terlihat yaitu setiap perbuatan maupun
keinginan pada setiap sebuah hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan
benda atau bentuk wujud maupun nyata. Hal ini juga berarti bahwa tidak ada janji
yang dibayar dengan janji, semua hal yang dilakukan harus memiliki tindakan
nyata dengan begitu tidak ada kecurigaan yang muncul antara satu sama lain.

7. Terbuka dan Sederhana

Terbuka artinya menerima masuknya unsur-unsur asing sepanjang tidak


bertentangan dengan jiwa dan semangat hukum adat tersebut. Sederhana artinya
bersahaja, tidak bertele-tele, mudah dalam administrasi dan pelaksanaannya,
serta saling percaya.

8. Tidak dikodifikasi

Hukum adat tidak “dibukukan” (tidak dibuat jadi satu buku), tidak tertulis seperti
layaknya kitab Undang-Undang (misalnya KUHPer). Hal ini membuat hukum
adat mudah diubah. Namun ada juga yang tertulis, tapi tidak mengikat semua
kalangan, hanya untuk orang tertentu saja. Misalnya, hanya untuk keluarga orang-
orang kerajaan atau bangsawan. Adapun yang tertulis, namun tidak secara
sistematis.

9. Dapat berubah dan menyesuaikan diri


Hukum adat juga dapat disesuaikan dengan kesesuaian. Misalnya dahulu harta
hanya diberikan kepada laki-laki saja, dan perempuan hanya diberikan atas rasa
kasihan (iba). Namun hal ini berubah karena saat ini sudah ada persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan. Jika dahulu tidak boleh menikah (kawin)
semarga, maka sekarang sudah bisa.

10. Musyawarah dan Mufakat

Dalam hukum adat hal ini bertujuan untuk menyelesaikan beberapa konflik.
Sangat jarang ditemukan ada kasus yang sampai ke meja pengadilan atau jalur
litigasi. Hal ini pula yang menjadikan ciri khas bangsa kita, Indonesia. Murah
berteman, murah senyum dan suka berdamai.
Bentuk Hukum Adat

Hukum yang satu ini sendiri memiliki perbedaan dengan berbagai sistem hukum
yang berlaku dan berkembang di Indonesia, dimana hukum adat sendiri
merupakan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang seiring
perkembangan masyarakat yang ada di dalamnya. Beberapa hukum adat yang ada
juga sempat diupayakan agar menjadi hukum perundang-undangan dan hal ini
juga berarti berusaha mengubah hukum tidak tertulis ini menjadi hukum tertulis.
Seperti salah satu contohnya, Undang-undang Pokok Agraria pada tahun 1950.
Namun, setelah diubah menjadi bentuk tertulis, hukum adat tersebut memiliki
bentuk yang berbeda dari hukum adat sebelumnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat

Dalam perkembangan hukum adat, terdapat beberapa faktor yang bersifat


tradisional yang bisa mempengaruhi perkembangannya, sebagai berikut:

1. Magis dan Animisme

Faktor pengaruh perkembangan yang pertama adalah magis dan animisme. Di


alam pikiran, magis serta animisme pada dasarnya dirasakan oleh setiap bangsa
yang ada di seluruh belahan dunia. Di Indonesia sendiri faktor magis dan juga
animisme memiliki pengaruh yang cukup besar. Dimana, hal ini sendiri dapat
dilihat melalui berbagai upacara adat yang memiliki sumber dari kekuasaan dan
juga kekuataan gaib.
• Kepercayaan pada makhluk halus, roh, serta hantu yang memenuhi seluruh
alam semesta serta berbagai gejala alam, serta seluruh benda yang ada di alam
semesta memiliki nyata.
• Kepercayaan pada kekuatan sakti serta adanya roh yang baik maupun yang
jahat.
• Terdapat beberapa orang tertentu yang dapat melakukan kontak atau
berhubungan dengan dunia gaib maupun sakti tersebut.
• Rasa takut terkait hukuman maupun pembalasan dari berbagai kekuatan gaib.
Dimana, hal ini sendiri dapat dilihat melalui kebiasaan pengadaan seserahan,
atau sesajen di beberapa tempat yang dianggap oleh masyarakat setempat
sebagai tempat keramat.

Animisme sendiri adalah kepercayaan mengenai segala hal yang ada di alam
semesta memiliki nyawa. Animisme sendiri terbagi menjadi dua macam, sebagai
berikut.
• Fetisisme, yang merupakan pemujaan terhadap jiwa yang ada di alam
semesta, yang dipercaya memiliki kemampuan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan manusia, seperti halnya matahari, samudra, halilintar,
gua, taufan, tanah, pohon besar, dan masih banyak lagi.
• Spiritisme, yang merupakan pemujaan terhadap roh leluhur maupun roh
lainnya yang dianggap baik maupun yang dianggap jahat.

2. Faktor agama

Faktor pengaruh perkembangan yang kedua adalah faktor agama. Dengan


masuknya berbagai agama ke dalam Indonesia ternyata juga memiliki pengaruh
terhadap perkembangan hukum yang satu ini, sebagai berikut.
Agama Hindu
Agama Hindu sendiri pertama kali dibawa masuk ke Indonesia oleh orang
Indonesia pada abad ke 8 dan pengaruh dari agama Hindu sendiri paling dapat
terlihat di Bali. Dimana, berbagai hukum agama Hindu sendiri memberikan
pengaruh terhadap bidang pemerintahan Raja serta pembagian masyarakat ke
dalam beberapa kasta.

Agama Islam
Agama Islam sendiri dibawa oleh pedagang yang berasal dari Timur Tengah pada
abad ke 14 dan juga awal abad ke 15. Pengaruh dari agama Islam sendiri dapat
dilihat melalui hukum perkawinan yang membahas mengenai cara
melangsungkan serta memutuskan sebuah perkawinan. Pengaruh dari hukum
perkawinan agama Islam ini sendiri juga dapat dilihat melalui hukum adat yang
ada di beberapa daerah Indonesia seperti halnya Jawa dan juga Madura. Di daerah
Aceh juga pengaruh dari agama Islam sangatlah kuat. Namun, pengaruh ini
sendiri berbeda-beda tergantung daerahnya, seperti halnya di beberapa daerah
walaupun sudah diberlakukannya hukum perkawinan Islam, tetap melakukan
upacara perkawinan berdasarkan hukum adat. Seperti contohnya di Lampung,
Tapanuli.
Agama Kristen
Agama Kristen sendiri pertama kali masuk ke dalam Indonesia dibawa oleh para
pedagang Barat. Dimana, aturan hukum agama Kristen sendiri memiliki pengaruh
yang cukup besar di Indonesia terhadap pengaruh hukum keluarga dan juga
hukum perkawinan. Selain itu, agama kristen juga memiliki pengaruh yang besar
pada bidang sosial. Secara khusus dapat dilihat pada dampaknya di bidang
pendidikan dan juga kesehatan, dengan adanya pendirian berbagai lembaga
pendidikan dan rumah sakit.

3. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi

Faktor pengaruh perkembangan yang ketiga adalah kekuasaan yang lebih tinggi.
Yang dimaksud sendiri adalah adanya kekuasaan raja, kepala Kuria, Nagari, dan
berbagai hal lainnya.

4. Adanya kekuasaan asing

Faktor pengaruh perkembangan yang keempat adalah adanya kekuasaan asing.


Salah satunya adalah kekuasaan penjajahan Belanda yang membawa pemikiran
individualisme ke dalam Indonesia. Dimana, hal ini sendiri bertentangan dengan
alam pikiran adat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan.

Teori Receptio In Complexu

Teori ini dikemukakan oleh Mr. LCW Van Der Berg. Menurut teori Reception in
Complexu: Kalau suatu masyarakat itu memeluk agama tertentu maka
hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang
dipeluknya. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama
yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian.

Terhadap teori ini hampir semua sarjana memberikan tanggapan dan kritikan,
antara lain:

-Snouck Hurgronje menentang dengan keras terhadap teori ini, dengan


mengatakan bahwa tidak semua Hukum Agama diterima dalam hukum adat.
Hukum agama hanya memberikan pengaruh pada kehidupan manusia yang
sifatnya sangat pribadi yang erat kaitannya dengan kepercayaan dan hidup batin,
bagian-bagian itu adalah hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris.

-Terhaar berpendapat: Membantah pendapat Snouck Hurgronje, menurut Terhaar


hukum waris bukan berasal dari hukum agama, tapi merupakan hukum adat yang
asli tidak dipengaruhi oleh hukum Islam, sedangkan hukum waris disesuaikan
dengan struktur dan susunan masyarakat. Contoh di masyarakat Minangkabau
dalam hal waris adat yang bertolak belakang dengan hukum agama Islam.

-Van Vollen Hoven menyatakan bahwa Teori Reception in Complexu ini


sebenarnya bertentangan dengan kenyataan dalam masyarakat, karena hukum
adat terdiri atas hukum asli (Melayu Polenesia) dengan ditambah dari ketentuan-
ketentuan dari hukum Agama. Memang diakui sulit mengdiskripsikan bidang-
bidang hukum adat yang dipengaruhi oleh hukum agama hal ini disebabkan: 1.
Bidang-bidang yang dipengaruhi oleh hukum agama sangat bervariasi dan tidak
sama terhadap suatu masyarakat. 2. Tebal dan tipisnya bidang yang dipengaruhi
hukum agama juga bervariasi. 3. Hukum adat ini bersifat lokal. 4. Dalam suatu
masyarakat terdiri atas warga-warga masyarakat yang agamanya berlainan.
Contoh masyarakat Sangihe Talaud (Sulawesi) yang masyarakatnya mayoritas
beragama Kristen, ada kebiasaan hidup bersama (kumpul kebo) tanpa adanya
ikatan perkawinan.

Lingkungan Hukum Adat

Van Vollenhoven mengadakan analisa terhadap ciri-ciri khusus yang berlaku di


setiap lingkungan hukum adat. Ciri-ciri tersebut kemudian diujikan terhadap
sistem-sistem hukum adat yang terdapat pada masyarakat-masyarakat di daerah-
daerah yang semula diidentifikasikan sebagi tempat-tempat yang secara hipotesis
diberi nama lingkungan hukum adat, sehingga menghasilkan lingkungan-
lingkungan sebagai berikut:

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Simeulue)


2. Tanah Gayo, Alas, Batak dan Nias
3. Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota,
Daerah Kampar, Kerinci), Mentawai (Orang Pagai)
4. Daerah Melayu (Lingga Riau, Indragiri, Pantai Timur Sumatera, orang-
orang Banjar)
5. Sumatera Selatan; Bengkulu (Renjang), Lampung (Abung, Paminggir,
Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulangbawang), Palembang (Anak-
Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo), Jambi (Batin dan
Penghulu)
6. Bangka dan Belitung
7. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Pasir, Dayak, Kenya,
Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo
Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayak Maanyan, Dayak Maanyan Siung,
Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan).
8. Minahasa (Manado)
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Suwawa, Boilohuto, Paguyaman,
Boalemo)
10.Tanah Toraja (Sulawesi bagian tengah, Toraja, orang Toraja berbahasa
Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To
Lainang, Kepulauan Banggai).
11.Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,
Makasar, Selayar,Muna).
12.Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Pulau Sula)
13.Maluku-ambon (Ambon, Banda, orang Uliaser, Saparua, Buru, Seram,
Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar)
14.Irian
15.Kepulauan Timor (Kelompok Timor-Timur, bagian tengah Timor, Mollo,
Sumba, bagian tengah Sumba, Sumba Timur, Kodi Flores, Ngada, Roti.
Savu Bima)
16.Bali dan Lombok (Bali, Tanganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem,
Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
17.Bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Madura (Jawa bagian
tengah, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
18.Daerah Kerajaan (Solo, Yogyakarta)
19.Jawa Barat (Parahianagan, Tanah Sunda, Jakarta, Banten.

Terhadap masing-masing lingkungan hukum adat tersebut C. van Vollenhoven


melakukan analisa deskriptif, dengan sistematika yang tersusun, sebagai berikut:

1. Tempat menemukan hukum adat lingkungan hukum adat masing-masing.


2. Ruang lingkup lingkungan hukum adat yang bersangkutan
3. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
4. Tentang pribadi
5. Pemerintahan, peradilan dan pengaturan
6. Hukum adat masyarakat:
a) Hukum kekeluargaan adat
b) Hukum perkawinan adat
c) Hukum waris adat
d) Hukum tanah adat
e) Hukum hutang piutang adat
f) Hukum delik adat
g) Sistem sanksi
h) Perkembangan hukum adat

Pembidangan Hukum Adat


Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pelbagai variasi, yang
berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabila
dibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanya dapat
ditemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku tersebut
merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut
oleh penulisnya.

Van Vollen Hoven berpendapat bahwa pembidangan hukum adat adalah sebagai
berikut:
1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2. Tentang Pribadi
3. Pemerintahan dan Peradilan
4. Hukum Keluarga
5. Hukum Perkawinan
6. Hukum Waris
7. Hukum Tanah
8. Hukum Hutang piutang
9. Hukum Delik Adat
10.Sistem sanksi.

Soepomo Menyajikan pembidangnya sebagai berikut:


1. Hukum Keluarga
2. Hukum Perkawinan
3. Hukum Waris
4. Hukum Tanah
5. Hukum Hutang/Piutang
6. Hukum Pelanggaran

Ter Harr didalam bukunya “Beginselen en stelsel van het Adat-recht”,


mengemukakan pembidangnya sebagai berikut:
1. Tata Masyarakat
2. Hak-Hak Atas Tanah
3. Transaksi-Transaksi Tanah
4. Transaksi-Transaksi dimana Tanah Tersangkut
5. Hukum Hutang/Piutang
6. Lembaga/ Yayasan
7. Hukum Pribadi
8. Hukum Keluarga
9. Hukum perkawinan.
10.Hukum Delik Adat
11.Pengaruh Lampau Waktu
Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut
di atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini.

Soerojo Wignjodipuro, misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai berikut:


1. Tata susunan rakyat Indonesia
2. Hukum perseorangan
3. Hukum kekeluargaan
4. Hukum perkawinan
5. Hukum harta perkawinan
6. Hukum (adat) waris
7. Hukum tanah
8. Hukum hutang piutang
9. Hukum (adat) delik

Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman
Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang
mengajukan pembidangan, sebagai berikut:
1. Hukum Tanah
2. Transaksi tanah
3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4. Hukum perutangan
5. Status badan pribadi
6. Hukum kekerabatan
7. Hukum perkawinan
8. Hukum waris
9. Hukum delik adat.

Struktur Sosial Masyarakat Indonesia

Selo Soemardjan menekankan pada faktor perbedaan “culture” dari setiap suku
bangsa, yang menjadi titik tolak adanya suatu masyarakat majemuk. Konsepsi
tersebut di atas, kemudian diperhalus dan diperluas dengan mengambil kriteria
cirri-ciri struktur sosial dan kebudayaan, sehingga menimbulkan klasifikasi tiga
bentuk masyarakat sebagai berikut:
1. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana, yang ciri-
ciri utamanya adalah:
a. Hubungan dalam keluarga dan dalam masyarakat setempat amat
kuat.
b. Organisasi sosial pada pokoknya didasarkan atas adat-istiadat yang
terbentuk menurut tradisi.
c. Kepercayaan kuat pada kekuatan-kekuatan gaib yang
mempengaruhi kehidupan manusia, akan tetapi tidak dapat dikuasai
olehnya.
d. Tidak ada lembaga-lembaga khusus untuk memberi pendidikan
dalam bidang teknologi; keterampilan diwariskan oleh orang tua
kepada anak sambil berpraktek dengan sedikit teori dan pengalaman,
dan tidak dari hasil pemikiran atau eksperimen.
e. Tingkat buta huruf tinggi.
f. Hukum yang berlaku tidak ditulis, tidak kompleks dan pokok-
pokoknya diketahui dan dimengerti oleh semua anggota dewasa dari
masyarakat.
g. Ekonominya sebagaian besar meliputi produksi untuk keperluan
keluarga sendiri atau buat pesanan kecil setempat, sedang uang
sebagai alat penukar dan alat pengukur harga berperan terbatas.
h. Kegiatan ekonomi dan sosial yang memerlukan kerja sama orang
banyak dilakukan secara tradisional dengan gotong royong tanpa
hubungan kerja antara buruh dengan majikan
2. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan madya, yang ciri-ciri
utamanya:
a. Hubungan dalam keluarga tetap kuat, tetapi hubungan dalam
masyarakat setempat sudah mengendor dan menunjukkan gejala-
gejala hubungan atas dasar perhitungan ekonomi.
b. Adat-istiadat masih dihormati, tetapi sikap masyarakat mulai
terbuka buat pengaruh dari luar.
c. Dengan timbulnya rasionalitas dalam cara berfikir orang maka
kepercayaan pada kekuatan-kekuatan gaib baru timbul apabila orang
sudah kehabisan akal untuk menanggulangi sesuatu masalah.
d. Didalam masyarakat timbul lembaga-lembaga pendidikan formal
kirakira sampai tingkat sekolah lanjutan pertama, tetapi masih jarang
sekali adanya lembaga pendidikan keterampilan atau kejuruan.
e. Tingkat buta huruf bergerak menurun
f. Hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis.
g. Ekonomi masyarakat memberi kesempatan lebih banyak kepada
produksi buat pasaran, halmana mulai menimbulkan deferensiasi
dalam struktur masyarakat; dengan sendirinya peranan uang
meningkat.
h. Gotong royong tradisional tinggal buat keperluan sosial di kalangan
keluarga besar dan tetangga, tetapi gotong-royang buat keperluan
umum dan buat kegiatan ekonomis dilakukan atas dasar upah uang.
3. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan pra modern atau
modern, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Hubungan antara manusia didasarkan terutama atas kepentingan-
kepentingan pribadi.
b. Hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain dilakukan secara
terbuka dalam suasana saling pengaruh-mempengaruhi, kecuali
dalam penjagaan rahasia penemuan baru dalam industri.
c. Kepercayaan kuat pada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai sarana untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
d. Masyarakat tergolong-golong menurut bermacam-macam profesi
serta keahlian yang masing-masing dapat dipelajari dan ditingkatkan
dalam lembaga-lembaga pendidikan keterampilan dan kejuruan.
e. Tingkat pendidikan formal adalah tinggi dan merata
f. Hukum yang berlaku pada pokoknya hukum tertulis yang amat
kompleks adanya.
g. Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang
didasarkan atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran lain.

Persekutuan Hukum Adat atau Masyarakat Hukum Adat


(Rechtgemeenschaap)

Soeroyo Wignjodipuro memberikan pengertian persekutuan adat adalah


Merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan
kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri baik kekayaan
materiil maupun imateriil.

Djaren Saragih mengatakan: Persekutuan hukum adalah: Sekelompok orang-


orang sebagai satu kesatuan dalam susunan yang teratur yang bersifat abadi dan
memiliki pimpinan serta kekayaan baik berwujud maupun tidak berwujud dan
mendiami alam hidup diatas wilayah tertentu.

Van Vollenhoven mengartikan persekutuan hukum sebagai suatu masyarakat


hukum yang menunjukkan pengertian-pengertian kesatuan-kesatuan manusia
yang mempunyai:
1. Tata susunan yang teratur
2. Daerah yang tetap
3. Penguasa-penguasa atau pengurus
4. Harta kekayaan

Dengan demikian definisi Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang


yang hidup secara turun-temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur
dan/atau kesamaan tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya,
hukum adat yang masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan
hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,
budaya, dan hukum. Identifikasi terhadap Masyarakat Hukum Adat harus
memenuhi persyaratan yaitu memiliki komunitas tertentu yang hidup
berkelompok dalam suatu ikatan karena kesamaan keturunan dan/atau teritorial;
mendiami suatu wilayah adat dengan batas tertentu secara turun-temurun;
memiliki pranata atau perangkat hukum dan ditaati kelompoknya sebagai
pedoman dalam kehidupan Masyarakat Hukum Adat; dan/atau mempunyai
Lembaga Adat yang diakui oleh Masyarakat Hukum Adat.

Unsur-Unsur Masyarakat Hukum Adat

Antara lain sebagai berikut:


1. Ada komunitas manusia yang merasa bersatu, terikat oleh perasaan
kebersamaan karena kesamaan keturunan (geneologis), dan/atau wilayah
(territorial);
2. Mendiami wilayah tertentu, dengan batas-batas tertentu menurut konsepsi
mereka;
3. Memiliki kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun immaterial;
4. Dipimpin oleh seseorang atau beberapa orang sebagai perwakilan
kelompok yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan yang sah dan
didukung oleh kelompoknya;
5. Memiliki tata nilai sebagai pedoman dalam kehidupan sosial mereka;
6. Tidak ada keinginan dari anggota kelompok tersebut untuk memisahkan
diri.

Beberapa contoh persekutuan hukum adalah:

Famili di Minangkabau:
• Tata susunan yang tetap yang disebut rumah Jurai
• Pengurus sendiri yaitu yang diketuai oleh Penghulu Andiko, sedangkan
Jurai dikepalai oleh seorang Tungganai atau Mamak kepala waris.
• Harta pusaka sendiri

Terbentuknya Persekutuan Hukum dilihat dari 3 (tiga) Asas atau macam,


yaitu:

1. Persekutuan Hukum Geneologis. Yaitu yang berlandaskan kepada


pertalian darah, keturunan. Persekutuan Hukum Geneologis dibagi tiga
macam:
a. Pertalian darah menurut garis Bapak (Patrilineal) seperti Batak,
Nias, Sumba.
b. Pertalian darah menurut garis Ibu (Matrilineal) seperti
Minangkabau.
c. Pertalian darah menurut garis Bapak dan Ibu (Unilateral) seperti di
Pulau Jawa, Aceh, Dayak.

2. Persekutuan Hukum Territorial. Yaitu berdasarkan pada daerah tertentu


atau wilayah. Ada tiga macam persekutuan territorial yaitu:
a. Persekutuan Desa Yaitu orang-orang yang terikat dalam satu desa
b. Persekutuan Daerah Dimana didalamnya terdapat beberapa desa
yang masing-masing mempunyai tata susunan sendiri.
c. Perserikatan. Yaitu apabila beberapa persekutuan hukum yang
berdekatan mengadakan kesepakatan untuk memelihara
kepentingan bersama, seperti saluran air, pengairan, membentuk
pengurus bersama. Misalnya: Perserikatan huta-huta di Batak.

3. Persekutuan Hukum Geneologis dan Territorial. Yaitu gabungan antara


persekutuan geneologis dan territorial, misalnya di Sumba, Seram. Buru,
Minangkabau dan Renjang.

Setiap persekutuan hukum dipimpin oleh kepala persekutuan yang


bertugas, antara lain:
a. Tindakan-tindakan mengenai tanah, seperti mengatur penggunaan
tanah, menjual, gadai, perjanjian-perjanjian mengenai tanah, agar
sesuai dengan hukum adat.
b. Penyelenggaraan hukum yaitu pengawasan dan pembinaan hukum.
c. Sebagai hakim perdamaian desa.
d. Memelihara keseimbangan lahir dan batin
e. Campur tangan dalam bidang perkawinan
f. Menjalankan tugasnya pemerintahannya secara demokrasi dan
kekeluargaan
g. dan lain-lain

Pada dasarnya orang luar tidak diperkenankan masuk dalam persekutuan,


terkecuali dalam hal berikut, yaitu:
a. Atas izin atau persetujuan kepala persekutuan
b. Masuknya sebagai hamba
c. Karena pertalian perkawinan
d. Karena pengambilan anak

Istilah adat dalam persekutuan:

• Negeri = Persekutuan daerah (Tapanuli)


• Kuria = Persekutuan daerah (Tapanuli Selatan)
• Huta = Persekutuan kampong
• Nagari (Minangkabau) dikepalai oleh seorang yang disebut “Penghulu
Andiko” laki-laki tertua, bagian dari Nagari disebut Jurai yang diketuai
oleh mamak kepala adat atau Tungganai
• Urusan Pamongpraja disebut Manti
• Urusan Polisi disebut Dubalang, Urusan Agama disebut Malim.
Di Sumatera Selatan:
• Persekutuan daerah disebut Marga, yang dikepalai oleh “Pasirah” dengan
gelar depati/ Pangeran.
• Marga terdiri dari dusun-dusun yang dikepalai oleh Proati, Kria, Mangku
dan dibantu “Panggawa”.

Daerah Banten:
• Persekutuan terdiri atas beberapa ampian
• Kepala Kampung disebut Kokolot/ Tua-tua
• Desa dikepali oleh kepala desa yang disebut Jaro.

Suasana masyarakat desa yang damai, tentram dan penuh rasa kebersamaan
mengalami perubahan yang mengganggu ketentraman dan kedamaian. Perubahan
tersebut dapat dilihat dari zamannya, sebagai berikut:

1. Zaman Kerajaan: - Kerajaan dan familinya menguasai desa - Penggantian


kepala desa oleh keluarga kerajaan - Tanah diambil oleh keluarga Raja -
Pemungutan pajak yang tinggi - Batas-batas desa sudah tidak diperhatikan
- Wajib menyerahkan tenaga kerja untuk kepentingan kerajaan.
2. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda: - Penggantian tata administrasi
desa - Persekutuan menjadi lenyap - Kewajiban membayar pajak yang
tinggi - Kewajiban menyerahkan tenaga kerja - Melakukan politik hukum
dengan berbagai peraturan.
3. Zaman Republik: - Pengaruh Modernisasi masyarakat

Hak Ulayat dan Tanah Ulayat

Hak Ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban masyarakat


hukum Adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan
ulayatnya, sebagai “lebensraum” para warganya untuk mengambil manfaat
dari sumber daya alam, termasuk tanah yang ada dalam wilayah tersebut.

Adapun objek hak ulayat ini adalah semua tanah yang terdapat dalam
lingkungan masyarakat hukum Adat yang bersangkutan. Sedangkan yang
menjadi subjeknya adalah semua anggota masyarakat hukum Adat yang
bersangkutan. Orang dari luar masyarakat hukum Adat tersebut boleh
memanfaatkan tanah yang berada dalam wilayah ulayat itu dengan seizin dari
penguasa Adat setempat.
Hak Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat
dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hukum adat sendiri adalah
serangkaian aturan yang mengikat pada suatu masyarakat yang tidak tertulis, dan
bersumber dari kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada suatu masyarakat
tertentu yang kemudian diterima menjadi hukum secara turun temurun. Hak
tanah ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat dimiliki oleh
masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
warganya. Posisinya kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Maka dari itu, konsepsi hak tanah ulayat menurut hukum tanah adat mencakup
nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah
secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak tanah
ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak tanah ulayat
bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat
hukum adat atas tanah yang bersangkutan.

Pada masyarakat hukum Adat di wilayah negara Indonesia terdapat bermacam-


macam hak ulayat, yang masing-masing wilayah hukum Adat berbeda namanya.
Adapun nama-nama hak ulayat tersebut sebagai berikut: Ambon mengenal “Hak
Pertuanan”, Kalimantan “Panyampeto”, Jawa “Wewengkon”, Bali “Prabumian”,
Lombok “Tanah Paer”, dan Minangkabau “Ulayat”, dan lainnya.

Hak ulayat pada masyarakat hukum Adat mempunyai kekuatan hukum ke


dalam dan keluar.

a. Kekuatan hukum hak ulayat yang berlaku ke dalam, yakni dimana


masyarakat hukum adat setempat terikat oleh aturan-aturan dari penguasa
adat. Tanah dalam masyarakat ulayat dipergunakan untuk kesejahtraan
bersama anggota masyarakat hukum Adat yang bersangkutan. Masyarakat
dapat menggunakan tanah untuk kepentingan pribadi atas izin penguasa
dan mereka diwajibkan untuk memberikan suatu pembayaran dalam
jumlah tertentu. Dengan demikian dalam hak ulayat di samping hak
bersama juga terdapat pula hak perseorangan.
Hubungan antara hak ulayat dengan hak perorangan dalam konsep hukum
adat adalah sebagai berikut:
1) Semakin banyak usaha seseorang atas tanah, makin erat hubungan
dengan tanah dan makin kuat haknya. Jika tanah tidak diusahakan
(diterlantarkan), maka haknya akan hilang.
2) Semakin kuat hak perorangan, hak ulayat melemah, sebaliknya semakin
melemah hak perorangan, semakin kuat hak ulayat. Yang demikian ini
menurut Imam Sudiyat dikenal dengan istilah “mulur mungkret”.

b. Kekuatan hukum hak ulayat berlaku keluar adalah bahwa hak ulayat
dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Masyarakat dari luar wilayah hukum adat dilarang
masuk di lingkungan tanah wilayah hukum adat tersebut tanpa izin
penguasa adat. Boleh masuk dengan syarat membayar apa yang disebut
“pengisi adat”. Jika orang luar masuk tanpa izin dianggap melakukan
tindak pidana yang akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan hukum
Adat yang berlaku pada wilayah adat tersebut.

Tujuan dan Manfaat Mempelajari Hukum Adat

Hukum adat adalah satu satu cabang ilmu hukum yang patut dipelajari.
Mempelajari hukum adat memberikan manfaat yang tidak sedikit. Dengan
mempelajari hukum adat, kita dapat memahami pedoman dan pengaturan apa
yang menjadi landasan suatu masyarakat untuk mengatur kehidupan bersama
mereka. Pada gilirannya, dengan mengetahui hukum adat dapat membantu kita
pula untuk menentukan hukum nasional seperti apa yang akan dibentuk.

1. Hukum Adat sebagai bentuk budaya hukum Indonesia


Hukum adat sebagai bentuk budaya hukum adat dapat kita lihat pada
keberagaman aturan adat yang ada di Indonesia. Keberagaman aturan adat atau
hukum tersebut disusun secara independen oleh masing-masing fungsionaris
hukum adat yang sifatnya dalam satu kawasan tertentu. Kenapa sifatnya
kedaerahan? Karena masyarakat yang hidup dalam suatu daerah memiliki
hubungan yang erat satu sama lainnya. Hubungan itu muncul dari kekerabatan
dalam keluarga, maupun kekerabatan dalam satu bahasa. Budaya hukum asli
Indonesia tentunya memiliki kekhasan tersendiri yang membedakan dengan
negara lain. Dengan banyaknya suku bangsa di Indonesia, kekhasan itu dibagi
lagi dalam beberapa bentuk hukum adat. Van Vallen Hoven telah membagi
hukum adat di Indonesia menjadi 19 bentuk. Ke 19 pembagian ini memilik
kekhasannya masing-masing. Hukum adat sebagai bentuk budaya hukum
Indonesia lahir dari bentuk yang sangat sederhana sampai ke bentuk yang
komplek sehingga bisa dipakai sebagai alternatif dalam penyelesaian masalah
hukum dalam hukum positif di Indonesia. Hukum adat lahir secara sederhana
melalui kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus oleh suatu
masyarakat hukum adat, dan itu diberlakukan seterusnya terhadap suatu peristiwa
atau permasalahan yang sama. Artinya jika terjadi pelanggaran hukum setelahnya
dengan permasalahan yang sama, maka untuk penjatuhan hukumannya sudah ada
dan itu merupakan hasil kesepakatan bersama. Hukum adat Indonesia yang
menganut sistem kekeluargaan atau musyawarah mufakat lebih cocok terhadap
masalah sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut. Permasalahan sosial yang
terjadi tersebut dapat diselesaikan dengan hukuman yang tepat sehingga pelaku
dapat dengan lapang dada menerima hukuman yang dijatuhkan. Walaupun
sifatnya kekeluargaan, namun terhadap sanksi yang diberikan lebih efektif dan
menimbulkan efek jera bagi pelakunya karena hukumannya tidak melulu seperti
kurungan tapi juga berkaitan dengan sanksi kesusilaan yang dapat lebih membuat
jera karena bisa membuat aib dan mencoreng nama baik keluarganya. Kekhasan
dan fleksibelnya hukum adat Indonesia merupakan warisan yang sangat berharga
dalam melengkapi hukum positif yang ada di Indonesia sehingga dapat dikatakan
sebagai budaya hukum Indonesia.

2. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Nasional


Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Nasional sangat
penting sekali, khususnya dalam pembangunan hukum Nasional, karena kita
mengenal adanya sebuah adagium bahwa hukum itu berjalan lamban atau
tertatih-tatih dibandingkan dengan perkembangan masyarakat. Hukum yang
berjalan lamban dan tertatih-tatih ini kita ibaratkan sebagai hukum positif di
Indonesia. Untuk membuat sebuah produk hukum diperlukan banyak analisis-
analisis dalam naskah akademik. Naskah akademik ini tentunya perlu penelitian
yang mendalam agar peraturan yang nantinya dibuat tidak merugikan suatu pihak
dan hanya menguntungkan suatu pihak. Sebuah negara yang memiliki wilayah
yang luas dan keberagaman yang kompleks, tidak mudah membuat aturan dalam
waktu yang singkat. Perlu analisa, diskusi dan perdebatan agar dilahirkannya
suatu hukum positif yang sifatnya memberi keadilan. Hukum adat hadir untuk
itu, dalam pembangunan nasional hukum adat secara langsung memberikan
dampak yang luar biasa, karena masing-masing masyarakat hukum adat sudah
memiliki aturannya sendiri dan itu ditaati oleh masyarakatnya, maka masing-
masing hukum adat itu dapat diibarat sebagai lidi yang disatukan menjadi sebuah
sapu lidi yang diikat dengan bhineka tunggal ika. Maksudnya disini adalah
hukum-hukum yang sifatnya kedaerahan itu ikut berperan dalam membangun
tatanan hukum di Indonesia, dimulai dari mengisi kekosongan hukum positif
hingga menjadi alternatif bagi pencari keadilan yang ingin menyelesaikan
permasalasahannya tidak dihadapan peradilan resmi.

3. Hukum Adat sebagai Sarana Pengendalian Sosial.


Jelas sekali bahwa hukum adat bermanfaat sebagai sarana pengendalian sosial,
karena hukum adat merupakan hukum adat yang langsung bersinggungan dengan
masyarakat terkecil, mulai dari keluarga, kerabat, dan masyarakat lain yang
tergabung dalam masyarakat hukum adat. Hukum adat secara langsung dapat
mengontrol perbuatan yang dilakukan oleh masyarakatnya. Dengan demikian
pengendalian sosial dalam hukum adat lebih memiliki efek dibandingan
pengendalian sosial yang dilakukan oleh aparat negara. Mengapa demikian?
Karena aparat negara yang bertugas sebagai pengendali sosial cakupan kerjanya
lebih luas sehingga tidak bisa secara langsung mengendalikan kehidupan
bermasyarakat, berbeda dengan hukum adat yang cakupannya lebih sempit
sehingga bisa saling mengatur antar masyarakat hukum adatnya.

KESIMPULAN. Adat Istiadat yang didalamnya terdapat nilai-nilai Kearifan


Lokal (local wisdom) memang mungkin saja kadang terdengar begitu kuno.
Namun tanpa sadar, kearifan lokal dalam bentuk tidak nyata seperti petuah,
pantun, maupun cerita lah yang selama ini menjaga kita untuk tetap berada dalam
jalan yang benar. Sedangkan kearifan lokal berbentuk nyata seperti batik,
kerajinan tangan, arsitektur dan lain sebagainya, membuat kita jadi begitu
berbeda dari wilayah lainnya. Aneka bentuk kearifan lokal ini tanpa sadar bukan
hanya menjadi kepercayaan yang harus dipegang teguh, tetapi juga menjadi
identitas sebuah wilayah. Tanpa identitas ini, sebuah wilayah tidak dapat dikenali,
dan diingat oleh orang luar.

Sedangkan Hukum Adat, yang merupakan salah satu bentuk hukum tidak tertulis.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, walaupun hukum yang satu ini tidak secara
resmi tertulis, namun kadang kala memiliki sifat memaksa kepada masyarakat
yang ada di dalamnya. Hal ini dikarenakan, masyarakat adat yang ada di
dalamnya juga memiliki keyakinan akan hukum tersebut sehingga patuh untuk
menaatinya dan percaya akan menerima sanksi jika hukum tersebut tidak
dijalankan dan dilanggar. Adat yang memiliki sanksi disebut dengan hukum adat.
Sedangkan yang tidak memiliki sanksi adalah kebiasaan. Defisini hukum adat
adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungan satu sama
lain. Baik kebiasaan maupun kesusilaan dalam bermasyarakat. Sebelumnya,
peraturan adat ini menggunakan istilah Peraturan Keagamaan dalam undang-
undang. Pada masa Hindia Belanda, hukum adat yang berlaku tidak tunduk
kepada KUH Perdata dan hukum kebiasaan. Fungsinya untuk mengatur
masyarakat adat agar mendapatkan hidup yang damai. Jika ada yang melanggar
hukum adat maka dikenakan sanksi adat, seperti halnya pemberian sanksi kepada
pelanggar hukum kedaulatan di Indonesia. Berdasarkan Hukum Adat, Sanksi adat
bisa berupa memberikan persembahan, ritual, atau membayar denda adat, hingga
dikucilkan bahkan diusir dari komunitas warga atau marganya. Sehingga hukum
adat merupakan sesuatu peraturan atau hukum yang diberikan mengikat. Hukum
adat berlaku bagi orang-orang yang lahir sebagai bagian dari suatu adat tersebut.
Sehingga antara satu adat dengan yang lain mungkin akan memiliki peraturan
atau sanksi yang berbeda. Ketika seseorang memasuki sebuah wilayah yang
masih berpegang pada hukum adat, maka seseorang asing tersebut tetap harus
mengikuti peraturan yang ada di hukum adat tersebut (dimana bumi dipijak, disitu
langit dijunjung). Namun, jika seseorang tersebut sudah keluar dari wilayah
tersebut, maka hukum adat tersebut sudah tidak berlaku. Sumber hukum adat
adalah peraturan-peraturan tidak tertulis yang terus tumbuh dan berkembang
ditengah masyarakat serta dipertahankan. Sebenarnya nilai-nilai dan sifat hukum
adat sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Contohnya, gotong-royong,
musyawarah mufakat, dan keadilan. Meski tak tertulis dan tidak ada cara khusus,
hukum adat tetap berlaku, dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela
dikarenakan memang miliknya hingga sampai saat ini.

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun-
temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan
tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya, hukum adat yang
masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan
hukum.

Identifikasi terhadap Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi persyaratan yaitu


memiliki komunitas tertentu yang hidup berkelompok dalam suatu ikatan karena
kesamaan keturunan dan/atau teritorial; mendiami suatu wilayah adat dengan
batas tertentu secara turun-temurun; memiliki pranata atau perangkat hukum dan
ditaati kelompoknya sebagai pedoman dalam kehidupan Masyarakat Hukum
Adat; dan/atau mempunyai Lembaga Adat yang diakui oleh Masyarakat Hukum
Adat.

Dengan mempelajari hukum adat akan memberikan manfaat yang tidak sedikit.
Secara garis besarnya dengan mempelajari hukum adat, kita dapat memahami
pedoman dan pengaturan apa yang menjadi landasan suatu masyarakat untuk
mengatur kehidupan bersama mereka. Pada gilirannya, dengan mengetahui
hukum adat dapat membantu kita pula untuk menentukan hukum nasional seperti
apa yang akan dibentuk.
Hal tersebut diatas dapat dilihat dalam Pembentukan Undang-Undang tentang
Masyarakat Adat yang saat ini masih dalam tahap Rancangan Undang-Undang
(RUU) dan sedang menunggu pengesahan dari Pemerintah Republik Indonesia.
_Lihat RUU Masyarakat Adat.

Anda mungkin juga menyukai