Anda di halaman 1dari 4

KEDUDUKAN HUKUM TANAH ADAT DI BALI

Riva Azzahra (2101110052)

Mata Kuliah Hukum Adat, Program Studi Hukum, Fakultas Hukum


Universitas Muhammadiyah Aceh

ABSTRAK
Pengakuan hukum adat sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 UUPA merupakan suatu bentuk
keragu-raguan, terutama mengenai kemampuan hukum adat dalam memenuhi tuntutan masyarakat
modern. Secara umum desa-desa di Bali memiliki tata cara dan sistemnya sendiri yang disebut
desa mawacara. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, setiap Desa Pakraman di Bali memiliki
tatanan hukum sosial adat berupa Awig-awig yang berbeda satu sama lainnya walaupun secara
geografis letaknya berdekatan. Perbedaan ini dianggap normal dan lumrah sesuai dengan asas desa
mawacara. Dalam pasal 1 angka (11) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman menyebutkan, awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman
dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita
Karana, sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama desa pakraman/banjar pakraman
masing-masing.

Kata Kunci: Hukum Tanah Adat Bali

I. Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam adat dan budaya. Adat dan budaya
tersebut memiliki aturan tersendiri yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat
adatnya. Dengan banyaknya adat dan budaya tersebut, pemerintah Indonesia bermaksud untuk
menasionalisasikan suatu aturan agar tidak terdapat perbedaan yang mengakibatkan perpecahan,
salah satunya dengan dibentuknya UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok
Agraria atau yang sering dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur
tentang unifikasi aturan mengenai pertanahan. Berlakunya UUPA merupakan perubahan yang
mendasar dalam Hukum Tanah (Hukum Agraria) Indonesia.
Pengakuan hukum adat sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 UUPA merupakan suatu
bentuk keragu-raguan, terutama mengenai kemampuan hukum adat dalam memenuhi tuntutan
masyarakat modern. Hal ini terutama dilontarkan oleh penganut paham kodifikasi yang intinya
hukum adat tidak menjamin kepastian hukum. Karakteristik daerah Bali sangat tampak dari

1
kehidupan Agama Hindu, adat, dan budaya yang menyatu padu dalam suasana harmonis dengan
tidaklah terlepas dari peran serta seluruh komponen serta warisan suatu prinsip kesatuan
masyarakat yang ada jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu Desa Adat. Maka sesuai dengan
aspek sosiologis Hukum Tanah Nasional Negara Indonesia yang mengharuskan Hukum Tanah
yang sesuai dengan 3 nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, dan secara tidak langsung UUPA
telah mengakui keberadaan Hukum Tanah Adat di Desa Adat utamanya Bali. Lalu bagaimanakah
Pelaksanaan Hukum Tanah Adat di Bali?

II. Pembahasan
Secara umum desa-desa di Bali memiliki tata cara dan sistemnya sendiri yang disebut desa
mawacara. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, setiap Desa Pakraman di Bali memiliki tatanan
hukum sosial adat berupa Awig-awig yang berbeda satu sama lainnya. Awig-awig merupakan tata
dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat sendiri ditandai oleh beberapa ciri, seperti adanya
interaksi, ikatan, pola tingkah laku yang khas dalam semua aspek kehidupan yang bersifat mantap
dan kontinyu, serta adanya rasa identitas terhadap kelompok dimana individu yang bersangkutan
menjadi anggotanya. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan antar awig-awig desa pakraman
yang satu dengan yang lainnya walaupun secara geografis letaknya berdekatan.
Perbedaan ini dianggap normal dan lumrah sesuai dengan asas desa mawacara. Dalam pasal
1 angka (11) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
menyebutkan, awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama
banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana, sesuai dengan
desa mawacara dan dharma agama desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. Dalam Bab
VII tentang Awig-awig Desa Pakraman mengatur tentang Pasal 11 (1) Setiap desa pakraman
menyuratkan awig-awig-nya. (2) Awig-awig desa pakraman tidak boleh bertentangan dengan
agama, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan hak asasi manusia. Pasal 12 (1) Awig-awig
desa pakraman dibuat dan disahkan oleh kraman desa pakraman melalui paruman desa pakraman.
(2) Awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor Bupati/Wali Kota masing-masing. Substansi
awig-awig garis besarnya berisi Murdha Citta, Pamikukuh, Petitis, asasasas, norma atau kaidah,
dan sanksi. Asas-asas misalnya gotong royong, tolong menolong, musyawarah mufakat, saling
asah saling asih saling asuh, paras paros, rukun laras patut. Norma/kaidah dirumuskan dalam
bentuk larangan, perintah, dan kebolehan. Hal-hal yang dilarang, diperintahkan, dan dibolehkan

2
harus mengacu pada pamikukuh dan petitis yang telah ditetapkan. Norma-norma yang berupa
perintah dan larangan, rumusannya disertai sanksi yang jelas serta berisi kebolehan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan baik dengan cara negosiasi atau mediasi
diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Mengenai musyawarah mufakat ini Koesnoe
mengemukakan : Di dalam masyarakat adat, istilah ini mengandung suatu pengertian yang isinya
primair sebagai suatu tindakan seseorang bersama orang-orang lain untuk menyusun suatu
pendapat bersama yang bulat atas sesuatu permasalahan yang dihadapi oleh seluruh
masyarakatnya. Dari itu musyawarah selalu menyangkut soal hidupnya masyarakat yang
bersangkutan. Apabila penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil maka desa
pakraman dapat menyelesaikannya melalui pengadilan.
Pada sidang pertama di pengadilan maka agenda yang dilakukan adalah mediasi. Prajuru
desa memiliki peranan dalam mencegah terjadi sengketa. Pencegahan dapat dilakukan dengan
sikap reponsif terhadap indikatsi-indikasi timbulnya konflik yakni dengan berkoordinasi antara
prajuru desa dengan warganya dan antara prajuru desa dengan prajuru desa. Keberadaan prajuru
adat sebagai pengurus desa pakraman berfungsi sebagai negosiator dalam penyelesaian
permasalahan adat. Kewenangan prajuru desa ini merupakan implementasi dari otonomi desa
pakraman. Wirtha Griadhi dan Widnyana mengemukakan bahwa otonomi desa pakraman
meliputi: (1) Kewenangan menetapkan aturan hukumnya sendiri yang disebut awig-awig; (2)
Kewenangan menyelenggarakan pemerintahan desa pakraman secara mandiri; serta (3)
Mempunyai kewenangan persoalan-persoalan hukum (wicara) yang terjadi di lingkungan
wilayahnya, baik yang berupa pelanggaran hukum maupun sengketa (I Ketut Sudantra dan AA
Gede Oka Parwata (ed), tanpa tahun edisi: Pendekatan antara prajuru desa ini merupakan kearifan
lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat.
Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai tujuan untuk
mengembalikan keseimbangan apabila terjadi gangguan keseimbangan hubungan dalam aspek-
aspek hubungan kewilayahan (palemahan), kemasyarakatan (pawongan), d keagamaan
(parhyangan).
Pamidanda ini dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim
dikenal sebagai sanksi adat. Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi adat) ini terdiri dari
tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda (uang atau barang) disebut artha
danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang

3
berkaitan dengan upaya pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut panyangaskara
danda. Bantuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas sangat bervariasi dari yang sangat
ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha danda yang paling ringan,
misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain
sedangkan yang berat adalah karampag (hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan
untuk melunasi kewajibannya di desa). Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong
ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman), sedangkan yang
berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama (dipecat sebagai kerama desa).

III. Kesimpulan
Hukum adat merupakan istilah teknis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan kebiasaan
yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan perundangan yang dibentuk
oleh penguasa pemerintahan. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam pasal 5 UUPA, bahwa
Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas
tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari Hukum Adat. Desa Adat atau di
Bali disebut Desa Pakraman memiliki adat atau hukum-hukum tradisi sebagai pedoman
bermasyarakat. Permasalahan ini diselesaikan prajuru (pimpinan) desa adat berdasarkan asas desa
mawacara. Desa mawacara diartikan bahwa tiap desa adat memiliki adat kebiasaan atau awig-awig
dan perarem sendiri untuk mengatur kehidupan di desanya.

IV. Daftar Pustaka


Laksanto Utomo, St. 2016. Hukum Adat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Panetje, I Gede.1986. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Cetakan I, Denpasar:Kayumas
Paramartha, I Gusti Ngurah Budi. 2015. Landasan Yuridis dan Makna Pengukuhan Awig-Awig
Desa Pakraman Oleh Bupati/Wali Kota. Tesis Program Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.

Anda mungkin juga menyukai