Anda di halaman 1dari 4

Nama:

NIM:
Mata Kuliah:
No.Absen:

Ivana Bunga Wahyuni


1016051164
Peradilan Desa
28

TUGAS
Pertanyaan:
1. Bagaimana Struktur Peradilan Desa?
2. Apa Kompetensi Peradilan Desa?
Jawab:
1. Struktur Peradilan Desa
Peradilan Desa adalah merupakan suatu lembaga adat yang menangani perkara yang
timbul diantara warga maka peradilan desa memerlukan satu struktur yang jelas
dengan tugas dari perangkat desa masing-masing. Di dalam implementasinya susunan
peradilan desa sangat beragam dipengaruhi oleh struktur pemerintahan adatnya, dan
kadangkala menyesuaikan pula dengan perkembangan jaman dengan membentuk
wadah secara khusus yang berfungsi menyelesaikan perkara yang timbul di kalangan
warga masyarakat desa adat.
Di Bali, secara normatif struktur Peradilan Desa Pekraman di Bali tercantum pada
Pasal 1 angka 12 Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman
bahwa prajuru desa pakraman/ banjar pakraman adalah pengurus desa pakraman/
banjar pakraman masing masing.
Penjelasan Pasal 1 angka 12 diatas menegaskan:
Prajuru desa Pakraman adalah unsur pimpinan tertinggi yang telah ada dan diwarisi
secara turun temurun serta berkembang di tengah tengah masyarakat desa.
Unsur Pengurus dan unsur pimpinan sekaligus pelaksana pelaksana semua program
dan permasalahan desa.
Pimpinan prajuru desa pakraman ini disebut bendesa dan atau kelihan desa atau
istilah lainnya, yang dibantu oleh unsur pimpinan lainnya, seperti penengen,
penyarikan atau dengan sebutan lain yang sesuai dengan fungsinya.
Jadi struktur Peradilan Desa di Bali mengacu kepada Perda Propinsi Bali Nomor 3
Tahun 2001 yang mengatur tentang unsur unsur pimpinan dalam kedudukannya
sebagai prajuru desa pekraman. Secara kelembagaan prajuru dalam hal ini
bertindak dalam kapasitasnya sebagai kertha desa (hakim desa). Pada tingkat

banjar yang merupakan bagian dari desa adat, yang berindak selaku kertha desa
adalah kelihan banjar, sedangkan pada tingkat desa pakraman adalah bendesa
atau kelihan desa.1
2. Kewenangan Peradilan Desa
Di Indonesia, selain pengadilan negara sebagai lembaga formal penyelesaian
sengketa yang keberadaannya diatur dalam U.U. Nomer 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dikenal juga lembaga penyelesaian sengketa lain yang
mengacu pada hukum adat. Hal tersebut dilatarbelakangi adanya pluralisme
hukum yang berlaku di Indonesia, hukum yang berlaku bukan hanya hukum yang
berasal dari pemerintah atau negara (hukum negara), tetapi juga hukum yang
berasal dari adat kebiasaan masyarakat (hukum adat) serta hukum yang berasal
dari ajaran agama (hukum agama). Di dalam masyarakat hukum adat sudah sejak
lama sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat
melalui lembaga-lembaga adat yang biasa disebut peradilan adat. Biasanya yang
bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala
adat) dan pemuka agama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak sematamata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa
dalam semua bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana,
perdata dan publik.2
Di Bali Kompetensi Peradilan Desa, secara yuridis bahwa Desa Pekraman
merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai
satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat hindu
secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang
mempunyai wilayah tertentu dan kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri. Rumusan formal tersebut sangat jelas tercantum pada Perda
Propinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dengan demikian desa
pakraman sebagai masyarakat hukum memiliki aturan hukum sendiri yang dibuat
dan berlaku bagi krama desa yang ditetapkan berdasarkan kekuasaan yang ada

Wayan P.Windia & I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi
dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 150
2

Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung

padanya.3

Dalam sistem hukum adat di Bali, peradilan dilakukan dengan

permintaan. Artinya para petugas hukum adat baru akan ikut mencampuri
penyelesaian sesuatu perkara apabila ada permintaan dari yang berkepentingan,
kecuali dalam hal hal yang langsung merugikan dan menggangu keseimbangan
masyarakat umum, seperti kerusuhan, huru hara, dan lain lain. Lembaga atau
organisasi kemasyarakatan yang berwenang menangani pelanggaran adat di
daerah Bali, tergantung dari jenis aturan atau norma yang dilanggar.4 Konsep
berhak mengurus rumah tangga sendiri inilah yang lazim disebut otonomi desa
pekraman. Namun, amat penting ditegaskan di sini bahwa otonomi yang dimiliki
desa pekraman bukanlah otonomi penuh (mutlak) seperti yang banyak dikira
orang. Penegasan ini penting agar tidak menimbulkan salah pengertian dan
menggangap desa pekraman sebagai republik kecil yang dapat berbuat apa saja
tanpa perduli kepada keberadaan kekuasaan negara, sebab bagaimana pun juga
tidaklah boleh ada negara dalam negara. Sejarah memang telah mencatat, sejak
awal desa pekraman telah memiliki hak hak tradisional untuk menetapkan
aturan

hukum

sendiri

(awig

awig);

kewenangan

menyelenggarakan

pemerintahan desa pekraman secara mandiri, serta memiliki kekuasaan untuk


menyelesaikan persoalan persoalan hukum (wicara) yang terjadi dilingkungan
wilayahnya, baik yang berupa pelanggaran hukum (adat) maupun sengketa. Tetapi
semua kewenangan asli yang dimiliki oleh desa pakraman tersebut tidaklah boleh
digunakan atau tidak digunakan secara bertentangan dengan kekuasaan negara.5
Kompetensi Peradilan Desa di Bali secara tegas tercantum pada Pasal 6 huruf a
Perda Propinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman yaitu Desa
pakraman mempunyai wewenang menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam
lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar
krama desa sesuai dengan awig awig dan adat kebiasaan setempat. Kewenangan
peradilan desa dilakukan oleh prajuru desa pekraman yang mempunyai tugas
tugas mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa sengketa adat,

I Ketut Sudantra, 2010, Peranan Desa Pekraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan
(Wicara Lan Pamidanda), Udayana University Press, Denpasar, h. 36.
4

Wayan P.Windia & I Ketut Sudantra, 2006, op.cit, h. 148

I Ketut Sudantra, 2010, op.cit, h. 38

sesuai yg ditegaskan pada Pasal 8 huruf c Perda Propinsi Bali Nomor 3 tahun
2001 tentang Desa Pakraman.
Cara penyelesaian pelanggaran hukum melalui paruman dilakukan dengan prinsip
musyawarah untuk mufakat (paras paros gilik seguluk) dengan tetap berpegang
teguh pada asas rukun, patut, dan laras. Dalam hal masalah yang terjadi adalah
berupa kejahatan atau pelanggaran hukum, paruman menjalankan fungsinya
sebagai peradilan desa dan prajuru berperan sebagai hakim desa. Di sini,
prajuru mempunyai kewenangan menjatuhkan putusan, yaitu menjatuhkan apa
yang disebut pamidanda (sanksi adat), baik itu berupa sangaskara danda
(kewajiban melaksanakan upacara keagamaan tertentu untuk mengembalikan
keseimbangan magis). Model penyelesaian masalah yang berupa konflik antara
krama desa berbeda dengan model penyelesaian masalah akibat kejahatan ataupun
pelanggaran hukum, karena dalam hal konflik, prajuru bersifat pasif dan baru
bertindak setelah ada pengaduan (pesadok) dari pihak pihak yang berkonflik.
Dalam hal ini peranan prajuru adat lebih tepat disebut sebagai mediator, karena ia
tidak menjatuhkan putusan terhadap konflik yang terjadi. Prajuru hanyalah
bertindak sebagai pihak ketiga yang bersifat netral memfasilitasi penyelesaian
sengketa antara para pihak secara perdamaian.6

Wayan P.Windia & I Ketut Sudantra, 2006, op.cit, h. 150 - 151

Anda mungkin juga menyukai