Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

PERADILAN DESA

NAMA : ANUGRAH DIVA APRIANA

NIM : 1103005008

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014
1. Jelaskan tentang masa depan peradilan desa dilihat dari UU tentang Kekuasaan
Kehakiman!

Beberapa tahun terakhir isu peradilan desa atau adat nampak mengemuka. Setelah
bertahun-tahun dimatikan melalui UU Darurat No 1 tahun 1951, khususnya pasal 1 (2)
huruf b; dilanjutkan dengan penghapusan secara tidak langsung peradilan desa melalui
UU 14/1970 tentang UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang terakhir kali diubah dengan
UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 2, ayat 3 UU 48/2009 ).

Meskipun begitu secara sporadis keberadaan peradilan adat muncul dalam berbagai
peraturan perundang-undangan seperti dalam UU 18/2004 tentang perkebunan yaitu di
penjelasan pasal 9 ayat 2 yang menyebutkan …d. A da pranata dan perangkat hukum,
khususnya peradilan adat yang masih ditaati. Bahkan, Dokumen Strategi Nasional
(Stranas) Akses terhadap Keadilan sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka
Menengah 2010-2014 dalam pokok-pokok yang menjadi usulan strategi nasional
menjadikan mekanisme-mekanisme keadilan berbasiskan masyarakat adat sebagai bagian
dari strateginya, yaitu Penguatan dan pemberdayaan sistem keadilan berbasis komunitas (
Dokumen Stranas Akses terhadap Keadilan, Bappenas, Jakarta, halaman XVII).

Demikian halnya, di tingkat daerah di beberapa wilayah keberadaan peradilan adat


mendapatkan pengesahannya, yaitu UU 21/ 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua (Pasal 50 (2) dan pasal 51 UU 21/2001) dan Peraturan Daerah Khusus Papua No.
20/2008 tentang Peradilan Adat di Papua; UU 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh; dan
UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh beserta aturan pelaksanaannya baik berupa
Perda maupun qonum, Sedangkan di daerah lain keberadaan peradilan adat diatur melalui
Perda atau Peraturan Gubernur (Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 16
tahun 2008) . Perlu juga diperhatikan bagaimana sejumlah lembaga donor mendorong
terwujudnya peradilan adat dalam hal peradilan terapung di Indonesia pada daerah-daerah
yang memilik wilayah perairan yang luas dikaitkan dengan isu akses terhadap keadilan.
Peradilan terapung dibeberapa daerah di Indonesia misalnya di daerah Kalimantan,
tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu diyakini mampu memberikan akses keadilan yang
murah dan mudah bagimasyarakat pengadilan ini dinilai sangat membantu masyarakat
yang mau menyelesaikan perkaranya dan ingin mendapatkan keadilan dalam setiap
perkaranya.

2. Jelaskan tentang keadaan desa di Bali!

Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa, banjar, subak, dan
sekehe. Bentuk lembaga tradisional atas dasar kesatuan wilayah disebut desa. Konsep
desa memiliki dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di daerah Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu yang secara turun-temurun dalam ikatan
Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali adalah
konsep Tri Hita Karana. Desa dinas adalah satu kesatuan wilayah administratif di bawah
kecamatan.

Konsep Tri Hita Karana adalah satu konsep yang mengintegrasikan secara selaras tiga
komponen penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang diyakini oleh orang Bali.
Ketiga komponen tersebut, yaitu:

1. Parahyangan atau Tuhan yang memberikan perlindungan bagi kehidupan.


2. Palemahan, yaitu seluruh wilayah lembaga tersebut
3. Pawongan adalah sumber daya manusia yang terdiri atas semua warga lembaga yang
bersangkutan.

3. Bagaimana praktek peradilan desa dalam masyarakat hokum adat di Bali?

PELAKSANAAN suatu aturan hukum sangat ditentukan oleh kelembagaan (institusi)


yang melaksanakan aturan hukum tersebut. Kelembagaan inilah yang oleh Lawrence M.
Friedman dalam teorinya legal sistem[1] disebut sebagai legal structure. Dalam uraian
mengenai pengertian hakim perdamaian desa di depan telah dijelaskan bahwa secara
kelembagaan yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa adalah
kepala-kepala masyarakat hukum adat. Untuk daerah Bali yang secara yuridis
dan faktual mengenal dua bentuk pemerintahan desa (dualisme) menjadi
persoalan tersendiri mengenai siapa yang dimaksud sebagai kepala masyarakat
hukum adat, apakah kepala desa pakraman (prajuru adat) ataukah kepala desa
dinas. Hal ini menjadi persoalan karena peraturan perundang-undangan yang berlaku
menunjukkan bahwa baik desa pakraman mau pun desa dinas sama-sama dinyatakan
sebagai masyarakat hukum.
Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 –yang telah dikutip
secara lengkap di depan, dengan jelas disebutkan bahwa desa pakraman adalah suatu
kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali. Seperti telah diketahui bahwa
pemimpin dari desa pakraman disebut prajuru desa pakraman yang dipilih dan atau
ditetapkan oleh krama desa dengan struktur dan susunan yang telah diatur dalam awig-
awig desa pakraman masing-masing (Pasal 7). Sesuai dengan susunan prajuru (undagan
prajuru) menurut Awig-awig Desa Pakraman Keramas, pejabat puncak Desa Pakraman
Keramas disebut Bendesa[2]. Hal itu dengan jelas disebutkan dalam Pawos 13 yang

[1] Teori Lawrence M Friedman mengenai legal sistem telah diuraikan dalam Bab I tesis
ini.
[2]Desa pakramanlain pejabat puncaknya ada yang disebut Klihan Desa, seperti misalnya
yang banyak terjadi di daerah Badung.
menyatakan bahwa ”(1) Desa Adat Keramas kaenterang antuk Bendesa; (2) Banjar kaenterang
antuk Kelian Banjar...”. Sebagai pemimpin desa pakraman, prajuru desa pakraman
adalah kepala masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang semestinya melaksanakan
fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Fungsi tersebut secara ekplisit dinyatakan
dalam Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001. Pasal tersebut menegaskan
bahwa ”Prajuru desa pakraman mempunyai tugas...mengusahakan perdamaian dan
penyelesaian sengketa-sengketa adat” disamping tugas-tugas lainnya. Tugas-tugas lain
yang disebutkan dalam Pasal 8 tersebut adalah melaksanakan awig-awig desa
pakraman; mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan di desa pakraman sesuai
dengan sastra agama dan tradisi masing-masing; mewakili desa pakraman dalam
bertindak untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar
pengadilan atas persetujuan paruman desa; mengurus dan mengatur pengelolaan harta
kekayaan desa pakraman; dan membina kerukunan umat beragama dalam wilayah desa
pakraman.
Di pihak lain, dalam pengertian desa yang disebutkan dalam Undang-undang
Pemerintahan Daerah (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004) juga dinyatakan bahwa desa adalah masyarakat
hukum adat. Hal itu dengan jelas disebutkan dalam Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004. ”Desa” menurut undang-undang inilah yang di Bali diimplementasikan sebagai
desa yang kini lazim disebut desa dinas. Dengan demikian, secara logika hukum maka kepala
desa dinas juga adalah kepala masyarakat hukum adat yang padanya melekat fungsi sebagai

[3] Carol Warren, 1993, Adat and Dinas Balinese Communites in Indonesian State,
Oxford University Press, Kualalumpur, hal.107.
[4] I Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri, 2003, “Identifikasi Pola Penyelesaian Kasus
Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Badung”, Laporan Penelitian, Pusat Studi
Hukum Adat Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, hal. 26.
[5] Anak Agung Istri Ari Atu Dewi dan I Wayan Koti Çantika, 2006, “Identifikasi Pola
Penyelesaian Kasus Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Tabanan Provinsi Bali”,
Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, hal. 30.

[6] Mengenai pengertian sanksi adat menurut Hukum Adat Bali, lihat I Ketut Sudantra,
2006, “Filosofi Yang Melandasi Hukum Adat Pelanggaran di Bali, Kertha Patrika, Vol 31
Nomor 2, Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal.93 (Selanjutnya
disebut I Ketut Sudantra III).
[7] Tjok Istri Putra Astiti I, op.cit., hal.13.
[8] A.A. Ketut Sukranatha, et.al., 2003, ”Hubungan Antara Desa Dinas dan Desa Adat
dalam Penyelesaian Sengketa di Wilayah Desa Adat di Kabupaten Tabanan”, Laporan
Penelitian, Pusat Studi Hukum adat Universitas Udayana, Denpasar, hal 28.
[9] Anak Agung Istri Ari Atu Dewi dan I Ketut Suardita, 2004, “Format dan Mekanisme
Hubungan Antara Desa Dinas dan Desa Adat dalam Penyelesaian Sengketa dalam Wilayah Desa
Pakraman di Kabupaten Badung Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999”,
Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, Denpasar, hal 48.
[10] Ibid.
hakim perdamaian desa. Hal ini tentu saja berimplikasi pada praktek penyelesaian sengketa
yang terjadi dalam masyarakat di desa.
Dalam masyarakat hukum adat di Bali, baik itu desa pakraman, subak, dan
masyarakat hukum adat lainnya, kelembagaan dalam penyelesaian perkara yang terjadi
dilingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan umumnya telah ditentukan dalam
awig-awignya. Penelitian yang dilakukan terhadap Awig-awig Desa Pakraman Keramas
menunjukkan hal yang tidak berbeda. Di Keramas, berdasarkan Awig-awig Desa Pakraman
Keramas yang ditulis tahun 1990, masalah kelembagaan dalam penyelesaian perkara diatur
dalam suatu bab (sarga) tersendiri, yaitu Sarga VI tentang Wicara lan Pamidanda. Wicara artinya
perkara atau masalah sedangkan pamidanda dapat diterjemahkan sebagai sanksi[6]. Dalam
Pawos 83 Awig-awig Desa Pakraman Keramas ditegaskan sebagai berikut:

(1) Kelihan Banjar wenang mawosin utawi mutusang wicara yening sang mawicara tunggil banjar;
(2) Bendesa Adat wenang mawosin utawi mutusang wicara yening:
a. Sang mawicara mabinayan banjar;
b. Sang mawicara mabinayan desa sakewala mawicara ring wawidangan Desa Adat;
c. Wicarane nganinin druwen Desa Adat;
d. Sang mawicara rumasa tan polih tiwakan pamatut ring Kelihan Banjar, raris nunas tatimbang ring
Bendesa Adat.

Selanjutnya, dalam Pasal 85 ditegaskan bahwa: ”(1) Desa/Banjar wenang niwakang pamidanda ring
karma sane sisip; (2) Sane patut niwakang pamidandane punika tan tiyos Bendesa/Kelihan Banjar”.
Teks dalam Pawos 83 dan 85 Awig-awig Desa Pakraman Keramas di atas dapat diterjemahkan
secara bebas sebagai berikut:
1. Kelihan Banjar berwenang menyelesaikan perkara jika para pihak yang berperkara berasal dari
banjar yang sama;
2. Bendesa Adat berwenang menyelesaikan perkara dalam hal sebagai berikut:
a. Para pihak yang berperkara berasal dari banjar yang berbeda;
b. Para pihak yang berperkara berasal dari desa yang berbeda tetapi tempat kejadian perkara di
wilayah desa pakraman (Keramas);
c. Perkara yang menyangkut milik desa;
d. Para pihak yang berperkara merasa tidak memperoleh keadilan dalam penyelesaian perkara
pada Kelihan Banjar kemudian minta penyelesaian pada Bendesa Adat.
3. Desa pakraman/banjar berwenang menjatuhkan sanksi kepada krama desa yang bersalah.
Yang berwenang menjatuhkan sanksi tersebut adalah Bendesa/Kelihan Banjar.
Dengan demikian, secara normatif lembaga yang melaksanakan fungsi sebagai hakim
perdamaian desa di Desa Pakraman Keramas adalah prajuru desa pakraman (prajuru adat),
dalam hal ini Kelihan Banjar dan Bendesa.
Dari hasil penelitian lapangan dapat diketahui bahwa ketentuan normatif tersebut
tidak dilaksanakan secara kaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktek
penyelesaian perkara di Desa Keramas, prajuru adat tidaklah sepenuhnya sendirian dalam
menyelesaikan perkara seperti ditentukan dalam awig-awig yang berlaku, melainkan kadang-
kadang melibatkan peran Perbekel yang tidak lain merupakan kepala desa dinas. Keterlibatan
atau pelibatan Perbekel dalam penyelesaian perkara kadang-kadang tidak bisa dihindarkan
karena memang dikehendaki semua pihak, baik oleh prajuru adat, prajuru dinas, maupun oleh
para pihak yang berperkara. Keterlibatan atau pelibatan Perbekel tidak hanya menyangkut
perkara-perkara non adat tetapi juga meliputi perkara-perkara adat dan agama yang menurut
awig-awig sepenuhnya merupakan kewenangan prajuru adat.
Menurut praktek penyelesaian perkara di Desa Keramas selama ini, perkara-perkara
yang melibatkan para pihak dari satu lingkungan banjar diselesaikan ditingkat banjar oleh
Kelihan Banjar, sedangkan yang melibatkan pihak-pihak yang berlainan banjar langsung
diselesaikan di tingkat desa. Pada penyelesaian perkara di tingkat banjar tidak menjadi
persoalan apakah lembaga yang menyelesaikan perkara tersebut prajuru adat ataukah prajuru
dinas, karena pada tingkatan ini yang terjadi adalah pasikian prajuru adat lan dinas (bersatunya
jabatan adat dan dinas), ditunjukkan dengan dirangkapnya kedua jabatan tersebut oleh orang
yang sama. Sedangkan apabila perkara tersebut tidak bisa diselesaikan oleh Kelihan Banjar baru
kemudian Kelihan Banjar memilah permasalahan yang menjadi obyek perkara. Dari hasil
pemilahan berdasarkan substansi perkara tersebut Kelihan Banjar memutuskan apakah perkara
itu menjadi kompetensi lembaga adat ataukah lembaga dinas. Apabila perkara tersebut
menurut Kelihan Banjar lebih berat tekanannya pada masalah adat dan agama, maka perkara
tersebut dimintakan penyelesaiannya kepada Bendesa adat, sebaliknya apabila perkara tersebut
dianggap lebih kental masalah-masalah perdata yang tidak bersangkut paut dengan masalah
adat dan agama, apalagi yang nyata-nyata bersifat kriminal maka tanpa ragu-ragu Kelihan
Banjar membawa masalah tersebut kepada Perbekel untuk mendapat penyelesaian lebih lanjut.
Kreteria yang digunakan untuk memilah masalah suatu perkara apakah termasuk perkara adat
murni atau bukan adalah ketentuan awig-awig dan pararem tertulis yang berlaku di Desa
Pakraman Keramas, karena dalam awig-awig dan pararem tertulis tersebut telah diatur dengan
jelas aspek-aspek hukum adat yang bersangkutan, khususnya sebagai penerapan Tri Hita
Karana dalam kehidupan desa pakraman. Disamping itu, Kelihan Banjar juga
mempertimbangkan dresta atau kebiaaan-kebiasaan yang berlaku bila ternyata permasalahan
yang terjadi tidak atau belum diatur secara ekplisit di dalam awig-awig ataupun pararem
tertulis. Dari uraian di atas akhirnya dapat disimpulkan bahwa baik prajuru desa pakraman
maupun kepala desa dinas sama-sama melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa
baik secara mandiri maupun secara bersinergi. Peran prajuru desa pakraman (Bendesa) dan
kepala desa dinas (Perbekel) tersebut sama-sama mempunyai landasan hukum yang kuat.
Peran prajuru desa pakraman sebagai hakim perdamaian desa disamping dilandasi oleh awig-
awig desa pakraman juga mendapat landasan yang kuat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2003. Pasal 6 Peraturan Daerah tersebut dengan jelas disebutkan bahwa “Desa
Pakraman mempunyai wewenang ... menyelesaikan sengketa-sengketa adat dan agama dalam
lingkungan wilayahnya...”. Kemudian dalam pasal 8 disebutkan bahwa prajuru desa pakraman
mempunyai tugas-tugas...mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa
adat”.
Mengenai peran kepala desa dinas sebagai hakim perdanmaian desa secara yuridis
memang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku. Pasal 5
ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 menegaskan bahwa
”Tugas Perbekel adalah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal-
usul dan adat istiadat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan tidak bertentangan
denan Undang-undang”. Selanjutnya dalam ayat (3) ditegaskan bahwa untuk melaksanakan
tugas tersebut dalam ayat (2) Perbekel mempunmyai fungsi, antara lain memelihara
ketentraman dan ketertiban masyarakat desa dan mendamaikan perselisihan masyarakat Desa.
Berdasarkan ketentuan ini tentu saja Perbekel mempunyai kewenangan untuk berperan dalam
penyelesaian sengketa dalam masyarakat di desa tanpa dibatasi pada substansi sengketa
apakah sengketa adat atau pun non adat. Karena itu, secara normatif adalah wajar bila peran
Perbekel lebih menonjol dalam penyelesaian perkara ditingkat desa dibandingkan dengan
peran Bendesa. Sebab peraturan perundang-undangan membatasi peran prajuru adat pada
penyelesaian perkara yang berlatar belakang masalah adat dan agama.

4. Membaca UU no. 6 tahun 2014, bagaimana desa adat diatur dalam UU tersebut?

Desa adat mendapat pengakuan pasca ditetapkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Salah
satu poin penting yang menjadi perhatian adalah dengan lahirnya UU Desa ini menjadi sebuah
regulasi peraturan negara untuk kepastian hukum yang selama ini diperjuangkan oleh
masyarakat adat itu sendiri.

Dalam UUD 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
(UUD 1945, pasal 18B: 2). Dengan demikian, sudah sejak lama ada pengakuan atas
kesatuan masyarakat adat, namun secara yuridis belum diatur lebih khusus dalam bentuk
perundangan.

Hal ini disampaikan oleh Yando Zakaria Staf Ahli penyusunan Rancangan Undang-
undang Desa DPR-RI. “Sejak lama kesatuan masyarakat adat sudah terpikirkan, namun
regulasinya belum ada. Semangat pengakuan atas masyarakat adat diantaranya
termanifestasi dalam UU Desa Tahun 2014 dan juga putusan MK 35 tahun 2012,” kata
Yando dalam seminar dengan tema Menjawab tantangan desa dalam perundangan yang
sektoral, oleh Perkumpulan Bantaya, kemarin (3/4) di Palu.

Berangkat dari perlakuan “diskriminatif” oleh negara inilah memacu untuk dibuat UU
Desa, yang salah satu aspek pentingnya diakui dengan bentuk Desa Adat. Desa Adat
diakui apabila memiliki kesatuan masyarakat adat. Kesatuan masyarakat adat harus
memiliki unsur; mempunyai wilayah adat, pemerintahan adat, benda/harta adat, hukum
adat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat 1 UU Desa.

Pada aspek implementasinya, Desa Adat juga perlu diatur dalam Peraturan Daerah. Inilah
yang menjadi tanggung jawab sosial bagi pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil
untuk mensosialisasikan UU Desa kepada masyarakat. “Organisasi masyarakat sipil harus
menindak lanjuti UU Desa ini, dengan melakukan sosialisasi, kajian sejarah adat,
identifikasi desa potensial, konsolidasi, dan pemetaan partisipatif,” kata Yando.

Dalam UU desa juga mengakui hak-hak kesatuan masyarakat adat. “Desa Adat bukan
Cuma diakui hak-hak ulayat, tapi juga bisa mengurus dirinya sendiri,” ujar Yando.
Namun, lanjutnya, saya menganggap UU Desa ini hanya sebatas Deklarasi atas
pengakuan kesatuan masyarakat adat oleh negara. Pada tataran implementasi, UU Desa
akan kembali diatur oleh pemerintah masing-masing daerah.

Anda mungkin juga menyukai