Anda di halaman 1dari 14

A.

HUKUM ACARA PTUN

Hukum Acara PTUN adalah: seperangkat peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang
harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan, serta cara pengadilan bertindak satu sama lain untuk
menegakkan peraturan HAN (materiil). Hukum Acara PTUN dapat pula disebut dengan Hukum Acara
Peradilan Administrasi Negara.

Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan
Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-
ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur
dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.Penggabungan
antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan
Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara
di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum
Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata)

Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain: Melalui Upaya Administrasi
(vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986) Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang
dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan
hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan
administrasi atau pemerintah sendiri. Bentuk upaya administrasi:

1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.

2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.

2. II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)

Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau
Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

3. Sengketa TUN : Sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Badan atau pejabat TUN : Badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan (bersifat
eksekutif) berdasarkan peraturan yang berlaku.

Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat
pembahasan RUU PTUN adalah:
a. memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu

b. memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan


bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. (keterangan pemerintah pada Sidang
Paripurna DPR RI. mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986).

Menurut Sjahran Basah (1985;154), Tujuan peradilan administrasi adalah untuk memberikan
pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi administrasi negara dalam arti
terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu.

SF Marbun menyoroti tujuan peradilan administrasi secara preventif dan secara represif.Fungsi
Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara
pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini
adalah sengketa tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

B. SEJARAH PTUN

Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia Pada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan
Tata Usaha Negara atau dikenal dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam Pasal 134
ayat (1) I.S yang berisi:

1. Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang;

2. Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga

administrasi itu sendiri.

Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS 1950, dikenal tiga cara penyelesaian
sengketa administrasi, yaitu:

1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;

2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;

3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya

diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.

Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara.
Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara semakin dipertegas melalui UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan
memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada
Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administrative.
Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan
hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan
perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu
keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang
represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar
artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya
perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil
keputusan yang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan
pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah:

1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.

2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama
dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan
hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui
banding administrasi atau upaya administrasi dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah
perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum.
Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu
sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah:

a) Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai
dengan tujuan kehidupan bernegara;

b) Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;

c) Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat;

d) Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak
warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;

e) Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi
pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara Objek sengketa dalam PTUN adalah keputusan
tertulis pejabat administrasi negara (beschikking). Seperti diketahui, seorang pejabat administrasi
negara mempunyai kewenangan melakukan freis ermessen berdasarkan kewenangan yang dimilikinya.
Freis ermessen tersebut akan berbentuk beschikking yang berlaku secara konkrit, individual dan final
bagi orang atau badan hukum yang dimaksud. Dalam hal ini karena pejabat administrasi mempunyai
kewenangan, maka tidak tertutup kemungkinan ia akan melakukan sesuatu yang merugikan sasaran
keputusan tertulisnya. Untuk mengontrol hal itulah, maka PTUN dibentuk, yaitu sebagai sarana bagi
masyarakat untuk melindungi kepentingan individunya dari kekuasaan pemerintah.

Setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum perdata, yang terkena dampak
langsung dari KTUN tersebut. Gugatan tersebut dapat diajukan melalui dua cara, yang pertama melalui
upaya administratif (Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004) atau melalui PTUN (Pasal 50 UU No. 9 Tahun 2004).
Bagi sengketa yang diajukan melalui PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan upaya banding melalui
PT TUN (Pasal 51 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004) sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya
administratif, penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT TUN (Pasal 51 ayat
(3) UU No. 9 Tahun 2004) dan terhadap kedua upaya hukum ini dapat dilakukan kasasi melalui
Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004).

Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen) disebutkan, bahwa :

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakan hukum dan keadilan.

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Makamah Konstitusi

Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, yang mengatur kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman di lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman kita sekarang selain
diselenggarakan olah Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam empat
lingkungan peradilan juga oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Kedudukan Mahkamah Agung sama, baik sebelum dan sesudah amanden UUD 1945 merupakan puncak
dari badan-badan peradilan di empat lingkungan peradilan. Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari
1 (satu) lingkungan peradilan umum dan 3 (tiga) lingkungan peradilan khusus yaitu : agama, militer dan
tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing memiliki badan peradilan
(pengadilan) tingkat pertama dan banding. Badan-badan peradilan tersebut berpuncak pada sebuah
MA.

Untuk lingkungan peradilan tata usaha negara berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.

Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili.

PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama.
Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat banding.
Akan tetapi untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 tahun1986 jo UU No. 9 tahun 2004 maka PT.TUN
merupakan badan peradilan tingkat pertama. Terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak ada upaya
hukum banding melainkan kasasi.

C. SUBYEK PTUN

Para pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:

1. pihak penggugat.

Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah setiap
subjek hukum, orang maupun badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan
dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Pusat
maupun di Daerah (Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 UU no. 5 tahun 1986).

Dalam Kepustakaan hokum tata usaha Negara yang ditulis sebelum berlakunnya undang-undang Nomor
5 tahun 1986,masih dimungkinkan BUMN atau Pejabat Tata Usaha Negara bertindak sebagai penggugat
tetapi setelah berlakunya Undand-undang Nomor 5 tahun 1986,hal tersebut sudah tidak dimungkinkan
lagi hanya saja untuk BUMN ada yang mempunyai pendapatbahwa BUMN dapat juga bertindak
sebagaipenggugat dalam sengketa Tata Usaha Negarakhusus tentang sertifikat tanah,karna alas hak dari
gugatan adalah hak keperdataan dari BUMN tersebut.

Oleh karna itu unsur kepentingan yang terdapat dalam pasal 53 ayat (1) sangat penting dan menentukan
agar seseorang atau badan hokum perdata dapat bertindak sebagai badan hokum perdata dapat sebagai
penggugat

2. pihak tergugat

.Pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya (Pasal 1 angka 6 UU no. 5
tahun 1986).

Yang dimaksud wewenang tersebut adalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang


berlaku.oleh SF.MARBUN dikemukakan bahwa:menurut hokum administrasi,pengertian kewenangan
adalah kekuasaan yang diformalkan,baik dalam suatu bidang pemerintahan yang berasal dari kekuasaan
legislative atau dari kekuasaan pemerintah,sedangkan pengertian wewenang hanya onderdil tertentu
atau bidang tertentu.dengan demikian wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan undang-
undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hokum tersebut

Apa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara selama
ini menganut kriteria fungsional. Jadi ukurannya adalah, sepanjang Badan atau Pejabat TUN tersebut
“berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan yang dikerjakan berupa kegiatan
urusan pemerintahan”. Sehingga tolok ukurnya adalah asalkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (berdasarkan ketentuan hukum baik yang tertulis atau yang tak tertulis untuk
memenuhi asas legalitas tindakan pemerintah) dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan
pemerintahan

3.Pihak Ketiga yang berkepentingan

Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang
sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun
atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang
membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83)

Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan
sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap
pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada
tingkat pertama (pasal 118 ayat 1)

D. OBYEK PTUN

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal 3 UU no. 5 tahun 1986, dapat
disimpulkan yang dapat menjadi objek gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara adalah “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.” (Pasal 1 angka 3 UU no. 5 tahun 1986).

2. yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud diatas adalah sebagaimana
yang disebut dalam ketentuan Pasal 3 Uu no. 5 tahun 1986:

1. apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal ini
menjadi kewajiban, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

2. jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon,
sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam Peraruran perundang-undangan dimaksud
telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak
mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

3. dalam hal Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) : “maka setelah lewat waktu 2 (empat) bulan sejak diterimanya
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan
Keputusan Penolakan.”

E. TENGGANG WAKTU PENGAJUAN GUGATAN


Dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa gugatan dapat diajukan
hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya
Keputusan Badan atau Pejabat tata usaha negara yang digugat.

Dalam hal yang hendak digugat ini merupakan keputusan menurut ketentuan :

a. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewat tenggang waktu yang ditentukan
dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

b. Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu itu dihitung setelah 4 bulan yang dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan yang bersangkutan.

Dalam SEMA Nomor : 2 Tahun 1991 dinyatakan bahwa bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu
Keputusan tata usaha negara, yang merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya
dirugikan oleh Keputusan tata usaha negara yang bersangkutan.

Sebagai contoh putusan MA No. 5/K/TUN/1992, dipertimbangkan bahwa Penggugat-Penggugat bukan


orang yang dituju dalam obyek gugatan, Penggugat-Penggugat baru mengetahui adanya keputusaan
tata usaha negara yang merugikannya sewaktu mereka mengurus Surat Sertipikat Tanah yang
bersangkutan.

F. RANCANGAN UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Dalam RUU-AP memperluas kewenangan PTUN. Hal ini dapat dilihat dari :

Pasal 1 4. Keputusan Administrasi Pemerintahan adalah semua keputusan tertulis atau tidak tertulis
yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan
tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat
konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.6. Upaya Administratif adalah upaya keberatan yang
dilakukan perseorangan, kelompok masyarakat atau organisasi terhadap isi atau pelaksanaan suatu
Keputusan Administrasi Pemerintahan kepada atasan dari Pejabat Administrasi Pemerintahan atau
Badan yang mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan.7. Pengadilan adalah Pengadilan Tata
Usaha Negara.

Pasal 39 Setiap orang, kelompok masyarakat atau organisasi dapat mengajukan gugatan terhadap
Keputusan Upaya Administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pasal 44(Ketentuan Peralihan)(1) Kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan
dengan tindakan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau badan yang menimbulkan kerugian material
maupun immaterial menurut Undang-Undang ini dilaksanakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara.(2)
Perkara perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan oleh pejabat administrasi
pemerintahan yang sudah didaftar tetapi belum diperiksa oleh pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum dialihkan dan diselesaikan oleh Peradilan Tata Usaha Negara.(3) Perkara perbuatan melanggar
hukum administrasi pemerintahan oleh pejabat administrasi pemerintahan yang sudah diperiksa tetap
diselesaikan dan diputus oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.(4) Keputusan Administrasi
Pemerintahan berkekuatan hukum yang sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan
Undang-Undang ini.

Obyek sengketa di PTUN berdasarkan RUU-AP tidak hanya Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 melainkan pula keputusan tidak tertulis
yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah dan badan hukum lainnya yang berisi tindakan hukum dan
tindakan materiil administrasi pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat
konkret, individual, dan final, dalam bidang hukum administrasi negara serta menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Keputusan yang harus melalui upaya administrasi sesuai Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9
tahun 2004 merupakan kewenangan PT.TUN dengan RUU-AP bukan lagi kewenangan PT.TUN sebagi
pengadilan tingkat pertama, melainkan menjadi kewenganan PTUN.

G. KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas
kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan
pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi
absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau

pokok sengketa.1

A. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi
kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa
apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah
hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.

Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan TUN

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU NO. 51 tahun 2009 menyatakan:

(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah Kabupaten/Kota.

(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah Provinsi.
Pada saat ini Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia baru terdapat di 26 Propinsi dan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara baru terdapat 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar
sehingga wilayah hukum PTUN meliputi beberapa kabupaten dan kota. Sedangkan PT.TUN wilayah
hukumnya meliputi beberapa provinsi, seperti PTUN Jakarta yang meliputi wilayah kota yang ada di
Daerah khusus ibu kota Jakarta Raya sedangkan PT.TUN Jakarta meliputi beberapa Propinsi yang ada di
pulau Kalimantan, Jawa Barat dan DKI.

Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak yang
bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat diatur tersendiri dalam pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan UU
No. 51 tahun 2009 yang menyebutkan:

(1) Tempat kedudukan Tergugat;

(2) Tempat Kedudukan salah satu Tergugat;

(3) Tempat kediaman Penggugat diteruskan ke Pengadilan tempat kedudukan Tergugat;

(4) Tempat kediaman Penggugat, (dalam keadaan tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah);

(5) PTUN Jakarta, apabila tempat kediaman Penggugat dan tempat kedudukan Tergugat berada diluar
negeri;

(6) Tempat kedudukan Tergugat, bila tempat kediaman Penggugat di luar negeri dan tempat kedudukan
Tergugat didalam negeri. Dengan ketentuan tersebut maka pada prinsipnya gugatan diajukan ke
pengadilan TUN di tempat kedudukan Tergugat sedangkan yang bersifat eksepsional di Pengadilan TUN
tempat kedudukan Penggugat diatur kemudian setelah ada Peraturan Pemerintah, akan tetapi sampai
sekarang ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum ada sehingga belum dapat diterapkan.

B. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk mengadili suatu
perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa di
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) Yang diterbitkan oleh
Badan/Pejabat TUN.

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan perbuatan Badan/Pejabat TUN
lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun penerbitan peraturan (regeling) masing-masing
merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung Kompetensi absolut Pengadilan TUN
diatur dalam pasal 1 angka 10 UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan:

” Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara
orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51
tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum
TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan
final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan
pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di Pengadilan TUN meliputi :

1. Penetapan tertulis;

2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;

3. Berisi tindakan hukum TUN;

4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Bersifat konkrit, individual dan final;

6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Keenam persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa di
Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi keenam persyaratan tersebut.

Selain itu kompetensi Peradilan TUN termasuk pula ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pasal 3
UU Peratun, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan
kepadanya sedangkan hal itu merupakan kewajibannya. Dalam praktek keputusan-keputusan
badan/Pejabat TUN yang berpontesi menimbulkan sengketa TUN, yaitu antara lain :

1. Keputusan tentang peridzinan

2. Keputusan tentang status hokum, Hak dan Kewajiban

3. Keputusan tentang Kepegawaian


Hukum perjanjian Internasional :

Pengertian Perjanjian internasional

• Perjanjian internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) : semua perjanjian

yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum

internasional dan berisi ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.)

• Perjanjian Internasional (UU No. 24/2000) : Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam

bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis

serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum public

unsur-unsur perjanjian internasional :

1. Suatu persetujuan internasional


- Dibuat oleh negara Negara
2. Dalam bentuk tertulis
- Didasarkan pada hukum internasional
3 Dibuat dalam instrumen tunggal. Dua atau lebih
- Memiliki nama apapun

Bentuk Perjanjian Internasional

- Traktat (Treaty)
Treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional, dan merupakan perjanjian yang
paling penting dan sangat formal dalam urusan perjanjian. Sebagai contoh perjanjian internasional
jenis ini ialah perjanjian persahabatan dan kerja sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Asia) tertanggal 24 Februari 1976.
- Konvensi (Convention)
Istilah convention mencakup juga pengertian perjanjian internasional secara umum. Dengan
demikian, menurut pengertian umum, istilah convention dapat disamakan dengan pengertian
umum treaty. Istilah konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang
berangotakan banyak pihak. Sebagai contoh perjanjian internasional jenis ini ialah Konvensi Jenewa
tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.
- Persetujuan (Agreement)
Menurut pengertian umum, agreement mencakup seluruh jenis perangkat internasional dan
biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada traktat dan konvensi. Contohnya
Treaty of Rome, 1957.
- Memorandum of Understanding
sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya; atau
pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau persyaratan yang
longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil persetujuan atau kesepakatan
pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya untuk mengikat
- Protokol (Protocol)
Terminologi protocol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit
dibanding treaty atau convention.pengunaan protokol tersebut memiliki berbagai macam
keragaman yaitu :
a. Protocol of signature
b. Optional protocol
c. Protocol based on a framework treaty
Protokol ini merupakan sebagai tambahan dari perjanjian utamanya. An example is the 1987
Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer adopted on the basis of Arts.2 and
8 of the 1985 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer.
- Piagam (Charter)
Pada umumnya, istilah charter digunakan sebgai perangkat internasional dalam pembentukan
(pendirian) suatu organisasi internasional. The examples are the Charter of the United Nations of
1945 and the Charter of the Organization of American States of 1952.
- Deklarasi (Deklaration)
Deklarasi merupakan perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana para pihak berjanji
untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang. Contohnya
ialah Deklarasi ASEAN (ASEAN Declaration) tahun 1967 dan Deklarasi Universal tentang Hak-hak
Asasi Manusia (Universal Declaration on Human Rights) tahun 1948.
- Final Act
Final Act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konfensi dan
yang juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh
konfrensi tersebut dengan kadang-kadang disertai anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap
perlu. Contohnya ialah Final Act General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1994.
- Exchange of Notes
Pertukaran nota merupakan perjanjian internasional bersifat umum yang memiliki banyak
persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan mempertukarkan
dua dokumen, each of the parties being in the possession of the one signed by the representative
of the other.
- Arrangement
Adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik oprasional suatu perjanjian induk.
- Agreed Minutes & Summary Records
Adalah merupakan catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak
dalam perjanjian. Catatan ii akan digunakan dalam perundingan selanjutnya.
- Process Verbal
Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk
mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat tekhik administratif atau perubahan-perubahan kecil
dalam suatu persetujuan.
- Modus Vivendi
merupakan suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan
pengaturan yang tetap dan terperinci.
- Letter of Intent
document outlining an agreement between two or more parties before the agreement is finalized.
The concept is similar to the co-called heads of agreement. Such agreements may be Asset
Purchase Agreements, Share Purchase Agreements, Joint-Venture Agreements and overall all
Agreements which aim at closing a finacially rather large deal.

“Treaty Making Powers” berdasarkan Konvensi Wina 1969 berada ditangan “the big three”, yaitu :
1. Kepala Negara (Head of State);
2. Kepala Pemerintahan (Head of Government);
3. Menteri Luar Negeri (Ministry for Foreign Affairs).
Sehingga tanpa menggunakan Surat Kuasa “Full Powers” mereka dapat menandatangani suatu
perjanjian internasional.

Dasar Hukum Pembuatan Perjanjian Internasional


Ps. 11 UUD 1945 : UU No.37 tahun 1999 tentang hubungan Luar Negeri dan UU No. 24 tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, dalam pelaksanaannya kedua Undang-undang ini terkait erat dan tidak
bisa dipisahkan satu sama lain. One Door Policy Departemen Luar Negeri sebagai koordinator dalam
penyelenggaraan dan kerjasama luar negeri. Melalui mekanisme konsultasi dan koordinasi ini, perjanjian
internasional yang diadakan oleh pemerintah dapat dilakukan secara aman baik dari segi politis,
security, yuridis dan teknis. UU 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU 24/2000 tentang
Perjanjian Internasional menetapkan bahwa :
“Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, di tingkat pusat
dan daerah yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu harus
melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri Luar Negeri”.

Pengesahan PI dilakukan melalui UU bila mencakup :


1. Masalah pol, perdamaian, keamanan, hankam
2. Perubahan wil/penetapan batas wil neg
3. Kedaulatan/hak berdaulat neg
4. Ham n ling hidup
5. Pembentukan kaidah hokum baru
6. Pinjaman/hibah luar negri

Pedoman dan Prinsip Pembuatan Perjanjian


Pedoman: Kepentingan Nasional.
Prinsip :
- Kesepakatan para pihak,
- Saling menguntungkan / manfaat,
- Kesetaraan/persamaan kedudukan; dan
- Itikad baik.

Kerangka Perjanjian Judul

- Pembukaan /Mukaddimah
- Batang tubuh
- Ketentuan akhir
- Lampiran (jika perlu)

Bentuk-bentuk Perjanjian

Anda mungkin juga menyukai