Anda di halaman 1dari 14

TRADISI PADA DESA PAKRAMAN DI BALI SEBAGAI WUJUD

AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA

Ida Ayu Putu Sri Astiti Padmawati*


Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Istilah Desa Pakraman pertama kali digunakan dalam Peraturan Desa Nomor 3
Tahun 2001 tenang Desa Pakraman yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2001.
Dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan pengertian desa pakaraman sebagai berikut:
Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di provinsi Bali yang
mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat
Hindu secara turun temurun alam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa
yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri.

Dari pengertian desa pakraman tersebut maka desa pakraman adalah suatu
masyarakat hukum adat. Dalam kepustakaan hukum adat, istilah masyarakat hukum adat
lazim disebut dengan persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) diartikan sebagai
kelompok pergaulan hidup yang bertingkah laku sebagai suatu kesatuan terhadap dunia
luar, lahir batin. Kelompok-kelompok ini mempunyai tata susunnan yang tetap dan
kekal, dan orang-orang yang ada didalamnya masing-masing mengalami kehidupannya
sebagai hal yang sewajarnya, yang menurut kodrat alam, dan tidak ada seorangpun dari
mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompoknya itu.1
Sebelum amandemen UUD 1945, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum

1
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2016, “Pengantar Hukum Adat Bali”, Swasta Nulus,
Denpasar, h.56
adat di Indonesia dapat dilihar dalam penjelasan UUD 1945. Namun setelah UUD 1945
diamandemen, keberadaan masyarakat hukum adat diakui berdasarkan Pasal 18B ayat
(2) UUD 1945.
Desa pakraman di Bali adalah masyarakat hukum adat dengan ciri-ciri khusus
yang tidak dijumpai dalam jenis masyarakat hukum adat lainna. Ciri khusus tersebut
berkaitan dengan landasan filosofis Hindu yang menjiwai kehidupan masyarakat hukum
adat di Bali, yang dikenal dengan filosofi Tri Hita Karana yang secarat literlijk berarti
tiga (tri) penyebab (karana) kebahagiaan (hita) yaitu Ida Sanghyang Jagatkarana
(Tuhan Sang Pencipta), bhuanan (alam semesta) dan manusa (manusia). Dalam
keyakinan umat hindu di Bali, kesejahteraan umat manusia di dunia hanya dapat dicapai
apabila terjadi keharmonisan hubungan natara unsur-unsur tri hita karana yaitu
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, manusia
dengan alam semesta, dan antara manusia dengan sesamanya.
Suasana harmonis itu secara kongkret diterjemahkan dengan suasana tertib, aman,
dan damai (trepti, sukerta, sekala, niskala). Dalam kehidupan desa pakraman
penjabaran filosofi tri hita karana itu diwujudkan dalam tiga unsur pembentuk desa
pakraman yaitu : 1. Unsur parahyangan (hal-hal yang berkaitan dengan Ketuhanan
menurut agama Hindu); 2. Unsur pawongan (hal-hal yang berkaitan dengan warga desa
menurut agama Hindu); dan 3.Unsur palemahan (hal-hal yang berkaitan dengan
lingkungan alam desa, menurut agama Hindu).2
Guna mewujudkan suasana harmonis tersebut, masyarakat adat di desa pakraman
di Bali selalu akan melaksanakan Yadnya, khususnya Panca Yadnya. Yadnya dalam
ajaran agama Hindu adalah sebuah korban suci yang tulus ihklas, yang ditujukan
kepada; 1) Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa (Dewa Yadnya; 2)
Manusia atau sesama (Manusia Yadnya); 3) Para bhuta/roh-roh halus (Bhuta Yadnya);
4) Para Rsi/Pendeta (Rsi Yadnya), dan 5) Para Pitra/roh leluhur (Pitra Yadnya). Umat

2
Wayan P. Windia, 2010, “Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi”, Udayana University Press,
Denpasar, selanjutnya disebut Wayan P.Windia I, h.54.
Hindu akan menjalankan Panca Yadnya secara periodik dan berkesinambungan sebagai
upaya untuk menyeimbangkan kehidupan di bumi/alam nyata (Buana Alit) dengan
kehidupan dunia lain dan akhirat (Buana Agung).
Terkait dengan pelaksanaan yadnya tersebut, biasanya umat Hindu di masing-
masing desa pakraman akan melaksanakan kewajiban yang disebut “Ngayah”. Ngayah
adalah kewajiban sosial masyarakat Bali sebagai penerapan ajaran karma marga yang
dilaksanakan secara gotong royong dengan hati yang tulus ikhlas baik di banjar maupun
di tempat suci. Kata ngayah secara harafiah dapat diartikan melakukan pekerjaan tanpa
mendapat upah. Istilah ini dari segi etimologis diadopsi dari konteks politik dan kultur
feudal dari zaman raja-raja Bali, yakni dari akar kata “Ayah” yang terpancar dari
budaya “Purusaisme” atau Patrilineal/Patrirhat, terutama berkaitan dengan sistem
pewarisannya.
Maka, kemudian menjadi “ayahan” yang secara sangat spesifik ialah mengacu
pada :Tanah ayahan desa (sebagai bagian integral tanah adat) dan konskuensinya.
Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi/dijalani oleh orang bersangkutan (yang
mendiami tanah ayahan). Sebagai salah satu wujud tanggung jawab. Latar belakang
sosiologis dan historis tersebut telah menunjukan bahwa semula budaya ngayah itu
berakar dari kata ayah , ayahan , pengayah , ngayahang (yang saling kait mengkait
dalam satu kesatuan konskuensi logis – eksistensialistis). Eksitensi tanah ayahan desa
telah membawa konsekuensi logis bagi pengayah untuk melakukan kewajiban sosio-
religiuskultural, yakni ngayahang.
Ngayah bukan hanya dikaitkan dengan nilai adat istiadat, namun secara implisit
Ngayah mengandung nilai-nilai pancasila sebagai ideologi dasar Negara Republik
Indonesia. Sehingga nilai-nilai pancasila tidak dapat terlepas dari setiap kehidupan
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka tulisan ini dimaksudkan untuk membahasn
kewajiban ngayah desa pakraman adat di Bali dalam pandangan ideologi bangsa
indonesia (Pancasila).

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimanakah kewajiban ngayah jika ditinjau dari perspektif hukum adat Bali?
1.2.2. Bagaimanakan kewajiban ngayah jika ditinjau dari perpektif nilai-nilai
pancasila?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kewajiban Ngayah jika Ditinjau dari Perspektif Hukum Adat Bali
Ngayahan merupakan unsur bawaan dari pewarisan dan mengenai tanah
pelemahan karang desa. Pewarisan pelemahan karang desa, dianut garis keturunan. Jadi
seorang ayah yang memegang tanah karang desa, makka warisnya nanti adalah anak,
cucu selanjutnya cicit dan seterusnya. Jika keturunan putung, atau si pemegang tanah
karang desa pindah meninggalkan desa untuk selamanya, maka tanah itu kembali ke
desa. Dan desa kemudian bebas mennunjuk siapa yang harus “ngayahin” karang tersebut
atau juga atas permohonan seseorang maka dikabulkan sebagai pengayah. 3
Ayah artinya kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai warga desa pakraman.
Ngayah sama dengan melaksanakan kewajiban adat. Kalau ayah-ayahan berarti
berbagai kewajiban adat. Kewajiban dalam hal ini lebih menitik beratkan pada kehiatan
fisil. Kalu kewajiban yang berkaitan dengan materi atau benda-benda lainnya ang harus
dipenuhi sebagai warga/kram desa pakraman, biasanya disebut pepeson atau pesu-
pesuan. Contohnya, urunan uang dan berbagai rerampen/bahan kelengkapan upakara
yadnya, seperti beras kelapa, dll. Kalau ayah-ayahan misalnya gotong royong
membangun balai desa, dll.
Seberapa besar kewajiban (dalam wujud ayah-ayahan dan pepeson). Yang harus
dilaksanakan oleh seorang warga desa pakraman, tergantung dari “status kewargaan”,

3
I Ketut Artadi, 2003, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post,
Denpasar,h.130.
kedudukannya dalam masyarakat dan tempat tinggal yang bersangkutan. Dari sudut
“status”, warga desa pakraman, biasanya dibedakan menjadi krama marep / pengarep,
yaitu mereka yang bertanggung jawab atas karang desa yang ditempati. Biasanya
mereka ini juga mempunyai tanah warisan baik berupa tegal maupun sawah. Kalau tidak
mempunyai tanah warisan semacam itu, setidaknya mereka mempunyai pekarangan
tegak umah yang disebut karang ayahan desa. Di samping krama pengarep, ada yang
namanya krama pengele/pengempi/pengampel/luh moton. Apapun sebutannya, yang
dimaksud adalah sama, yaitu warga desa yang tidak bertanggung jawab sepenuhnya atas
karang ayahan desa, walaupun dia menempati karang yang dimaksud.4
Seorang emegang waris anah karang desa adalah “ngayahan” karang tersebut.
Kewajiban-kewajiban, tugas-tugas yang nengikuti karnag itu jelasnya disebut sebagai
unsur “bawaan” dari karang itu. Jadi barang siapa yang berani menerima karang desa
untuk “diayahkan”, maka ia sekaligus harus berani merangkul pelemahan karang desa
itu dengan unsur bawaannya. Unsur bawaannya dalah “memikul kewajiban langsung
desa, memikul kewajiban langsung ke pura kahyangan tiga”. Tentang pemikul
kewajiban langsung dan utama, umumnya disebut sebagai “pengayah pengarep”
sebagaimana disebut diatas. Sedangkan keluarga saudara-saudaranya yang muncul
menyusul meminta bagian karang desa kepada saudaranya yang memegang terlebih
dahulu disebut “pengayah ngele (pengele)”.5
Kalau dilihat dari kedudukannya dalam masyarakatada krama desa pada
umumnya atau disebut krama desa dan ada pula krama desa yang dipercaya mengemban
tugas khusus, seperti prajuru desa / pengurus desa dan pemangku mereka yang
mendapat tugas khusus di bidang keagamaan. Selain itu ada pendeta dan undagi.mereka
yang dipercaya mengemban tugas di bidang bangunan, terutam bangunan pura. Kalau
dilihat dari tempat tinggal di desa pakramannya sendiri dan ada pula yang bertempat

4
Wayan P. Windia, 2004, “Danda Pecamil, Catatan Populer Istilah Hukum Adat Bali”,
PT.Upada Sastra, Denpasar. Selanjutnya disebut Wayan P.Windia II, h.99.
5
I Ketut Artadi, Op.Cit.131.
tinggal di luar desa pakramannya, bahkan ada yang di luar Bali. Selain itu, ada juga
krama balu. Ada balu luh / Janda dan balu muani / duda.
Kewajiban yang harus dijalankan oleh warga desa pakraman (baik dalam
wujudnya sebagai ayah-ayahan maupun pepeson), terkait erat dengan hal-hal yang telah
diuraikan diatas. Misalnya tentang ayah-ayahan yang harus dilaksanakan oleh krama
pengarep akan berbeda dengan yang harus dijalankan oleh krama pengele. Krama
pengarep, biasanya kena kewajiban penuh, sementara pengele, ada yang penuh ada pula
yang hanya dikenakan kewajiban ngayah setengah saja dan bahkan beberapa desa
pakraman malahan ada yang sama sekali membebaskan pengele dari kewajiban ngayah.
Kalau warga pengarep tinggal di luar desa pakraman, atau dipercaya sebagai prajuru,
atau kebetulan berstatus sebagai duda/balu muani, kewajibannya tentu saja berbeda.
Bagaimana wujud perbedaannya tergantung dari kesepakatan warga yang dituangkan
dalam bentuk awig-awig atau perarem.
Demikian pula halnya dengan pepeson atau kewajiban yang berhubungan materi
atau reampen. Warga pengarep selalu saja kebagian kewajiban penuh, sementara warga
lainnya atau pengele akan dikenalan kewajiban setengah dan bahkan bebas sama sekali.
Prajuru biasanya tidak dikenakan rerampen, tetapi kalau urusan beruap uang adakalanya
dikenakan sebagian atau luput/bebas sama sekali. Untuk yang bertempat tinggal di luar
desa, biasanya kena kewajiban pepeson lebih banyak dari yang ada di desanya sendiri.
Balu luh dan balu muani kewajibannya juga beda. Bagaimana wujud perbedaannya,
tergantung dari kesepakatan yang dituangkan dalam awig-awig atau perarem. Karena
itu adanya perbedaan ayah-ayahan dan pepeson antara desa pakraman yang satu dengan
desa pakraman yang lain dianggap wajar dan biasa. 6
Ayah ngarep mengeluarkan biaya-biaya keuangan speenuhnya ke desa ditambah
dengan tenaga gotong royong. Ayah pengele mengeluarkan biaya keuangan hanya
separuh dari ngarep, sedangkan gotong royongnya tetap dipikul sepenuhnya. Jadi jelas,
konsekuensi dari unsur “bawaan” tanah karang desa adalah kewajiban desa dan

6
Wayan P.Windia II, Op.Cit.h.100.
kewajiban-kewajiban Pura Kahyangan Tiga secara langsung dalam segala bentuk
kegiatan bahkan sampai kepada kegiatan khusus bersembahyang. Dan jika saja ada
orang “asing” yang tinggal di suatu tanah desa dengan tidak mau ikut memikul sebagai
“Ngundulan”. Artinya ia hanya disebut sebagai pemakai sementara atas belas kasihan
desa, dan bukan pemakai secara turun temurun.
Dalam perkembangannya dewasa ini, ngayah bukan lagi monopoli atau menjadi
kewajiban bagi para pemilik tanah ayahan desa tetapi juga menjadi kewajiban krama
yang sudah berkeluarga/menikah dan usianya masih produktif. Karena konsep ngayah
adalah melakukan pekerjaan dengan tulus ihklas, maka dalam pelaksanaan kegiatan-
kegiatan terkait dengan Panca Yadnya apakah pada saat pembangunan fisik maupun
persiapan pelaksanaan upakara dan pada saat pelaksanaan upacara yadnya tersebut,
masyarakat yang berniat ngayah tidaklah dilarang atau dibatasi. Intinya siapapun yang
berminat ngaturang ayah diperbolehkan oleh para prajuru di desa pakraman tersebut.7

2.2. Kewajiban Ngayah jika Ditinjau dari Perpektif Nilai-Nilai Pancasila

Pancasila sebagai sistem nilai telah mengakar dalam kehidupan bangsa


Indonesia. Tertanam dalam tradisi, sikap, perilaku, adat-istiadat dan budaya bangsa.
Pancasila tergolong nilai kerohanian yang di dalamnya terkandung nilai-nilai lain secara
lengkap dan harmonis, baik nilai materiil, nilai vital, nilai kebenaran/ kenyataan, nilai
aesthetis, nilai ethis moral maupun nilai religius. Hal ini dapat terlihat pada susunan sila-
sila Pancasila yang sistematis-hierarkis, yang dimulai dari sila pertama “Ketuhanan
Yang Maha Esa” sampai dengan sila ke lima “Keadilan sosial bagiseluruh rakyat
Indonesia”.

Hukum adat, merupakan hukum asli bangsa Indonesia. Sifatnya kedaerahan, tak
tertulis, komunalistik-religius (gotong-royong). Sifat kedaerahan dan tak tertulis, dapat

7
https://www.nusabali.com/berita/26763/ngayah-sebagai-wujud-implementasi-nilai-nilai-
luhur-pancasila, diakses pada Jumat, 1 Juni 2018.
dipertahankan sebagai sarana mengatur dan menyelesaikan segala persoalan yang
bersifat kedaerahan. Pengakuan atas sifat kedaerahan dan tak tertulis ini menjadikan
beban Negara menjadi ringan. Di sinilah semboyan kebhinnekaan perlu dijaga.
Sementara itu, karakter komunalistik-religius (gotong-royong) perlu dipertahankan pada
tataran nasional, sehingga interaksi antar sesama masyarakat hukum adat terfasilitasi
oleh hukum negara dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan RI sekaligus
mewujudkan tujuan negara yang berdimensi nasional, yaitu : (a) melindungi segenap
Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan
umum; dan (c) mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara singkat, karakter gotong-
royong sebagai karakter asli hukum adat perlu diangkat dan ditingkatkan menjadi
karakter hukum nasional melalui unifikasi hukum, sehingga hukum nasional terjauhkan
dari sifat individual, liberal dan sekuler.8

Dalam hal “Ngayah” berkaitan erat dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Pancasila
yang terdiri dari 5 sila, yaitu:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa;


2. Kemanusian yang Adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan/Perwakilan;
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ketika masyarakat adat Hindu Bali melakukan kegiatan “ngayah” tersebut


berkaitan pelaksanaan yadnya, sesungguhnya nilai-nilai dari kelima sila-sila di atas sudah
diterapkan secara terintegrasi oleh masyarakat adat di desa pakraman masing-masing.
Sila Pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” , pada saat “ngayah” ada semacam
keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan dengan segala ketulusan akan memproleh
pahala yang setimpal dari Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai

8
Saptani Rahayu, 2012, Perspektif Pancasila Dalam Negara Hukum Indonesia, Jurnal STIE
“AUB” Surakarta, h.7.
buah dari karma/perbuatan. Masyarakat Hindu menyakini adanya karma pala/buah dari
perbuatan yang mungkin segera bisa diterima, mungkin belakangan, atau bahkan di
kehidupan yang akan datang sebagai bentuk reinkarnasi. Karena itulah masyarakat Hindu
akan berusaha meluangkan waktu untuk “ngayah” walaupun sesungguhnya “dosa” denda
yang diterapkan jika tidak hadir sangat kecil, bahkan terkadang tanpa denda. Inilah
merupakan wujud pelaksanaan sila pertama dari Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa).

Sila kedua, yaitu “Kemanusian yang Adil dan Beradab” akan tercermin pula di
saat kegiatan “ngayah” dilaksanakan. Wujudnya adalah tidak adanya unsur paksaan
harus hadir. Jika krama sedang sakit atau suntaka/sebel, mereka diperbolehkan untuk
tidak hadir tanpa denda. Krama yang tidak bisa hadir karena ada hal-hal kepentingan
yang sangat mendesak atau tidak boleh ditinggalkan juga ditoleransi/dimaklumi jika
tidak hadir. Intinya kehadiran saat “ngayah” adalah keihklasan bukan paksaan. Di
situlah tercermin sila kedua dari Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradad”.

Sila ketiga, “Persatuan Indonesia” juga sangat jelas tercermin dalam pelaksanaan
ngayah. Nilai-nilai gotong royong sebagai ciri budaya bangsa Indonesia terimplementasi
dalam bentuk kerja bersama tanpa adanya upah, malah terkadang “medana punia”
(nyumbang) selain melakukan kegiatan “ngayah”. Tidak adanya paksaan dan kegiatan
didasari ketulusan memperkuat rasa persatuan di kalangan krama desa adat tersebut.

Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat


Kebijaksanaan/Perwakilan” akan tercermin dari berbagai kesepakatan yang dibuat, baik
secara lisan maupun tertulis (awig, pararem, bhisama, atau purana) yang menjadi acuan
tatanan bermasyarakat adat bagi krama Hindu di Bali. Semua aturan yang dibuat akan
dilengkapi sanksi sesuai kesepakatan bersama atas dasar musyawarah mupakat. Jika ada
yang melanggar, maka sanksi yang telah disepakati akan diterapkan. Hukum adat
terkadang memiliki kekuatan yang lebih besar di dalam mengikat anggotanya dari pada
hukum nasional.
Sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” akan tercermin di
saat penerapan sanksi-sanksi ataupun kewajiban-kewajiban yang telah disepakati secara
adil dan merata, tidak “pandang bulu”, jika krama yang melanggar kesepakatan tidak
memiliki alasan yang dapat ditoleransi. Jika bagian dari kegiatan “ngayah” itu ada
sesuatu/rezeki yang diperoleh, maka rezeki itupun akan dibagi secara merata kepada
krama desa adat tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka adapun kesimpulan yang dapat ditarik adalah
sebagai berikut :
1. Dalam perspektif hukum adat Bali Ngayah adalah kewajiban sosial
masyarakat Bali sebagai penerapan ajaran karma marga yang dilaksanakan
secara gotong royong dengan hati yang tulus ikhlas baik di banjar maupun di
tempat suci. Kata ngayah secara harafiah dapat diartikan melakukan
pekerjaan tanpa mendapat upah.
2. Dalam perspektif nilai-nilai ideologi bangsa (Pancasila) Ngayah adalah
wujud riil dari implementasi nilai-nilai Pancasila dari kelima sila yang ada.

3.2 Saran

Diharapkan adanya kerjasama antara kalangan desa pakraman dan masyarakat


krama desa pakraman untuk mempu melestarikan tradisi adat sembari
mengimplementasikan ideologi bangsa agar dapat menciptakan keharmonisan dalam
kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Artadi, I Ketut. 2003, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post,
Denpasar
Windia, Wayan P. dan Sudantra, I Ketut. 2016, “Pengantar Hukum Adat Bali”, Swasta
Nulus, Denpasar.
Windia, Wayan P. 2004, “Danda Pecamil, Catatan Populer Istilah Hukum Adat Bali”,
PT.Upada Sastra, Denpasar.
_______, 2010, “Dari Bali Mawacara Menuju Bali Santi”, Udayana University Press,
Denpasar.

Jurnal
Saptani Rahayu, 2012, Perspektif Pancasila Dalam Negara Hukum Indonesia, Jurnal STIE
“AUB” Surakarta.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republlik Indonesia Tahun 1945
Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2001 tenang Desa Pakraman (Lembaran Daerah
Propinsi Bali Tahun 2001 Nomor 29 Seri D Nomor 29)

Situs
https://www.nusabali.com/berita/26763/ngayah-sebagai-wujud-implementasi-nilai-
nilai-luhur-pancasila
TAKE HOME FILSAFAT PANCASILA

“KEWAJIBAN NGAYAH PADA DESA PAKRAMAN DI BALI SEBAGAI


WUJUD AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA”

Oleh:

Ida Ayu Putu Sri Astiti Padmawati

1503005003

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

Anda mungkin juga menyukai