Anda di halaman 1dari 4

Nama : Kadek Devi Ary Suta

NIM : P07124214022

Prodi : D IV Kebidanan

TRADISI PERANG TIPAT-BANTAL DI MENGWI

Perang Tipat-Bantal adalah sebuah tradisi tahunan yang digelar sejak


tahun 1337 oleh masyarakat lokal di Desa Adat Kapal, Mengwi, Kabupaten
Badung, Bali. Perang yang tergolong unik itu setiap tahun sekali wajib dilakukan
masyarakat Desa Kapal, sesuai perintah (bhisama) Ki Kebo Iwa sejak tahun 1263
atau tahun 1341 masehi yang merupakan ungkapan syukur warga kepada Tuhan,
atas rezeki dan nikmat yang telah diberikan. Kepercayaan tersebut dilakukan
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga kini masih
tetap lestari. Ritual perang tipat-bantal tahun ini dilaksanakan pada hari Selasa
tanggal 09 Oktober 2012 pukul 15.00 Wita yang berlokasi di Pura Desa Kapal.

Perang ketupat ini ditujukan kepada masyarakat Desa Kapal untuk


melakukan “Tajen pengangon” untuk mohon keselamatan dan kesejahteraan umat
manusia. Tradisi ini sering juga disebut Aci Rah Pengangon oleh masyarakat
setempat.
Ritual yang berlangsung di Pura Desa Kapal ini diawali dengan upacara
sembahyang bersama oleh seluruh warga desa. Pada upacara tersebut, pemangku
adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan para warga peserta
Perang Tipat-Bantal (perang ketupat) ini. Tidak lama kemudian beberapa pria
melepas baju dan bertelanjang dada. Mereka terbagi dua kelompok dan berdiri
saling berhadapan. Di depan mereka telah tersedia tipat (ketupat) dan bantal
(penganan dari tepung ketan dan kelapa).

Setelah aba-aba dimulai, para pria yang bertelanjang dada itu mulai
melemparkan tipat dan bantal itu ke kelompok yang ada di depan mereka.
Suasana pun gempar ketika tipat dan bantal itu mulai beterbangan di udara. Lalu
aksi lempar ketupat dan bantal itu dihentikan sementara. Warga mulai beranjak
keluar pura. Kini mereka bersiap di jalan raya yang berada di depan pura lalu
tetap berdiri berkelompok, dan saling berhadapan sekitar 15 meter. Suasana
kembali riuh ketika ritual itu dimulai lagi. Warga melempar tipat dan bantal itu
membabi buta sambil berteriak-teriak dan tertawa.

“Perang” ini menjadi lebih seru ketika para penonton yang berdiri di
trotoar ikut mengambil dan melempar tipat itu. Terkadang tak jarang ada ketupat
“nyasar” ke arah penonton atau fotografer yang tengah mengabadikan momen ini.
Beberapa dari warga yang menonton berteriak dan mencoba berlindung. Maklum,
jika terkena lemparan tipat dan bantal ini, badan terasa sakit seperti ditampar
benda keras. Walau begitu, tidak ada seorang pun yang marah dan ketika perang
berakhir, semua orang berjabat tangan dengan penuh suka cita.

Bendesa adat, Kapal Anak Agung Gede Dharmayasa, mengatakan, makna


dari ritual ini adalah tipat dan bantal itu harus dilemparkan ke atas dari dua sisi
kelompok dan diharapkan bertemu. Tipat merupakan lambang feminim dan bantal
merupakan lambang maskulin. Pertemuan antara tipat dan bantal itu merupakan
pertemuan maskulin dan feminim. “Laki-laki dan perempuan ketika bertemu akan
melahirkan kehidupan,” kata Dharmayasa.
Sumber :

Pande Juliana. 2012. Perang Tipat.


(online)https://pandejuliana.wordpress.com/2012/01/08/hello-
world/perang-tipat/. Diakses pada : Jumat, 20 Maret 2015 pukul 17.48
WITA

PANDANGAN SAYA

Menurut pandangan saya mengenai tradisi ini jika dilihat dari maknanya,
tradisi Perang Tipat-Bantal dilaksanakan erat kaitannya dengan kehidupan
pertanian sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang telah
diciptakanNya serta berlimpahnya hasil panen di desa ini. Tradisi ini merupakan
budaya turun-temurun yang harus kita tetap lestarikan walaupun adanya
perkembangan jaman seperti saat ini. Disamping itu, tradisi ini juga tidak terlalu
baik jika tetap dilaksanakan karena saat ini maraknya kemiskinan yang melanda
Indonesia, naiknya harga makanan pokok seperti beras. Namun karena ini
merupakan suatu tradisi turun-temurun yang jika tidak dilakukan akan berdampak
buruk maka hendaknya kita sebagai masyarakat Bali harus bisa meminimalisirkan
ornament atau objek-objek seperti beras atau membuat sesuatu yang
menguntungkan bagi masyarakat tetapi tidak menghilangkan makna awal dari
tradisi Perang Tipat-Bantal ini.

PANDANGAN KELUARGA

Menurut pandangan keluarga saya dimulai dari segi budaya, tradisi ini
akan menjadi daya tarik bila dikomersilkan dan akan memberikan keuntungan
ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Dari segi ekonomi tradisi tersebut kurang
ekonomis mengingat harga-harga di pasar sudah melambung tinggi salah satunya
seperti beras. Kemudian masih banyak masyarakat yang hidupnya di bawah
kemiskinan. Jadi ini akan menjadi dilema bagi masyarakat disekitar daerah
tersebut, apabila pengelolaannya salah maka masyarakat di daerah tersebut tidak
menjadi apa-apa melainkan menguntungkan masyarakat di luar daerah tersebut.
Karena ini merupakan suatu keunikan yang tidak dimiliki oleh daerah lain maka
ini perlu dipikirkan ke depannya apakah tetap tradisi ini diadakan atau dilakukan
inovasi atau terobosan baru tanpa mengurangi makna dan tetap memberikan
keuntungan secara ekonomis terhadap masyarakat disekitarnya.

PANDANGAN MASYARAKAT

Menurut pandangan sebagian masyarakat Bali tidak mengetahui tentang


tradisi ini. Mereka menganggap tradisi ini “mubazir” atau terkesan tidak berguna,
karena dalam Perang Tipat-Bantal ini menggunakan ornamen makanan di
dalamnya yang dimana makanan biasanya kita konsumsi bukan untuk di buang-
buang. Inilah Bali banyak tradisi yang sebenarnya kita tidak tahu apa maknanya
seperti kegiatan perang tipat bantal ini sudah bersifat turun-temurun dan berbau
adat. Namun sebagian masyarakat Bali menyatakan perang tipat bantal tersebut
memang sudah kebudayaan asli di sana, seharusnya kita sebagai masyarakat Bali
harus melestarikan dan mempertahankan tradisinya. Perang ini tidak semata-mata
dilakukan saja namun sebagai perwujudan rasa syukur karena mereka sudah bisa
panen dan hasil panennya berlimpah bukan sekedar untuk di buang-buang saja.
Pernah dahulu tradisi ini tidak dilaksanakan sekali dan semua penduduk yang
berada di Mengwi mengalami gagal panen akibat paceklik.

Anda mungkin juga menyukai