Negara Kami
ESSAY
Oleh :
Tapi saya tidak mencuri, saya ingin bisa bebas. Saya ingin pulang."
Kalimat yang berasal dari Nenek Asyani itu cukup memberikan bukti bahwa
ada sesuatu yang salah dengan kasus ini, seperti sebuah ketidakadilan yang sengaja
diciptakan atas nama hukum dan penindasan yang buat dengan kedok undang-
undang. Supriyono, yang adalah kuasa hukum nenek Asyani pun merasakan hal
yang sama. Menurutnya, pernyataan bahwa kayu yang diambil Nenek Asyani
adalah milik Perhutani sebagaimana keterangan saksi, tidak memiliki landasan
yang kuat.
Kasus ini berawal ketika nenek Asyani dituduh telah mencuri tujuh batang
kayu milik Perhutani pada bulan Juli tahun 2014 silam. Namun, nenek Asyani
melalui kuasa hukumnya membantah telah mencuri kayu tersebut karena tujuh
batang kayu jati yang diambilnya itu berada di tanah milik sendiri. Nenek Asyani
juga bercerita bahwa dia sempat memiliki lahan seluas 700 meter persegi di Dusun
Secangan, Desa/Kecamatan Jatibanteng.
Hanya saja, pada tahun 2010, lahan tersebut terpaksa dia jual ke
keponakannya seharga Rp 4 juta. Dia terpaksa menjual lahan itu karena letaknya
jauh dari rumah, sekitar 7 kilometer. Sebelum dijual, Sumardisuaminya
menebang tujuh kayu jati di ladang tersebut. Tujuh batang kayu jati berdiameter
sekitar 10 sentimeter itu dia simpan di kolong dipan. Setahun kemudian, Sumardi
meninggal dunia dan akhirnya kayu-kayu itu justru menyeret nenek Asyani ke balik
jeruji besi.
Jika menilik dari barang bukti tuntutan dan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) Nomor 2 Tahun 2012, kasus ini termasuk dalam kategori tindak pidana
ringan (tipiring). Perma inilah membatasi perkara tindak pidana dengan kerugian di
bawah Rp 2.500.000. Intinya, jika nilai barang yang dicuri tidak lebih dari
Rp2.500.000., maka pasal yang dikenakan adalah pasal 364 KUHP tentang
Pencurian ringan yang ancaman hukumannya hanya 3 bulan dan bukan Pasal 362
tentang pencurian biasa yang ancaman hukumannya 5 tahun. Dengan ketentuan
tersebut maka tersangka atau terdakwa dalam kasus pencurian ringan tidak perlu
dikenakan penahanan.
Selain itu, nenek Asyani juga dijerat Pasal 12 juncto Pasal 83 UU Nomor
18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan. Jika
dilihat dari alur cerita penangkapan nenek Asyani, bahwa kayu yang
dipermasalahkan Perum Perhutani pada saat kayu tersebut dibawa ke tempat
pengolahan tidak disertai dengan dokumen angkutan, memang berkaitan dengan
Undang-Undang nomor 18 tahun 2013. Pada pasal 12 huruf b disebutkan, Setiap
orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki
izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, sedangkan pada huruf f
disebutkan Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil
hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil
hutan.
Yang aneh dari kasus ini adalah, para penegak hukum dalam kasus Nenek
Asyani seolah menghindari Perma Nomor 2 Tahun 2012 dengan menggunakan
Pasal 12 juncto Pasal 83 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
Beberapa pihak yang bersimpati dengan kasus nenek Asyani, salah satunya
adalah Siti Noor Laila dari Komnas HAM, juga turut menyuarakan pendapatnya.
Dia mengatakan bahwa kasus ini harus di dalami terlebih dahulu apakah termasuk
dalam illegal-logging. Dia juga menambahkan, bahwasanya kasus ini dapat
diselesaikan secara kekeluargaan. Lebih lanjut, kepolisian dapat melakukan
mediasi atau komunikasi secara persuasif dengan kedua belah pihak.
Lihat! Bukankah kita bisa melihat suatu hal yang mengganjal di sini?
Oleh karena itu, perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara
berkelanjutan, mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling
bawah. Caranya, dengan melakukan pembaruan dalam bersikap, mengubah cara
berpikir atau mindset, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum lainnya ke
arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak
melupakan aspek kemanusiaan. Reformasi ini sangat perlu dilakukan demi
menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem
hukum Indonesia. Tak lupa dengan memposisikan keadilan secara netral, artinya
setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.