Anda di halaman 1dari 26

5 PELANGGARAN HAM DAN SOLUSINYA

1. Penembakan Buruh Pt.Freeport Pelanggaran Ham

Kasus:
Pada hari Senin 10 Oktober 2011 pagi pukul 09.00 WPB terjadi penembakan di Terminal Bus
Gorong-gorong. Insiden ini bermula ketika ribuan karyawan yang sejak 15 September lalu
menggelar aksi mogok kerja, hendak naik menuju areal tambang di Tembagapura melalui
terminal Gorong-gorong. Namun, pihak manajemen Freeport dibantu aparat kepolisian
menghadang.
Tujuan naik untuk menutup Freeport karena hingga saat ini manajemen tidak mau berunding.
Lantas, saat menuju terminal bus Freeport, mereka dihadang dan kemudian ditembaki aparat.
Tembakan dari Polisi kepada karyawan. Tembakan dari polisi mengenai karyawan berjumlah
8 Orang. 1 orang langsung Tewas ditempat, 2 Luka Parah dan lainnya luka ringan.
Solusi:
Menyikapi tragedi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) yang terus berlangsung di tanah Papua, khususnya pada
peristiwa penembakan terhadap peserta aksi mogok kerja serikat
pekerja PT. Freeport yaitu :
• PT. Freeport harus bertanggungjawab terhadap korban tragedi pelanggaran hak asasi
manusia baik terhadap buruh-buruhya.
• Mendesak Negara segera menghentikan tindakan kekerasan dalam penyelesaian konflik
dengan rakyatnya, dan bertanggungjawab terhadap berbagai tragedi kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh para aparatusnya.
• Mendesak Presiden RI bertanggungjawab terhadap tragedi penembakan yang terjadi
terhadap serikat pekerja PT. Freeport Indonesia. Mencopot Kapolri dan Kapolda Papua
atas tragedi ini dan tindakan repressif lainnya yang dilakukan terhadap rakyat di berbagai
daerah.
• Mendukung sepenuhnya perjuangan yang dilakukan oleh Serikat Pekerja PT. Freeport
Indonesia atas hak-haknya.
2. Perambah Hutan Di Register 45 Kabupaten Mesuji, Lampung

Kasus :
Kasus pengelolaan lahan milik adat di areal kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45
Way Buaya tepatnya di Talang Pelita Jaya Desa Gunung Batu. Pemicu konflik terkait
perkebunan sawit adalah karena pihak perkebunan sawit telah merampas dan menguasai
tanah warga dalam waktu yang lama mulai 10 – 17 tahun. Dan warga tidak satu rupiah-pun
mendapatkan manfaat dari hasil kebun sawit itu.
Tindakan sewenang-wenang perusahaan ini selalu berlindung atas UU perkebunan Nomor 18
tahun 2004. Dimana UU ini telah memberikan legalitas yang sangat kuat kepada perusahaan-
perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Pasal-pasal
dalam UU ini dengan jelas memberikan ruang yang besar kepada perusahaan perkebunan
baik swasta maupun pemerintah untuk terus melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi
terhadap petani.

Solusi :
• Mendesak DPR untuk segera melakukan interpelasi
• Mendesak Presiden untuk melakukan evalusi terhadap POLRI dan menempatkannya
dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri
• Mendesak KAPOLRI agar segera menarik seluruh pasukan Brimob dari dalam areal
perkebunan sawit dan menghukum berat pelaku penembakan petani serta tidak terlibat
dalam sengketa agraria
• Mendesak POLRI untuk menghentikan proses kriminalisasi terhadap petani di Mesuji
dan memberikan pertanggungan atas seluruh biaya yang ditimbulkan atas para korban
baik yang meninggal dan masih dirawat di rumah sakit
• Mendesak Komnas HAM untuk mengumumkan bahwa kasus di Mesuji merupakan
pelanggaran HAM Berat.
• Mendesak Presiden untuk segar turun memimpin penghentian tindak pelanggaran HAM
disemua sector.
3. Kasus Ambon Tahun 1999

Kasus :
Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999 telah
berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan
semua tatanan kehidupan bermasyarakat.
Tidak heran bahwa awal dari kerusuhan ini tidak lain berawal dari sentimen agama yang
diprovokasi oleh masing-masing agama, mengingat kecenderungan di masing-masing agama
sama banyak. Konflik pertama-tama dipicu oleh kejadian pertengkaran personal antara
seorang sopir angkutan umum dan seorang pemuda yang sudah dianggap biasa oleh
masyarakat Ambon pada umumnya. Ada dua versi, dari Islam dan Kristen, yang beredar di
masyarakat. Pertengkaran personal ini kemudian meluas menjadi pertikaian antar kelompok
agama dan suku yang meledak menjadi kerusuhan.

Solusi :
• Melakukan penegakan hukum secara tegas dan bijaksana, tanpa pandang bulu. memberi
rasa adil dan kepuasan dari para korban terhadap mereka yang secara nyata telah
melakukan tindak kriminalitas.
• Meminta secara serius perhatian para pemuka agama untuk secara sistimatis melakukan
pelayanan-pelayanan yang bersifat pastoral agar kehidupan umat khususnya para korban
bisa memperoleh penghiburan. Dengan demikian, diharapkan pemulihan kondisi
psikologis ini dapat membantu meredanya keinginan-keinginan balas dendam.
• Masyarakat Ambon juga harus selalu menjaga kesejukan, perdamaian, serta tidak
mudah terpancing oleh desas-desus. Alhasil, masyarakat di sana bisa terhindar dari
pertikaian dan kekerasan.
• Harus ada komunikasi yang baik dari semua unsur politik dan kemasyarakatan, ulama,
gereja dan kepemudaan
4. Kasus Bom Bali

Kasus :
Kasus Bom Bali juga menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM terbesar di Indonesia.
Peristiwa ini terjadi pada 12 November 2002, di mana terjadi peledakan bom oleh kelompok
teroris di daerah Legian Kuta, Bali. Total ada 202 orang yang meninggal dunia, baik dari
warga lokal maupun turis asing mancanegara yang sedang berlibur. Akibat peristiwa ini,
terjadi kepanikan di seluruh Indonesia akan bahaya teroris yang terus berlangsung hingga
tahun-tahun berikutnya.
Korban terbanyak adalah warga Australia yang sedang berlibur di Bali. Hal ini juga sempat
membuat hubungan Indonesia dengan Australia retak karena pemerintah kita tak kunjung
berhasil mengeksekusi mati pelaku peledakan bom di Bali tersebut.

Solusi :
• Polisi sebagai aparat penegak hukum sudah saatnya meningkatkan kualitas intelijennya
untuk menghadapi terorisme yang juga semakin kompleks modus operasinya. Sudah saatnya
polisi maupun pihak terkait memiliki kemampuan untuk mengendus jaringan-jaringan yang
mampu dan memiliki kemungkinan untuk melakukan aksi terorisme, sehingga
penanggulangan yang dilaksanakan bukan hanya reaktif pasca terjadinya terorisme saja.
• Dan yang harus kita ingat bahwa aksi-aksi terorisme tidak bisa hanya dilakukan dengan
cara hard power saja seperti dengan kekerasan untuk menangkap atau penyergapan teroris,
namun dibutuhkan pula cara soft power seperti sosialisme nilai-nilai pancasila, pemahaman
ideologi, melakukan dialog-dialog dengan kelompok yang memiliki kemungkinan dalam aksi
terorisme serta deradikalisasi.
• Peran serta masyarakat, baik masyrakat Indonesia pada umumnya maupun masyarakat Bali
pada khususnya dalam memberantas terorisme juga sangat dibutuhkan. Karena teroris juga
hidup di dalam masyarakat, sehingga seharusnya masyarakat sudah mengenali sejak awal
gerak-gerik serta karakter orang disekitarnya. Kemudian segera laporkan kepada pihak
berwajib apabila terdapat keanehan serta kejanggalan di sekitar kita. Namun, meskipun
demikian pihak yang berwajib tersebut tidak seharusnya langsung begitu saja menangkap
orang yang dicurigai, selidiki dulu apakah benar mereka adalah teroris. Jangan sampai
penangkapan dan penyergapan teroris menjadi salah sasaran dan melanggar hak asasi
manusia.
5. Tragedi Trisakti

Kasus :
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia
sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung
DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul
12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian.
Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di
universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun
berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI,
Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon
Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi
dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam
keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru
tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara
diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Hak Yang Di Langgar :
Salah satu hak yang dilanggar dalam peristiwa tersebut adalah hak dalam kebebasan
menyampaikan pendapat. Hak menyampaikan pendapat adalah kebebasan bagi setiap warga
negara dan salah satu bentuk dari pelaksanan sistem demokrasi pancasila di Indonesia.
Peristiwa ini menggoreskan sebuah catatan kelam di sejarah bangsa Indonesia dalam hal
pelanggaran pelaksanaan demokrasi pancasila.. Dari awal terjadinya peristiwa sampai
sekarang, pengusutan masalah ini begitu terlunta-lunta. Sampai sekarang, masalah ini belum
dapat terselesaikan secara tuntas karena berbagai macam kendala. Sebenarnya, beberapa saat
setelah peristiwa tersebut terjadi, Komnas HAM berinisiatif untuk memulai untuk mengusut
masalah ini. Komnas HAM mengeluarkan pernyataan bahwa peristiwa ini adalah
pelanggaran HAM yang berat. Masalah ini pun selanjutnya dilaporkan ke Kejaksaan Agung
untuk diselesaikan. Namun, ternyata sampai sekarang masalah ini belum dapat diselesaikan
bahkan upayanya saja dapat dikatakan belum ada. Belum ada satupun langkah pasti untuk
menyelesaikan masalah ini. Alasan terakhir menyebutkan bahwa syarat kelengkapan untuk
melakukan siding belum terpenuhi sehingga siding tidak dapat dilaksanakan. Seharusnya jika
pemerintah benar-benar menjunjung tinggi HAM, seharusnya masalah ini harus diselesaikan
secara tuntas agar jelas agar segala penyebab terjadinya peristiwa dapat terungkap sehingga
keadilan dapat ditegakan.

Solusi :
Agar masalah ini dapat cepat diselesaikan, diperlukan partisipasi masyarakat untuk ikut turut
serta dalam proses penuntasan kasus ini. Namun, sampai sekarang yang masih berjuang
hanyalah para keluarga korban dan beberapa aktivis mahasswa yang masih peduli dengan
masalah ini. Seharusnya masyarakat dan mahasiswa tidak tinggal diam karena pengusutan
kasus ini yang belum sepenuhnya selesai. Walaupun sulit untuk menuntaskan kasus tersebut
secara sepenuhnya, tetapi jika masyarakat dan mahasiswa ingin bekerjasama dengan pihak
terkait seharusnya masalah bisa diselesaikan, dengan catatan stakeholder yang bersangkutan
harus jujur dalam memberikan informasi. Di luar itu semua, ada hal lain yang sebenarnya
bisa diambil oleh masyarakat dan mahasiswa dalam peristiwa tersebut, yaitu semangat
melawan pemerintahan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Walaupun
bisa dibilang bahwa Indonesia dari tahun ke tahun terus membaik dan berkembang dari segi
pembangunan, tetapi tetap banyak masalah yang sebenarnya bisa terlihat jika kita berbicara
dari tentang pemerintahan. Beberapa contoh masalah-masalah pemerintahan yang ada, yaitu
korupsi, perebutan kekuasaan untuk kepentingan golongan, berbagai praktik kecurangan
dalam menapai kekuasaan, dan masalah lainnya. Dari masalah-masalah tersebut, seharusnya
masyarakat dan mahasiswa banyak mengambil peran dalam pengarahan dan evaluasi
kepemimpinan. Untuk peran mahasiswa tak dapat dipungkiri akan semakin besar karena di
pundak mereka ada sebuah beban tanggung jawab dimana para mahasiswa dituntut harus
membentuk pemimpin-pemimpin yang cakap untuk mengelola Indonesia yang lebih baik di
masa depan. Agar peristiwa ini tak kembali terulang, Hak kebebasan berpendapat setiap
warga negara benar-benar harus ditegakan.
6. Marsinah

Kasus :
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi
unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat
dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin
Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon
Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh
mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah
pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka
perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.Sampai dengan tanggal 5
Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan
perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan
karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa
digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa
mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah
karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk
menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah
itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak
diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal
8 Mei 1993.
Hak Yang Di Langgar
Kasus pembunuhan Marsinah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Alasannya adalah karena telah melanggar hak hidup seorang manusia. Dan juga karena sudah
melanggar dari unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan
pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan
kemanusiaan yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.
Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam
menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas bahwa tindakan oknum
pembunuh melanggar hak konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah
sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2)
UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Solusi :
Hak Asasi setiap manusia harus dihargai oleh manusia yang lain yang dalam kasus ini adalah
hak asasi berpendapat dan hak untuk hidup. Selain itu, kasus marsinah yang tak kunjung usai
ini diakibatkan oleh kurangnya transparansi dan kredibilitas para penyidik. Seharusnya
kredibilitas dan transparansi penyidikan lembaga terhadap suatu kasus haruslah dijaga oleh
para penegak hukum sehingga tercipta keadilan dan ketentraman masyarakat Indonesia

7. Peristiwa Pembunuhan Munir

Kasus :
Delapan tahun silam, tepatnya pada 2004, Indonesia dikejutkan oleh meninggalnya seorang
aktivis HAM, Munir Saib Thalib. Kematianya menimbulkan kegaduhan politik yang
menyeret Badan Intelijen Negara (BIN) dan instituti militer negeri ini. Berdasarkan hasil
autopsi, diketahui bahwa penyebab kematian sang aktivis yang terkesan mendadak adalah
karena adanya kandungan arsenik yang berlebihan di dalam tubuhnya. Munir meninggal
ketika melakukan perjalanan menuju Belanda. Ia berencana melanjutkan studi S2 Hukum di
Universitas Utrecht, Belanda, pada 7 September 2004. Dia menghembuskan nafas
terakhirnya ketika pesawat sedang mengudara di langi Rumania.
Hak Yang Di Langgar
Hak yang di langgar dalam kasus munir yaitu karena telah menghilangkan nyawa dengan
sengaja atau sudah melanggar hak untuk hidup. Banyak orang yang terlibat dalam kejadian
itu. Orang pertama yang menjadi tersangka pertama pembunuhan Munir (dan akhirnya
terpidana) adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama persidangan, terungkap bahwa pada
7 September 2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas palsu
dan mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam. Aksi pembunuhan Munir semakin terkuat
tatkala Pollycarpus ‘meminta’ Munir agar berpindah tempat duduk dengannya. Sebelum
pembunuhan Munir, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon
yang terdaftar oleh agen intelijen senior. Dan pada akhirnya, 20 Desember 2005 Pollycarpus
BP dijatuhi vonis 20 tahun hukuman penjara. Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus tidak
mengakui dirinya sebagai pembunuh Munir, berbagai alat bukti dan skenario pemalsuan surat
tugas dan hal-hal yang janggal. Namun, timbul pertanyaan, untuk apa Pollycarpus membunuh
Munir. Apakah dia bermusuhan atau bertengkar dengan Munir. Tidak ada historis yang
menggambarkan hubungan mereka berdua.
Selidik demi selidik, akhirnya terungkap nomor yang pernah menghubungi Pollycarpus dari
agen Intelinjen Senior adalah seorang mantan petinggi TNI, yakni Mayor Jenderal (Purn)
Muchdi Purwoprandjono. Mayjen (Purn) Muchdi PR pernah menduduki jabatan sebagai
Komandan Koppassus TNI Angkatan Darat yang ditinggali Prabowo Subianto (pendiri Partai
Gerindra). Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Deputi Badan Intelijen Indonesia

Solusi :
Kasus Munir merupakan contoh lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Kasus Munir juga
merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan orde baru yang saat itu lebih bersifat otoriter.
Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar meninggalkan
cara-cara yang bersifat otoriter k arena setiap manusia atau warga Negara memiliki hak untuk
memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman.
Sedangkan bangsa Indonesia saat ini memiliki sistem pemerintahan demokrasi yang
seharusnya menjunjung tinggi HAM seluruh masyarakat Indonesia.

8. Peristiwa Tanjung Priok

Kasus :
1. Petugas koramil menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air
got (comberan)
2. Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pihak
koramil tidak terima.
Hak Yang Dilanggar
Dibunuhnya jamaah-jamaah pengajian oleh pasukan ABRI

Solusi :
1. Warga seharusnya tidak melakukan demonstrasi karena bisa berakibat pada kerusuhan.
2. Jika melakukan demonstrasi, seharusnya kedua belah pihak yaitu ABRI dan warga
menahan emosi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Pelaku pembunuhan (ABRI) wajib diadili dengan seadil-adilnya agar menimbulkan efek
jera.

9. Penculikan aktivis 1997/1998


adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-
demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998 Jakarta Selatan.
Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei
1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan di antara mereka
yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di
antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari
mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.[1]Selama periode 1997/1998,
KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang
telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal
(Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari
ini.

Solusi
Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang
Penculikan Aktivis 1997/1998 hidup lagi. Pansus juga berencana memanggil Wiranto,
Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang diduga terlibat dalam
kasus itu.
Saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima ABRI/TNI, Letjen
TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Letjen TNI (Purn)
Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya, dan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai Assospol Kassospol ABRI.
28 September 2009, Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang)
merekomendasikan pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, segera membentuk
Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili aktor-aktor di balik penculikan aktivis pro
demokrasi di tahun 1998-1999.

10. Pelanggaran HAM di TIMOR-TIMUR (1974-1999)


Timor Leste adalah negara baru yang berdiri secara resmi berdasarkan jajak pendapat tahun
1999. Dulunya, ketika masih tergabung dengan Republik Indonesia bernama Timor Timur,
propinsi ke-27. Pemisahan diri Timor Timur memang diwarnai dengan suatu tindak
kekerasan berupa pembakaran yang dilakukan oleh milisi yang kecewa dengan hasil
referendum.
Disebutkan telah terjadi pembantaian terhadap 102.800 warga Timor Timur dalam kurun
waktu 24 tahun, yakni ketika Timtim masih tergabung dengan Indonesia (1974-1999). Sekitar
85 persen dari pelanggaran HAM, menurut laporan CAVR, dilakukan oleh pasukan
keamanan Indonesia.

Solusi
Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan
Timor Timur yaitu menerima atau menolak otonomi khusus, maka pada tanggal 5 Mei 1999
di New York ditandatangani perjanjian antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Portugal
di bawah payung PBB, tentang penyelenggaraan jajak pendapat di Timor Timur termasuk
pengaturan tentang pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur.

11. Penembakan Misterius (1982-1985)

Diantara tahun 1982-1985, peristiwa ini mulai terjadi. ‘Petrus’ adalah sebuah peristiwa
penculikan, penganiayaan dan penembakan terhadap para preman yang sering menganggu
ketertiban masyarakat. Pelakunya tidak diketahui siapa, namun kemungkinan pelakunya
adalah aparat kepolisian yang menyamar (tidak memakai seragam). Kasus ini termasuk
pelanggaran HAM, karena banyaknya korban Petrus yang meninggal karena ditembak.
Kebanyakan korban Petrus ditemukan meninggal dengan keadaan tangan dan lehernya diikat
dan dibuang di kebun, hutan dan lain-lain. Terhitung, ratusan orang yang menjadi korban
Petrus, kebanyakan tewas karena ditembak.

Solusi
Aparat keamanan di Yogyakarta melakukan Operasi Penumpasan Kejahatan (OPK) terhadap
para gali ini dikarenakan tindak kejahatan para gali sudah sangat keterlaluan, bahkan
masyarakat DIY cenderung lebih takut kepada gali dibanding aparat kepolisian. Turunnya
militer dalam operasi OPK diakui sendiri oleh Letkol M. Hasbi yang saat itu sebagai
Komandan kodim 0734 yang sekaligus merangkap Kepala Staf Garnisun Yogyakarta.

12. Kasus Penganiayaan Wartawan Udin (1996)

Kasus :
Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin (lahir di Bantul, Yogyakarta, 18
Februari 1964 – meninggal di Yogyakarta, 16 Agustus 1996 pada umur 32 tahun) adalah
wartawan Bernas, Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan kemudian
meninggal dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan
pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di Bernas sejak 1986.

Selasa malam, pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, ia dianiaya pria tak dikenal di depan
rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta. Udin,
yang sejak malam penganiayaan itu, terus berada dalam keadaannya koma dan dirawat di RS
Bethesda, Yogyakarta. Esok paginya, Udin menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut.
Namun, dikarenakan parahnya sakit yang diderita akibat pukulan batang besi di bagian
kepala itu, akhirnya Udin meninggal dunia pada Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB.

Solusi :
27 November: Iwik divonis bebas! Majelis Hakim pemeriksa perkara terdiri dari Ny Endang
Sri Murwati SH, Ny Mikaela Warsito SH, dan Soeparno SH. Pertimbangannya, tidak ada
bukti yang menguatkan Iwik adalah pembunuh Udin. Motif perselingkuhan yang dituduhkan
selama ini berarti gugur. Selain itu, keterangan memberatkan dari Serma Pol Edy Wuryanto
dalam persidangan dinyatakan tidak dapat dipakai sebagai alat bukti keterangan. Selanjutnya
muncul tuntutan agar polisi mencari, mengungkap motif, dan menangkap pelaku
pembunuhan Udin yang sebenarnya.
13. Pemberontakan di Aceh / Gerakan Aceh Merdeka (1976–2005)

Kasus :
Pemberontakan di Aceh (1976–2005)
Pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperoleh
kemerdekaan dari Indonesia antara tahun 1976 hingga tahun 2005. Operasi militer yang
dilakukan TNI dan Polri (2003-2004), beserta kehancuran yang disebabkan oleh gempa bumi
Samudra Hindia 2004 menyebabkan diadakannya persetujuan perdamaian dan berakhirnya
pemberontakan. Amnesty International merilis laporan Time To Face The Past pada April
2013 setelah pemerintah Indonesia dianggap gagal menjalankan kewajibannya sesuai
perjanjian damai 2005. Laporan tersebut memperingatkan bahwa kekerasan baru akan terjadi
jika masalah ini tidak diselesaikan.

Solusi :
Kesepakatan damai dan pilkada pertama
Setelah bencana Tsunami dahsyat menghancurkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan
ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan gencatan
senjata dan menegaskan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan
ini.[26] Namun, bentrokan bersenjata sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena
gerakan separatis di daerah, pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap
pers dan pekerja bantuan. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah
untuk upaya bantuan internasional.
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia dan material
yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia internasional terhadap
konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, tetapi karena sejumlah
alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29
tahun konflik berkepanjangan. Era pasca-Soeharto dan masa reformasi yang liberal-
demokratis, serta perubahan dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan
lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia
yang baru terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ialah sangat
signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh.Pada saat yang sama, kepemimpinan juga
GAM mengalami perubahan, dan militer Indonesia telah menimbulkan begitu banyak
kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin menempatkan GAM di bawah tekanan
kuat untuk bernegosiasi. Perundingan perdamaian tersebut difasilitasi oleh LSM berbasis
Finlandia, Crisis Management Initiative, dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti
Ahtisaari. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai ditandatangani pada 15 Agustus
2005. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah
Republik Indonesia, dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik
dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata
GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropa mengirimkan 300 pemantau yang
tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir
pada tanggal 15 Desember 2006, setelah suksesnya pilkada atau pemilihan daerah gubernur
Aceh yang pertama.
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi hak khusus
yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik
lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, pendukung HAM menyoroti bahwa
pelanggaran HAM sebelumnya di provinsi Aceh akan perlu ditangani.
Selama pilkada gubernur Aceh diadakan pada bulan Desember 2006, mantan anggota GAM
dan partai nasional berpartisipasi. Pemilihan itu dimenangkan oleh Irwandi Yusuf, yang basis
dukungannya sebagian besar terdiri dari para mantan anggota GAM.

14. Kasus Pembantaian di Bulukumba (2003)

Kasus :
Senin, 21 Juli 2003, sekitar pukul 14:00 Wita, Polres Bulukumba dengan dukungan personil
Brimob Bone, Polres Bantaeng dan Sinjai sejumlah 320 orang, di Desa Bonto Mangiring
Keb. Bulukumba, melakukan pembantaian petani/masyarakat adat kajang yang sedang
melakukan
aksi untuk memperjuangkan tanah leluhurnya yangdirampas oleh PT. PP Lonsum sejak tahun
80-an. Akibat dari aksi brutal aparat kepolisian tersebut, korban berjatuhan di pihak petani/
masyarakat adat. Laporanmasyarakat menyebutkan lebih 20 orang terluka, 4 tewas dan
puluhan lainnya ditangkapi. Aksi petani di areal perkebunan yang dikuasai oleh PT.
PP.Lonsum bermula rentetan kasus sebelumnya : (1). Pada Tahun 1980-an hingga awal tahun
1990, PT. PP. Lonsum yang didukung oleh pemerintah dan aparat militer/kepolisian
melakukan pencaplokan lahan-lahan pertanian petani/ masyarakat dibeberapa desa di
Kabupaten Bulukumba.
(2). Pada kasus tersebut, ratusan rumah warga dihancurkan dan dikuasai oleh PT. PP London
Sumatera untuk ditanami karet. (3). Pada bulan Maret 2003, kembali PT. PP Lonsum
melakukan pengusuran lahan0lahan warga didesa Bonto Mangiring, pada saat itu, PT. PP
Lonsum elakukan
pembakaran 5 rumah warga dan penembakan orang-orang PT. PP.Lonsum terhadap warga
yang ada disekitar lokasi. Peristiwa tersebut dilakukan dihadapan dihadapan aparat yang tidak
melakukan apa-apa. (4). Warga kemudian melaporkan kasus, kepemilikan senjata oleh sipil
(orang lonsum yang benama A. Abd. Malik) serta pembakaran rumah warga. (5). Namun
aparat kepolisian tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap Lonsum, malah pada tanggal 28
Mei
2003, Aparat kepolisian bersama dengan pimpinan PT.PP. Lonsum terlihat makan bersama di
salah satu restoran di Kabupaten Bulukumba, dan pada dini harijam 02:00 Wita, aparat
kepolisian menangkap 4 orang petani/masyarakat kajang yang menentang PT.PP.Lonsum,
nama-nama yang ditangkap ( Sampe 45 tahun, Baddu 53 tahun, Sannai 30 tahun, dan Maing
35 tahun). (6). Sebagai protes atas tindakan kepolisian menangkapi warga secara semena-
mena Petani/ masyarakat adat melakuka aksi demontrasi pendudukan DPRD selama 10 hari
(tanggal 1 s/d 10 Juni 2003). Dan beberapa wakil petani menghadap pada Wakapolda Sulsel
untuk
mempertanyakan tindakan aparat pores Bulukumba. Namun seluruh upaya, aksi maupun
dialog yang dilakukan masyarakat tidak mendapat tanggapan yang berarti dari aparat
kepolisian meupun pemerintah daerah, kecuali intimidasi.
Dalam perjuangannya melawan PT. PP London Sumatera Indonesia sejak tahun 1980 hingga
sekarang, sekitar 20-an rakyat anti lonsum kabupaten bulukumba sulsel berupa tindakan
intimidasi, penyiksaan penangkapan, penahan dan penjara. Siang tadi, senin 21 Juli 2003
sekitar pukul 14:00 wita terjadi penangkapan dan penembaan beberapa warga kecamatan
kajang kebupaten bulukumba. Berikut kronologisnya ; Senin pukul 08:00 wita sekitar 1500
warga kajang dan Bulukumpa berkumpul di kampung ganta desa bontobiraeng kecamatan
Kajang Kabupaten Bulukumba pukul 10:00 wita massa rakyat memasuki lokasi areal
[perkebunan Pt. PP
Lonsum division Bulukumba desa Bontomangiring kec Bulukumpa yang dirampas
perusahaan tanpa HGU puluhan tahun silam pukul 13:00 wita gelombang pertama anggota
polres Bulukumba memasuki lokasi sedang diduduki massa rakyat, serangan pertama ini
berhasil menangkap 3 orang warga ( AN. Satarian dan istrinya, seorang lagi yang belum
teridentifikasi ) pukul 14:00 wita gelombang penyerangan kedua, sekitar 12 orang anggota
Polres Bulukumba yang dipimpin oleh Wakapolres AKP. Gatot Budiwiyono yang dilengkapi
senjata menembaki
massa rakyat secara membabi buta. Dalam insiden ini 5 orang warga terkena peluru masing-
masing: Timoro>betis-betis Ansu> Paha Hancur Sembang> Lengan Siing > Telapak tangan
tembus Sani > Betis hancur. Warga Meninggal dalam kejadian tersebut : Campe> dada
tembak
Dg. Sangkala> dada tembak

Solusi :
Kelima korban tersebut, belum dapat tertolong oleh dokter karena semua jalan masuk
kelokasi diblokir oleh anggota Polres Bulukumba. Salah seorang diantara korban tertinggal
peluru dan belum dapat tertolong. Polres Bulukumba memblokade semua arah untuk masuk
kelokasi, dengan melibatkan anggota polres dari dua kabupaten masing-masing Kabupaten
sinjai dan Kabupaten Bantaeng penembakan tersebut memicu kemarahan massa rakyat yang
akhirnya mengusir Wakapolres dan Anggotanya untuk keluar dari lokasi. Disamping itu
massa rakyat terus melakukan penebangan pohon-pohon karet dan tetap menguasai lokasi.

15. Peristiwa Abepura, Papua (2000-2003)


Kasus :

Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Abepura


7 Desember 2000 Sekitar Pukul 01.30 Wit: Terjadi penyerangan massa terhadap mapolsekta
Abepurayang mengakibatkan seorang polisi meninggal dunia )BribkaPetrus Eppa), dan 3
orang lainnya luka-luka. Disertai pembakaran ruko yang berjarak 100 meter dari mapolsek.
Terjadi juga penyerangan dan pembunuhan satpam di kantor Dinas Otonomi Kotaraja.
7 Desemer 2000, sekitar pukul 02.30: Pasca penyerangan massa ke Mapolsek Abepura,
Kapolres jayapura AKBP Drs. Daud sihombing, SH setelah menelpon Kapolda Brigjen Pol
Drs. Moersoertidarno Moerhadi D. langsung melaksanakan perintah operasi untuk pengejaran
dan penyekatan ke tiga asrama mahasiswa dan tiga pemingkiman penduduk sipil. Di Asrama
Ninmin satuan Mbrimob melakukan pengrusakan,pemindahan paksa (Involuntary displace
persons), ancaman, makian, pemukulan dan pengambilan hak milik (rigthto
property)mahasiswa. Di asrama mahasiswa. Di asrama Waropen Yapen Waropen satu
mahasiswa terserempet peluruh. Yang lainnya dipukul, ditendang, dan diolempar kedalam
truk untuk di bawa ke mapolsek. Begitu pula penjiksaan dan penagkapan terjadi di asrama
IMI (ikatan mahasiswa Ilaga), penagkapan dan penyiksaan (Persecution) berulang-ulang
terjadi juga di pemingkuman penduduk sipil kampung Wamena di Abepantai dan suku lani
asal Mamberamo di kota raja dan suku yali di skyline. Telah terjadi pembunuhan
kilat(Summary Killing)oleh anggota mbrimib , Elkius Suhuniap,di skyline. Dan telah terjadi
krmatian dalam tahanan Polres Jayapura (dead in custody) akibat penyiksaan (torture)
terhadap Jhoni karunggu dan Orry Dronggi
Pebruari 2001: Komnas HAM membentuk KPP HAM Abepura, dalam KPP HAM; peristiwa
pengejaran dan penangkapan itu telah terjadi tindakan pelanggaran kemanusiaan

Solusi :
22 Sebtember 2005: Berlangsung aksi solidaritas nasional untuk kasus Abepura (SNUKA) di
Papua. Komite aksi ini terdiri dari LBH Papua,ALDP, SKP Keuskupan Jayapura,JPIC Sinode
GKI, KONTRS Papua, ELSHAM Papua, Dewan Adat Papua, LPDAP, STT GKI, STFT Fajar
Timut, AMPTPI, AMP, HMI, Jayapura,PMKRI Jayapura, GMKI Jayapura, Parlemen
Jalanan, Tim Kemanusiaan Papua, Komunitas Survivor Abepura, Solidaritas Perempuan
Papua, LP3A-P, IMM Jayapura, Front Pembebasan Penindasan Papua, Asrama Ninmin,
FNMP, dan DEMMAK

16. Kasus perbudakan buruh panci (2013)


Kasus :
Kampung Bayur Opak RT 03/06, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten
Tangerang, terkuak setelah dua buruh yang bekerja di pabrik itu berhasil melarikan diri. Andi
Gunawan (20 tahun) dan Junaidi (22) kabur setelah tiga bulan dipekerjakan dengan tidak
layak. Dalam waktu enam bulan dia bekerja di pabrik milik Juki Hidayat itu, tidak sepeser
pun uang yang diterima para buruh.
Setiap hari, para buruh harus bekerja lebih dari 12 jam untuk membuat 200 panci. Jika tidak
mencapai target, lanjutnya, para pekerja akan disiksa dan dipukul. Para pekerja yang rata-rata
berumur 17 hingga 24 tahun ini hanya memiliki satu baju yang melekat di tubuh, karena
menurutnya baju, ponsel dan uang yang mereka bawa dari kampung disita oleh sang
majikan ketika baru tiba di pabrik tersebut. Para pekerja diiming-imingi mendapat gaji Rp
600 ribu per bulannya. Kondisi bangunan di sana sangat memprihatinkan, tidak layak untuk
ditiduri. Para pekerja sering diancam oleh mandor-mandor dan bos Juki, akan dipukuli
sampai mati, mayatnya langsung mau dibuang di laut kalau jika macam-macam di sana.
Pabrik Panci Tempat Perbudakan Buruh Tangerang Rumah mewah bertingkat dua dengan
pilar menjulang hingga ke balkon dan rumah kumuh bertingkat dua dengan berkarung-karung
tanah liat menutupi daun pintu. Dua tempat kontradiktif itu beberapa hari belakangan sejak
Jumat, 3 hingga Senin, 6 Mei 2013 menjadi tempat "wisata" baru bagi masyarakat Tangerang
dan sekitarnya. Masyarakat sejak pagi, siang hingga malam berduyun-duyun masuk ke
Kampung Bayur, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur itu. Orang-orang itu baik
jalan kaki atau berkendaraan lalu-lalang ke rumah dan pabrik panci itu. Sebagian lain duduk-
duduk di pinggir jalan kecil, dan sebagian besar lainnya berdiri menyemut di depan pabrik.
Masyarakat terenyak, kaget dan syok menyaksikan dengan mata kepala sendiri kondisi di
dalam pabrik panci yang menjadi ajang perbudakan buruh itu. Selain penasaran, beragam
motif masyarakat mengunjungi pabrik panci itu. Ada yang sekadar menonton, ada yang nekat
menerobos masuk untuk melihat kamp perbudakan buruh yang pengap di belakang rumah.
Adapula warga yang berbisik-bisik melihat kuburan bernisan merah di samping kamp buruh
di belakang rumah mewah itu. Soal kuburan, polisi menjelaskan dari keterangan saksi yang
sudah diperiksa bahwa kuburan itu adalah makam Amalia, anak kedua Yuki yang meninggal
kala berusia 3 tahun akibat muntaber. Kepolisian Resor Tangerang memasang garis kuning
polisi di depan rumah Yuki Irawan, 41 tahun. Yuki adalah bos pabrik panci yang telah
menyekap 34 buruh, terdiri dari 25 buruh di Sepatan dan 9 buruh di Dadap, Kosambi.
Pemasangan garis polisi lantaran massa merusak pagar besi rumah mewah itu. Polisi kini juga
menjaga ketat pabrik panci demi menghindari kerusakan lebih parah. Penyelidikan terhadap
kasus pabrik panci masih berlanjut. Namun, hingga kini wartawan belum bisa mewawancarai
Yuki.
Sebelumnya, di Polres Tangerang, Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar
Rikwanto menjelaskan masih butuh keterangan Yuki untuk kepentingan penyidikan. Itu
sebabnya Yuki belum bisa dimintai keterangan kepada publik. Kepala Bagian Penerangan
Umum Markas Besar Polri, Komisaris Besar Agus Rinto, mengatakan, tim Divisi Profesi dan
Pengamanan (Propam) mengusut dugaan keterlibatan personel kepolisian dalam kasus
perbudakan buruh pabrik panci di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Sepatan,
Kabupaten Tangerang. Pada Senin kemarin, 6 Mei 2013, tim Propam memeriksa dua polisi
yang diduga terlibat. Agus enggan membeberkan kedua nama anggota kepolisian itu serta
asal kesatuannya. Pemeriksaan bermula dari adanya informasi keterlibatan personel
kepolisian dalam kasus penganiayaan dan penyekapan buruh di Tangerang. Ketua Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, menyebutkan,
ada dua anggota Brigade Mobil yang diduga terlibat dalam penyekapan dan penyiksaan buruh
tersebut. Menurut pengakuan korban, kedua oknum Brimob ini menjadi alat intimidasi oleh
pemilik pabrik beserta centengnya. Sembilan buruh yang disekap dan diperlakukan seperti
budak di Sepatan, Tangerang, Banten mengaku sering diawasi oleh sejumlah pria berseragam
mirip seragam kesatuan saat mereka bekerja. Keberadaan pria bersenjata api laras panjang itu
membuat para buruh merasa ciut nyalinya untuk melawan.
Andi, warga Blambangan, Kecamatan Blambangan Pagar, Kabupaten Lampung Utara
meloloskan diri melalui lobang selokan rumah yang dijadikan pabrik panci itu. Usai berhasil
keluar dari kompleks, dia bersembunyi di sebuah bangunan kosong hingga menjelang malam.
Akibat penyekapan yang berlangsung selama tiga bulan itu, membuat Andi trauma. Bekas
luka terbakar masih terlihat di kedua telapak tangan dan kakinya. Dia berharap aparat
keamanan mengusut tuntas dan menghukum berat cukong dan semua yang terlibat. Andi
berangkat bersama sembilan rekan di desanya tiga bulan lalu. Mereka diajak oleh seorang
perekrut tenaga kerja bernama Taufik asal Sumatera Selatan. Sembilan orang yang
dipekerjakan dan tanpa diupah itu adalah Adi Putra, 23 tahun, Andi Gunawan (20), Rizal
(19), Junaidi (22), dan Madjid (20). Selain itu juga ada Miswanto (20), Ervan (21), Iwan
Kurniawan (19), dan Sarifudin

Solusi :
kesemuanya warga Blambangan Pagar, Kabupaten Lampung Utara. Kasus penyekapan dan
penyiksaan puluhan buruh pabrik pembuatan panci dan kuali di Tangerang itu terungkap atas
laporan Junaidi dan disusul Andi Gunawan. Keduanya berhasil melarikan diri lalu melapor ke
aparat kepolisian dan pamong desa di kampung halaman mereka. Kepolisian Daerah
Lampung bekerjasama dengan Kepolisian Resor Tangerang dan Polda Metro Jaya
menggerebek tempat itu. Kepolisian Resor Kota Tangerang menggerebek CV Cahaya
Logam, produsen panci, dan menemukan 25 buruh disekap di area pabrik.

17. Peristiwa 27 Juli (1996)

Kasus :
Peristiwa ini disebabkan oleh para pendukung Megawati Soekarno Putri yang menyerbu dan
mengambil alih kantor DPP PDI di Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996.
Massa mulai melempari dengan batu dan bentrok, ditambah lagi kepolisian dan anggota TNI
dan ABRI datang berserta Pansernya. Kerusuhan meluas sampai ke jalan-jalan, massa mulai
merusak bangunan dan rambu-rambu lalu-lintas.
Dikabarkan lima orang meninggal dunia, puluhan orang (sipil maupun aparat) mengalami
luka-luka dan sebagian ditahan. Menurut Komnas Hak Asasi Manusia, dalam peristiwa ini
telah terbukti terjadinya pelanggaran

18. Kasus Dukun Santet di Banyuwangi (1998)

Kasus :
Peristiwa beserta pembunuhan ini terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu di Banyuwangi lagi
hangat-hangatnya terjadi praktek dukun santet di desa-desa mereka. Warga sekitar yang
berjumlah banyak mulai melakukan kerusuhan berupa penangkapan dan pembunuhan
terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sejumlah orang yang dituduh dukun
santet dibunuh, ada yang dipancung, dibacok bahkan dibakar hidup-hidup. Tentu saja polisi
bersama anggota TNI dan ABRI tidak tinggal diam, mereka menyelamatkan orang yang
dituduh dukun santet yang masih selamat dari amukan warga.

19. Pembantaian Massal Komunis/PKI (1965)

Kasus :
Pembantaian ini merupakan peristiwa pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang yang
dituduh sebagai anggota komunis di Indonesia yang pada saat itu Partai Komunis Indonesia
(PKI) menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia dengan anggotanya yang berjumlah
jutaan. Pihak militer mulai melakukan operasi dengan menangkap anggota komunis,
menyiksa dan membunuh mereka. Sebagian banyak orang berpendapat bahwa Soeharto
diduga kuat menjadi dalang dibalik pembantaian 1965 ini. Dikabarkan sekitar satu juta
setengah anggota komunis meninggal dan sebagian menghilang. Ini jelas murni terjadi
pelanggaran Hak Asasi Manusia

20. Konflik Berdarah Poso (1998)

Kasus :
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan
Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami
pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama
Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan,
terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus
Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan
yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun
kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun
1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius
untuk kepentingan masing-masing
21. Konflik Sampit (Suku Dayak dan Madura)

21Konflik dan tragedi Sampit ini terjadi pada tahun 2001 setelah sebelumnya terjadi konflik
serupa di tahun 90an. Konflik terjadi akibat perbedaan ras antara penduduk ras Dayak dengan
ras Madura yang merupakan pendatang. Banyak rumor dan isu beredar mengenai pemicu
konflik ini yang kemudian menyebabkan banyak korban jiwa yang tewas mengenaskan.

22. Kasus Pembantaian Rawagede

Pembantaian Rawagede merupakan pelanggaran HAM yang terjadi akibat penembakan dan
pembunuhan penduduk kampung Rawagede yang sekarang dikenal sebagai Desa Balongsari,
Rawamerta di Karawang. Pembantaian dilakukan oleh tentara Belanda tanggal 9 Desember
1945 bersamaan dengan Agresi Militer Belanda I. Akibatnya puluhan warga sipil terbunuh
oleh tentara Belanda yang kebanyakan dibunuh tanpa alasan yang jelas.
23. Penembakan Misterius 1982-1985

Kasus penembakan misterius (biasa disebut Petrus) terjadi di antara tahun 1982 sampai 1985.
Peristiwa ini adalah peristiwa penculikan, penganiayaan dan penembakan terhadap para
preman yang sering menganggu ketertiban masyarakat. Tidak diketahui siapa pelakunya
sampai sekarang. Banyak korban penembakan misterius yang ditemukan meninggal dengan
keadaan tangan dan lehernya diikat dan dibuang di hutan. Diperkirakan ada ratusan korban
penembakan misterius ini.

24.. Kasus Pembantaian Santa Cruz

Kasus pembantaian Santa Cruz termasuk salah satu contoh kasus pelanggaran HAM di
Indonesia. Kasus ini terjadi area Pemakaman Santa Cruz, Dili, Timor Timur pada 12
November 1991. Terjadi peristiwa pembantaian oleh anggota militer pada warga sipil.
Puluhan pelajar dan warga sipil meninggal dunia akibat peristiwa pembantaian ini yang
kemungkinan diakibatkan faktor politik.
24. Peristiwa Kudatuli

Peristiwa Kudatuli ini terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 dimana para pendukung Megawati
Soekarno Putri menyerbu dan mengambil alih kantor DPP PDI di Jakarta Pusat. Massa
terlibat bentrok dengan anggota polisi dan tentara hingga meluas ke jalanan. Banyak
bangunan dan fasilitas jalan yang rusak. Dikabarkan 5 orang meningal dunia dan puluhan
lainnya luka-luka.

25. Kasus Pembunuhan Salim Kacil

Kasus pelanggaran HAM terbaru di Indonesia terjadi tahun 2015 lalu di Lumajang, Jawa
Timur. Bermula pada aktivitas penambangan pasir Pantai Watu Pecak secara ilegal, seorang
aktivis bernama Salim Kancil berusaha untuk menghentikannya. Namun Salim Kancil
kemudian diikat oleh gerombolan orang dan kemudian dipukuli dan dibunuh dengan kejam.
Terdapat 22 pelaku yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan Salim Kancil ini dan sudah
ditangani oleh kepolisian.
26. Konflik Berdarah Poso

Konflik Poso ini terjadi sejak tahun 1998 sampai tahun 2000 di Poso, Sulawesi Tengah.
Diawali oleh pemilihan bupati yang dilandasi oleh sentimen keagamaan. Adanya perbedaan
agama, politik, sosial dan budaya pun melandasi terjadinya konflik dan kerusahaan.
Pembunuhan dan pembantaian pun terjadi di Poso yang mengakibatkan banyaknya korban
jiwa yang meninggal dunia.

27. Peristiwa Pembantaian Petani

Peristiwa pembantaian petani terjadi di Desa Sungai Sodong, Mesuji, Ogan Komeling Ilir,
Sumatera Selatan pada tahun 1997 dan termasuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Pertikaian terjadi antara warga dan perusahaan kelapa sawit akibat bermasalahnya kerjasama
plasma yang sebelumnya sudah disepakati. Banyak korban berjatuhan satu per satu dari pihak
keamanan maupun warga akibat konflik ini.

28. Peristiwa Talang Sari


Peristiwa Talangsari adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat
keamanan di Dusun Talangsari III di Lampung Timur pada tanggal 7 Februari 1989. Terjadi
penyerbuan Talangsri dari aparat setempat dan warga pada komunitas yang dipimpin oleh
Warsidi. Puluhan korban tewas meninggal dunia dan ratusan orang ditangkap dan
dipenjarakan akibat peristiwa ini.

29. Pelanggaran HAM di Tolikara

Komnas HAM menganggap bahwa telah terjadi kasus pelanggaran HAM di Tolikara, Papua.
Sebanyak poin yang dianggap sebagai pelangagran HAM adalah pelanggaran terkait
kebebasan beragama, hak hidup, hak rasa aman dan hak atas kepemilikan. Peristiwa Tolikara
dipicu oleh pembakaran masjid yang menyebabkan konflik. Akibatnya terdapat korban jiwa,
korban luka hinga kerugian bangunan dan fasilitas yang hancur.
30 Penculikan Aktivis Pro Demokrasi

Pelanggaran HAM ini terjadi akibat adanya kasus penculikan aktivis pro-demokrasi pada
tahun 1997 dan 1998. Sekitar 23 aktivis diculik dan menghilang tanpa penyebab yang
diketahui, bahkan diketahui ada yang sampai dibunuh. Sampai sekarang ada 13 aktivis yang
masih tidak diketahu kejelasannya. Banyak orang berpendapat bahwa mereka diculik dan
disiksa oleh para anggota militer. Peristiwa ini menjadi contoh kasus pelanggaran HAM pada
masa Orde Baru.

Anda mungkin juga menyukai