Anda di halaman 1dari 3

NAMA : LUCKY YUDYA IRAWAN

NIM : 041313259

PENDAHULUAN

Masalah hukum dan keadilan sudah menjadi persoalan yang hangat sejak jaman dahulu kala dan
tampak seolah-olah tidak akan habis dipermasalahkan sepanjang masa. Seringkali orang mengira
bahwa apabila orang berbicara tentang hukum, berarti orang secara implisit berbicara pula tentang
keadilan. Memang harus diakui bahwa hukum dan keadilan begitu erat berkaitan, sehingga rasanya
seolah-olah tidak masuk akal kalau orang berbicara tentang hukum lepas dari konteks keadilan. Jadi
tidaklah mengherankan apabila acapkali hukum dijumbuhkan dengan keadilan. Penjumbuhan yang
demikian akan sangat berbahaya, sebab hukum dengan sendirinya tidak selalu harus adil.

Masalah ini bertambah rumit apabila diperhatkan dengan seksama penerapan hukum dan penegakan
keadilan. Orang awam yang kurang faham tentang permainan patgulipat hukum, acapkali hanya bisa
emnepuk dada dalam kedukaan sambil bertanya setengah berdoa, “sampai berapa lama lagi dan hendak
kemana?” lagi pla, apabila orang membaca hukum, katakanlah dalam hal ini suatu peraturan atau suatu
ketentuan undang-undang, maka dari situ substansinya tidak akan terlihat adanya keadilan. Keadilan
dalam hal ini memang tidak tampak. Ia seolah-olah hanya tercermin atau memang tidak ada tetapi
dikatakan ada, tidak terlihat tetapi dikatakan terlihat. Ia bagaikan sesuatu yang abstrak, namun dalam
kenyataannya a harus terasa atau terwujud secara konkrit yang bagaikan angin, ia nampak tetapi tidak
terasa.

KASUS

Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, tentunya penegakan hukum yang tidak
memihak telah datur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dimana semua
orang diperlakukan sama di depan hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang
menegakkan suoremasi hukum, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Namun dalam prakteknya hukum indonesia dinilai belum
mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas.

Masyarakat miskin kerab mejadi korban dari penegak hukum yang tidak adil. Kita sering mendengar
anekdot sosial yang berkembang dan menjadi pembicaraan di tengah kehidupan masyarakat terkait
dengan penegakan hukum atas masyarakat miskin. Salah satu kasus hukum yang menjadi sorotan publik
adalah kasus nenek Asyani (67 tahun). Nenek Asyani tidak pernah menyangka bakal berurusan dengan
hukum dan pengapnya terali besi tahanan. Ii lantaran nenek Asyani didakwa mencuri tujuh batang
pohon jati di lingkungan rumahnya, di Desa Jaibanteng, Situbondo, Jawa Timur.

Kasus pencurian kayu jati yang menjerat Asyani, bukan hanya berbah empati dari banyak kalangan
untuk nenek yang menjadi terdakwangya itu. Kasus yang terjadi di Situbondo, Jawa Timur, ini juga
berbuntut ‘teguran’ dari Menteri Kehutanan kepada Perum Perhutani. Teguran disampaikan berupa surat
edaran terkait implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

ANALISIS KASUS

Beginilah potret hukum di Tanah Air. Ada banyak kasus besar yang jelas-jelas merugikan negara karena
ulah penggarong uang negara, nasib kasusnya tidak jelas. Para koruptor bebas berlenggang, berleha-leha
di luar negeri, tidak tersentuh hukum. Kisah yang dialami nenek Asyani ini benar-benar
menggambarkan pepatah yang populer di masyarakat, hukum di negeri ini tumpul ke atas, tajam ke
bawah.

Saat menjalani persidangan ketig pada 12 Maret, Asyani sampai-sampai duduk bersimpuh da menangis
di depan majelis hakim, emohon pengampunan. Sang pelapor Asyani, Sawin (mantri Perhutani),
tertegun meihat Asyani. Warga Dusun Kristal, Desa/Kecamatan Jatibanteng, Situbondo, itu menjalani
sidang dengan jadwal tanggapan jaksa atas pembelaan kuasa hukum terdakwa. Mulanya, Asyani diam
tertduk mendengarkan tanggapan jaksa penuntut umum, Ida Haryani, selama 30 menit. Setelah jaksa
penuntut membacakan tanggapannya, Asyani langsung mneangis histeris. Dia menuding Sawin, yang
berdiri di pintu samping ruang sidang, “Sawin, kamu yang tega memenjarakan saya.” Tutur Asyani
berteriak lalu terdiam setelah ditenangkan oleh kuasa hukumnya, Supriyono.

Asyani adalah tukang pijat. Dia didakwa dengan pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun. Asyani dituduh mencuri 38 papan kay jati di lahan Perhutani
di Desa setempat.

Asyani dilaporkan oleh sejumlah polisi hutan ke Polsek Jatibanteng pada 4 Juli 2014. Nenek empat anak
itu kemudian ditahan pada 5 Desember 2014. Selain Asyani, tiga orang lain juga ikut ditahan, yakni
menantu Asyani, Ruslan; pemilik mobil pick up, Abdussalam dan Sucipto; tukang kayu. Dalam
tanggapannya, jaksa Ida Haryani menuturkan pihaknya memliki bukti-buktikuat bahwa 38 papan kayu
itu memang diambil Asyani di lahan Perhutani, “terdakwa tidak mampu menunjukkan dokumen
kepemilikan kayu tersebut,” katanya.

Sikap jaksa dinilai terlalu formalistis dalam menangani kasus tersebut. Padahal faktanya, kayu jati
tersebut ditebang dari lahan milik Asyani yang telah dijual pada tahun 2010 dan terdapat surat
keterangan kepala desa kalau lahan tersebut dulunya milik Asyani. Sebelumnya, Asyani juga telah
menyatakan itu secara langsung di hadapan majelis hakim ketika memohon ampun. Menurut dia, kayu
jati itu peninggalan suaminya yang telah meninggal.

Akar dari permasalahan ini adalah bentuk hukum yang dipegang negara ini seolah tidak melihat sisi lan
dalam pratiknya. Padahal, dalam penanganan masalah yang berkaitan dengan hukum, perlu adanya
pendekatan dan menlik latar belakang masyarakat. Kasus hukum tidak melulu menghasilkan hukuma
sebagai hasil mutlak dalam penyelesaiannya. Restorative Justice, menjadi solusi untuk berbagai polemik
dalam penyelesaian hukum. Dimana dalam peradilan seharusnya menimbulkan perbaikan, bukan
mencari pemenang. Restorasi sendiri meliputi pemulihan hubungan antara pihak pelaku dengan korban.
Keterbukaan menjadi kunci penting dalam proses berlangsungnya peradilan. Korban dapat
menyampaikan apa saja yang menjadi kerugian, dan pelaku oun diberikan kesempatan untuk
menebusnya dengan cara yang masuk akal.

Jika dilihat dari perspektif sosiologi hukum yang timbul karena adalnya celah di dalam penerapan
hukum positif. Sosiologi hukum sendiri mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala yang empiris dan
dapat diamati dalam kehidupan masyarafkat. Sosiologi hukum menjadi penting karena dalam proses
penegakan hukum, tidak serta merta hanya melihat siapa dan apa pasal-pasal yang menjerat untuk
menjatuhkan pelaku ke dalam sanksi. Namun lebih jauh, sosiologi hukum membawa sudut pandang
baru untuk menilai sebuah permasalahan dengan melihat latar belakang kehidupan dan kebudayaan,
sosial, dan ekonomi dalam masyarakat.

Seperti yang ditulis dalam kutipan artikel dari Filsuf Yunani pada abad ke-7 dalam ungkapan dari
hukum Anarcharsis, “ Hukum itu adalah jaring laba-laba, ia hanya mampu untuk menjaring orang-orang
miskin, tetapi tidak mampu untuk menjaring orang-orang kaya. Bahkan oleh orang0orang kaya, jaring
laba-laba itu akan dirobek-robek olehnya.” Realitanya, ucapan itu memang benar untuk melihat berbagai
polemik hukum saat ini. Seolah hal itu memang menjadi tabiat bagaimana sifat hukum itu sejak dahulu.

KESIMPULAN

Nenek Asyani merupakan salah satu contoh, dari tidak beresnya penerapan hukum di negara ini. Dengan
melihat latar belakang dan bagaimana kondisi fisik, sosial, dan ekonominya, seharsnya hal itu mampu
menjadi pertimbangan lebih agar permasalahan itu mampu diselesaikan secara adil. Kerugian yang tidak
seberapa menjadi dasar dan alasan kasus ini diakhiri dengan dakwaan yang mengundang prihatin banyak
pihak. Padahal di luar sana, banyak kasus dengan kerugian yang berdampak besar dengan skala besar
pula, bila lolos dengan mudahnya tanpa sanksi yang menjerat. Seperti kasus pembakaran hutan di
Sumatera Selatan.

Celah-celah dan ketimpangan inilah yang menjadi kajian-kajian dan fokus dalam sosiologi hukum.
Sosiologi hukum lahir untuk mencapai keadilan bagi pelanggar dan korban dengan melihat berbagai
latar belakang kehidupan masing-masing. Sehingga aspek-aspek seperti kemanusiaan, ekonomi, sosial,
dan budaya menjadi patokan dan sudut pandang lain dalam menyelesaikan sebuah perkara untuk
mencapai keadilan.

REFERENSI

1. Atiqa, D. A. (2019). Ketidakadilan Hukum di Indonesia. SKRIPSI Jurusan Pendidikan


Pancasila dan Kewarganegaraan-Fakultas Ilmu Sosial UM.
2. Bera, K. (2019). Demokrasi Pancasila Dan Relevansinya Terhadap Kesenjangan Hukum Di
Indonesia.
3. Prastica, S. A. (2019). Kasus Korupsi Dan Sistem Hukum Para Koruptor di Negara Pancasila.
4. Priskila, P., & Dewantara, A. Seorang Nenek Yang Berusia 67 Tahun Dituduh Mencuri Kayu
Jati.
5. RAGA, S. C. (2019). Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Illegal Logging Menurut
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan
Hutan di Kabupaten Pati (Studi terhadap kasus nomor 95/Pid. Sus/2017/PN Pti di Pengadilan
Negeri Kelas IA Pati) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Sultan Agung).
6. Sholehudin, U. (2011). Hukum dan Keadilan Masyarakat. Kajian Sosiologi Hukum, Intrans-
Publishing, Malang.
7. Sholahudin, U. (2016). Hukum dan Keadilan Masyarakat (Analisis Sosiologi Hukum terhadap
Kasus Hukum Masyarakat Miskin “Asyani” di Kabupaten Situbondo). DIMENSI-Journal of
Sociology, 9(1).

Anda mungkin juga menyukai