DOSEN PEMBIMBING :
Disusun oleh :
Rosihan Arby Harahap
145060301111037
SEMESTER GENAP
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
BAB I
PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang
Pasca lengsernya rezim orde baru dan lahirnya dengan orde reformasi yang
melahirkan dan membentuk perubahan di segala segi kehidupan berkenagaraan. Salah
satunya dalam bidang hukum. Hukum pada era reformasi diharapkan tidak lagi dapat
dipenjara oleh kepentingan orang-orang tertentu, karena hukum merupakan sebuah alat
dan fasilitator untuk terwujudnya keadilan.
Hukum dan keadilan juga merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Hukum memerlukan keadilan, sebab apabila hukum tanpa berasaskan keadilan, akan ada
orang-orang yang menggunakan hukum secara semena-mena dan akan ada segelintir
orang yang tertindas kerasnya hukum akibat penyalahgunaan. Keadilan tanpa hukum
hanyalah omong kosong, sebab untuk mewujudkan keadilan, perlu adanya alat kontrol
supaya keadilan tetap terjamin, itulah hukum.
Asas hukum ialah keadilan, selain kemanfaatan dan kepastian. Namun, di tanah air
ini, belakangan hukum dan keadilan seperti bertolak belakang. hukum seperti berjemawa
meninggalkan keadilan. Ada beberapa contoh kasus yang memperlihatkan wujud keadilan
yang bukan wujud hakikinya. Kasus tersebut kadang mengatasnamakan HAM, namun hal
yang sebenarnya bertolak belakang dengan itu. Kasus-kasus itu membuktikan bahwa
hukum di republik ini, memprsentasikan keadilan yang tidak pada tempatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
II.II. Analisis
Seperti yang kita ketahui bahwasanya negara yang kita cintai ini, yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia, merupakan negara yang berlandaskan hukum. Hal ini
termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada pasal 1 ayat 3
hasil amandemen yang ketiga yang berbunyi :
Negara Indonesia adalah negara hukum.
Dan juga pada pasal 27 ayat 1 yang berbunyi :
Segala kewarganegaraan bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa
ada kecualinya.
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi hukum, namun
hukum juga mempunyai asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Pada topik ini,
pembahasan fokus pada sisi keadilan dari hukum itu sendiri. Pancasila dan UndangUndang Dasar juga menjamin keadilan untuk setiap warganya. Pancasila sila kelima yang
berbunyi Keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia dan juga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia pasal 28D ayat 1 yang berbunyi :
harus diberikan hukuman penjara, melainkan hukuman yang bersifat memperbaiki dan
mengawasi supaya hal tersebut tidak terulang kembali.
Pada kasus Yusman, pada saat melakukan tindakan pembunuhan, Yusman masih
dibawah umur dan seharusnya Yusman mendapatkan hukum pidana untuk anak-anak dan
hanya mendapatkan penjara anak-anak pula, namun di pengadilan, Yusman bersama
seorang temannya mendapat vonis hukuman mati. Apalagi ada rekayasa pendongkrakan
umur dan diduga terjadi penganiyaan ketika diinterogasi. Ini adalah bentuk keadilan yang
tidak pada tempatnya, seharusnya anak dibawah umur mendapatkan perlakuan yang sama
dengan orang cukup uur untuk mmendapatkan hukuman pidana.
Menurut pendapat ahli untuk kedua kasus tersebut datang dari pakar hukum tata
negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, Penegak hukum
semestinya mengedepankan restorative justice (keadilan restoratif) dalam menangani
kasus. Dia pun menekankan penegak hukum harus membawa kasus ini dalam
penyelesaian melalui restorative justice, yakni penyelesaian yang tidak berfokus pada
hukuman penjara, melainkan perbaikan atau pemulihan perilaku terdakwa. Hukum
memang harus ditegakkan, tetapi masih ada upaya lain selain menghukum seseorang
dengan hukum pidana.
Asep juga berharap pengadilan bijaksana dalam mengambil putusan, yang bukan
hanya menghukum orang, tetapi juga mengedepankan hati nurani.Keadilan bukan
sekadar menghukum orang, tapi juga memperbaiki perilaku. Hukuman itu tidak selalu
adil, tapi bergantung pada kasus dan dampaknya.
Senada, Arsul Sani menilai dakwaan yang disampaikan kepada terdakwa tidak
berwawasan social justice. Dalam pandangannya dakwaan terlalu berat dan tidak sesuai
dengan kesalahannya yang dilakukan masing-masing terdakwa. Menurut dia, dalam kasus
seperti ini baik jaksa penuntut umum (JPU) maupun majelis hakim perlu menerapkan
konsep social justice yang bermuara pada keadilan retributif, yakni memeriksa, menuntut,
dan memutus perkara dengan mengedepankan rasa keadilan.Jangan hanya melihat bunyi
pasal-pasal pidana yang ada dalam KUHP, ucapnya. Ia juga mengatakan agar seorang
terdakwa harus menempuh jalur hukum untuk melakukan banding dan menyampaikan
ketidakadilan yang diterimanya dalam pengadilan.
BAB III
PENUTUP
III.I. Kesimpulan
Sudah sepantasnya kecacatan hukum ini menjadi pelajaran mahal bagi para
penegak hukum. Hukum yang meniadakan keadilan dan bahkan penuh rekayasa bisa jadi
bumerang. Citra buruk para penegak hukum bisa semakin sulit pulih dan pada akhirnya
tidak akan ada lagi kepercayaan masyarakat pada sistem hukum negara ini. Pemulihan
hukum yang adil harus menjadi prioritas.
Peradilan hanya bisa kembali adil jika seluruh prosesnya dilakukan dengan cermat.
Ini tentunya harus berlaku sejak tahap penyidikan. Tidak boleh lagi ada fakta-fakta yang
dipinggirkan bahkan dihilangkan. Hanya dengan asas cermat, peradilan dapat kembali
bisa dipercaya sehingga pada akhirnya hukum di Tanah Air dapat menjalankan fungsinya,
yakni melindungi dan memberi rasa keadilan yang pada tempatnya kepada masyarakat.