Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam suku bangsa yang terdiri dari
berbagai suku, ras, sifat, watak dan kepentingan masing – masing. Seringkali, kepentingan –
kepentingan itu berlainan dan bertentangan sehingga dapat menimbulkan pertikaian dan
menganggu keserasian kehidupan bersama. Oleh sebab itu, perlunya pembentukan peraturan
– peraturan yang tegas untuk mengatur bagaimana masyarakat bertigkah laku. Tidak heran,
jika Indonesia merupakan negara hukum yang tertuang jelas pada Undang – Undang Dasar
1945 pasal 1 ayat 3. Hukum inilah yang akan menjadi pegangan masyarakat dalam
bertingkah laku.
Adapun pengertian hukum menurut salah satu ahli Surojo Wignjodipuro adalah,
1
Hukum dapat diartikan sebagai himpunan peraturan – peraturan hidup yang bersifat
mengikat dan memaksa, berisi perintah dan larangan untuk bertingkah laku bertujuan
mengatur tata – tertib dalam kehidupan masyarakat”. Salah satu manifestasi Negara Indonesia
sebagai negara hukum didasarkan pada teori equality before the law. 2Pengertian equality
before the law menurut salah satu ahli yaitu Albert Van Dicey adalah, “equality before the
law, or the equal subjection of all classes to the ordinary law of the land administered by the
ordinary Law Courts...” dapat diartikan bahwa equality before the law adalah persamaan
derajat dalam kedudukan pada hukum bagi seluruh warga negara, tanpa memandang status
sebagai aparatur negara atau tidak di hukum pengadilan. Dapat disimpulkan bahwa setiap
orang memiliki kedudukan yang sama tidak memandang apakah layak, miskin, kaya, kuat
atau lemah, suku, ras dan agama. Seluruh warga negara memiliki kesetaraan yang sama di
1
Surojo Wignjodipuro,S. (1983). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT Gunung Agung. Hlm 17.
2
Albert Van Dicey. (1897). Introduction to the Study of the Law of the Constitution. London :Macmillan. Hlm.
Adapun implementasi asas equality before the law dalam peraturan perundangan di
Negara Indonesia. Penerapan asas tersebut di Indonesia sangat jelas yaitu tertuang pada UUD
1945 pasal 27 ayat 1 yang menjelaskan secara rinci bahwa, “setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya.” Berdasarkan ditegasnya hal tersebut maka,
dalam peraturan perundang – undangan setiap warga negara baik perorangan atau golongan
tidak memiliki hak istimewa apapun di depan hukum karena mereka berkedudukan sama.
Konsekuensi tersebut menjelaskan bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku warga negara
Asas equality before the law telah sesuai dengan isi pokok HAM yang terdapat di dalam
Universal Deklaration of Human Right (UDHR) dengan salah satu isinya mencantumkan hak
untuk memeproleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum. Dan
International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak –
Hak Sipil dan Politik) tahun 1966 mencakup 6 BAB dengan 53 Pasal. Salah satunya,
membahas hak kesetaraan derajat kedudukan seluruh warga negara di muka hukum dan hak
Di dalam negara Indonesia baik dia pejabat negara, rakyat jelata atau dari golongan
bangsawan, atau dari suku, ras dan agama yang berlainan semua berkedudukan setara di
hadapan hukum. Tidak ada perlakuan istimewa karena asas ini sangat mengacu pada keadilan
sosial. Sehingga diperlukannya, perlakuan yang adil dan berkedudukan setara kepada semua
Namun, realitas yang ada asas equality before the law ini mengalami perubahan dan
hukum di Indonesia harus adil dan tegas, tetapi kenyataan justru berbanding terbalik dan
tidak sesuai dengan asas tersebut. Ketidakadilan inilah yang justru memecah bela negara
Indonesia karena tidak ada jaminan yang kuat di dalam hukum terutama jaminan keadilan.
Contoh nyata penyimpangan asas equality before the law adalah kasus Nenek Minah
pada tahun 2009 asal Kabupaten Banyumas yang mendapat hukuman 1,5 bulan penjara
dengan masa percobaan 3 bulan karena mencuri tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari
Antan, padahal dalam kesaksiannya dia mengembalikan kakao tersebut karena telah
dinasehati oleh mandor serta telah meminta maaf, tetapi kasus Nenek Minah malah dibawa ke
jalur hukum oleh perusahaan tersebut. Hal ini berbanding terbalik dengan kasus para koruptor
seperti Gayus Tambunan yang merupakan mafia pajak yang diberi fasilitas mewah selama
masa tahanan. Selain itu juga kasus korupsi ketua DPRD Bengkalis yang hanya mendapat
hukuman 1,5 tahun penjara karena telah melakukan kejahatan korupsi sebesar Rp 31M. Jika
dilihat dari perbandingan kasus tersebut maka, tidak ada penerapan asas equality before the
law yang sangat mengedepankan kesetaraan derajat kedudukan di hadapan hukum. Sehingga
dapat dilihat bahwa hukum menenggelamkan para kaum ekonomi rendah dan menjunjung
Badan hukum seperti pengadilan yang seharusnya bersifat adil dan jujur serta
transparan. Tetapi, kenyataan masih saja terdapat ketidakadilan yang terkadang memihak
beberapa pihak dan pemberian hukuman yang tidak sesuai. Sehingga membuat masyarakat
sendiri bertanya – tanya mengapa tugas badan hukum yang seharusnya mengadili tetapi
berlaku tidak adil. Lalu bagaimana dengan asas – asas hukum acara pidana yang sangat
mengedepankan asas equality before the law yaitu 3“perlakuan yang sama atas diri setiap
orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan” (asas persamaan di
muka hukum)”. Mirisnya, asas – asas tersebut hanya dijadikan angan – angan belakang dalam
3
C.S.T. Kansil, S. (1986). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm 347
butir A.
dunia hukum peradilan yang seharusnya sangat menjunjung tinggi asas keadilan dan
kesetaraan dimata hukum. Sangat berbanding terbalik dengan pernyataan bahwa Indonesia
adalah negara yang sangat menjunjung tinggi hukum yang di dadasarkan langsung pada
ideologi Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukum yang mengedepankan HAM warga
negaranya serta menjamin kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintah tanpa
terkecuali.
Dengan realitas yang ada menunjukan bahwa hukum di Indonesia seperti hukum ada
uang semua selesai. Padahal peradilan yang baik adalah 4 “peradilan yang dilakukan dengan
cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan
secara konsukuen dalam seluruh tingkat peradilan (asas peradilan cepat, sederhana, biaya
ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak)”. Jadi, sangat jelas bahwa penggunaan asas equality
before the law sangat tidak berfungsi dengan baik di masyarakat atau bahkan sama sekali
tidak berfungsi. Bercermin pada kasus – kasus tersebut maka, hukum sangat tidak adil bagi
warga miskin yang tidak berdaya di depan hukum. Hal itu dapat dijadikan bukti nyata bahwa
persamaan kedudukan di depan hukum tidaklah sesuai dengan yang dituangkan dalam UUD
Padahal tujuan utama penerapan asas equality before the law untuk menegakkan dan
menjujung tinggi keadilan masyarakat di depan hukum sehingga diharapkan tidak ada
diskriminasi dalam bentuk apapun. Jadi, penerapan asas ini harus dinamis, yaitu harus adanya
jaminan untuk memperoleh keadilan tanpa adanya diskriminasi. Negara Indonesia sendiri
sangat menentang tindakan diskriminasi ini, hal ini dapat terlihat dalam penuangan hak untuk
bebas diksriminasi dalam aturan hukum 5secara konstitusional ada beberapa ketentuan
4
C.S.T. Kansil, S. (1986). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm 348
butir E.
5
Titon Slamet Kurnia. (2015).Interpretasi Hak – Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. Bandung: CV Mandar Maju. Hlm 167
sebagai sumber hukum bagi hak untuk bebas dari diskriminasi. Subjek dari ketentuan tersebut
dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, setiap orang tanpa kualifikasi. Kedua, warga negara.
Ketentuan konstitusional tentang HAM untuk bebas dari diskriminasi tertuang dalam pasal
28D ayat 2 UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Tanpa keadilan hukum semua tidak akan berjalan dengan baik. Menurut Krabble mengenai
teori kedaulatan hukum menjelaskan bahwa 6"hukum hanya sebatas memenuhi rasa keadilan
bagi orang terbanyak yang diberikan kepadanya. Suatu peraturan perundang yang tidak sesuai
keadilan bagi orang banyak, tidak dapat mengikat. Peraturan – perundangan yang
demikianlah bukan “hukum”, walaupun masih ditaati atau dipaksakan”. Sehingga tidak heran
jika dalam proses mencari keadilan masih saja terjadi penyimpangan karena hukum banyak
equality before the law dengan realita yang ada maka, diperlukan sebuah perubahan dan
solusi sehingga asas tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman bagi hukum yang adil di
tentang pentingnya asas ini kepada seluruh aparatur penegak hukum dan warga negara
Indonesia sehingga badan hukum di Indonesia dapat dipercaya karena memiliki kredibilitas
tinggi. Selain itu, pentingnya mengedepankan kerja sama antara aparatur penegak hukum
dengan aparatur negara serta masyarakat untuk menuju Indonesia lebih adil dan taat hukum.
Dapat juga dengan pemberiaan binaan integritas tentang kesadaran hukum pada
seluruh aparatur penegak hukum tentang tugas dan tanggung jawabnya. Sehingga dalam
pelaksanaan tugasnya di kehidupan nyata dapat sesuai dengan hukum yang ada serta dapat
melaksanakan persamaan hak serta kewajiban sebagai warga negara dan menjujung
6
C.S.T. Kansil, S. (1986). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm 63
persamaan derajat kedudukan di hadapan hukum bagi seluruh masyarakat. Sehingga,
diharapkan asas equality before the law ini dapat berfungi dengan baik dan tidak dijadikan
hiasan dalam UUD semata tetapi, harus diterapkan benar – benar dalam dunia hukum agar
nantinya Indonesia dapat menjadi negara yang adil dan tertib hukum. Sehinga asas equality
before the law tidak dijadikan angan – angan semata dalam realitanya tetapi, harus dijadikan