Anda di halaman 1dari 9

Tugas Individu Hukum dan Masyarakat

Kesadaran dan Kepatuhan Hukum Masyarakat


untuk Menggunakan Jembatan Penyeberangan
Orang (JPO)

Oleh:

Githa Dwi Damara


1506676014

Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Depok
2016
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Salah satu isu permasalahan khususnya di perkotaan yang darurat dan harus
segera diselesaikan adalah masalah lalu lintas. Tidak sedikit pengguna jalan yang
setiap harinya mengalami stress dikarenakan kemacetan yang terjadi semakin parah
setiap harinya, terutama pada rush hour. Data Dinas Perhubungan Kota Depok
menunjukkan puncak kendaraan yang melintasi Depok menuju arah Jakarta via Jalan
Margonda terjadi pukul 07.00-08.00 WIB. Pada saat itu jumlah jumlah kendaraan
sebanyak 4.794 Satuan Mobil Penumpang (SMP) per jam. Sementara puncak
kendaraan pada jam pulang kerja terjadi pukul 18.45-19.45 WIB yang mencapai 3.339
SMP per jam1.Jumlah volume kendaraan yang sangat besar tersebut merupakan salah
satu faktor penyebab kemacetan di Jalan Raya Margonda yang tidak dapat dihindari.
Selain itu, para pengguna jalan yang tidak menyeberang pada tempat yang telah
disediakan juga turut menyumbang faktor yang menyebabkan kemacetan parah yang
terjadi di Jalan Raya Margonda setiap harinya. Hal ini dikarenakan banyak kendaraan
yang terpaksa harus berhenti dan menunggu para pengguna jalan yang menyeberang
sembarangan hingga sampai ke tempat seberang sehingga mengakibatkan kemacetan
yang mengular di jalan tersebut. Selain menyebabkan kemacetan, menyeberang tidak
pada tempatnya juga berisko tinggi menyebabkan kecelakaan yang mengancam nyawa,
karena tidak sedikit pula para pengemudi yang terburu-buru dalam mengendarai
kendaraan sehingga seringkali menabrak para pengguna jalan yang menyeberang
sembarangan. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya angka kecelakaan lalu lintas
di jalan raya yaitu sekitar sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya. Artinya,
dalam setiap 9,1 menit sekali terjadi satu kasus kecelakaan2.
Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah Kota Depok telah membangun beberapa
Jembatan Penyeberangan Orang atau yang disingkat dengan JPO untuk menjamin
keamanan serta keselamatan para penyeberang jalan agar dapat menyeberang dengan

1http://nasional.kompas.com/read/2012/11/13/1634173/Kemacetan.di.Depok.yang.Semakin.M

eluas diakses pada Kamis, 12 Mei 2016 pukul 20.32


2 http://dephub.go.id/welcome/readPost/kecelakaan-jalan-raya-di-indonesia-terjadi-setiap-91-
menit-2307/ diakses pada Kamis, 12 Mei 2016 pukul 21.09
aman. Namun kenyataannya, banyak para pengguna jalan yang justru tidak
memanfaatkan JPO tersebut dan memilih untuk mengadu nyawanya dengan cara
menyeberang di jalan raya tepat di dekat JPO tersebut berada. Berangkat dari
kenyataan inilah, penulis memilih untuk mengobservasi lebih lanjut mengenai perilaku
pengguna jalan yang tidak menyeberang pada tempatnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Mengapa beberapa pengguna jalan lebih memilih untuk tidak menyeberang di
Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)?
2. Bagaimana penerapan hukum dan sanksi terhadap para pengguna jalan yang
menyeberang sembarangan?
3. Bagaimana perilaku para pengguna jalan yang tidak menyeberang pada JPO
jika dikaitkan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui alasan pengguna jalan yang lebih memilih tidak
menyeberang di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)
2. Untuk mengetahui penerapan hukum dan sanksi terhadap para pengguna jalan
yang menyeberang sembarangan
3. Untuk mengetahui keterkaitan antara para pengguna jalan yang tidak
menyeberang pada JPO dengan kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat

1.4 Manfaat Penulisan


1. Untuk penulis, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengkaji lebih lanjut
mengenai kesadaran hukum masyarakat di daerah Depok mengenai masyarakat
penyeberang jalan.
2. Untuk pembaca, pembaca menjadi mengetahui mengenai kesadaran dan
kepatuhan hukum serta penerapan hukum dan sanksi terhadap para pengguna
jalan yang menyeberang sembarangan.
3. Untuk ilmu pengetahuan, terdapat pengembangan pengetahuan mengenai
kesadaran hukum masyarakat penyeberang jalan yang dikaji dari perspektif
sosiologi.
Bab II
Permasalahan

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan pada hari Rabu tanggal 4 Mei
2016 sekitar pukul 07.00 di salah satu Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Jalan
Raya Margonda, tepatnya di depan Apartemen Margonda Residence, penulis
mendapati bahwa adanya sejumlah pengguna jalan yang menyeberang tidak
menggunakan JPO melainkan menyeberang di bawahnya. Para penyeberang jalan ini
berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pemuda, mahasiswa, bahkan ibu-ibu yang
membawa anaknya. Penyeberang jalan tersebut seolah-olah memang sengaja menolak
menggunakan fasilitas JPO yang telah disediakan, padahal JPO tersebut terletak sangat
dekat dengan posisi para penyeberang jalan tersebut ketika mereka menyeberang di
jalan raya.
Terdapat beberapa alasan yang mendasari para penyeberang jalan tersebut
untuk lebih memilih menyeberang di jalan raya. Alasan yang dilontarkan pun
bermacam-macam, dimulai karena sedang terburu-buru sehingga dengan cara
menyeberang di jalan raya dapat menghemat waktu, kurang amannya jembatan, hingga
malas untuk naik turun tangga. Ternyata perbuatan mereka yang menyeberang tidak
pada tempat yang disediakan tidak hanya dilakukan sebanyak sekali atau dua kali,
tetapi setiap keadaan jalan raya sedang sepi dan terlihat ada celah untuk bisa
menyeberang di jalan raya, maka merekapun memilih untuk tidak menggunakan JPO
untuk menyeberang.
Meskipun masih dapat ditemui pengguna jalan yang menggunakan JPO untuk
menyeberang, namun sayang sekali hanya sedikit pengguna jalan yang berfikiran
seperti ini. Penyeberang jalan yang menggunakan JPO tersebut mengatakan bahwa
menyeberang tidak pada JPO memiliki risiko yang tinggi terhadap nyawa dan
menimbulkan ketidaknyamanan terhadap sesama pengguna jalan, sehingga sudah
seyogyanya kita mematuhi peraturan yang telah diberlakukan. Penyeberang jalan ini
juga menyadari bahwa dengan cara menyeberang di jalan raya dapat menimbulkan
kemacetan yang semakin parah. Sehingga, tidak ada alasan apapun yang dapat
membenarkan perilaku untuk menyeberang di bawah JPO yang telah disediakan.
Sebenarnya, baik Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Kota Depok telah
membuat ketentuan peraturan mengenai kewajiban pejalan kaki untuk menyeberang
pada tempat yang telah disediakan, yakni UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 16 Tahun 2012
Tentang Pembinaan dan Pengawasan Ketertiban Umum. Pemerintah Kota Depok telah
melaksanakan kewajibannya berdasarkan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 22
Tahun 2009 untuk menyediakan fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang mana salah satunya meliputi tempat penyeberangan Pejalan
Kaki3 yang dalam hal ini berupa Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Selanjutnya
diatur pula di Pasal 131 pada UU Nomor 22 Tahun 2009 yang mewajibkan pejalan
kaki untuk menyeberang pada tempat yang telah ditentukan4.
Jika melihat kepada Perda Kota Depok Nomor 16 Tahun 2012 khususnya pada
pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Setiap pejalan kaki harus menyeberang pada rambu
atau tempat penyeberangan yang disediakan” 5 maka sudah jelas bahwa perilaku
penyeberang jalan yang menyeberang di bawah tempat penyeberangan yang
disediakan dalam hal ini adalah JPO, merupakan suatu perbuatan yang bertentangan
dan melawan hukum. Oleh karenanya, berdasarkan pasal 29 ayat (1) pada perda yang
sama bahwa jika melanggar ketentuan pada pasal 2 maka diancam dengan pidana
kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya dua puluh lima juta
rupiah.6
Namun, kenyataan yang terjadi adalah ketika ada pejalan kaki yang
menyeberang di bawah JPO, meskipun sebenarnya ada seorang polisi yang berada di
tempat tersebut, tetapi polisi itu tidak menegur dan memberikan sanksi kepada pejalan
kaki yang bersangkutan. Hal ini menunjukan bahwa masih kurangnya penegakan
hukum oleh aparat yang bersangkutan sehingga pejalan kaki tidak takut untuk
melanggar ketentuan yang mengatur untuk menyeberang pada tempat yang disediakan.
Jika hal ini terjadi terus menerus, maka akibatnya adalah semakin banyaknya pejalan
kaki yang menyeberang tidak pada JPO walaupun JPO telah tersedia di dekatnya.

3 http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_22.pdf diakses pada Jumat, 13 Mei 2016

pukul 16.55
4 Ibid.
5http://www.depok.go.id/perda/2012/PERDA%20KOTA%20DEPOK%20THN%202012%20NO

%2016%20TTG%20PEMBINAAN%20DAN%20PENGAWASAN%20KETERTIBAN%20UMUM.pdf
diakses pada Jumat, 13 Mei 2016 pukul 17.13
6 Ibid.
Bab III
Pembahasan

Setelah melakukan observasi, penulis menyadari bahwa akar dari permasalahan


yang dibahas pada bab sebelumnya berkaitan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum
pengguna jalan. Secara harfiah, kata “kesadaran” berasal dari kata “sadar” yang berarti
insyaf; merasa; tahu, dan mengerti. Jadi kesadaran adalah keinsyafan atau merasa
mengerti atau memahami segala sesuatu. Sedangkan menurut salah satu pakar ahli
Hukum Pidana yaitu Utrecht mengartikan hukum sebagai himpunan peraturan-
peraturan (berupa perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat
dan karena itu harus ditaati. Sedangkan menurut Affandi hukum adalah kumpulan
peraturan yang harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat, apabila
mengabaikan peraturan tersebut maka kepada si pelanggar dijatuhi hukuman7.
Sehingga apabila dua pengertian tersebut digabungkan, maka yang dimaksud
dengan kesadaran hukum ialah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa
hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan
kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara
yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan. Sedangkan kepatuhan
berasal dari kata patuh, yang berarti tunduk, taat dan turut. Kepatuhan berarti
ketundukan, ketaatan, serta keadaan seseorang tunduk menuruti sesuatu atau sesorang.
Jadi, dapat dikatakan kepatuhan hukum adalah keadaan seseorang warga masyarakat
yang tunduk patuh dalam satu aturan main (hukum) yang berlaku8.
Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kesadaran dan kepatuhan hukum,
penulis memutuskan untuk menggunakan perspektif sosiologi sebagai dasar kerangka
berpikir dikarenakan pada perspektif sosiologis ditekankan pada konteks sosial dimana
manusia hidup. Selanjutnya, perspektif sosiologi juga mengkaji bagaimana konteks
tersebut mempengaruhi kehidupan manusia, hal ini disebabkan karena perspektif
sosiologi merupakan pola pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji tentang
kehidupan masyarakat dengan segala aspek atau proses sosial kehidupan di dalamnya.

7 http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050118_chapture2.pdf diakses pada Jumat,

13 Mei 2016 pukul 17.54


8 https://www.academia.edu/8915240/Kesadaran_dan_Kepatuhan_Hukum_masyarakat diakses

pada Jumat, 13 Mei 2016 pukul 18.28


Dengan demikian, inti dari perspektif sosiologi adalah pertanyaan bagaimana
kelompok mempengaruhi manusia, khususnya bagaimana manusia dipengaruhi
masyarakatnya9.
Dalam sosiologi, hukum diartikan sebagai jaringan dari nilai-nilai yang
merupakan refleksi dari masyarakat, nilai-nilai inilah dalam hukum erat kaitannya
dengan kesadaran hukum. Hal ini dikarenakan kesadaran hukum merupakan suatu
penilaian terhadap hukum yang sudah ada serta hukum yang dikehendaki atau yang
seharusnya ada10. Paul Scholten menekankan tentang nilai-nilai masyarakat mengenai
apa yang sehendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat, kemudian diikuti
dengan sahnya hukum yang berlaku dan pada akhirnya dikembalikan pada nilai-nilai
masyarakat11.
Sistem-sistem nilai inilah yang memberikan patokan untuk proses yang bersifat
psikologis seperti pola berpikir, kecenderungan untuk bertingkah laku, membentuk
pola perikelakuan hingga pembentukan kaedah-kaedah. Apabila pola-pola berpikir
tersebut sudah tidak lagi menjamin kepentingan manusia sehingga masyarakat merasa
dibutuhkannya suatu kekuatan yang bersifat tetap dan mengikat, maka pola-pola
berpikir tersebut dapat berubah. Jika perubahan tersebut menuju kepada arah pada
proses pengkaedahan yang bersifat antar pribadi sehingga dapat menjamin keamanan
dan ketertiban, maka berubah menjadi kaeah-kaedah hukum. Jadi, kesadaran hukum
berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat,
dimana terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa kaidah-
kaidah hukum tersebut telah meresap ke dalam diri masyarakat12.
Kesadaran hukum sangat erat hubungannya dengan kepatuhan hukum.
Kesadaran hukum merupakan variabel antara, yang terletak antara hukum dengan
perilaku manusia yang nyata 13 . Dengan demikian kesadaran hukum menyangkut
masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam
masyarakat. Menurut Bierstedt, dasar-dasar dari kepatuhan adalah indoctrination


9 Paul B. Horton dan Chester L. Hunt. 1999. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

10 Otje Salman dan Anthon Susanto. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. (Bandung: PT Alumni, 2004)
11 Soerjono Soekanto. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum suatu Percobaan Penerapan

Metode Yuridis-Empiris untuk Mengukur Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum Mahasiswa
Hukum terhadap Peraturan Lalu Lintas (UI-Disertasi FIB,1942)
12 Soerjono Soekanto. UI-Disertasi FIB. Op. Cit

13 Otje Salman dan Anthon Susanto. Op.Cit.


(didoktrin untuk berbuat demikian), habituation (sejak kecil mengalami proses
sosialisasi), utility (manusia sadar untuk hendak hidup pantas dan teratur), group
identification (sarana identifikasi dengan kelompok 14 . Kepatuhan individu yang
merupakan hasil proses internalisasi yang disebabkan oleh pengaruh sosial lalu
berpengaruh pada sikap dan pola perikelakuannya.
Menurut Soekanto dalam Nurhidayat (2006: 11-12), indikator-indikator dari
kesadaran hukum sebenarnya merupakan petunjuk yang relatif konkrit tentang taraf
kesadaran hukum. Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang pertama adalah
pengetahuan hukum seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah
diatur oleh hukum. Yang kedua adalah adalah pemahaman hukum seorang pelajar
mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu. Indikator
yang ketiga adalah sikap hukum seseorang mempunyai kecenderungan untuk
mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum. Dan indikator yang keempat adalah
perilaku hukum, yaitu dimana seseorang atau pelajar mematuhi peraturan yang
berlaku. Keempat indikator tadi sekaligus menunjukkan pada tingkat-tingkatan
kesadaran hukum tertentu di dalam perwujudannya. Apabila seseorang hanya
mengetahui hukum, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran hukumnya masih
rendah, tetapi kalau seseorang dalam suatu masyarakat telah berperilaku sesuai dengan
hukum, maka kesadaran hukumnya tinggi15.
Berdasarkan hasil observasi penulis, masih ditemukan banyak pengguna jalan
yang menyeberang tidak pada tempat yang disediakan. Penulis mendapati bahwa
sebenarnya pengguna jalan tersebut sudah mengetahui bahwa perbuatan menyeberang
secara sembarangan dilarang oleh hukum dan apabila dilanggar akan mendapatkan
sanksi, meski sebenarnya mereka tidak tahu persis apa sanksi yang akan dijatuhkan
kepada pengguna jalan yang menyeberang secara sembarangan. Namun, mereka lebih
memilih untuk menyeberang langsung di jalan raya. Hal ini menunjukan bahwa
mereka baru sampai ditahap indikator pertama dari kesadaran hukum, belum sampai di
indikator keempat yaitu berperilaku sesuai hukum. Dengan demikian, penulis
mengatakan bahwa taraf kesadaran dan kepatuhan hukum pengguna jalan yang
menyeberang sembarangan dapat dikatakan masih rendah.

14 Soerjono Soekanto. UI-Disertasi FIB. Op. Cit.

15 https://www.academia.edu/8915240/Kesadaran_dan_Kepatuhan_Hukum_masyarakat diakses

pada Sabtu, 14 Mei 2016 pukul 08.34


Bab IV
Penutup

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil observasi yang telah penulis lakukan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kesadaran dan kepatuhan hukum pengguna jalan yang tidak
menyeberang pada tempat yang telah disediakan terbilang cukup rendah. Penulis dapat
mengatakan seperti ini dikarenakan para pengguna jalan tersebut lebih memilih untuk
menyeberang langsung di jalan raya walaupun sudah tersedia Jembatan Penyeberangan
Orang disekitarnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, dimulai dari alasan pada
dalam diri pengguna jalan itu sendiri seperti sedang terburu-buru dan untuk
menghemat waktu hingga kurangnya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat
yang terkait.

4.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan antara lain:
1. Perlunya diadakan sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 serta Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 16 tahun 2012 agar
masyarakat dapat mengetahui dan mengamalkan isi dari peraturan tersebut.
2. Peningkatan penegakan hukum dari aparat yang terkait.

Anda mungkin juga menyukai