Oleh:
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan pada hari Rabu tanggal 4 Mei
2016 sekitar pukul 07.00 di salah satu Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Jalan
Raya Margonda, tepatnya di depan Apartemen Margonda Residence, penulis
mendapati bahwa adanya sejumlah pengguna jalan yang menyeberang tidak
menggunakan JPO melainkan menyeberang di bawahnya. Para penyeberang jalan ini
berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pemuda, mahasiswa, bahkan ibu-ibu yang
membawa anaknya. Penyeberang jalan tersebut seolah-olah memang sengaja menolak
menggunakan fasilitas JPO yang telah disediakan, padahal JPO tersebut terletak sangat
dekat dengan posisi para penyeberang jalan tersebut ketika mereka menyeberang di
jalan raya.
Terdapat beberapa alasan yang mendasari para penyeberang jalan tersebut
untuk lebih memilih menyeberang di jalan raya. Alasan yang dilontarkan pun
bermacam-macam, dimulai karena sedang terburu-buru sehingga dengan cara
menyeberang di jalan raya dapat menghemat waktu, kurang amannya jembatan, hingga
malas untuk naik turun tangga. Ternyata perbuatan mereka yang menyeberang tidak
pada tempat yang disediakan tidak hanya dilakukan sebanyak sekali atau dua kali,
tetapi setiap keadaan jalan raya sedang sepi dan terlihat ada celah untuk bisa
menyeberang di jalan raya, maka merekapun memilih untuk tidak menggunakan JPO
untuk menyeberang.
Meskipun masih dapat ditemui pengguna jalan yang menggunakan JPO untuk
menyeberang, namun sayang sekali hanya sedikit pengguna jalan yang berfikiran
seperti ini. Penyeberang jalan yang menggunakan JPO tersebut mengatakan bahwa
menyeberang tidak pada JPO memiliki risiko yang tinggi terhadap nyawa dan
menimbulkan ketidaknyamanan terhadap sesama pengguna jalan, sehingga sudah
seyogyanya kita mematuhi peraturan yang telah diberlakukan. Penyeberang jalan ini
juga menyadari bahwa dengan cara menyeberang di jalan raya dapat menimbulkan
kemacetan yang semakin parah. Sehingga, tidak ada alasan apapun yang dapat
membenarkan perilaku untuk menyeberang di bawah JPO yang telah disediakan.
Sebenarnya, baik Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Kota Depok telah
membuat ketentuan peraturan mengenai kewajiban pejalan kaki untuk menyeberang
pada tempat yang telah disediakan, yakni UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 16 Tahun 2012
Tentang Pembinaan dan Pengawasan Ketertiban Umum. Pemerintah Kota Depok telah
melaksanakan kewajibannya berdasarkan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 22
Tahun 2009 untuk menyediakan fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang mana salah satunya meliputi tempat penyeberangan Pejalan
Kaki3 yang dalam hal ini berupa Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Selanjutnya
diatur pula di Pasal 131 pada UU Nomor 22 Tahun 2009 yang mewajibkan pejalan
kaki untuk menyeberang pada tempat yang telah ditentukan4.
Jika melihat kepada Perda Kota Depok Nomor 16 Tahun 2012 khususnya pada
pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Setiap pejalan kaki harus menyeberang pada rambu
atau tempat penyeberangan yang disediakan” 5 maka sudah jelas bahwa perilaku
penyeberang jalan yang menyeberang di bawah tempat penyeberangan yang
disediakan dalam hal ini adalah JPO, merupakan suatu perbuatan yang bertentangan
dan melawan hukum. Oleh karenanya, berdasarkan pasal 29 ayat (1) pada perda yang
sama bahwa jika melanggar ketentuan pada pasal 2 maka diancam dengan pidana
kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya dua puluh lima juta
rupiah.6
Namun, kenyataan yang terjadi adalah ketika ada pejalan kaki yang
menyeberang di bawah JPO, meskipun sebenarnya ada seorang polisi yang berada di
tempat tersebut, tetapi polisi itu tidak menegur dan memberikan sanksi kepada pejalan
kaki yang bersangkutan. Hal ini menunjukan bahwa masih kurangnya penegakan
hukum oleh aparat yang bersangkutan sehingga pejalan kaki tidak takut untuk
melanggar ketentuan yang mengatur untuk menyeberang pada tempat yang disediakan.
Jika hal ini terjadi terus menerus, maka akibatnya adalah semakin banyaknya pejalan
kaki yang menyeberang tidak pada JPO walaupun JPO telah tersedia di dekatnya.
3 http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_22.pdf diakses pada Jumat, 13 Mei 2016
pukul 16.55
4 Ibid.
5http://www.depok.go.id/perda/2012/PERDA%20KOTA%20DEPOK%20THN%202012%20NO
%2016%20TTG%20PEMBINAAN%20DAN%20PENGAWASAN%20KETERTIBAN%20UMUM.pdf
diakses pada Jumat, 13 Mei 2016 pukul 17.13
6 Ibid.
Bab III
Pembahasan
9 Paul B. Horton dan Chester L. Hunt. 1999. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
10 Otje Salman dan Anthon Susanto. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. (Bandung: PT Alumni, 2004)
11 Soerjono Soekanto. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum suatu Percobaan Penerapan
Metode Yuridis-Empiris untuk Mengukur Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum Mahasiswa
Hukum terhadap Peraturan Lalu Lintas (UI-Disertasi FIB,1942)
12 Soerjono Soekanto. UI-Disertasi FIB. Op. Cit
15 https://www.academia.edu/8915240/Kesadaran_dan_Kepatuhan_Hukum_masyarakat diakses
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil observasi yang telah penulis lakukan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kesadaran dan kepatuhan hukum pengguna jalan yang tidak
menyeberang pada tempat yang telah disediakan terbilang cukup rendah. Penulis dapat
mengatakan seperti ini dikarenakan para pengguna jalan tersebut lebih memilih untuk
menyeberang langsung di jalan raya walaupun sudah tersedia Jembatan Penyeberangan
Orang disekitarnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, dimulai dari alasan pada
dalam diri pengguna jalan itu sendiri seperti sedang terburu-buru dan untuk
menghemat waktu hingga kurangnya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat
yang terkait.
4.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan antara lain:
1. Perlunya diadakan sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 serta Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 16 tahun 2012 agar
masyarakat dapat mengetahui dan mengamalkan isi dari peraturan tersebut.
2. Peningkatan penegakan hukum dari aparat yang terkait.