Anda di halaman 1dari 4

ASAS-ASAS HUKUM PERKAWINAN

1. Asas Kesukarelaan:
 Perkawinan didasari kesukarelaan baik oleh calon suami-isteri, maupun
oleh orang tua kedua pihak
 Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali wanita  sendi asasi
perkawinan islam

2. Asas Persetujuan
 Adanya persetujuan dari calon suami-isteri dalam melangsungkan
perkawinan  tidak ada paksaan
 Perkawinan yang tidak disetujui oleh para pihak dapat dibatalkan oleh
Pengadilan

3. Asas Kebebasan Memilih Pasangan


 Seseorang berhak untuk memilih atau menentukan pasangan hidupnya
 HR Ibnu Abbas tentang Jariyah yang dinikahi dengan laki-laki yang tidak
disenanginya, dan Rasulullah memberikan pilihan kepadanya untuk
melanjutkan perkawinannya atau membatalkannya lalu kawin dengan
orang lain yang disukainya

4. Asas Kemitraan Suami-Istri


 Suami dan isteri memiliki tugas dan fungsi yang berbeda untuk mencapai
tujuan perkawinan
 Suami berperan sebagai kepala keluarga
 Isteri berperan sebagai kepala rumah tangga

5. Asas Untuk Selama-lamanya


 Perkawinan dilangsungkan selama-lamanya untuk melangsungkan
keturunan dan membina cinta dan kasih sayang
 Perceraian merupakan perbuatan halal yang dibenci Allah
 Perkawinan mut’ah (perkawinan sementara hanya untuk bersenang-
senang)  dilarang

6. Asas Monogami Terbuka


 Surat Al-Nisa ayat 3: seorang pria muslim dibolehkan beristri lebih dari
seorang asal mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi
istrinya
 Surat Al-Nisa ayat 129: Allah menyatakan bahwa manusia tidak mungkin
berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian.
 Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik kawin dengan
seorang wanita saja
 Pembatasan poligami sebanyak-banyaknya adalah 4 isteri

Syarat Berpoligami di Indonesia


• PP No. 9 Tahun 1975
Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

• UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Harus ada izin dari Pengadilan
Dikehendaki oleh yang bersangkutan
Hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkannya
Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri terdahulu
Ada jaminan suami mampu memenuhi keperluan hidup isteri-isteri dan anak-
anak
Ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka

ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN

1. Asas Ijbari (Keharusan)


 Peralihan harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya
berlaku dengan sendirinya (OTOMATIS) menurut ketentuan Allah tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris ataupun ahli waris
 Sehingga calon pewaris tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya
ketika ia meninggal dunia kelak (tidak perlu membuat wasiat)
 Asas Ijbari dapat dilihat dari beberapa segi:
1. Segi cara peralihan harta: peralihan harta dari kepemilikan pewaris
kepada ahli waris merupakan ketentuan Allah swt
2. Segi jumlah: bagian dari masing-masing ahli waris telah ditentukan
Allah swt dalam QS An Nisa ayat 11, 12, 176
3. Segi penerima peralihan harta: Allah telah menentukan siapa saja
yang berhak menjadi ahli waris yaitu mereka yang mempunyai
hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris

2. Asas Bilateral
 Setiap orang yang menerima hak kewarisan adalah dari dua pihak, baik
pihak garis keturunan laki-laki maupun pihak garis keturunan
perempuan
 QS An Nisa ayat 7: “Seorang laki-laki dan perempuan berhak mendapat
warisan dari pihak ayahnya dan pihak ibunya”

3. Asas Individual
 Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah menjadi hak milik
perorangan, tanpa terikat dengan ahli waris lain
 Kewarisan kolektif  tidak sesuai dengan ajaran islam karena mungkin
terdapat harta anak yatim yang dikhawatirkan akan termakan

4. Asas Keadilan Berimbang


 Ketentuan dalam hukum kewarisan Islam mencerminkan keadilan, yaitu
keseimbangan antara hak yang diperolehnya dan kewajiban yang harus
ditunaikannya
 Hak dalam perolehan harta atau bagian harta warisan
 Kewajiban dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Misalnya:
a. Bagian antara laki-laki dan perempuan
b. Bagian antara orang tua dan anak
c. Bagian antara suami dan isteri
 Sesungguhnya apa yang diperoleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan dari harta peninggalan, manfaatnya akan sama mereka
rasakan

5. Asas Akibat Kematian


 Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama
kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia
 Pembagian kewarisan yang didasarkan pada wasiat (testament) tidak
diakui dalam Islam
 Wasiat mempunyai ketentuan tersendiri terpisah dari ketentuan hukum
kewarisan islam
 Wasiat dibatasi hanya 1/3 dari harta peninggalan

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

 Adalah garis-garis hukum yang dapat dipergunakan untuk memecahkan


berbagai persoalan dalam masyarakat
 Asjmuni A. Rahman menyebut 160 buah dalam bukunya qaidah-qaidah
fiqih, contohnya sebagai berikut:
1. Hukum berputar disekitar illat nya, ada illat ada hukum , tidak ada illat
maka tidak ada hukumnya
2. Hukum berubah karena perubahan waktu dan tempat
3. Adat yang baik dapat dijadikan hukum (Islam)
4. Orang yang menuntut sesuatu hak atau menuduh seseorang
melakukan sesuatu harus membuktikan hak atau tuduhannya itu
5. Tertuduh dapat nengingkari tuduhan yang ditujukan padanya dengan
sumpah

AL AHKAM AL-KHAMSAH
Ahkam: jamak dari kata hukm
Khamsah: lima
 Al Ahkam Al Khamsah / Hukum Taklifi: lima macam kaidah atau lima kategori
penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam Islam

1. Jaiz / Mubah / Boleh: ukuran penilaian bagi perbuatan dalam kehidupan


kesusilaan (akhlak atau moral) pribadi, ia bebas untuk menentukan
apakah mau melakukannya atau tidak. Sanksi berasal dari diri sendiri
berupa kepuasan dan kekecewaan.
2. Sunnat: ukuran penilaian kesusilaan umum yang dianjurkan dan
digemari oleh masyarakat karena baik tujuannya. Sanksinya berupa
pujian dari masyarakat
3. Makruh: ukuran penilaian kesusilaan umum yang tidak diingini dan
dibenci oleh masyarakat karena tujuannya buruk. Sanksinya berupa
celaan dari masyarakat
4. Wajib: berasal dari kaidah sunnat lalu ditingkatkan oleh masyarakat
menjadi perbuatan yang harus dilakukan. Siapa yang meninggalkan nya
akan mendapat hukuman
5. Haram: berasal dari kaidah makruh lalu ditingkatkan oleh masyakat
menjadi haram ketika dipandang sebagai perbuatan tercela tersebut
demikian kejinya sehingga lebih baik menjadi perbuatan yang terlarang.
Siapa yang melanggar larangan akan mendapat hukuman

Untuk wajib dan haram, dalam lingkungan hukum duniawi maka yang
memberi sanksi adalah penguasa berupa ganti kerugian, denda, atau
hukuman pidana.
Sedangkan dalam lingkup keagamaan yang memberi sanksi adalah Tuhan
berupa pahala dan dosa.

Sunnat Wajib
Jaiz
Makruh Haram

Anda mungkin juga menyukai