Anda di halaman 1dari 6

Nama : Renhard

NIM : 041126018

UPBJJ : Kota Bengkulu

Hukum dan Masyarakat

PENDAHULUAN

Socio-legal

Sosio-legal sebenarnya ‘konsep payung’. Ia memayungi segala pendekatan terhadap hukum,


proses hukum, maupun sistem hukum. Identifikasi yang dilakukan dalam kajian sosio-legal tidak
sebatas teks, melainkan pula pendalaman terhadap konteks, yang mencakup segala proses, misal
sedari ‘law making’ (pembentukan hukum) hingga ‘implementation of law’ (bekerjanya hukum).
Label kajiankajian sosio-legal telah secara gradual menjadi istilah umum yang meliputi suatu
kelompok disiplin-disiplin yang mengaplikasikan perspektif keilmuan sosial terhadap studi
hukum, termasuk diantaranya sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum, psikologi
dan hukum, studi ilmu politik peradilan, dan ilmu perbandingan . Terlepas dari perkembangan
kajian-kajian hukum yang demikian pesat di berbagai belahan dunia, perlu diakui, bahwa
penelitian maupun kajian-kajian sosio-legal (sociolegal research/studies) masih saja menjadi
kontroversi, terutama di dunia pendidikan tinggi hukum. Uniknya, perdebatan itu muncul dan
bertahan di lingkungan fakultas hukum berkaitan dengan situasi atau konteks dominan studi
doktrinal (dalam literatur lain kerap disebut pula: yuridis-normatif, atau metode penelitian
dogmatika hukum) dalam kajiankajiannya. Pendekatan ini sudah seringkali digunakan, baik
dalam penelitian hukum, kajian, atau bahkan dalam pembuatan pendapat hukum (legal opinion).
Sekalipun demikian, sosiolegal terasa belum banyak dikenal karena sebagai konsep dalam
pendidikan hukum tidaklah diajarkan atau diperkenalkan secara khusus. Pendekatan sosio-legal
merupakan kombinasi antara pendekatan yang berada dalam rumpun ilmu- ilmu sosial, termasuk
di dalamnya ilmu politik, ekonomi, budaya, sejarah, antropologi, komunikasi dan sejumlah ilmu
lainnya, yang dikombinasikan dengan pendekatan yang dikenal dalam ilmu hukum, seperti
pembelajaran mengenai asas-asas, doktrin dan hirarki perundang-undangan. Pendekatan sosio-
legal dengan demikian, menjadi konsep tunggal atas kombinasi tersebut. Dalam buku Banakar
dan Travers (2005: 5), disebutkan pendekatan sosio-legal merupakan pendekatan interdisipliner.
Tujuannya adalah menggabungkan segala aspek perspektif disiplin ilmu, ilmu sosial dan ilmu
hukum, menjadi sebuat pendekatan tunggal. Karena pendekatan yang demikian, tujuan sosio-
legal adalah secara lengkap mengombinasikan pengetahuan, keterampilan- keterampilan, dan
bentuk-bentuk pengalaman penelitian dari dua (atau beberapa) disiplin dalam suatu upaya upaya
untuk mengatasi beberapa keterbatasan teoritis dan metodologis dari disiplin ilmu yang
bersangkutan dan menciptakan landasan untuk mengembangkan suatu bentuk baru dari analisis.
Pendekatan sosio-legal ini merupakan upaya untuk lebih jauh menjajaki sekaligus mendalami
suatu masalah dengan tidak mencukupkan pada kajian norma-norma atau doktrin hukum terkait,
melainkan pula melihat secara lengkap konteks norma dan pemberlakuannya. Pendekatan yang
sifatnya kombinatif demikian, justru diharapkan dapat memperkuat upaya pencarian atas
kebenaran, penjelajahan atas masalah yang terjadi serta berupaya menemukannya untuk upaya
yang lebih kreatif dan membebaskan. Pendekatan sosio-legal, dari sudut konsep yang demikian,
pula merupakan pendekatan yang membebaskan.

KASUS

Dalam hal ini saya mengangkat kasus yang dialami oleh nenek Asiani. Nenek Asiani didakwa
oleh Jaksa mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani Situbondo. Nenek yang tinggal di
Desa Jatibedeng, Situbondo ini disebutkan melanggar Pasal 12d juncto Pasal 83 ayat 1d Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Jaksa
menyebut bukti yang mereka miliki yaitu 38 papan kayu jati identik dengan tonggakan kayu
milik Perhutani di petak 43F Desa/Kecamatan Jatibanteng. Sementara Nenek Asiani menyatakan
kayu itu diambil dari pohon jati di halaman rumahnya di Desa Jatibanteng.

Kasus Nenek Asiani ini menarik perhatian banyak pihak setelah cukup banyak media
mengangkatnya. Berkat itu, banyak pihak yang memberikan bantuan untuk meringankan
hukuman atau membebaskan perempuan berusia 70 tahun itu.
ANALISIS KASUS

Dalam sebuah masyarakat apapun dan di manapun, setiap kelompok masyarakat selalu memiliki
problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang actual atau factual, antara
yang standard dan yang praktis, antara yang seharusnya (das sollen) atau yang diharapkan untuk
dilakukan dan apa yang dalam kenyataan (das sein). Standar dan nilai-nilai kelompok dalam
masyarakat memiliki variasi sebagai faktor yang yang menentukan tingkah laku individu.
Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarkaat dapat disebut sebaai contoh pencurian,
perzinaan, ketidakmampuan membayar utang, melukai orang lain, dan sebagainya. Semua itu
bentuk tingkah laku yang dapat menimbulkan persoalan di dalam masyarakat . Kasus nenek
Asyani yang mencuri tujuh batang kayu jati semangka adalah salah satu problem sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Kasus pencurian semangka tersebut tentunya menimbulkan sengketa
dan bahkan konflik sosial antara pihak pelaku dan korban, yang dalam hal ini adalah nenek
Asyani dengan pihak Perhutani setempat. sengketa atau konflik sosial terjadi karena persediaan
sumberdaya yang semakin terbatas. Cara mendapatkan sumberdaya masih menampilkan
kepentingan perorangan atau kelompok tertentu, dalam berinteraksi salah satu pihak
memaksakan kehendak dengan menggunakan –salah satunya- identitasnya. Dalam pespektif teori
konflik, bahwa konflik adalah sebuah keniscayaan dalam masyarakat. Secara sosiologis, Setiap
masyarakat setiap saat dihadapkan pada perubahan-perubahan sosial, setiap masyarakat pasti
memperlihatkan adanya ketidakcocokan dan konflik-konflik sosial dan itu adalah hal yang
umum, dan dalam setiap masyarakat didasarkan pemaksaan oleh segolongan anggota masyarakat
terjadap anggota yang lain. Sebagai salah satu bentuk tinglah laku yang menyimpang dalam
masyarakat lokal, tentu saja akan mempengaruhi keserasian, tertib sosial, dan keharmonisan
dalam masyarakat. Karena itu, fungsi hukum sebagai instrument kontrol sosial dalam masyarakat
memiliki peran yang sangat penting. Hukum difungsikan untuk mengembalikan kondisi dan
tertib sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat hukum kebiasaan menjadi pegangan dan
patokan dalam bertingkah laku, termasuk dalam menyelesaikan probem sosial yang muncul.
Dalam hukum sosiologis, hukum bersifat“remedial”, artinya mengembalikan situasi (interaksi
sosial pada keadaan semula. Olah karena itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa
yang menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak
menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi atau “merukunkan”, standarnya
adalah normalitas, keserasian, dan kesepakatan yang biasa disebut keharmonisan .
Dalam kasus nenek Asyani, masyarakat lokal setempat secara relatif masih berpengang teguh
pada nilai, norma dan hukum kebiasaan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
keinginan keluarga Asyani yang disampaikan melalui penagcarnay, agar kasus pencurian tujuh
kayu jati diselesaikan secara kekeluargaa. Namun, penyelesaian damai dan kekeluargaan yang
sebelumnya terjadi, tidak terlihat pada terus berlanjutnya kasus nenek Asyani sampai kemudian
bermuara ke penagdilan. Dan bahkan nenek Asyani harus mendekam di penjara selama lebih dari
60 hari sejak ditahan di kepolisian sampai kasusnya masuk ke pengadilan. Dalam pernyataannya,
pihak perhutani mengatakan, proses hukum positif ini dilakukan untuk memberikan pelajaran
dan efek jera para pelaku. Sehingga kasus yang sama tidak terjadi kembali. Faktor pelapor yang
kebetulan adalah dari koorporasi juga ikut berperan dalam berlanjutnya kasus nenek Asyani ke
proses ranah hukum positif. Bahkan pihak polisi lebih aktif dalam memperkarakan nenek Asyani
ini sampai ke ranah hukum positif, dibanding warga masyarakat lokal sendiri yang
menginginkan diselesaikan secara kekeluargaan. Dalam pandangan masyarakat setempat, kasus
seperti itu sebaiknya diselesaikan di tingkat masyarakat lokal sendiri, apalagi menimpa orang
lanjut usia yang seeprti nenek Asyani yang juga buta hukum. Selain berfungsi sebagai penegak
hukum, pihak kepolisian sebenarnya juga memiliki fungsi menjaga ketertiban dan kedamaian
kehidupan masyarakat. Karena itu, pihak kepolisian dituntut tidak sekedar faham dan hafal pasal-
pasal dalam undang-undang, tapi juga harus memiliki kepekaan sosial atas kejadian yang ada
dalam masyarakat.

KESIMPULAN

Kasus hukum nenek Asyani dengan “pencurian tujuh kayu jati”, dalam pandangan hukum
normatif atau hukum negara yang berparadigma legalistik-positivistik, adalah tindakan
pelanggaran hukum sebagaimana yang diatur dalam No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perngrusakan Hutan (P3H), karena layak untuk diberi hukuman. Namun dalam
pandangan sosiologi hukum, kasus nenek Asyani adalah perkara kecil dengan nilai meterial yang
kecil, pun demikian dilakukan oleh kelompok sosial yang marginal, warga miskin yang buta
bukum, karena itu, hadirnya hukum negara bukannya melahirkan keadilan hukum, justru
sebaliknya menimbulkan ketidakadilan hukum. Karena itu, kasus hukum yang menimpa
masyarakat miskin sebaiknya lebih menggunakan pendekatan yang lebih sosiologis dan humanis.
Penyelesaian ini yang dikenal dalam dunia akademik-teoritik sebagai prinsip restorative justice,
yakni keadilan yang diperoleh di luar pengadilan hukum positif, melalui proses pemulihan
dengan semangat saling memaafkan antara pelaku dan korban. Restorative justice adalah solusi
yang paling baik dan tepat untuk menyelesaikan masalah hukum yang menimpa masyarakat
miskin. Kasus hukum yang menimpa masyarakat miskin –seperti nenek Asyani- ini sebenarnya
bisa dihentikan di tingkat pertama, yakni kepolisian. Aparat penegak hukum bisa menghentikan
suatu kasus jika merasa, ketika kasus dibawa ke tingkat lebih tinggi, justru akan melukai rasa
keadilan. Pihak kepolisian dengan kewenangan diskresionalnya seharusnya bisa menghentikan
kasus kecil yang menimpa masyarakat miskin seperti nenek Asyani dengan pertimbangan etik,
moral, sosial, kemanusiaan dan kemanfaatan sosial.

Dalam praktik penegakan hukum atas nenek Asyani, pendekatan yang digunakan para penegak
hukum hanya semata-mata berorientasi pada pendekatan legalistikpositivistik; dengan hanya
mengedepankan sisi penggunaan kekuasaan dan aturan normatif semata, tanpa
mempertimbangkan sama sekali pendekatan yuridissosiologis yang berdimensi keadilan bagi
masyarakat. Dalam hal ini, Nampak adanya pemahaman yang sempit dari para penegak hukum
dalam penerapan hukum formal atas kasus nenek Asyani ini. Penerapan hukum formal dipahami
terbatas hanya sebagai penerapan hukum yang bersifat prosedural semata, tanpa
mempertimbangkan sisi rasa keadilan masyarakat yang lebih bersifat substantif dan sosiologis.
Pendekatan dan penerapan hukum secara legalistik-positivistik, hanya menghadirkan keadilan
yang bersifat legal-formal dan prosedural yang kaku, jauh dari nilai-nilai moral dan
kemanusiaan. Sementara pendekatan yuridis-sosiologis atau sosiologi hukum akan lebih
menghadirkan keadilan yang lebih substantif yang berdasar pada basis etika, moral dan nilai
kemanusiaan masyarakat

Sumber :

Buku Materi Pokok Sosiologi Hukum

https://herlambangperdana.files.wordpress.com/2008/06/penelitian-sosio-legal-dalam-tun.pdf

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150423151941-12-48782/nenek-asiani-dinyatakan-
bersalah

Anda mungkin juga menyukai