Anda di halaman 1dari 112

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

IMPLEMENTASI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENYELESAIKAN


ISU RASISME DI PAPUA PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

MATA KULIAH HUKUM & HAK ASASI MANUSIA

Oleh:
Ahmad Nubli (20200220100024)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN – 3
A. Latar Belakanng – 3
B. Rumusan Masalah – 8

BAB II PRINSIP HAM ATAS ISU RASISME DAN MARAKNYA


DISKRIMINASI DI PAPUA – 29
A. Hak Asasi Manusia Sebagai Hak Dasar dan Hak Hukum – 29
B. Bentuk Pelanggaran HAM di Papua dan Penyelesaiannya – 48
C. Konsep dan Dinamika Kebebasan Perspektif Hak Asasi Manusia – 59
D. Kesetaraan dan Wujud Pengakuan Kedaulatan Rakyat Indonesia – 61
E. Diskriminasi Rasisme sebagai Persoalan Hukum dan HAM – 62
F. Praktik Diskriminasi Serta Permasalahan Isu Rasisme Terhadap Papua – 65

BAB III PERAN PEMERINTAH DALAM MENYELESAIKAN ISU


RASISME DI PAPUA – 84
A. Diskriminasi Ras dan Etnis menyerang Pluralisme dan Multikultur di
Indonesia – 84
B. Perlindungan Hukum terhadap diskriminasi Rasisme dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia – 86
C. Keistimewaan otonomi khusus Papua dalam menanggapi Diskriminasi
Rasisme – 88
D. Kelemahan dalam Penerapan Otonomi Khusus daerah Papua – 97
E. Peran Pemerintah Republik Indonesia dalam menanggapi Pelanggaran HAM
Rasisme terhadap Papua – 100

BAB IV KESIMPULAN – 112


DAFTAR PUSTAKA – 114

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak asasi manusia merupakan masalah lokal sekaligus masalah global,

yang tidak mungkin diabaikan dengan dalih apapun termasuk di Indonesia.

Implementasi hak asasi manusia di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun

demikian sesungguhnya sifat dan hakikat hak asasi manusia itu sama. Adanya

hak asasi manusia menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, 1 di mana

keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat

dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran hak asasi

manusia atas hak asasi manusia yang lain.

Implementasi hak asasi manusia di Indonesia,2 meskipun masih banyak

kasus pelanggaran hak asasi manusia dari yang ringan sampai yang berat dan

belum kondusifnya mekanisme penyelesaiannya, tetapi secara umum baik

menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan kemajuan

pada akhir-akhir ini. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum Hak Asasi

Manusia3 melalui peraturan perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan

Hak Asasi Manusia dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran Hak

Asasi Manusia yang terjadi.4

1
Artidjo Alkostar, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2007), h. 333
2
Artidjo Alkostar, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, h. 3
3
Harison Citrawan, Analisis Dampak Hak Asasi Manusia atas Regulasi: Sebuah
Tinjauan Metodologi (Human Rights Impact Assessment On Regulation: A Methodological
Review), Jurnal Ham, Volume 8, Nomor 1, Juli 2017, h. 5
4
Besar, Pelaksanaan Dan Penegakkan Hak Asasi Manusia Dan Demokrasi Di
Indonesia, Jurnal Humaniora, Vol.2, No.1, April 2011, h. 202

3
Banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang hak-hak yang menjadi

haknya termasuk tidak mengetahui kewajiban-kewajiban yang harus

dilaksanakannya, banyak masyarakat yang masih terabaikan hak-haknya sebagai

manusia. Sebagai bangsa yang berbudaya dan berdaulat kita harus mampu

menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta menegakkan Hak Asasi Manusia.

Dengan banyaknya permasalahan dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia

maka negara kita masih harus merevitalisasi paradigma tentang Hak Asasi

Manusia itu sendiri karena kebanyakan masyarakat indonesia pada umumnya

masih kurang sekali terhadap pemahaman tentang hak-hak mereka. Kurangnya

pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan Hak Asasi Manusia Itu yang

nantinya akan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.5

Sudah menjadi hal yang salah kaprah bahwa setiap hak yang ada pada diri

manusia dianggapnya sebagai hak asasi. Banyak sekali masyarakat kita yang tidak

bisa membedakan mana yang disebut sebagai hak asasi dan mana yang bukan hak

asasi. Dari banyaknya kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi

di Indonesia, seperti kasus Lapindo yang menganggap Pelaksanaan dan

Penegakkan telah terjadi pelanggaran setidaknya ada lima belas hak yang

terlanggar yaitu hak hidup, hak atas rasa aman, hak atas informasi, hak

pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak

atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak berkeluarga dan

5
Besar, Pelaksanaan Dan Penegakkan Hak Asasi Manusia Dan Demokrasi Di
Indonesia, h. 202

4
melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak-hak

pengungsi.6

Kasus Papua yang berkaitan dengan Gerakan Papua Merdeka,7

Penanganan terhadap orang-orang yang diduga teroris yang langsung ditembak

mati, ataupun penanganan terhadap orang-orang yang berkasus dari mulai

penyidikan sampai pelaksanaan hukuman yang sering melanggar hak-hak saksi

atau tersangka. Diskriminasi terhadap rakyat Papua yang disebabkan oleh

perbedaan ideologi sebagai runtuhnya kekhususan daerah.

Peristiwa di Surabaya, Malang, Semarang, Manokwari, dan Sorong

pada tanggal 15-19 Agustus 2019 Agustus menjadi penting bagi pemerintah

dan negara dalam merespon dan menangani persoalan Papua, Pelontaran kata-

kata bernada rasis termasuk dalam merespon aspirasi serta tuntutan

Mahasiswa Papua dimanapun. 8

Prasangka rasisme timbul dari gejala psikologis yang ditandai dengan

sikap penuh emosi yang tidak disertai dengan bukti-bukti terlebih dahulu

berdasarkan pengalaman. Pencetus mulanya prasangka dalam pergaulan ras

adalah sugesti, kepercayaan, keyakinan dan emulasi (persaingan, perlombaan). 9

Diskriminasi rasisme sering disamakan dengan rasis atau ketidakadilan, istilah


6
Komnas Ham Nasional, Komentar Umum Kovenan Internasional Hak Sipil Dan
Politik Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2009, Jakarta:
Komnas Ham, Isbn: 978-979-26-1437-4 h.97
7
Poltok Portogi Nainggolan, Aktivitas Internasional Gerakan Separatisme Papua
International Activities Of Papua Separatist Movement, Kojion Vol. 79 No. 3 September 2074
Hol. 187 – 199, h. 184
8
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Hentikan Rasisme, Diskriminasi Dan
Kekerasan Pada Rakyat Papua, Http://Walhi.Or.Id/Hentikan-Rasisme-Diskriminasi-Dan-
Kekerasan-Pada-Rakyat-Papua, Jakarta, diakses tanggal 20 Oktober 2021.
9
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Hentikan Rasisme, Diskriminasi Dan
Kekerasan Pada Rakyat Papua.

5
diskriminasi rasis bisa disetarakan dengan kekerasan rasis, xenophobia, dan

rasisme hal tersebut menjadi perhatian HAM terbesar didunia. Diskriminasi rasis

dalam bentuk pengabaian minoritas bangsa di Dunia beranggapan bahwa sebagai

“penjaga” atau “ras subyek”, yang tidak memiliki pembangunan politik untuk

menyebut mereka sebagai bangsa, tidak mampu memerintah sendiri, dan

memerlukan perlindungan paternalistik.10

Kekhususan daerah Papua diberikan secara langsung oleh undang-undang,

bahwasannya kekhususan dimiliki dalam hal memiliki ciri khas, ataupun budaya

yang berbeda. Pemerintah daerah b e r w e n a n g untuk m e g a t u r dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah yang diamanatkan

dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Hal tersebut

diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

daerah melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta

masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan

kekhususan suatu daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Negara Indonesia, dijelaskan dalam pasal 18B ayat 1 UUD 1945,11 mengakui dan

menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

bersifat istimewa.

Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan

adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam

10
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham”,
(Jakarta: Genta Publishing, 2013), H.73
11
Republik Indonesia, Undang‐undang Dasar 1945, Bab 1, Pasal 18 ayat 1

6
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu

diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang

menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu

berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan.

Lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 200112 tentang Otonomi

Khusus Papua sebagai upaya komitmen pemerintah dan seluruh rakyat

Indonesia untuk mengadopsi pandangan baru dalam menyelesaikan berbagai

permasalahan yang mewarnai kehidupan Provinsi Papua. Perspektif baru tersebut

adalah melakukan perubahan pendekatan penanganan masalah di Papua dari

pendekatan keamanan/stabilitas menjadi pendekatan sosial/kesejahteraan.

Permasalahan-permasalahan yang ada belum sepenuhnya dapat

tertangani hingga m a s a o t o n o m i khusus di wilayah papua. Permasalahan-

permasalahan yang menimbulkan konflik dan sengketa yang tentunya

menghambat upaya keberhasilan otonomi khusus di Papua. Oleh karenanya

diperlukan penelitian lebih lanjut yang berjudul: Implementasi dan Peran

Pemerintah Dalam Menyelesaikan Isu Rasisme di Papua Perspektif Hak Asasi

Manusia

B. Rumusan Masalah

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

12
Republik Indonesia, “Undang‐Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus Daerah Papua, Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran
Negara No. 4151, Pasal 1 ayat 1.

7
1. Bagaimana perspektif hak asasi manusia atas diskriminasi rasisme terhadap

papua?

2. Bagaimanakah peran pemerintah dalam menanggapi diskriminasi Rasisme

yang terjadi pada otonomi khusus daerah Papua?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian memerlukan tujuan penelitian yang dapat memberikan arah

pada penelitian yang dilkukan. Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan

diatas, maka disusun tujuan penelitian sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan hukum hak asasi manusia mengenai tindakan

diskriminasi rasisme terhadap papua

b. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam menanggapi diskriminasi

rasisme yang terjadi di Papua

c. Kerangka Teori

1. Pemerintah dalam Perspektif Histori Pendiri Negara

Suasana euforia yang ada pasca kemerdekaan cenderung

merefleksikan kekuatan nasionalisme dalam segala segmennya untuk

menghadapi kekuatan kolonialisme-imperialisme yang akan melanjutkan

kekuasaannya di tanah air dengan segala manifestasinya. Dengan kata lain,

implikasi tentang format dan proses kenegaraan kurang menjadi perhatian,

yang penting secara de facto, eksistensi Negara Indonesia sudah terbentuk.

Ekses yang muncul adalah timbulnya dua kecenderungan interpretasi dalam

pemberian bentuk terhadap keberadaan negara. Pertama, semangat

8
kerakyatan yang ditandai dengan penyerapan gagasan supraparlementer dan

negara kesejahteraan (welfare state)13; Kedua, semangat kebangsaan yang

termanifestasi dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan

kata lain, para pendiri negara cenderung menempatkan gagasan ke bentuk

negara moralis dan integralis, sebagai hasil evaluasi empiris-mondial dan

kecenderungan konteks historis sosial-budaya masyarakat Indonesia. Dalam

konteks negara moralis, negara berperan sebagai makrokosmos yang

menegakkan keadilan dan moralitas masyarakat. Dalam konteks integralis,

13
Ada Yang Berpendapat Bahwa Indonesia Menganut Paham Negara Kesejahteraan
(Welfare State), Seperti Azhary Dan Hamid S. Attamimi. Azhary Mengatakan Bahwa Negara
Yang Ingin Dibentuk (Pada Waktu Itu) Oleh Bangsa Indonesia Ialah “Negara Kesejahteraan”.
Pada Bagian Lain, Azhary Mengatakan, “Kalau Di Barat Negara Kesejahteraan Baru Dikenal
Sekitar Tahun 1960, Maka Bangsa Indonesia Sudah Merumuskannya Pada Tahun 1960,
Maka Bangsa Indonesia Sudah Merumuskannya Pada Tahun 1945 Oleh Soepomo Bapak
Konstitusi Indonesia”. Pada Saat Perumusan Uud Nri 1945, Yamin Mengatakan; “...Bahwa
Negara Yang Akan Dibentuk Itu Hanya Semata-Mata Untuk Seluruh Rakyat, Untuk
Kepentingan Seluruh Bangsa Yang Akan Berdiri Kuat Di Dalam Negara Yangmenjadi
Kepunyaannya”. Lebih Lanjut Disebutkan; “Kesejahteraan Rakyat Yang Menjadi Dasar Dan
Tujuan Negara Indonesia Merdeka Ialah Pada Ringkasnya Keadilan Masyarakat Atau
Keadilan Sosial”. Menurut Hamid S. Attamimi, Bahwa Negara Indonesia Memang Sejak
Didirikan Bertekad Menetapkan Dirinya Sebagai Negara Yang Berdasar Atas Hukum.
Bahkan Indonesia Ialah Negara Hukumyang “Memajukan Kesejahteraan Umum”,
“Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, Dan “Mewujudkan Suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”. Salah Satu Karakteristik Konsep Negara Kesejahteraan Adalah
Kewajiban Pemerintah Untuk Mengupayakan Kesejahteraan Umum Atau Bestuurszorg.
Menurut E. Utrecht, Adanya Bestuurszorg Ini Menjadi Suatu Tanda Yang Menyatakan
Adanya Suatu ‘Welfare State’. Bagir Mananmenyebutkan Bahwa Dimensi Sosial Ekonomi
Dari Negara Berdasar Atas Hukum Adalah Berupa Kewajiban Negara Atau Pemerintah
Untuk Mewujudkan Dan Menjamin Kesejahteraan Sosial (Kesejahteraan Umum) Dalam
Suasana Sebesar-Besarnya Kemakmuran Menurut Asas Keadilansosial Bagi Seluruh
Rakyat.(Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Ui-Press, 1995), Hal. 116.; A. Hamid S.
Attamimi, Der Rechtsstaat Republik Indonesia Dan Perspektifnya Menurut Pancasila Dan
Uud 1945, Makalah Pada Seminar Sehari Dalam Rangka Dies Natalis Universitas 17
Agustus Jakarta Ke-42, Diselenggarakan Oleh FH Universitas 17 Agustus Jakarta, 9 Juli
1994, Hal. 17.; E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Tinta Mas, 1988), Hal. 30.; Bagir Manan, Pemikiran Negara Berkonstitusi Di
Indonesia, Makalah Pada Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran,
Bandung, 6 April 1999), Hal. 2.

9
kepentingan individu harus disingkirkan, karena partikularistik, bertentangan

dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.14

Negara menjadi organ superior, tidak pernah salah, tidak terbantahkan,

dan sebagai manifestasi jagat raya (makrokosmos). Dengan kata lain, ide

negara (dan rakyat) sebagai suatu kesatuan yang utuh (integral) merupakan

refleksi dari bentuk Negara Persatuan organic state. Inilah yang menandai

karakter hubungan Pusat-Daerah, sehingga daerah adalah subordinatif dari

pusat. Pola pikir sedemikian ini dapat diterima mengingat wilayah Indonesia

yang sangat luas, terdiri dari ribuan pulau, didiami oleh penduduk yang

multietnis, ras, dan agama, sehingga mempunyai beragam budaya; apalagi

tingkat hubungan masyarakat yang sangat heterogen sehingga sulit untuk

menyerahkan sepenuhnya kepada daerah dengan otonomi luas, karena seluas-

luasnya otonomi daerah tetap tidak tanpa terbatas. Terjadinya banyak

pergantian undang-undang dalam pengaturan Pemerintahan Daerah

sesungguhnya harus dipahami sebagai sebuah bentuk proses berdemokrasi.

Hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya inkonsistensi terhadap beberapa

aturan yang saling bertentangan dengan yang lain, ternyata dengan penuh

bijak kita harus punya daya toleransi terhadap yang disebut dengan proses,

bahwa kita sedang belajar berdemokrasi, sehingga kita perlu waktu untuk

mendapatkan model yang sesuai.15

2. Pemerintah dalam perspektif Otonomi Khusus daerah Papua.


14
Dr. J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, (Jakarta: Rineke Cipta, 2007), Hal. 13-14
15
Dr. J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, H. 13-14

10
Maraknya kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer di

Papua sejak jaman Orde Lama, Orde Baru hingga era reformasi. 16 Pemerintah

Indonesia melakukan gaya militer yang menjadi kekerasan di Papua.

Pandangan mengenai hal ini yang menyebabkan masyarakat Papua terhadap

Pemerintah Indonesia mencitrakan indonesia sebagai negara kolonial.

Kekerasan dan pelanggaran HAM oleh militer di masa reformasi terjadi pada

masa sebelum maupun sesudah diberikan otonomi khusus di Papua.17

3. Teori kebebasan dan kemerdekaan

Penggunaan kata “kebebasan” dan “kemerdekaan” dapat memaknai hal

yang sama. Dalam kamus besar bahasa indonesia menyebutkan kata “kebebasan”

sinonim dengan kemerdekaan , yaitu keadaan bebas. Secara harfian istilah

kemerdekan tidak bermakna tunggal yaitu hanya digunakan untuk menjelaskan

kehendak sekelompok masyarakat yag ingin melepaskan diri dari kelompok

asalnya. Istilah kemerdekaan juga bisa berarti kebebasan, yaitu hak untuk

bertindak tanpa ada yang menghalangi. Dalam bahasa inggris dikenal juga dua

kata yang berbeda, yaitu “liberty” dan “freedom”. Dalam bahasa Indoesia

diterjemahkan kebebasan “Freedom”. Dalam hal ini, menunjukkan bahwa disatu

sisi kata bebas dan merdeka dapat digunakan secara bergantian, namun di sisi

yang lain ternyata mempunyai perbedaan. 18

16
Martin Sitompul, Papua ditangan Soeharto, Jakarta: Historia Masa Lampau, 2019
https://historia.id/politik/articles/papua-di-tangan-soeharto-DpwQV, diakses pada tanggal 10
Oktober 2021, Jam 22.00
17
Al Araf Et.Al, Sekuritisasi Papua, Imparsial The Indonesian Humanity Rights
Monitor, Jakarta:2011, H.153
18
Hesti Armiwulan Sochmarwadiah, Diskriminasi Rasial, Kebebasan Dan Kesetaraan
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta: 2013, H. 23-26

11
Menurut Joseph R. Stromberg bahwa bebas adalah konsep sosiologis

dengan arti bahwa ada hubungan keberadaan antara individu dalam kehidupan

bermasyarakat. Begitu juga dengan Marlene Mc. Millan yang menegaskan bahwa

kebebasan berarti dua hal yaitu:

Pertama; terbaik, yaitu pelembagaan jaminan untuk dapat melakukan hal-

hal yang diinginkan sebagaimana yang dikehendaki selama tidak mengganggu

hak orang lain, atau kedua: terburuk dimungkinkan digunakan untuk memaknai

adanya izin untuk melakukan apa yang diinginkan tanpa mempertimbangkan hak

orang lain.19

Kebebasan dan kepentingan umum memiliki tolak ukur atau patokan

diantaranya: pertama; semakin bebas suatu hak digunakan seseorang/sekelompok

maka semakin besar kewajiban dan tanggungjawab orang/kelompok untuk tidak

melakukan diskriminasi. Kedua; dalam suatu kepentingan umum maka semakin

besar kewajiban yang dipikulnya untuk memberikan perlakuan yang sama dalam

mengurus kepentingan itu berarti untuk setiap urusan yang bersifat umum aka

semua orang sama hak melakukannya.20

4. Teori kesetaraan dalam Demokrasi dan Hukum

Equality atau Kesetaraan merupakan salah satu prinsip yang sangat

penting dalam pelanggaran HAM. Ketentuan yang menegaskan tentang

Kesetaraan adalah Pasal 3 Internasional Convenant on civil and Political

Rights (ICCPR). Dalam hal ini kesetaraan merupakan jiwa dari HAM karena
19
Hesti Armiwulan Sochmarwadiah, Diskriminasi Rasial, Kebebasan Dan Kesetaraan
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, h.28
20
Nikolas Simanjutak, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Sosiloqui Pertarungan
Peradaban, (Jakarta: Penerbit Erlangga, Pt: Gelora Aksara Pratama, 2017), h. 111

12
hal yang fundamental dari lahirnya ide HAM adalah meletakkan setiap

individu manusia dimuka bumi ini dalam posisi yang sama dan sejajar dalam

hubungannya antara satu degan yang lainnya. Ide kesetaraan didefinisikan

sebagai “bahwa setiap orang pada satu situasi yag sama harus diperlakukan

sama”. Istilah demokrasi seringkali diartikan sebagai pemerintahan rakyat

atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat untuk

rakyat. Dalam perkembangan dikemukakan bahwa pemerintah berkuasa

karena rakyat.21

Kesetaraan dan kebebasan salah satu kontradiksi karena salah satunya

akan menciptakan ketidaksetaraan total artinya kesetaraan dan kebebasan

pada waktu yang sama akan meniadakan salah satunya. Kebebasan tidak akan

mungkin sekaligus menciptakan kesamaan. Dalam hal ini, keduanya tentu

menimbulkan kontradiksi dan tidak mungkin menciptakan demokrasi. 22

5. Teori Kedaulatan Rakyat

J.J Rousseau mengemukakan tentang ide Kedaulatan rakyat secara garis

besar menyatakan bahwa Pemerintah berkuasa karena rakyat yang memberi

kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan negara.

Kekuasaan yang diberikan pemerintah untuk menyelenggarakan

pemerintahan negara agar negara dapat memberi perlindungan atas HAM, oleh

karena itu negara harus dibangun diatas prinsip negara hukum agar ada instrumen

yang mengawasi dan mengadili jika terjadi pelanggaran HAM. Maka oleh karena
21
Hesti Armiwulan Sochmarwadiah, Diskriminasi Rasial, Kebebasan Dan Kesetaraan
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta: 2013, H. 88-90
22
Nikolas Simanjutak, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Sosiloqui Pertarungan
Peradaban, Penerbit Erlangga, Pt: Gelora Aksara Pratama, Jakarta:2017, H. 110

13
itu, untuk meletakkan rakyat sebagai penentu dalam kehidupan bernegara, sistem

politik yang dibangun adalah sistem demokrasi23

Dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat

yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan

kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan

ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.24

6. Teori Keadilan sebagai citra demokrasi

Dalam perumusan sebuah kebijakan yang didasari dari aspirasi rakyat,

Negara harus bersifat netral, artinya tanpa dimuati kepentingan-kepentingan

tertentu kecuali hanyalah kepentingan rakyat. Kemudian agar tercapai sebuah

keseimbangan, rakyat juga harus berpartisipasi dalam mengawal dan

mengkontrol kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Selain itu bentuk

trasparansi dalam hal apapun juga harus dilakukan oleh pemerintah, karena ini

juga akan mendukung terciptanya sebuah tatanan yang seimbang antara rakyat

dan Negara. Keseimbangan tersebut akan bermuara pada sebuah tatanan

keadilan yang menjadi modal dari terciptanya kesejahteraan bagi rakyat.

Demokrasi tidak berarti kebebasan. Demokrasi juga merupakan sebuah jenis

kediktatoran - kediktatoran kaum mayoritas dan Negara. Demokrasi juga tidak

sama artinya dengan keadilan, kesetaraan, solidaritas, atau perdamaian.25

23
Hesti Armiwulan Sochmarwadiah, Diskriminasi Rasial, Kebebasan Dan Kesetaraan
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta: 2013, H. 91
24
Fauzan Khairazi, Implementasi Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,
Jurnal Inovatif, Volume Viii Nomor I Januari 2015, H. 79
25
Fauzan Khairazi, Implementasi Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,
Jurnal Inovatif, Vol.3, Nomor. 14, h. 92

14
John Rawls dalam bukunya a theory of justice (1971) menjelaskan

teori keadilan sosial sebagai the different principle dan the principle of fair

equality of opportunity. Inti the difference principleadalah bahwa perbedaan

sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar

bagi mereka yang paling kurang beruntung.26

Rawls mengemukakan teori bagaimana mencapai konsep keadilan

masyarakat, yaitu harus ada well ordered society roles by public conception

of justice dan person moralyang keduanya dijembatani oleh original position

atau posisi asal.27 Dalam posisi asali, Rawls percaya bahwa semua pihak

akanbersikap rasional, dan sebagai orang yang rasional semua pihak akan

lebih memilih prinsip keadilan yang ditawarkannya daripada prinsip manfaat

(utilitarianisme) atau prinsip keadilan distributif. Prinsip-prinsip tersebut

adalah:

1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling

luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang (prinsip keadilan

asali).

2. Ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga:

a. Dapat diharapkan memberikan keuntungan semua orang

26
Martha Eri Safira, Analisis Pendekatan Teori Keadilan John Rawls Dan Teori
Moralitas Immanuel Khan, Legalstanding, Jurnal Ilmu Hukum, ISSN (P):(2580-8656), Vol. 3
No.1, h.192
27
Brian Duignan, “John Rawls Filsuf Amerika,” Dalam
Https://Www.Britannica.Com/Biography/John-Rawls, diakses Pada Tanggal 11 Oktober
2021, Jam 12.40 WIB.

15
b. Semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang (prinsip

keadilan distributive).28

d. Kerangka Konsep

Definisi operasional merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti. Oleh karena

itu, definisi operasional menjadi pedoman operasional dalam penelitian ini.

Bagian ini merupakan inti dari karya tulis ilmiah karena didalamnya terdapat

konsep-konsep dasar, yaitu:

1. Pemerintah

Pemerintah dan Penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara

tegas, tidak diskriminatif dan konsisten. 29


Adapun Upaya Pemerintah untuk

penegakan hukum dan HAM di Indonesia antara lain meliputi hal-hal

berikut:30

a. Membentuk Peraturan Perundang-undangan tentang HAM. Hal ini dapat

dibuktikan dengan telah dirumuskannya ketentuan tentang penghormatan

HAM Asasi Manusia dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945

dalam alinea I sampai alinea IV. Selanjutnya dalam pasal-pasal UUD 1945

sebelum amandemen juga sudah dimuat tentang jaminan terhadap Hak-

hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal

34 UUD 1945.
28
John Rawls, Teori Keadilan, Terj. Uzair Fauzan Dan Heru Prasetyo (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), H. 12.
29
Deny Bakarbessy, Problematika Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia, Jurnal
Hukum Pattimura, https://fhukum.unpatti.ac.id/htn-han/306-problematika-penegakan-hukum-
dan-ham-di-indonesia, diakses pada tanggal 20 Oktober 2021.
30
Deny Bakarbessy, Problematika Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia.

16
b. Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)

sebagai gerakan nasional. Salah satu komitmen penting yang dimiliki

Indonesia dalam kerangka kebijakan HAM adalah Rencana Aksi Nasional

HAM Indonesia/Natioal Action Plan on Human Rights (RANHAM).

RANHAM Indonesia adalah jejaring HAM yang sangat potensial dan

signifikan dalam upaya menumbukembangkan budaya penghormatan dan

perlindungan terhadap HAM Indonesia. Sampai saat ini, RANHAM

Indonesia telah memasuki gelombang ketiga yang sudah dimulai sejak

gelombang pertama 1998-2003,23 gelombang kedua 2004-200924 dan

gelombang ketiga 2011-2014.

c. Peningkatan efektifitas dan penguatan lembaga atau institusi hukum

ataupun lembaga yang fungsi dan tugasnya menegakkan Hak Asasi

Manusia.

d. Peningkatan koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektifitas

penegakan hukum dan HAM.31

2. Pelanggaran HAM

Pengertian tentang HAM menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia diartikan sebagai

seperangkat Hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

31
Alfiadi, Permasalahan dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Http://M.Kompasiana.Com/Amp/Alfiady/Permasalahan-Dan-Penegakan-Hak-Asasi-
Manusiadi-Indonesia Diakses Pada Tanggal 11 Oktober 2021 Pukul 14.00

17
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah,

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia.32

Konsepsi pelanggaran HAM dimaknai sebagai “pelanggaran terhadap

kewajiban negara yang lahir dari instrumen-instrumen internasional HAM”.

Yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap kewajiban negara dapat

dilakukan dengan perbuatannya sendiri maupun karena kelalaiannya sendiri.

Dengan kata lain, pelanggaran HAM adalah tindakan atau kelalaian oleh

negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana nasional

tetapi merupakan norma HAM yang diaku secara internasional.33

Bahwasannya dalam hal ini pihak yang menjadi tanggungjawab adalah

negara dalam hal Pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM disini diartikan

sebagai akibat yang timbul terhadap kewajiban untuk melindungi dan

menghormati HAM oleh negara. Pasal 1 butir 6 Undang-undang No.39 Tahun

1999 tentang HAM mengatur:34 Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap

perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik

disengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hak

hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi

manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang

ini, dan tidak mendapat, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh


32
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia, LN Nomor 165
Tahun 1999, TLN Nomor 3886, Pasal 1 Butir 1.
33
Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan (Politik Hukum Ham Era Reformasi),
(Yogyakarta: Pusham UII, 2011), h.43
34
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang
No. 39 tahun 1999, LN Nomor 165 Tahun 1999, TLN Nomor 3886, Pasal 1 butir 6.

18
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum

yang berlaku.35

3. Konsep Penghapusan Diskriminasi

Penghapusan diskriminasi di Indonesia telah meratifikasi Konvensi

Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap rasisme. Diskriminasi

terhadap warganegara adalah warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda,

yang memposisikan pribumi berbeda dengan penduduk yang tunduk pada

hukum Eropa. Diskriminasi yang secara faktual, terjadi dalam kehidupan

sosial tampak diberbagai bidang kehidupan antara lain: dalam bidang

ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya. Secara Yuridis di Indonesia

masih banyak ketentuan hukum yang masih mengandung diskriminasi. Hal ini

yang menjadi perhatian pemerintah dalam melaksanakan perjanjian atau

instrumen internasional.36

4. Diskriminasi Rasisme

Menurut Alo Liliweri, Ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia

“razza” yang berarti; pertama, perbedaan variasi penduduk, atau pembedaan

keberadaan manusia atas dasar:

a. Tampilan fisik, seperti rambut, mata, warna kulit, bentuk tubuh, yang

secara tradisional.

b. Tipe atau golongan keturunan


35
Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan (Politik Hukum Ham Era Reformasi),
(Yogyakarta: Pusham UII, 2011), h.45
36
N.H.T.Siahaan Subiharta, Hukum Kewarganegaraan Ham, (Jakarta: Pusat Kajian
Kebijakan Hukum Dan Ekonomi, 2007), h. 62

19
c. Pola-pola keturunan;

d. Semua perilaku bawaan yang tergolong unik sehingga mereka dibedakan

dengan penduduk asli.

Kedua, menyatakan tentang idetitas berdasarkan:

a. Pemilikan perangai;

b. Kualitas perangai tertentu dari suatu kelompok penduduk;

c. Menyatakan kehadiran setiap kelompok penduduk berdasarkan

geografi tertentu

d. Menyatakan tanda-tanda aktivitas atau kelompok penduduk

berdasarkan kebiasaan, gagasan, dan cara berfikir

e. Sekelompok orang yang memiliki kesamaan keturunan, keluarga, klan

atau hubungan kekeluargaan;dan

f. Arti biologis yang menunjukkan adanya subspesie atau varietas,

kelahiran, atau kejadian dari suatu spesies tertentu.37

Dalam hal ini definisi mengenai ras semakin banyak dipermasalahkan

karena beberapa perkembangan didunia.

5. Daerah Otonomi Khusus Papua

Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah sesuai dengan Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Pasal 18B ayat 1 UUD 1945, 38Untuk
37
Hesti Armiwulan Sochmarwadiah, Diskriminasi Rasial, Kebebasan Dan Kesetaraan
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), h. 61
38
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 18 ayat 1

20
mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat daerah melalui peningatan, pelayanan,

pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah

dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan

dan kekhususan suatu daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang merupakan bagian dari wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki keragaman suku dan lebih

dari 250 bahasa serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia. Namun, dalam

hal penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan belum sepenuhnya tercapai

keadilan dan kesejahteraan rakyat, dan belum sepenuhnya penegakan hukum

mewujudkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua dalam

berbagai sektor kehidupan terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan,

ekonomi, kebudayaan, dan sosial politik, hal ini menimbulkan pelanggaran HAM

dalam hal perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua kedalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada akhirnya lahirnya Undang-undang

No.21 Tahun 2003 tentang otonomi Khusus bagi Papua sebagai upaya perubahan

pendekatan penanganan masalah di Papua.39

e. Metode Penelitian

Ditinjau dari sudut penelitian hukum terdapat dua jenis metode penelitian

yaitu penelitian hukum normatif dan kepustakaan dan penelitian hukum

sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif yang dteliti hanya bahan

pustaka atau data sekunder. Sedangkan pada penelitian hukum sosiologis atau

39
Nur Rohim, Optimalisasi Otonomi Khusus Papua Dalam Peningkatan Kesadaran
Hukum Masyarakat Guna Meredam Konflik Dan Kekerasan, Jurnal Flat Justitia Jurnal Ilmu
Hukum Volume 8 No.1, 2014, Issn 1978-5186, H. 82-83

21
empiris yang diteliti adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan

dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat.


40
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum

normatif yaitu suatu penelitian yang ditinjau melalui aspek hukum, peraturan-

peraturan yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau praktek yang

terjadi di lapangan. Penulis juga mencari fakta-fakta yang akurat tentang

peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini dilakukan dan

ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta

menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan

ini.

Sedangkan, bila dilihat darisifatnya adalah penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara

tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk

menentukan frekuensi suatu gejala, yang dalam hal ini yaitu memberikan
41

data mengenai peran pemerintah dalam menghadapi diskriminasi rasis.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data

melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu dengan

melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku

yang berkaitan dengan penelitian ini, pendapat para ahli, surat kabar, artikel,

kamus, dan juga berita dari internet.

40
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Cet Ke-3, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1942), Hal. 51
41
Sri Mamuji, Et.Al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), Hal. 4

22
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari beberapa aspek

mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-

pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan

perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif

(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual

approach).33Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan komparatif

(comparative approach)

Data sekunder adalah data-data yang diperoleh peneliti dari penelitian

kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil penelitian dan

pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau

dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi

peneliti. Ciri-ciri umum dari data sekunder adalah:

a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat

dipergunakan dengan segera.

b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh

peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidak mempunyai

pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa, maupun

konstruksi data.

c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.

23
Data sekunder antara lain mencakup dokumen resmi, buku-buku, hasil-

hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya. 42Sedangkan

data tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

atas data primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia, kamus, website, atau

sumber yang lain yang mencakup pada pokok permasalahan materi.

Teknik pengolahan data dilakukan secara komprehensif tentang

kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan kebijakan perumahan

dan kawasan permukimanyang selanjutnya diteliti dengan pendekatan yang

digunakan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah

teknik analisis data sinkronisasi hukum dan kualitatif. Teknik sinkronisasi hukum

adalah dengan menghubungan secara horisontal antara undang-undang dengan

undang-undang dan secara vertikal antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan

undang-undang. Teknik analisis kualitatif adalah bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensintetiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting

dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada

orang lain. Sehingga dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan

yang ada.

f. Sistematika penulisan

Penulisan ini disusun menjadi 5 (lima) bab, dmana masing-masing bab

terdiri dari beberapa sub bab. Diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan

42
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Cet Ke-3, Hal. 12

24
penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang diperlukan. Adapun rincian

susunan tesis ini adalah sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan:

Bab ini berisi mengenai latar belakang masalah yang akan menjelaskan alasan

pemilihan judul penulisan, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kerangka

teori, kerangka konsep, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II. Prinsip HAM atas Isu Rasisme Dan Maraknya Diskriminasi di

Papua

Bab ini berisi mengenai penjelasan tentang Pelanggaran HAM akibat

Diskriminasi Rasisme khususnya terhadap Otonomi Khusus daerah Papua dan

akan menjelaskan mengenai Pengertian Hak Asasi Manusia, Konsep dan

Dinamika Kebebasan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Kesetaraan

sebagai wujud Pengakuan Kedaulatan Rakyat Indonesia, Diskriminasi Rasis

sebagai Persoalan hukum dan Hak Asasi Manusia dan Praktik Diskriminasi

serta problematika hukum Rasis terhadap Papua.

BAB III. Peran Pemerintah Dalam Menyelesaikan Isu Rasisme di Papua

Bab ini berisi mengenai Eksistensi terhadap konflik rasisme terhadap

Papua, Perlindungan Hukum terhadap diskriminasi Rasis dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia, Keistimewaan otonomi Pelanggaran HAM Rasisme

terhadap Papua serta Upaya Pemerintah Dalam penghapusan Diskriminasi

Rasisme di Indonesia .

BAB IV. PENUTUP:

25
Bab ini berisi mengenai kesimpulan sebagai hasil penelitian sesuai

dengan pokok permasalahan yang telah ditetapkan dan saran-saran yang

diperlukan dalam menyelesaikan permasalahan yang telat diteliti.

BAB II

Pengaturan HAM terhadap Diskriminasi Rasisme terhadap Papua

A. Hak Asasi Manusia sebagai Hak Dasar dan Hak Hukum

Pemahaman tentang kuasa asasi negara sangat berbeda dan mempunyai

keunikan sendiri kepada negara itu, menurut Nikolas Simanjutak definisi Hak

Asasi Manusia itu sebagai hak dasar manusia yang bersifat kodrati yakni: 1.

“tidak diberikan oleh negara” 2. Melekat tak terpisahkan dari dan di dalam harkat

keberadaaan dan esensi manusia itu sendiri.

Bentuk HAM kodrati inilah yang menjadi identitas pembeda dan penanda

manusia dengan makhluk alami lainnya. Maka dari itu, tidak pernah dikurangi

26
atau ditiadakan. Hak-hak dasar kodrati itu telah ada secara alami dan harus tetap

ada kendatipun atau sebelum negara itu ada.43

Hak asasi manusia dapat diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri

manusia. Hak asasi manusia sebagai hak mendasar atau basic right dan

fundamental rights dalam bahasa Inggris.44 Hak asasi merupakan suatu

perangkat asas-asas yang timbul dari nilai-nilai yang kemudian menjadi kaidah-

kaidah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungan dengan sesama

manusia.

Hak asasi fundamental right) artinya hak yang bersifat mendasar hak

asasi manusia merupakan hak-hak yang bersifat mendasar dan inheren dengan

jati diri manusa secara universal. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang

dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.45

Deklarasi universal dirumuskan 1947, deklarasi itu menjelaskan

mengenai suatu pernyataan tentang hak-hak yang hanya dipahami dari sudut-

sudut nilai-nilai yang berlaku di Eropa Barat dan Amerika sebagai enosentrisme

pengakuan atau perbedaan budaya ke dalam perintah-perintah aksi. Dalam hal

ini, berpendapat bahwa “kebebasan dipahami dan dicari oleh orang-orang yang

memiliki kultur yang paling beragam dan menyarankan agar dalam upaya untuk

memengaruhi rezim-rezim yang represif.46

43
Nikolas Simanjutak, “Hak Asasi Manusia Dalam Soliloqui Pertarungan Peradaban”,
(Jakarta: Penerbit : Pt: Gelora Aksara Pratama:2018), h. 40
44
Subhi Mahmamassani, Konsep Hak-Hak Asasi Manusia”, (Jakarta: Penerbit: PT.
Pustaka Literasi Antarnusa), Jakarta, h.7
45
Osgar S. Matompo, “Hukum Dan Hak Asasi Manusia”, (Jakarta: Intrans Publishing
2018), h.4
46
James W. Nickel, “Hak Asasi Manusia Refleksi Filosofia Atas Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia, (Jakarta: PT: Gramedia Pustaka Umum,1996), h. 98

27
Menurut osgar dalam bukunya James, hak asasi manusia merupakan hak-

hak yang bersifat universal yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena

posisinya sebagai manusia. Bahwasannya karakteristik seperti ras, jenis kelamin,

agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan.47

Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 menugaskan kepada lembaga-

lembaga Tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati,

menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh

masyarakat. Dan ketetapan MPR ini juga menegaskan kepada Presiden dan DPR

untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak

bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan penyuluhan,

pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang HAM, dilakukan oleh

suatu komisi nasional HAM yang ditetapkan dengan Undang-undang. Ketetapan

ini dilampiri oleh naskah HAM yang mencakup: 1. Pandangan sikap bangsa

terhadap Hak Asasi Manusia dan 2. Piagam HAM. 48

Berlandaskan pada ketetapan MPR tersebut, pada tanggal 23 September

1999 diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, selain diatur mengenai Hak Asasi Manusia dan kebebasan Dasar

Manusia ditegaskan beberapa hal yang berkaitan dengan kewajiban dasar

manusia yang ditetapkan dalam Undang-Undang HAM antara lain:49

1. Hak untuk hidup

47
Muliadi, Andi Nurul, ”Hukum Dan Asasi Manusia”, (Malang: Penerbit: Malang,
Instrans Pblishing 2018), h. 4
48
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, (Depok:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), h. 14
49
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, h. 16

28
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan

3. Hak mengembangkan diri

4. Hak memperoleh keadilan

5. Hak atas kebebasan pribadi

6. Hak atas rasa aman

7. Hak atas kesejahteraan

8. Hak turut serta dalam pemerintahan

9. Hak wanita

10. Hak anak

Sedangkan kewajiban dasar manusia yang diatur didalam UU HAM meliputi:

1. Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh

pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum

internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara

Republik Indonesia

2. Setiap warga negara wajb ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika,

dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

4. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan

tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik

serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi,

menegakkan, dan memajukannya.

29
5. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud

untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan

orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

masyarakat demokratis.50

Masa Reformasi ditetapkannya Perubahan Kedua UUD 1945 merupakan

wujud penting ditetapkannya Bab Khusus yang mengatr mengenai Hak Asasi

Manusia dalam Bab XA. Memperluas Pasal 28 UUD 1945 menjadi Pasal 28 A-

28 J.51

Tabel 1.1

Muatan Hak Asasi Manusia dalam UUD NRI Tahun 1945

Pasal substansi Istilah yang Kategori Hak

dipakai

Pasal 27 Segala warga negara Segala warga HAK SIPIL

ayat 1 bersamaan negara

kedudukannya

didalam hukum dan

pemerintahan dan

wajib menjunjung

hukum dan

50
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, (Depok:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), h. 18
51
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, h. 20

30
pemerintahan itu

dengan tidak ada

kecualinya.

Pasal 27 Segala warga negara Tiap-tiap warga HAK EKONOMI

ayat (2) bersamaan negara

kedudukannya

didalam hukum dan

pemerintahan dan

wadjib menjunjung

hukum dan

pemerintahan itu

dengan tidak ada

kecualinya.

Pasal 28 Setiap orang berhak Tidak HAK SIPIL

A untuk hidup serta menyebutkan

berhak obyek secara

mempertahankan eksplisit

hidup dan

kehidupannya.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SOSIAL

B ayat membentuk keluarga

(1) dan melanjutkan

31
keturunan melalui

perkawinan yang

sah.

Pasal 28 Setiap anak berhak Setiap anak HAK SIPIL

B ayat atas kelangsungan

(2) hidup, tumbuh dan

berkembang serta

berhak atas

perlindungan dari

kekerasan dan

diskriminasi.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SOSIAL

C ayat mengembangkan

(1) diri melalui

pemenuhan

kebutuhan dasarnya,

berhak mendapat

pendidikan dan

memperoleh

manfaat dari ilmu

pengetahuan dan

teknologi, seni dan

32
budaya, demi

meningkatkan

kualitas hidupnya

dan demi

kesejahteraan uman

manusia

Pasal 28 Setiap orang Setiap orang HAK SOSIAL

C ayat berhak untuk

(2) memajukan dirinya

dalam

memperjuangkan

haknya secara

kolektif untuk

membangun

masyarakat, bangsa,

dan negaranya.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SIPIL

D ayat atas pengakuan,

(1) jaminan,

perlindungan, dan

kepastian hukum

yang adil serta

33
perlakuan yang

sama di hadapan

hukum.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SOSIAL EKONOMI

D ayat untuk bekerja serta

(2) mendapat imbalan

dan perlakuan yang

adil dan layak dalam

hubungan kerja.

Pasal 28 Setiap warga negara Setiap orang HAK SIPIL

D ayat berhak memperoleh

(3) kesempatan yang

sama dalam

pemerintahan.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SIPIL

D ayat atas status

(4) kewarganegaraan

Pasal 28 Setiap orang bebas Setiap orang HAK SIPIL

E memeluk agama dan

Ayat (1) beribadat menurut

agamanya, memilih

pendidikan dan

34
pengajaran, memilih

pekerjaan, memilih

kewarganegaraan,

memilih tempat

tinggal di wilayah

negara dan

meninggalkanya,

serta berhak

kembali.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SIPIL

E atas kebebasan

Ayat (2) meyakini

kepercayaan,

menyatakan pikiran

dan sikap, sesuai

dengan hati

nuraninya.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SIPIL

E atas kebebasan

Ayat (3) berserikat,

berkumpul, dan

mengeluarkan

35
pendapat.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SOSIAL

F untuk

berkomunikasi dan

memperoleh

informasi untuk

mengembangkan

pribadi dan

lingkungan

sosialnya, serta

berhak untuk

mencari,

memperoleh,

memiliki,

menyimpan,

mengolah dan

menyampaikan

informasi

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SIPIL

G ayat atas perlindungan

(1) diri pribadi,

keluarga,

36
kehormatan,

martabat, dan harta

benda yang di

bawah

kekuasaannya, serta

berhak atas rasa

aman dan

perlindungan dari

ancaman ketakutan

37
untuk berbuat atau

tidak berbuat

sesuatu yang

merupakan hak

asasi.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SIPIL

G ayat untuk bebas dari

(2) penyiksaan atau

38
perlakuan yang

merendahkan derajat

martabat menusia

dan berhak

memperoleh suaka

politik dari negara

lain.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SOSIAL

39
H ayat hidup sejahtera lahir

(1) dan batin, bertempat

tinggal, dan

mendapatkan

lingkungan hidup

yang baik dan sehat

serta berhak

memperoleh

pelayanan

40
kesehatan.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang TINDAKAN AFIRMATIF

H ayat mendapat

(2) kemudahan dan

perlakuan khusus

untuk memperoleh

kesempatan dan

manfaat yang sama

guna mencapai

persamaan dan

keadilan.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK SOSIAL

H ayat atas jaminan sosial

(3) yang memungkinkan

pengembangan

dirinya secara utuh

sebagai manusia

yang bermartabat.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang HAK EKONOMI

H ayat mempunyai hak

41
(4) milik pribadi dan

hak milik tersebut

tidak boleh diambil

alih secara

sewenang oleh siapa

pun

Pasal 28 Hak untuk hidup, HAK DASAR YANG

I ayat hak untuk tidak BERSIFAT MUTLAK

(1) disiksa, hak

kemerdekaan pikiran

dan hati nurani, hak

beragama, hak untuk

tidak diperbudak,

hak untuk diakui

sebagai pribadi di

hadapan hukum, dan

hak untuk tidak

dituntut atas dasar

hukum yang berlaku

surut, adalah hak

asasi manusia yang

tidak dapat

42
dikurangi dalam

keadaan apa pun.

Pasal 28 Setiap orang berhak Setiap orang PRINSIP NON

I ayat bebas dari perlakuan DISKRIMINAL

(2) yang bersifat

diskriminatif atas

dasar apa pun dan

berhak mendapatkan

perlindungan

terhadap perlakuan

yang bersifat

diskriminatif itu.

Pasal 28 Identitas budaya dan Masyarakat HAK BUDAYA

I ayat hak masyarakat tradisional

(3) dihormati selaras

dengan

perkembangan

zaman dan

peradaban

Pasal 28 Perlindungan, negara KEWAJIBAN/TANGGUNG

I ayat pemajuan, JAWAB

(4) penegakan, dan KONSTITUSIONAL

43
pemenuhan hak

asasi manusia adalah

tanggun jawab

negara, terutama

pemerintah

Pasal 28 Untuk menegakkan Negara PERLINDUNGAN

I ayat dan melindungi hak (Pembentuk HUKUM HAM

(5) asasi manusia sesuai Peraturan

dengan prinsip Perundang-

negara hukum yang undangan)

demokaratis, maka

pelaksanaan hak

asasi manusia

dijamin, diatur, dan

dituangkan dalam

peraturan

perundang-

undangan

Pasal 28 Setiap orang wajib Setiap orang KEWAJIBAN

J ayat menghormati hak MENGHORMATI HAM

(1) asasi manusia orang

lain dalam tertib

44
kehidupan

bermasyarakat,

berbangsa dan

bernegara.

Pasal 28 Setiap orang wajib Setiap orang PEMBATASAN HAM

J ayat menghormati hak

(2) asasi manusia orang

lain dalam tertib

kehidupan

bermasyarakat,

berbangsa dan

bernegara.

Pasal 29 Negara menjamin Tiap-tiap HAK SIPIL

ayat (2) kemerdekaan tiap- penduduk

tiap penduduk untuk

memeluk agamanya

masing-masing dan

untuk beribadat

menurut agamanya

dan kepercayaannya

itu

Pasal 30 Tiap-tiap warga Tiap-tiap warga HAKSIPIL

45
ayat (1) negara berhak dan negara

wajib ikut serta

dalam usaha

pertahanan dan

keamanan negara

Pasal 31 Tiap-tiap warga Tiap-tiap warga HAKSOSBUD

ayat (1) Negara berhak negara

mendapat

pendidikan.

Pasal 34 Fakir miskin dan HAK EKSOS

anak-anak terlantar

dipelihara oleh

Negara

B. Bentuk Pelanggaran HAM di Papua dan Penyelesaiannya

Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

memberikan definisi hukum terhadap istilah pelanggaran HAM. Pasal 1 Angka 6

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang

termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian

yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak

asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang

46
dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian

hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.52

Menurut para ahli hukum menyepakati definisi pelanggaran HAM

sebagai suatu “pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen-

instrumen internasional hak asasi manusia. Pelanggaran negara terhadap

kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (act

commission) maupun oleh karena kelalaiannya sendiri (act of ommission).53

Begitujuga pelanggaran hak asasi manusia adalah tindakan atau kelalaian oleh

negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana nasional tetapi

meruakan norma hak asasi manusia yang diakui secara Internasional. Jadi jelas

bahwa pihak yang bertanggngjawab adalah negara, bukan individu atau badan

hukum lainnya. Kewajiban negara disini adalah perjanjian sebagai kebiasaan

hukum internasional , dalam hal ini negara tidak saja bertanggungjawab tetapi

negara memastikan penerapan hak-hak tersebut didalam yuridiksinya dan juga

melakukan kewajiban agar tidak terjadi pelanggaran atau upaya pencegahan yang

dilakukan. 54

Munculnya Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM, bahwa Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau

kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang

52
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999, LN Nomor 165 Tahun 1999, TLN Nomor 3886, Pasal 1
Angka 6.
53
Mardiyono, Tanggung Jawab Negara Dan Mekanisme Penyelesaian Extrajudicial
Killings 1965, Jurnal Refleksi Hukum, Vol.1, No.1, h.32
54
Rhona K.M. Smith et. al, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:Pusham UII,
Cet. Ketiga, Desember 2015), h.68-69

47
secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak

Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-

Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh

penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme yang berlaku.
55
dilatar belakangi oleh kenyataan politik nasional selama orde baru dan

banyaknya pelanggaran HAM 56.

Dalam bukunya Majda El Muhtaj menyebutkan kelompok-kelompok

rentan pelanggaran HAM antara lain: 57


Pertama. anak-anak, komunitas anak

merupakan penyumbang terbesar bagi pertumbuhan dan perkembangan masa

depan anak Indonesia, maka anak sebagai eksistensi dan masa depan negara.

Kedua. perempuan, terwujudnya pembangunan HAM oleh kaum perempuan

yaitu dengan cara mencerdaskan pemahaman sebagai upaya perlindungan HAM

di Indonesia. Ketiga.masyarakat adat, hak masyarakat adat diakui secara

internasional dan konstitusional keterbelakangan masyarakat adat membuat

kelompok outsider dalam pembangunan padala kekayaan alam mereka dimiliki

dengan kuat. Keempat. pembela HAM, kesadaran masyarakat terutama

pemerintah untuk menghormati dan melindungi hak dan tanggung jawab

pembela HAM dalam kerja-kerja kemanusiaan. Penyandang Cacat, Instrumen

HAM memberikan amanat kemanusiaan terhadap pentingnya perlindungan

terhadap hak-hak penyandang cacat dengan memaksimalkan proses internalisasi


55
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengadilan Ham, Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2000, LN Nomor 208 Tahun 2000, TLN Nomor 4026, Pasal 1 Angka 6.
56
Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum Ham, (Jakarta: Pusham UII, Cet.
Pertama, Maret 2011), h. 286
57
Majda El Muhtaj, “Dimensi-Dimensi Ham Mengurai Hak Ekonomi, Sosial Dan
Budaya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 225

48
nilai-nilai HAM disetiap level pendidikan. Kelima. Pengungsi, hukum HAM

internasional memberikan pengakuan dan perlindungan yang serius terhadap

nasib dan masa depan pengungsi di dunia. Hadirnya UNHCR membuktikan

bahwa masyarakat internasional merespons dengan sangat perlindungan dan

pemenuhan HAM pengungsi.58

Pelanggaran HAM dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu: 59

1. Pelanggaran HAM ringan, yang biasanya cukup disebut sebagai

pelanggaran HAM. 

2. Pasal 7 UU pengadilan HAM Pelanggaran HAM berat, yaitu meliputi

kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan.60

Kejahatan genosida merupakan setiap perbuatan yang dilakukan dengan

tujuan untuk memusnahkan atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari

kelompok bangsa, kelompok etnis, kelompok agama, dan ras. Kejahatan

Genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan

penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok,

menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan atau kehancuran secara fisik baik seluruh maupun sebagiannya,

memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam

58
Majda El Muhtaj, “Dimensi-Dimensi Ham Mengurai Hak Ekonomi, Sosial Dan
Budaya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 307
59
Muh. Khamdan Dan Naniek Pangestuti, Pelanggaran Ham, Diktat Pusat
Pengembangan Diklat Teknis Dan Kepemimpinan Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Hukum Dan Ham 2017, h.8
60
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengadilan Ham, Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000, Pasal 7, LN Nomor 208 Tahun 2000, TLN Nomor 4026.

49
kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke

kelompok lain.61

Kejahatan kemanusiaan seringkali diartikan sebagai suatu perbuatan yang

dilakukan dengan serangan yang meluas dan sistematis. Adapun serangan yang

dimaksud ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

a. Pembunuhan;

b. Pemusnahan;

c. Perbudakan;

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara secara

sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan;

f. Penyiksaa;

g. Pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan kehamilan, pelacuran secara

paksa, pemandulan atau sterelisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan

seksual lain yang setara;

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang

didasari persamaan paham politik, kebangsaan, ras, budaya, etnis, agama,

jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal

yang dilarang menurut hukum internasional;

i. Penghilangan orang secara paksa;

61
Muh. Khamdan Dan Naniek Pangestuti, Pelanggaran Ham, H. 10

50
j. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atau

kelompok ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.62

Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang Hak Sipil dan Politik

(ICCPR) melalui Undang-Undang No.12 Tahun 2005. Dengan meratifikasi

konvensi PBB tersebut secara otomatis Indonesia mempunyai kewajiban untuk

mendorong kemajuan dan penegakan Hak Asasi Manusia untuk selanjutnya

Komnas HAM RI akan melaporkan secara periodik baik melalui forum

multilateral seperti Sidang Dewan HAM PBB, serta Universal Periodic Review

yang dievaluasi secara 4 tahun sekali. Pelanggaran HAK bidang sipil dan politik

di Papua tentu mendapat perhatian sebagaimana pelanggaran HAM yang terjadi

di bagian lain di Indonesia. Selanjutnya akan disampaikan beberapa kasus-kasus

pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan mendapat perhatian baik oleh

Komnas HAM, berbagai akitivis HAM, serta lembaga internasional.63

Dalam rangka mempertahankan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI), pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai

kebijakan, khususnya yang berkenaan dengan pengkondisian di wilayah Papua

yang kemudian diikuti dengan berbagai tindakan penegakan dalam bentuk

melakukan operasi-operasi keamanan yang bertujuan untuk menumpas gerakan

separatisme di Papua. Berbagai bentuk tindakan operasi tersebut, telah

62
Muh. Khamdan Dan Naniek Pangestuti, Pelanggaran Ham, H. 11
63
Natalius Pigai, Solusi Damai Di Tanah Papua (Mengubur Tragedi Ham Dan
Mencari Jalan Kedamaian), Jurnal Administrasi Publik, Volume 11, Nomor II, Oktober 2014,
Issn 1412-7040, H.23

51
menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh

para korban yang justru tidak punya kaitan dengan kegiatan separatis. 64

Negara, dalam hal ini aparat keamanan, mempunyai kewenangan untuk

melakukan kegiatan operasi keamanan dalam rangka mempertahankan keutuhan

wilayah Indonesia, akan tetapi dalam praktiknya ditemukan adanya berbagai

penyimpangan yang berdampak pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Adapun bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama

berlangsungnya operasi keamanan di wilayah Papua, antara lain sebagaimana

diuraikan berikut ini.65

Tabel 1.2

Data Pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua66

No. Nama kasus Tahun Korban Konteks

1 Peristiwa April- 117 Orang Masyarakat menuntut ganti rugi atas

Wasior Oktober tanah adat termasuk kayu-kayunya

2001 yang dikuasai perusahaan

penebangan kayu PT. Dharma Mukti

Persada. Tuntutan masyarakat tidak

dipedulikan oleh pihak perusahaan

64
Natalius Pigai, Solusi Damai Di Tanah Papua (Mengubur Tragedi Ham Dan
Mencari Jalan Kedamaian), H. 24
65
Natalius Pigai, Solusi Damai Di Tanah Papua (Mengubur Tragedi Ham Dan
Mencari Jalan Kedamaian), H. 24
66
Tim Monitoring Dan Dokumentasi Setara Institute, Http://Setarainstitute.Org/Wp-
Content/Uploads/2015/09/Data-Pelanggaran-Hak-Asasi-Manusia-Di-Indonesia.Pdf, diakses
pada tanggal 20 Oktober 2021, h. 3

52
yang di backup oleh anggota

brimob. Operasi tumpas 2001

2 Peristiwa 4 April 9 tebunuh Penyisiran secara membabi buta

Wamena 2003 38 orang dengan titik sasaran 25 Kampung

luka berat selama kurang lebih tiga bulan

dan cacat

3 Peristiwa 2000 63 orang Penyisiran secara membabi buta

Abepura dilakukan dengan alasan pengejaran

terhadap kelompok yang melakukan

penyerangan ke Mapolsek Abepura

pada tanggal 6 Desember 2000

4 Kimaam 2001 18 orang Peristiwa lapangan maskura adalah

puncak kulminasi dari kekecewaan,

kemarahan dan ketidakpuasan

masyarakat akan kondisi mereka dan

ketidakpedulian pemerintah atas

hak-hak masyarakat

5 Pembunuhan 10 2 orang Pada pertengahan tahun 2000 hingga

diluar November Mei 2001, mengacu pada dokumen

prosedur 2001 rahasia milik Depdagri, telah

hukum dilaksanakan serangkaian operasi

terhadap pengkondisian wilayah, operasi

Theys Hiyo pengembangan jaringan komunikasi

Eluay dan dan operasi diplomasi. Dokumen

53
penghilangan Depdagri tentang “Rencana Operasi

orang secara Pengkondisian Wilayah dan

paksa Pengembangan Jaringan komunikasi

terhadap dalam menyikapi arah politik Papua

Aristoteles untuk merdeka dan melepaskan diri

Masoka dari NKRI” Theys adalah ketua PDP

yang saat itu berada pada garda

depan penolakan terhadap Otonomi

Khusus.

6 Peristiwa Desember 5 orang Ratusan warga Paniai menuntut

paniai 2014 pertanggungjawaban Tim Khusus

TNI atas insiden pemukulan 8

Desember dini hari ke markas

Koramil dan Polsek Paniai Timur.

Belum sempat menyampaikan

keluhan, aparat

gabungan Koramil dan Polsek

menembakan senjata kepada warga

yang berkumpul di lapangan Karel

Gobay. 4 [lima] pelajar SMA tewas

tertembak

7 Insiden 17 Juli 11 orang TNI dan Polisi setempat secara

Tolikara 2015 membabi buta menembakkan peluru

tajam kepada massa GIDI yang

54
sedang berkumpul mengajak dialog

warga muslim yang sedang sholat Id

karena

menggunakan Toa

8 Peristiwa 8 Maret 3 orang Penembakan dan penyisiran serta

Yahukimo 2015 penagkapan sewenang -wenang

dalam penggalangan dana

kemanusiaan di Yahukimo

9 Peristiwa 6 Mei 2014 16 Orang Penembakan misterius. Beberapa

Dogyai dan 26 Juni orang berpakaian preman dan

2015 bersenjata melakukan penembakan

terhadap delapan warga sipil di

Ugapuga, Kamu. Timur, Kabupaten

Dogiyai

Diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan

hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian,

keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga

negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan. Berdasarkan

pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas menjadi alasan sehingga dibuat

suatu peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya diskriminasi ras

55
dan etnis yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan

Diskriminasi Ras Dan Etnis. 67

Dalam setiap masyarakat terdiri dari berbagai ras, etnis, golongan, suku,

agama dan kedudukan sosial, yang biasa disebut kelompok. Kelompok tersebut

ada yang besar, dan kecil, kuat dan lemah, yang kecil dan lemah inilah yang

biasa disebut sebagai minoritas yang rentan diposisikan sebagai obyek politik

diskriminasi. Minoritas ini memiliki satu atau lebih ciri-ciri sebagai berikut68, 1.

Adanya perbedaan ras; 2. Adanya perbedaan kebangsaan (nasionalitas); 3.

Adanya perbedaan agama; dan 4. Adaya perbedaan adat-istiadat.

C. Konsep dan Dinamika Kebebasan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Konsep dan dinamika kebebasan timbul dari konteks kemerdekaan dalam

hal ini kebebasan dan kemerdekaan menimbulkan kesalahpahaman atau konfik

istilah kemerdekaan membawa perkembangan dinamika bahwa memaknai

sebuah kebebasan harus dijamin oleh negara. Konsep kebebasan dimulai dari

kehidupan bermasyarakat maupun relasi munusia dan negara dengan

menggunakan visi Athena tentang kebebasan, demokrasi dan persamaan.69

Perspektif ilmu hukum bahwa pemikiran mengenai ide kebebasan

sekaligus gagasan HAM di Eropa Barat berawal dari abad XVII bersumber dari

67
Alamsyah, et. al, Aspek Pidana Terhadap Diskriminasi Ras Dan Etnis Menurut
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis,
Jurnal Untad, h.166
68
Jahja Junus, Peranakan Idealis; Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya, (Jakarta:
Gramedia, 2003), h. 62
69
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham”,
(Jakarta: Genta Publishing, 2013), h.29

56
madzhab teori hukum alam (natural law theory) serta hak-hak alam (natural

right). Menurut Friedman instrumen utama hukum alam menegaskan berlakunya

hukum internasional dan menurut kebebasan individu terhadap absolutisme

dimana dalam hal usaha untuk memodifikasi perundang-undangan dan

mengurangi kebebasan mutlak dari individu.70

Hak Asasi manusia sebagai tatanan dari pelembagaan kebebasan agar

setiap warga masyarakat memiliki potensi manusiawi secara maksimal. HAM

merupakan nilai norma yang menjamin dan mengakui bahwa setiap orang dapat

menikmati hak-hak dan kebebasan yang melekat pada hakekat dan keadaannya

sebagai manusia. Secara umum konsepsi manusia sebagai makhluk yang

dilahirkan dengan sosok bilogis sebagai manusia yang memiliki akal dan hati

nurani.71

Keikutsertaan publik secara luas memberikan pengakuan secara demokrasi

dalam pemerintahan dalam hal ini, HAM dan demokrasi memberikan pengakuan

kedaulatan sebagai peran publik dalam ranah pemerintahan HAM memberikan

perluasan otoritas bagi manusia untuk diakui dan dilindungi sebagai makhluk

yang bermatabat sebagai perwujudan rezim demokratik untuk mensejahterakan

rakyat.72
70
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham.
71
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham.
72
Jack Donnelly Mengatakan Pada Bukunya “Universal Human Rights In Theory And
Practice” 2003. Bahwasannya “ Those Regime Will Be Democratic. They Are Desirable,
However, Because We Think That We Have Good Reason To Believe That Empowering The
People Is The Best Political Mechanism We Have Yet Devised To Secure All Human Rights
For All” Menurutnya Pemerintahan Itu Akan Menjadi Demokratis. Mereka Diinginkan, Namun,
Karena Apa Yang Dipikirkan Memiliki Alasan Kuat Untuk Percaya Bahwa Memberdayakan
Rakyat Adalah Mekanisme Politik Terbaik Yang Belum Rencanakan Untuk Mengamankan
Semua Hak Asasi Manusia Untuk Semua. Dikutip dari buku Majda El Muhtaj, “Dimensi-
Dimensi Ham Mengurai Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya”, (Jakarta: Rajawali Press, 2009),

57
Gerakan demokrasi dengan gerakan HAM menjadi gerakan pembebasan

manusia dan warganegara hal ini, yang menjadi tolak ukur dalam keberhasilan

menggugurkan rezim otoritarian, salah satunya di Indonesia. Hal tersebut diikuti

pula oleh masyarakat sipil yang meminta penguasa meletakkan paradigma HAM

sebagai kebijakan politik dan hukum di negara tertentu. 73

Secara substansial bahwasannya masyarakat sipil yang mejadikan

demokrasi sebagai perlindunan HAM dalam nilai dan prinsip-prinsip demokrasi.

Hal ini yang memiliki daya dukung sistem kekuasaan untuk melahirkan politik

hukum HAM yang sesuai dengan demokrasi.74

D. Kesetaraan sebagai wujud Pengakuan Kedaulatan Rakyat Indonesia

1. Prinsip Kesetaraan

Merupakan hak fundamental dari hak asasi manusia secara

kontemporer artinya ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan

memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. Kesetaraan menjadi adanya

perlakuan yang setara dalam situasi sama arus dilakukan dengan sama, dan

dengan perdebatan, begitu juga pada situasi yang berbeda diperlakukan

berbeda.75

2. Kesetaraan Wujud Demokrasi

h. 45
73
Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum Ham, (Jakarta: Pusham UII, Cet.
Pertama, Maret 2011), h. 28.
74
Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum Ham, h. 28
75
Rhona K.M. Smith Et.Al, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:Pusham UII, Cet.
Ketiga, Desember 2015, h. 39

58
Menurut Dahl, melihat demokrasi lebih menitikberatkan aspek

kebebasan politik. Kedua, persamaan suara. Setiap rakyat harus mempunyai

kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara

harus dihitung sama. Ketiga, pemahaman yang cerah. Dalam hal ini setiap

rakyat harus diberikan kesempatan untuk mempelajari kebijakan-kebijakan

alternatif yang relevan. Keempat, pengawasan agenda. Berbagai kebijakan

negara selalu terbuka untuk diubah jika rakyat menginginkannya. Kelima,

pencakupan orang dewasa. Dalam hal ini, semua atau paling tidak sebagian

besar orang dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak

kewarganegaraan penuh yang ditunjukkan oleh empat kriteria sebelumnya.

kriteria kedua masuk dalam rumpun persamaan hak/kesetaraan. Sedangkan

kriteria kelima merupakan rumpun hak-hak politik yang harus dijamin dan

dilindungi negara dalam konteks kebebasan dan persamaan.76

E. Diskriminasi Rasisme sebagai Persoalan hukum dan Hak Asasi Manusia

1. Diskriminasi dan Prinsip Non Diskriminasi

Pelanggaran diskriminasi merupakan salah satu bentuk yang

mempengaruhi kesetaraan. Jika prinsip kesetaraan ini dituangkan secara

konkret dalam perlakuan sehari-hari maka tercapailah prinsip Non.

Diskriminasi. 77

76
Khairul Fahmi, Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem Pemilihan
Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010, h. 128
77
Rhona K.M. Smith Et.Al, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:Pusham UII,
Cet. Ketiga, Desember 2015), h. 40

59
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan beberapa alasan

yang terjadi dalam diskriminasi antara lain: ras, warna kulit, jenis kelamin,

bahasa, agama, pendapat politik, atau opini lainnya, nasional, atau kebangsaan,

kepemilikan akan suatu benda, kelahiran atau status lainnya.78

2. Diskriminasi Rasis

Rasisme adalah suatu pandangan bahwa umat manusia dibagi dalam

ras-ras dan bahwa anggota suatu ras lebih rendah dari ras lain. Dalam ha ini,

sikap tersebut juga berpandangan bahwa rasnya lebih tinggi dari yang lain.

Rasisme menganggap bahwa anggota dari rasnya secara mental, fisik, moral,

atau budaya lebih tinggi dari ras lain. 79

Rasisme dalam buku Hoakiau di Indonesia adalah paham yang

menolak sesuatu golongan masyarakat yang berdasar ras lain. Rasisme timbul

atau dapt timbul apabila masyarakat atas minoritas yang mempunyai kelainan-

kelainan daripada keumuman biologis yang ada pada warga-warga

masyarakat itu, dan dia timbul atau bisa timbul karena segolongan kecil atau

minoritas itu tidak dapat mempertahankan diri.80

Rasisme suatu bangsa sangat ditentukan oleh ras bangsa tersebut dampaknya

dapat menimbulkan munculnya suatu sentimen dan prasangka rasis. Bentuknya

adalah tindakan yang “membedakan”, “membatasi”, atau “memilih” hanya

78
Rhona K.M. Smith Et.Al, Hukum Hak Asasi Manusia,
79
Ester Indahyani Jusuf, Jalan Panjang Penghapusan Diskriminasi Rasial, (Jakarta:
Solidaritas Nusa Bangsa, Mei, 2001), h. 1
80
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham”,
(Jakarta: Genta Publishing, 2013), h.71

60
didasarkan pada ras dan etnis. Hal ini yang menyebabkan pelanggaran pada

kekerasan rasisme.81

Diskriminasi rasis sering disamakan dengan rasisme atau ketidakadilan,

istilah diskriminasi rasisme bisa disetarakan dengan kekerasan rais, xenophobia, dan

rasisme hal tersebut menjadi perhatian HAM terbesar didunia. Diskriminasi rasis

dalam bentuk pengabaian minoritas bangsa di Dunia beranggapan bahwa sebagai

“penjaga” atau “ras subyek”, yang tidak memiliki pembangunan politik untuk

menyebut mereka sebagai bangsa, tidak mampu memerintah sendiri, dan

memerlukan perlindungan paternalistik.82

Rasisme memiliki dua aspek yaitu diskriminasi ras dan prasangka ras.

Diskriminasi ras mencakup segala bentuk perilaku-perilaku pembedaan berdasarkan

ras. Bentuk diskriminasi ras tampak konkret dalam pemisahan tempat tinggal warga

ras tertentu. Pergaulan, pemilihan teman, maupun perjodohan. Prasangka ras ini

timbul akibat gambaran karena perbedaan kelompok, nilai-nilai budaya yang dimiliki

kelompok mayoritas sangat menguasi kelompok minoritas, stereotip antar etnik dan

kelompok etnik atau ras yang merasa superior sehingga menjadikan etnik atau ras

lain inferior.83

Prasangka rasisme timbul dari gejala psikologis yang ditandai dengan sikap

penuh emosi yang tidak disertai dengan bukti-bukti terlebih dahulu berdasarkan

81
Ester Indahyani Jusuf, Jalan Panjang Penghapusan Diskriminasi Rasial, (Jakarta:
Solidaritas Nusa Bangsa, Mei, 2001), h. 2
82
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham”,
(Jakarta: Genta Publishing, 2013), H.73
83
Menurut Jhonson Dalam Alo Liliweri, Prasangka Dan Konflik, Komunikasi Lintas
Budaya Multikultural Yogyakarta: LKIS, 2005 h. 203, Mengemukakan Prasangka Disebabkan
Oleh, Dalam Bukunya: Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum
Ham”, (Jakarta: Genta Publishing), 2013, h.74

61
pengalaman. Pencetus mulanya prasangka dalam pergaulan ras adalah sugesti,

kepercayaan, keyakinan dan emulasi (persaingan, perlombaan).84

F. Praktik Diskriminasi serta problematika hukum Rasisme terhadap

Papua

1. Rasisme di Indonesia

Tahun 1740 Praktik rasis yang fenomenal pertama ditunjukkan oleh

VOC terhadap etnis Tionghoa dapat dikategorikan sebagai tindakan genosida

sampai masa orde baru dan sesudahnya prasangka raisi ini terus berulang.85

Akar kebencian rasisme terhadap kelompok minoritas Tionghoa di

Indonesia rupanya masih ada. Dan sejarah mengulang dirinya sendiri.

Pertama sebagai tragedi dan selanjutnya sebagai lelucon. Kelompok

Tionghoa di Indonesia sudah mengalami banyak diskriminasi. Apa

sebenarnya yang menjadi akar dari sentimen rasis terhadap etnis Tionghoa

di Indonesia? Freedman menyebut Soeharto memaksa masyarakat

Tionghoa untuk melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka

sebagai bukan pribumi. Sebagian kecil etnis Tionghoa di Indonesia pada

masa Soeharto menikmati berbagai fasilitas investasi sehingga menjadi

sangat kaya. Sekelompok kecil ini akhirnya dianggap sebagai representasi

seluruh etnis Tionghoa, sebagai kelompok yang memiliki kekuasaan dan

punya kekayaan dengan cara yang culas. Kejatuhan Soeharto pada 1998

84
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham”.
85
Ester Indahyani Jusuf, Jalan Panjang Penghapusan Diskriminasi Rasial, (Jakarta:
Solidaritas Nusa Bangsa, Mei, 2001), h. 61

62
membuat pembedaan ini menjadi semakin rumit. Kerusuhan yang muncul

di berbagai kota di Indonesia menargetkan masyarakat Tionghoa sebagai

sasaran kebencian. 86

Keadaan kondisi bangsa Indonesia sebagai negara yang majemuk baik

dari dimensi struktur sosial, ekonomi, serta diferensial ikatan kesetiaan

primordial, seperti suku, agama, ras, golongan dan lain sebagainya. Dalam

kurun waktu penduduk indonesia berinteraksi melalui mobilitas sosial,

migrasi, perdagangan bahkan peperangan. Keragaman memacu wajah

primordialistik konflik yang menghancurkan bangsa. 87

Konsep Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia tidak terbentuk, bentu

gagasannya tidak terbentuk, bentuk gagasannya tidak terlaksana dalam

praktek kehidupan. Tidak dapat dipungkiri setiap etnis mempunyai sistem

kebudayaan yang berbeda-beda begitupula mempengaruhi perilaku yang

berbeda-beda etnis dalam hal ini, menghasilkan pula keberagaman cara

pandang masing-masing etnis dari golongan individu maupun kelompok.88

Munculnya, sikap rasis di Indonesia tidak lain karena masih

melekatnya padangan stereotip tradisional. Pandangan perspektif kelompok

ini dominan berkembang di dalam masyarakat dan memberi warna pada pola

pikir, pandangan hidup, perilaku masyarakat luas Indonesia dan berdampak

86
Amy Freedman Dari Franklin And Marshall College, Amerika Serikat,
Menyebutkan Bahwa Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa Merupakan Hasil Dari Politik
Pecah Belah Soeharto. Dalam Jurnal Penelitian Berjudul "Political Institutions And
Ethnic Chinese Identity In Indonesia", Vivianna Utami, Rasisme Di Indonesia
87
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM”,
(Jakarta: Genta Publishing, 2013), h.75
88
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham”, h.84

63
penyimpangan terhadap dianggap merusak konvensi, tatanan hidup serta

budaya bangsa.89

Persoalan diskriminasi walaupun sangat erat terhadap masalah

stereotyping dan prasangka namun mempunyai karakteristik yang berbeda

pada praktiknya. Hal ini pun, bisa memasakkan penerapan the most power

kekuasaan terbesar yang dimiliki negara sebagai pembeda.

Tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh negara terjamin melalui

peraturan-peraturan resmi yang dibuat pemerintah, sejumlah peraturan itu

muncul pada masa pemerintahan orde baru tahun 1967. Namun sementara

itu, tindakan diskriminatif oleh individu atau kelompok tertentu dilakukan

dengan bermacam-macam cara dari yang terbuka sampai yang halus. Bisa

saja tindakan diskriminatif mengubah bahkan melunturkan apabila dapat

mengubah stereotype dan prasangka yang ada.90

2. Asal nama dan Budaya Papua

Sebelumnya diberi nama “Irian Jaya”,91 daerah ini dikenal dengan

sebutan “Papua”. “Papua” a w a l n y a dipergunakan oleh pelaut Portugis

89
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham”, h. 86
90
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham”,, H. 87
91
Provinsi Irian Jaya Adalah Perubahan Dari Nama Irian Barat Yang Dilakukan
Oleh Presiden Soeharto Tahun 1973, Dan Kemudian Diganti Menjadi Papua Tahun 2000
Dibawah Presiden Abdurrahman Wahid Untuk Menanggapi Tuntutan Para Nasionalis
Papua. Di Tahun 2003, Provinsi Irian Jaya Barat, Yang Kemudian Diubah Menjadi Papua
Barat Dibentuk. Banyak Nasionalis Menggunakan Istilah West Papua Atau Papua Barat
Untuk Menyebut Seluruh Bekas Daerah Jajahan Belanda West New Guinea (Nugini
Barat). Istilah Lain Yang Tidak Mengandung Muatan Politik Yan G Kadan Dipakai Untuk
Menyebut Daerah Ini Yaitu “Tanah Papua”, Dan Tidak Punya Makna Hukum Apa -Apa.
[Lihat: Asia Report N 232, Indonesia, Dinamika Kekerasan Di Papua, (Jakarta:
International Crisis Group, 2012), h.4

64
Antonio d’Arbrau, yang mendarat di pulau ini pada tahun 1521.

Diperkirakan, kata “Papua” berasal dari kata dalam bahasa Melayu kuno

“pua -pua”, yang berarti “keriting”. Nama ini kemudian dipakai oleh Antonio

Pigafetta yang ikut dalam pelayaran dengan Ferdinand Magellan

mengelilingi bumi.

Penyebutan nama lain Papua adalah dari Papua bagian Timur, kini

menjadi Papua Nieuw Guinea. Sebutan “ Nieuw Guinea” diberikan oleh

para pelaut Belanda, menggunakan penamaan dari seorang pelaut Spanyol,

Ynigo Ortiz de Retes, yang mengunjungi kawasan utara pulau ini pada tahun

1545. Dinamakan “ Nieuw Guinea” karena penduduk yang ditemui berwa rna

hitam, seperti penduduk di Pantai Guinea, Afrika.

Papua mempunyai kondisi sosial-budaya-politik yang khas. Ciri-ciri

fisiologi Tanah Papua yang beragam menyebabkan diferensiasi sistem mata

pencaharian. Bukan hanya itu, perkembangan struktur sosial masyarakat

juga turut dipengaruhi oleh proses-proses adaptasi manusia terhadap

lingkungan alam. Sifat kemajemukan penduduk Papua juga dapat dilihat dari

prinsip hak ulayat tanah. Di antara masyarakat Papua terdapat kolektif-

kolektif etnik yang mengatur sistem hak ulatnya melalui klan (merupakan

hak komunal). Selain itu terdapat pula kolektif-kolektif lain yang mengatur

hak ulayatnya melalui keluarga inti atau hak individu.

M.T. Walker dan J.R. Mansoben 9 2


mencatat bahwa

keanekaragaman orang Papua bertalian erat dengan pola adaptasi sosio-


92
Agung Djojosoekarto, Dk, Kinerja Otonomi Khusus, (Jakarta: Kemitraan, 2008), H.
6.

65
ekonomi penduduk pada zona ekologi utama. Setidaknya ada empat zona

ekologi utama. Pertama, ekologi rawa, daerah pantai, dan muara sungai;

kedua, dataran pantai; ketiga, kaki gunung dan lembah-lembah kecil;

dan keempat pegunungan tinggi. Lingkungan ekologi yang berpengaruh

terhadap pola- pola adaptasi tercermin dalam sistem mata pencaharian

hidup meliputi teknologi dan sistem pembagian kerja. Semakin kompleks

inovasi teknologi. dan sistem pembagian kerja, maka aspek budaya lain

seperti organisasi sosial dan sistem ideologi (ritual agama) juga kian rumit.

Di zona ekologi pegunungan tengah, misalnya, masyarakat hidup

dalam rumah-rumah besar dalam hubungan keluarga yang luas, dengan

jaringan luas dari sistem klan, gabungan klan, dan federasi yang kompleks.

Contoh penduduk yang menganut pola ini adalah suku Dani. Tipe ini

menghasilkan ikatan horizontal yang kuat. Pada zona ekologi muara sungai,

kepulauan dan pesisir pantai, penduduk hidup dalam keluarga-keluarga inti

kecil yang amat bersifat individualis. Karena wilayah pesisir dan kepulauan

relatif sulit dijadikan lahan pertanian, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,

mendorong mereka untuk berdagang. Contoh masyarakat ini adalah

penduduk pantai utara.

Kedua tipe ini menghasilkan relasi yang berbeda sehingga

berpengaruh terhadap ikatan kolektif yang terbentuk. Di sinilah kemudian

makna keluarga mendapat tempat dalam struktur hierarki masyarakat. Di

satu sisi, keluarga mempunyai fungsi produktif, di sisi lain keluarga

merupakan identitas untuk sarana reproduksi kekuasaan. Aktifitas perang

66
lantas menjadi bagian dari persaingan produksi, sedangkan perkawinan

sebagai sarana reproduksi kekuasaan. Tidak mengherankan jika ritual ini

menyedot konsumsi besar untuk keperluan pesta adat. Kebutuhan pesta adat

inilah yang di kemudian hari memberikan porsi bagi munculnya pola patron-

klien dimana patron merupakan pihak yang mensponsori pesta.93

3. Akar permasalahan Konflik Papua

Pada tahun 1829 ketika tanah Papua resmi menjadi wilayah jajahan

Hindia Belanda hingga zaman proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945

dengan berujung konflik antara Belanda dan Indonesia atas Papua. Kemudian

Papua kembali menuai sengketa atas pengintegerasian tanah wilayah bekas

jajahan Belanda dalam kedaulatan Indonesia merupakan akar permasalahan

konflik yang kontroversial hingga saat ini. Konflik ini pun dibiarkan terus dan

banyak terjadi kasus kekerasan, dan pelanggaran HAM. Tidak hanya itu

persoalan gejola politik, disparitas ekonomi dan pembangunan antara papua

dan wilayah-wilayah lainnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesiapun,

melanda dan keamanan Papua terancam.94

Menurut Heidbuchel konflik Papua dapat dikategorikan dalam empat

level, yakni: 1. Subjective level: perbedaan stereotipe orang Papua dengan

Indonesia, perbedaan ras, ketakutan disintegerasi versus ketakutan untk

93
Nur Rohim, Optimalisasi Otonomi Khusus Papua Dalam Peningkatan Kesadaran
Hukum Masyarakat Guna Meredam Konflik Dan Kekerasan, Flat Justisia Jurnal Ilmu Hukum
Volume 8 No. 1, Januari-Maret 2014, Issn 1978-5186, h. 84-86.
94
Paskalis Kossay, Konflik Papua: Akar Masalah Dan Solusi, (Jakarta: Tollelegi,
2011), h. 14

67
dimusnahkan (genoside), ketidakpercayaan pemerintah terhadap warga Papua

dan sebaliknya, 2. Issue level:

inkonsistensi kebijakan, pelanggaran HAM dan korupsi, 3. Demand

level: integritas atau persatuan nasional versus tuntutan merdeka ataupun

pelurusan sejarah, dan 4. Compromise level: otonomi khusus. Sedangkan

Amich Alhumami secara sederhana memetakkan konflik Papua menjadi dua

dimensi : 1. Dimensi ekonomi dan 2. Dimensi politik. Dimensi ekonomi

adalah eksploitasi sember daya alam Papua yang tidak dirasakan oleh warga

setempat, standar hidup penduduk asli masih dibawah rata-rata daerah lain.

Kebijakan pemerintah pusat telah menghasilkan adanya kesenjangan ekonomi

yang besar antar penduduk.95

Dampak penentuan pendapat rakyat (PEPERA) dan Papua sehingga

menjad bagian penting dari Indonesia yang menghasilkan paradigma

pembangunan yang terjadi atas Papua mengedepankan pendekatan keamanan

atau militer sebagai alasan kedaulatan rakyat sehingga melunturkan gerakan

separatis yang disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal ini

meyebabkan merambatnya sistem pemerintahan sipil dan telah beranak-pihak

dalam menjalankan pemerintahan daerah.96

4. Bentuk Diskriminasi Rasis terhadap Papua

Dalam rangka mempetahankan dan menjaga keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan,


95
Al Araf, Et.Al, Sekuritisasi Papua, Implikasi Pendekatan Keamanan Terhadap
Kondisi Ham Di Papua, (Jakarta: Imparsial, 2011), H. 43
96
Elisabeth Lenny Marit Dan Hugo Marami, Wacana “Papua Tanah Damai” Dalam
Bingkai Otonomi Khususpapua, Jurnal Ilmu Sosial, Vol. 16, No.1, April 2018, h.44

68
khususnya untuk pengintegerasian di wilayah Papua dengan tindakan

penegakan dalam bentuk operasi-operasi keamanan. Tindakan operasi tersebut

menimbulkan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang tidak ada kaitannya

dengan kegiatan gerakan separatisme di Papua.97

Peristiwa di Surabaya, Malang, Semarang, Manokwari, dan Sorong

pada tanggal 15-19 Agustus 2019 Agustus menjadi penting bagi

pemerintah dan negara dalam merespon dan menangani persoalan Papua,

termasuk dalam merespon aspirasi serta tuntutan Mahasiswa Papua

dimanapun. 98

Di Surabaya, diduga telah terjadi tindak penyerbuan, kekerasan,

pelemparan gas air mata, pelontaran kata-kata bernada rasis seperti anjing

dan monyet, dan ujaran kebencian, termasuk kata-kata intimidatif

lainnya. 99 Pengepungan dan penyerangan terhadap asrama mahasiswa Papua

di Surabaya dan wilayah lain berbuntut panjang. Buntut dari peristiwa ini,

elemen warga Papua merespon tindakan itu dengan melakukan demonstrasi

damai di sejumlah wilayah Papua yang sempat berakhir ricuh. Sahura

mengatakan peristiwa berawal dari demonstrasi mahasiswa Papua di Malang,

Jawa Timur. Demonstrasi damai di Balai Kota Malang itu diserang

sekelompok orang bertopeng. Akibat penyerangan itu 19 orang luka dan 4

97
Natalius Pigai, Solusi Damai Di Tanah Papua (Mengubur Tragedi Ham Dan
Mencari Jalan Kedamaian), Jurnal Administrasi Publik, Volume 11, Nomor Ii, Oktober 2014,
Issn 1412-7040, h.25
98
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Hentikan Rasisme, Diskriminasi Dan
Kekerasan Pada Rakyat Papua, Jakarta:Siaran Pers, Http://Walhi.Or.Id/Hentikan-Rasisme-
Diskriminasi-Dan-Kekerasan-Pada-Rakyat-Papua
99
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Hentikan Rasisme, Diskriminasi Dan
Kekerasan Pada Rakyat Papua.

69
disiram air cabai. Hari berikutnya, sekitar, Sahura mengatakan asrama

mahasiswa Papua di Surabaya didatangi anggota TNI, Polisi, Satpol PP, dan

beberapa ormas. Kedatangan mereka berkaitan dengan dugaan pengerusakan

tiang bendera dan pembuangan bendera merah putih ke selokan. Oknum TNI

menggedor gerbang asrama dan melontarkan hinaan kepada mahasiswa di

dalam asrama. Kemudian disusul puluhan anggota ormas melempari asrama

dengan batu dan massa bersorak “usir mahasiswa Papua!”. Pengepungan

terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya itu menyulitkan akses keluar

masuk asrama. Bahkan 2 orang mahasiswa yang berniat mengantarkan

makanan ke dalam asrama ditangkap aparat kepolisian dan digelandang ke

Mapolrestabes Surabaya. Aparat kepolisian bersenjata laras panjang masuk

dan menangkap seluruh orang di dalam asrama. Sahura mencatat 43 orang

dibawa ke Mapolrestabes Surabaya untuk diperiksa dan menjelang tengah

malam seluruhnya dikembalikan ke asrama.“Aparat sempat menembakkan

gas air mata ke asrama, dan menyebabkan satu orang luka pada bagian kaki

karena terkena ledakan peluru gas air mata. Mereka melakukan demonstrasi

damai di beberapa kota seperti Manokwari, Nabire, Timika, Fak Fak, Biak,

Yapen, dan Sorong. Meski demonstrasi itu dilakukan secara damai, dalam hal

ini, tindakan aparat yang menangkap masyarakat yang melakukan aksi di

Timika. Bahkan ada 1 orang korban jiwa di Fak Fak. Menurutnya, berbagai

70
bentuk pelanggaran HAM terus terjadi di Papua dan tidak pernah ada

penegakan hukum.100

Di Malang, diduga terjadi kekerasan yang dibiarkan oleh aparat

keamanan terhadap massa Aliansi Mahasiswa Papua yang sedang

melakukan aksi unjuk rasa. Dalam peristiwa ini terjadi tindak kekerasan

dalam bentuk pemukulan, tendangan, dan lemparan batu yang disertai

dengan berbagai ujaran dengan konotasi rasis. 101

Di Malang, Jawa Timur, massa pengunjuk rasa berbentrokan dengan

warga yang menghadang mereka dan kemudian dengan massa Aremania yang

hendak menyaksikan pertandingan sepak bola antara Arema dan Persebaya.

Sekitar pukul 9 pagi, ketika hendak menuju ke balaikota Malang, massa

pengunjuk rasa dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia

untuk West Papua dihadang oleh sejumlah warga di sekitar perempatan

Rajabali. Terjadi cekcok antara pengunjuk rasa dan massa penghadang, yang

diikuti dengan kejar-kejaran dan saling lempar batu antar massa di Jalan

Basuki Rahmat. Polisi kemudian melerai dan menyekat kedua massa tersebut.

Massa pengunjuk rasa kemudian sempat berorasi mengaspirasikan

kemerdekaan Papua. Sekitar pukul 10.15, massa Aremania yang kebetulan

hendak menuju pertandingan di Stadion Kanjuruhan mulai berdatangan di

100
Ady Thea, Dugaan Diskriminasi Rasial Mahasiswa Papua Harus Diselesaikan
Secara Hukum, Jakarta: Hukumonline,
Https://Www.Hukumonline.Com/Berita/Baca/Lt5d5e6da380e81/Dugaan-Diskriminasi-Rasial-
Mahasiswa-Papua-Harus-Diselesaikan-Secara-Hukum/
101
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Hentikan Rasisme, Diskriminasi Dan
Kekerasan Pada Rakyat Papua, Jakarta:Siaran Pers, Http://Walhi.Or.Id/Hentikan-Rasisme-
Diskriminasi-Dan-Kekerasan-Pada-Rakyat-Papua

71
lokasi. Selanjutnya, terjadi saling teriak antarmassa dan pembubaran paksa

oleh massa Aremania. Bentrokan baru benar-benar bisa dihentikan sekitar

pukul 10.30. Massa pengunjuk rasa kemudian diangkut dengan truk polisi dan

selanjutnya dipulangkan, sementara pengunjuk rasa yang terluka langsung

dibawa ke rumah sakit. 102


Kepolisian Kota Malang menyatakan kepada pers

setelah kejadian bahwa unjuk rasa di Malang tersebut tidak berizin karena

pihaknya tidak memberikan tanda terima pengajuan permohonan unjuk rasa.

Selain itu, ketika ditanyai oleh pers mengenai kemungkinan pemulangan

mahasiswa Papua ke daerah asalnya setelah kejadian tersebut, Wakil Walikota

Malang Sofyan Edi Jarwoko menjawab bahwa hal itu dapat menjadi salah satu

pilihan.Sementara itu, pihak Aliansi Mahasiswa Papua selaku pelaku unjuk

rasa menyatakan bahwa mereka dihadang dan diserang oleh kelompok

organisasi masyarakat. Mereka mendapatkan ujaran kebencian dan kekerasan

fisik yang membuat lima orang terluka. Selain itu, menurut mereka, pihak

kepolisian membiarkan kekerasan tersebut terjadi pada mereka. 103

Di Semarang, diduga terjadi tindak diskriminasi berupa

pemasangan secara paksa spanduk bertuliskan Tidak setuju Asrama West

Papua digunakan untuk kegiatan yang mengarah pada pemisahan Papua

dari NKRI. Pemaksaan pemasangan ini disertai dengan pendataan

102
Nurlayla Ratri Heryanto, Ed. "Statement Asli Wakil Wali Kota Malang Dan
Kronologi Ricuh Demonstrasi Mahasiswa Papua". Malangtimes, 19 Agustus 2019, Diakses
Tanggal  20 Oktober 2021.

103
Aminatus Sofya & Rifky Edgar. Mujib Anwar, Ed. "Aliansi Mahasiswa Papua
Demonstrasi Di Malang Ngaku Dipukul & 5 Luka Berat, Polisi Sebut Langgar
Uu". Tribunmadura.Com. Diakses Tanggal 20 Oktober 2021.

72
terhadap seluruh mahasiswa Papua. Peristiwa tersebut di atas diantaranya

diduga dilakukan Ormas, Satpol PP, dan anggota TNI. 104

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Semarang tindakan warga yang

memasang spanduk bernada provokatif di depan Asrama Papua Semarang

Anggota AMP, mengatakan, spanduk yang dipasang telah

mendiskriminasikan mahasiswa Papua yang belajar di Semarang. "Kami

sudah meminta spanduk agar dicopot saja, karena diskriminatif. Namun,

Ketua RW setempat dan warga bersikeras tetap memasangnya,". Beredar foto

spanduk di media sosial. Spanduk dengan latar warna merah dan putih

disertai peta Indonesia ini tertulis: "Kami warga Kelurahan Candi tidak setuju

Asrama West Papua digunakan untuk kegiatan yang mengarah pemisahan

Papua dari NKRI. Jika hal tersebut dilakukan kami sepakat menolak

keberadaan West Papua di Kelurahan Candi. NKRI harga mati."

"AMP Nilai Diskriminatif Pemasangan Spanduk di Asrama Papua

Semarang", Pemasangan spanduk ini, dipaksakan karena mahasiswa West

Papua di sana dalam rangka menuntut ilmu. Selama di Semarang, mereka

menghuni asrama di Kelurahan Candi, Kecamatan Candisari, Kota Semarang,

Jawa Tengah. Menurutnya, penghuni asrama telah berusaha untuk

berkomunikasi dengan warga agar spanduk diturunkan. "Kami mencoba

membangun komunikasi dengan warga dan Ketua RW untuk menanyakan

alasan pemasangan spanduk ini. Tapi justru mereka masuk ke dalam asrama

104
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Hentikan Rasisme, Diskriminasi Dan
Kekerasan Pada Rakyat Papua, Jakarta:Siaran Pers, Http://Walhi.Or.Id/Hentikan-Rasisme-
Diskriminasi-Dan-Kekerasan-Pada-Rakyat-Papua.

73
dan meminta KTP dan KTM penghuni asrama dikumpulkan. Setelah itu

mereka keluar membawa data diri kami tanpa mau menurunkan spanduk,". Ia

menyebut, usai pemasangan spanduk ada puluhan anggota ormas di depan

asrama. Ada aparat TNI dan Polri yang juga di sana. Namun, kini mereka

sudah meninggalkan lokasi. 105

50 anggota ormas bersama aparat yang berada depan Asrama West

Papua Semarang sudah membubarkan diri. Diketahui, sebelum pemasangan

spanduk ada surat pemberitahuan dari Ketua RW setempat tertanggal 14

Agustus kepada penghuni Asrama West Papua. Penghuni asrama justru

diajak memasang bendera Merah Putih dan spanduk bernada diskriminasi di

depan asrama. "Sampai saat ini kami menolak pemasangan spanduk dan

meminta itu diturunkan.

Dalam hal ini, meminta kepada aparat TNI dan Polri tidak

memprovokasi warga dan tak membiarkan ormas bertindak sewenang-

wenang," Sehari sebelumnya pada 17 Agustus 2019, aparat kepolisian di

Surabaya membawa 42 mahasiswa Papua di sana yang berada di asrama

setempat dengan dalih penyelidikan perusakan bendera Merah Putih. Namun,

mereka kini telah dibebaskan dan disebut tak terbukti atas tudingan

tersebut.106

5. Upaya penghapusan Diskriminasi Rasis di Indonesia


105
Zakki Amali, Amp Nilai Diskriminatif Pemasangan Spanduk Di Asrama Papua
Semarang, Https://Tirto.Id/Amp-Nilai-Diskriminatif-Pemasangan-Spanduk-Di-Asrama-Papua-
Semarang-Egvq, Diakses Pada 20 Oktober 2021.
106
Zakki Amali, Amp Nilai Diskriminatif Pemasangan Spanduk Di Asrama Papua
Semarang, Https://Tirto.Id/Amp-Nilai-Diskriminatif-Pemasangan-Spanduk-Di-Asrama-Papua-
Semarang-Egvq, Diakses Pada 20 Oktober 2021.

74
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 mengenai Rencana

Pembangunan Jangka Menengah, pemerintah menunjukkan komitmen dalam

rangka menghapus diskriminasi dalam bebagai bentuk sebagai salah satu

agenda untuk menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.107

Penguatan komitmen pemerintah untuk menolak berbagai bentuk

diskriminasi sebagaimana diatur dalam Konvensi Internasional tentang

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasisme yang telah diratifikasi dan

mempunyai konsekwensi wajib untuk melakukan penyesuaian berbagai

peraturan perundangundangan nasional.108

Indonesia telah meratifikasi International Convention on Elimination

of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) tentang penghapusan segala

bentuk diskriminasi rasisme sejak tahun 1999 yang disahkan melalui UU

No.29 tahun 1999. Dalam hal ini, Indonesia telah berkomitmen untuk

mematuhi ICERD dalam rangka menghapuskan segala bentuk diskriminasi

rasisme yang ada di Indonesia, ICERD bersifat legally binding atau mengikat

secara hukum bagi negara yang telah meratifikasinya. Terkait kepatuhan

tersebut pada pasal 9 ayat 1 konvensi ICERD menyebutkan bahwa setiap

negara anggota konvensi diwajibkan untuk mengirimkan laporan periodik

kepada The Committee on the Elimination of Racial Discrimination (ICERD)

107
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM”,
(Jakarta: Genta Publishing, 2013), h.498.
108
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham, h. 499

75
yaitu sebuah badan ahli yang independen yang bertugas mengawasi

implementasi ICERD di negaranegara anggota konvensi. 109

Bentuk komitmen penghapusan diskriminasi adalah sebagai beriku:

1. Meletakkan prinsip non diskriminasi sebagai salah satu prinsip non

diskriminasi sebagai salah satu prinsip hak asasi manusia. Prinsi ini

bersamaan dengan prinsip-prinsip HAM lainnya.

2. Mendeklarasikan prinsip non diskriminasi dalam Deklarasi Univeral Hak

Asasi Manusia

3. Meletakan prinsip non diskriminasi dalam berbagai produk hukum

internasional diantaranya:

a. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

b. Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

c. Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Rasisme dan Etnis.

d. Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

pada Perempuan.

e. Konvensi Internasional tentang Hak Anak.

f. Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan

Diskriminasi Berbasis Agama atau Keyakinan.

g. Deklarasi tentang Hak atas Orang yang termasuk dalam Kelompok

Minoritas Etnis, Agama/Keyakinan, dan Bahasa.


109
Novia Sekar Tanjung Barokah, Antara Ketidakpatuhan Dan Sejarah Masa Lalu:
Analisis Kepatuhan Negara Indonesia Terhadap Konvensi Icerd, Studi Kasus Daerah
Istimewa Yogyakarta Dan Papu, Journal Of International Relations, Volume 4, Nomor 3,
2018, h. 447

76
h. Konvensi Internasional untuk Buruh Migran.

i. Konvensi Internasional untuk Penyandang Cacat.110

Ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis , utuk

penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara, pemerintah dan

pemerintah daerah wajib:

1. Memberikan perlindungan yang efektif kepada setiap warga negara yang

mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya

secara efektif upaya penegakan hukum terhadap setiap tindakan diskriminasi

yang terjadi, melalui proses peradilan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

2. Menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pertolongan, penyelesaian,

dan penggantian yang adil atas segala kerugian dan penderitaan akibat

diskriminasi ras dan etnis;

3. Mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis,

dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan

4. Melakukan tindakan yang efektif guna memperbarui, mengubah, mencabut,

atau membatalkan peraturan perundang-undangan yang mengandung

diskriminasi ras dan etnis.111

110
Uli Parulian Sihombing, Memahami Diskriminasi Untuk Memahami Buku
Kebebasan Beragama, (Jakarta: Ilrc, 2009), h.22
111
Andi Murniati Saloko, Diskriminasi Ras Dan Etnis Menurut Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras, Jurnal Untad, 2013, h. 173

77
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan

Diskriminasi Ras Dan Etnis menegaskan bahwa Diskriminasi ras dan etnis adalah

segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan

pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan,

perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu

kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ras adalah

golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan.112

BAB III

Peran Pemerintah Dalam Menyelesaikan Isu Rasisme di Papua

A. Diskriminasi Ras dan Etnis menyerang Pluralisme dan Multikultur di

Indonesia

Pluralitas113 merupakan sesuatu yang tidak akan dihindari Indonesia.

Sebagai negara kepulauan, dan sejak awal sudah menjadi Negara bangsa ang

multi ras, multi etnis, multi agama, dan multi budaya. Peristiwa sejarah

112
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan
Etnis, Undang-Undang No. 40 Tahun 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 170, Pasal 1 ayat 1.
113
Menurut Prof.Dr. Farida Hanum, Pendidikan Multikultural Dalam Pluralisme
Bangsa Esensi Makna Pluralisme Tidak Hanya Diartikan Sebagai Sebuah Pengakuan
Terhadap Keberagaman Suatu Bangsa, Akan Tetapi Disamping Itu Pluralisme Juga
Mempunyai Implikasi-Implikasi Politis, Sosial, Dan Ekonomi. Pluralisme Merupakan Suatu
Sistem Nilai Atau Pandangan Yang Mengakui Keragaman Di Dalam Suatu Bangsa.
Keragaman Atau Kemajemukan Dalam Suatu Bangsa Itu Haruslah Senantiasa Dipandang
Positif Dan Optimis Sebagai Kenyataan Riil Oleh Semua Anggota Lapisan Masyarakat
Dalam Menjalani Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara. Dalam Jurnal Sosiologi, Hendri
Masduki, Pluralisme Dan Multikulturalisme Dalam Perspektif Kerukunan Antar Umat
Beragama (Telaah Dan Urgensinya Dalam Sistem Berbangsa Dan Bernegara), Dimensi,
2016, Vol 9(1), h. 16

78
medorong terjadinya integrasi sosial yang menghasilkan keberagaman bangsa

Indonesia.114

Konsepsi kebangsaan Indonesia merupakan suatu usaha untuk mencari

persatuan dalam perbedaan. Tepat kiranya kalau Indonesia disebut sebagai

negara persatuan. Pancasila yang merupakan Dasar Negara Republik Indonesia

meletakkan dasar kebangsaan sebagai simpul persatuan Indonesia. Suatu

konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan dalam suatu keragaman, dan

keragaman dalam persatuan (unity in diversity; diversity in unity); yang dikenal

dengan semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika'.115

Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi

tetap satu sangat sesuai dengan social condition dan cultural setting Indonesia,

sebagai ungkapan yang menunjukkan adanya kemauan yang serius untuk

mewujudkan suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu dalam

keberagaman. Melalui semangat pluralisme dan multikulturalisme, sentralisme

yang otoriter sebagai perekat integrasi nasional seharusnya bisa didekonstruksi.

Ironinya “masyarakat multikultural Indonesia” ternyata masih belum terwujud di

era Reformasi sekarang ini, berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di

sejumlah daerah di Indonesia, menunjukkan kecenderungan dan potensi

kekerasan antar masyarakat yang multi-etnis dan bangsa sesungguhnya tak

pernah benar-benar menurun pasca runtuhnya Orde Baru, masih banyak

keterpinggiran yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas. Meskipun


114
Leo Suryadinata Dan Evi Nurvida Arifin,, Penduduk Indonesia, (Jakarta: LP3ES,
2003), h. 102.
115
Leo Suryadinata Dan Evi Nurvida Arifin, 2003, Penduduk Indonesia, Jakarta:
LP3ES, h. 41

79
reformasi politik memang menghasilkan sejumlah perubahan positif, misalnya

lebih menghargai masyarakat adat, namun lanskap kebijakan pemerintah

Indonesia tentang multikulturalisme hampir tidak beranjak jauh dari perspektif

masa lalu.116

B. Perlindungan Hukum terhadap diskriminasi Rasisme dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia

Penegakan hukum dalam sebuah konflik etnis yang berskala massif,

tentu juga memiliki makna pemulihan keadilan atau restorative justice.117

Pemulihan keadilan ini yang kemudian dapat menopang berlakunya kembali

rule of law, sebagai syarat penting bagi penguatan demokrasi di masa damai.118

Frans Magnis Suseno juga menegaskan bahwa prakondisi-prakondisi

tertentu yang harus diciptakan pemerintah melalui menetapkan kembali kekuatan

hukum (the rule of law) di mana segenap pelanggaran undang-undang, baik

116
Achmad Fedyani Syaifuddin, “Membumikan Multikulturalisme Di Indonesia”,
Dalam Jurnal Antropologi Sosial Budaya, Etnovisi Vol II, No. I, April 2006. Depok:
Departemen Antropologi UI, h. 3.
117
Ahli Krimonologi Berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall Dalam Tulisannya
”Restorative Justice An Overview” Mengatakan:“Restorative Justice Is A Process Whereby
All The Parties With A Stake In A Particular Offence Come Together To Resolve Collectively
How To Deal With The Aftermath Of The Offence And Its Implication For The Future”
(Restorative Justice Adalah Sebuah Proses Dimana Para Pihak Yang Berkepentingan Dalam
Pelanggaran Tertentu Bertemu Bersama Untuk Menyelesaikan Persoalan Secara Bersama-
Sama Bagaimana Menyelesaikan Akibat Dari Pelanggaran Tersebut Demi Kepentingan
Masadepan). Pandangan Michael Tonry, Melalui Penelitiannya Tahun 1999 Terhadap
Kebijakan Pemidanaan Di Amerika, Bahwa Restorative Justice Mempunyai Pengaruh Besar
Karena Kemampuan Konsep Tersebut Memberikan Manfaat Kepada Semua Tahapan
Proses Peradilan Dan Menempatkan Pelaku Dengan Tepat Dalam Proses Peradilan.
Menurutnya Ada 4 (Empat) Konsep Pemidanaan, Yaitu: 1.Structured Sentencing
(Pemidanaan Terstruktur), 2. Indeterminate (Pemidanaan Yang Tidak Menentukan) Dan 3.
Restorative/Community Justice (Pemulihan/Keadilan Masyarakat). Dalam Tulisannya,
Filsafat Hukum Damang Averroes Al-Khawarizmi · Published January 1, 2012 ·
Updated January 1, 2012, Tanggal 27 Oktober 2019.
118
Aichr”, Jurnal Demokrasi Dan Ham Vol.9, No.1, (Jakarta: The Habibie Center,
2011), h. 15

80
individual maupun masal, selalu ditindak dengan tegas dan tak pernah dibiarkan,

Di sini termasuk pengembalian perang yudikatif (kehakiman, pengadilan) yang

bersih dan kompeten.119

Apabila negara tidak berhasil menciptakan prakondisi yang mencakup

penegakan hukum tersebut, maka Indonesia akan selalu berada di bawah todongan

konflik komunal. Konflik etnis, seperti di Kalimantan atau keagamaan, seperti di

Maluku dan Poso, sebenarnya lebih merupakan konflik komunal daripada konflik

budaya, konflik ideologi. konflik agama. Jika terjadi konflik. Semua prasangka

komunal akan semangkin memancing berbagai potensi konflik lain, sehingga menjadi

sangat berbahaya.120

Penegakan hukum seharusnya dapat menjamin terwujudnya keadilan dan

kepastian hukum yang merupakan misi utama dari penegakan hukum sekaligus

merupakan tujuan dari hukum yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang memelihara

kepentingan umum, yang menjaga hak-hak asasi manusia dan juga menciptakan suatu

kehidupan bersama yang adil dan tidak diskriminatif. Penegakan hukum harus

mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Permasalahannya adalah masih belum

ada parameter yang digunakan untuk menyatakan bahwa rasa keadilan masyarakat

telah terpenuhi.

Penegakan hukum diharapkan tuntutan pemenuhan rasa keadilan masyarakat

dapat direalisasikan. Menurut Satya Arinanto, di satu sisi masyarakat menghendaki

terealisasikannya rasa keadilan masyarakat, namun dalam realitanya ukuran rasa


119
Zainal Abidin Bagir Et Al, Pluralisme Kewargaan, (Bandung: Mizan Dan Crcs Ugm,
2011), h. 53-54.
120
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM”,
(Jakarta: Genta Publishing, 2013), h.497

81
keadilan masyarakat itu tidak jelas. Oleh karenanya untuk dapat mewujudkan
121

keadilan maka keadilan dimaksud seharusnya sesuai dengan Teori John Rawls yaitu

justice as a fairness yang memiliki inti sebagai berikut: a. Memaksimalkan

kemerdekaan, Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan

kemerdekaan itu sendiri, b. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam

kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam

(“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada

kemungkinan keuntungan yang lebih besar. c. Kesetaraan kesempatan untuk

kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan

kekayaan.122

C. Keistimewaan otonomi khusus Papua dalam menanggapi Diskriminasi

Rasisme

Undang-Undang Otonomi khusus Papua memberikan konsesi social

ekonomi yang sangat besar begitupun salah satunya undang-Undang Otsus juga

memberikan konsesi politik dan HAM yang sangat luas Salah satu yang paling

unik adalah Majelis Rakyat Papua MRP yang diharapkan berfungsi sebagai

lembaga perwakilan orang asli Papua Selanjutnya masih ada peluang pendirian

partai politik lokal pengakuan hak adat pengadilan HAM dan bahkan komisi

kebenaran dan rekonsiliasi Dengan penetapan Undang-Undang Nomor 21 tahun

121
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, (Depok:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), h.340
122
Damanhuri Fattah, Teori Keadilan Menurut John Rawls, Jurnal Tapis Vol.9 No.2
Juli-Desember 2013, H.36

82
2001 maka Otsus Papua menjadi harapan baru penyelesaian konflik di Tanah

Papua atau populer dengan istilah jalan tengah.123

Menurut Margareta Hanita Pakar Kajian ketahanan Nasional,

Nasionalisme Papua merupakan sebuah tantangan yang sangat serius tetapi

tidak diselesaikan dengan serius. Dalam hal ini, NKRI tidak mau kehilangan

Papua. Kondisi papua yang dimaksud dengan otonomi khusus adalah salah satu

strategi pemerintah indonesia sebagai politik integerasi dengan Papua. Sejarah

politik Papua yaitu mengenai kebenaran papua mau bergabung dengan

Indonesia.

Ada 3 hal penting yang di akomodasi dalam OTSUS maka simbol

budaya MRP merupakan representasi kelompok minoritas di Papua bagi

mereka, yaitu:

1. kelompok adat

2. agama

3. perempuan

Deprivasi relatif tertekan berat pada kelompok dominan di Papua

pemerintah di Papua selalu dibangun dengan 3 tumpu pendekatan yaitu

pemerintah adat, perempuan dan agama. Ketiga tumpu ini yang sangat penting

bagi masyarakat Papua bahwasannya, masyarakat hukum adat lebih tunduk

123
Muridan S Widjojo Dan Aisah Putri Budiatri, Undang-Undang Otonomi Khusus
Bagi Papua Masalah Legitimasi Dan Kemauan Politik, Jurnal Penelitian Politik, Lipi, Vol. 9,
No. 1, 2012, H. 65

83
kepada hukum adat dari pada hukum positif. Keberadaan hukum positif perdasus

tentang pengadilan adat ini juga masih jalan tapi tidak efektif. 124

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka

peningkatan pelayanan service, dan akselerasi pembangunan acseleration

development, serta pemberdayaan empowerment seluruh rakyat di Provinsi

Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat

mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan Provinsi-Provinsi lain

dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta akan memberikan

peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah diwilayahnya sebagai pelaku

sekaligus sasaran pembangunan. 125

Provinsi Papua diberi Otonomi Khusus pada dasarnya adalah sebagai

pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah

Provinsi/Kabupaten/Kota dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri

sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai

dampak dari penetapan Otonomi Khusus,126 maka perlakuan berbeda yang

diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Dengan kata lain terdapat hal-hal

mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di Provinsi
124
Dalam Seminar Dialog Perdamaian “Damai Papua Untuk Keutuhan Nkri”, Kajian
Strategik & Global UI.
125
Papua Web, Bagian Pertama Kajian Otonomi Khusus Papua,
Http://Papuaweb.Org/Goi/Otsus/Uncen/2003-Kajian.Rtf., h. 1
126
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua Menyatakan Bahwa Otonomi Khusus Adalah Kewenangan Khusus
Yang Diakui Dan Diberikan Kepada Provinsi Papua Untuk Mengatur Dan Mengurus
Kepentingan Masyarakat Setempat Menurut Prakarsa Sendiri Berdasarkan Aspirasi Dan
Hak-Hak Dasar Masyarakat Papua. Republik Indonesia, , “Undang‐Undang RI Nomor 21
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah Papua, Lembaran Negara Tahun 2001 No.
135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151, Pasal 1 ayat 1.

84
lain di Indonesia, seiring dengan itu terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah

lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua.127

Kompromi politik yang berpengaruh penting dan mendasar dan memang

dimaksudkan untuk merespon tuntutan kemerdekaan di Papua. Proses

penyusunannya sendiri dilakukan secara sangat partisipatif, melibatkan

konsultasi berbagai stakeholders di Papua dan diskusi yang cukup alot di antara

tim perumusnya di Papua untuk kemudian dibawa ke dalam proses legislasi di

DPR nasional di Jakarta. Elemen-elemen tersebut antara lain:

1. Adanya afirmasi bahwa “orang asli Papua” berasal dari rumpun ras

Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua

2. Sistem legislatif yang bersifat bikameral, yaitu DPR Papua yang dipilih

melalui Pemilu, dan MRP (Majelis Rakyat Papua), ”yang merupakan

representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu

dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan

pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan,

dan pemantapan kerukunan hidup beragama.” MRP beranggotakan orang-

orang asli Papua yang terdiri atas wakilwakil adat, wakil-wakil agama, dan

wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total

anggota MRP.

3. Bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur haruslah orang asli Papua

127
Altianua Uamang, et, al, Implementasi Otonomi Khusus Provinsi Papua Dalam
Ketahanan Wilayah Nkri Di Pemerintah Kebupaten Mimika (Studi Pada Pengelolaan Dana
Desa Distrik Jila Tahun 2016-2017), Reformasi Issn 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864
(Online), Volume 8, Nomor 1 (2018), h. 51

85
4. Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen

politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan

memprioritaskan masyarakat asli Papua.

5. Bahwa Provinsi Papua akan memperoleh Penerimaan khusus dalam

rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2%

(dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama

ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Selain itu juga

Provinsi Papua memperoleh proporsi bagi hasil dari pendapatan yang

berasal dari sumberdaya alam lebih besar dibandingkan daerah-daerah

lainnya.

6. Penghormatan hak-hak azazi manusia, dengan kewajiban pemerintah

membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan

Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi

Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tugas Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah untuk melakukan klarifikasi sejarah

Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia; dan merumuskan dan menetapkan langkah-

langkah rekonsiliasi.

7. Pengerahan militer melalui pertimbangan pemerintahan daerah (legislatif

dan eksekutif) dan polisi yang bertanggung-jawab kepada gubernur

Penerapan otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun

86
2001 merupakan bagian dari pelaksanan otonomi daerah yang diadopsi

dalam sistem pemerintahan nasional Indonesia.128

Dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,129 ada kelompok masyarakat yang

menganggap Otonomi khusus Papua gagal, sementara yang lainnya

128
Azmi Muttaqin, Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Merespon Konflik Dan
Aspirasi Kemerdekaan Papua, Jurnal Hukum Undip, 2011, h. 11
129
Proses Kelahiran Uu Otonomi Khusus Konflik Tanah Papua Telah Berlangsung
Lebih Dari Lima Dekade Tim Kajian Papua Lipi Yang Bekerja Sejak 2004 Menghasilkan
Road Map Papua Pada 2008 Yang Menunjukkan Empat Akar Masalah Papua.
Pertama Proses Integrasi Wilayah Papua Ke Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia Dipandang Oleh Pimpinan Dan Pendukung Papua Merdeka Masih Bermasalah
Akibatnya Sejak 1964 Gerakan Menuntut Kemerdekaan Muncul Baik Secara Politik Maupun
Dengan Perlawanan Bersenjata Tpn Opm Dan Bertahan Hingga Hari Ini Dalam Kaitan
Dengan Tuntutan Kemerdekaan Ini Terjadi Operasi Militer Dan Kebijakan Represif Lainnya
Yang Berturut Turut Dan Menimbulkan Akar Masalah
Kedua Yakni Kekerasan Negara Dan Tuduhan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Suasana Konflik Yang Berkepanjangan Juga Menciptakan Akar Masalah
Ketiga Kegagalan Pembangunan Terutama Di Bidang Pendidikan Kesehatan Dan
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Keempat Marginalisasi Dan Efek Diskriminatif Terhadap Orang Ash Papua Akibat
Pembangunan Ekonomi Konflik Politik Dan Migrasi Massal Ke Papua Yang Mulai Intensif
Sejak 1970.
2 Negara Telah Menjalankan Banyak Upaya Untuk Meredam Konflik Papua Mulai
Dari Pendekatan Represif Dengan Kekuatan Militer Hingga Pendekatan Pembangunan
Ekonomi Orde Baru Di Bawah Presiden Soeharto Menempatkan Papua Irian Jaya Saat Itu
Sebagai Daerah Operasi Militer Dom Kebijakan Dom Ini Dihentikan Oleh Presiden B J
Habibie Pada 1998. Meskipun Demikian Pendekatan Keamanan Yang Represif Tetap
Digunakan Intensitasnya Bergantung Pada Tingkat Resistensi Politik Di Papua Dan Soliditas
Pemerintah Pusat Di Jakarta Yang Berkembang Pada Saat Itu Misalnya Pada Paruh Kedua
1998 Hingga Paruh Pertama 2000 Pemerintah Lebih Akomodatif Persuasif Dan Kurang
Represif Pada Kurun 2001 Hingga 2004 Pemerintah Cenderung Lebih Represif Dan
Seterusnya Hingga 2011 Pendekatan Keamanan Juga Masih Berlangsung Sebagai Ilustrasi
Jumlah Pasukan Tni Di Tanah Papua Diperkirakan Mencapai 14842 Orang
Sementara Pendekatan Keamanan Tetap Dipertahankan Terjadi Perubahan Skema
Pen Dekatan Pemerintah Untuk Meredam Konflik Berbeda Dengan Orde Baru Era Reformasi
Yang Diawali Oleh Pemerintahan Habibie 1998 1999 Mengandalkan Pemberian Otonomi
Habibie Menilai Bahwa Perjuangan Kelompok Separatis Irian Jaya Untuk Melepaskan Diri
Dari Indonesia Dapat Mengganggu Stabilitas Politik Dan Ekonomi Hingga Menghambat
Pelaksanaan Reformasi Oleh Karena Itu Presiden Habibie Mengajukan Penyelesaian Konflik
Provinsi Irian Jaya Melalui Mekanisme Demokrasi Dengan Pemberian Otonomi Daerah
Sesuai Uud Ketetapan Mpr Uu Dpr Dan Peraturan Daerah
Pendekatan Otonomi Terbentuk Setelah Presiden Habibie Bertemu Dengan Wakil
Masyarakat Irian Jaya Yang Disebut Tim 100 Dalam Kerangka Dialog Nasional Pada 26
Februari 1999 Dialog Nasional Merupakan Respons Pemerintah Terhadap Aksi Masyarakat
Papua Yang Menuntut Kemerdekaan Termasuk Pengibaran Bendera Bintang Kejora Pada

87
menyatakan undang-undang ini telah memberikan kemanfaatan. Misalnya,

lewat beberapa kebijakan pembangunan pemerintah daerah Provinsi Papua,

Kabupaten, dan Kota bagi orang Papua. Bagi pemerintah daerah (Provinsi dan

Kabupaten/Kota) Otsus Papua juga telah memberikan perubahan bagi

kehidupan masyarakat Papua, walaupun ada sebagian kelompok orang Papua

Masa Reformasi 1998 Sekaligus Menanggapi Tekanan Komunitas Komunitas Internasional


Yang Menuntut Indonesia Menyelesaikan Persoalan Pelanggaran Hakasasi Manusia Ham
Dorongan Internasional Tersebut Diantaranya Termasuk Surat Dari Kongres Amerika Serikat
Tertanggal 22 Mei 1998 Dan Surat Dari Robert F Kennedy Memorial Tertanggal 27 Mei 1998
Yang Ditujukan Kepada Presiden Habibie Dalam Dialog Nasional Tersebut Tom Beanal
Ketua Tim 100 Menyatakan Keinginan Rakyat Papua Untuk Memerdekakan Diri Dari
Indonesia Tim 100 Menyatakan Kami Sudah Cukup Menderita Kami Sebenarnya Sudah
Merdeka Pada Tanggal 1 Desember 1961 Kedaulatan Kami Dirampas Oleh Republik
Indonesia Kami Sebagai Bangsa Tidak Diakui Dan Martabat Kami Diinjak Injak Segala Hal Ini
Terbukti Dalam Sejumlah Besar Pelanggaran Hak Hak Asasi Orang Papua Segalanya Itu
Menjadi Dasar Nyata Untuk Menyatakan Bahwa Sekarang Sudah Cukup Dan Kepercayaan
Masyarakat Papua Pada Pemerintah Indonesia Sudah Tidak Ada Lagi Menghadapi Tuntutan
Merdeka Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung Mereduksinya Dengan Menyatakan
Bahwa Pada Intinya Aspirasi Masyarakat Papua Adalah Otonomi Dan Pembangunan Bukan
Kemerdekaan.
Untuk Meredam Kuatnya Tuntutan Di Daerah Termasuk Papua Pemerintahan
Habibie Merumuskan UU No 22 Tabun 1999 Tentang Pemerintah Daerah Solusi Yang
Ditawarkan Oleh UU Tersebut Adalah Desentralisasi Yaitu Kontrol Administrasi
Danpengelolaan Sumber Daya Lokal Dijalankan Oleh Pemerintahan Daerah Tngkat
Kabupaten Kota Khusus Sebagai Reaksi Atas Tuntutan Merdeka Tim 100 Ditambah Dengan
Meningkatnya Intensitas Kegiatan Pro Merdeka Di Papua Pemerintah Habibie Menelurkan
Uu No 45 Tabun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah Provinsi Irian Jaya
Barat Kabupaten Paniai Kabupaten Mimika Kabupaten Puncak Jaya Dan Kota Sorong
Dengan Sk Presiden Habibie Juga Menetapkan Dua Gubernur Bagi Provinsi Irian Jaya
Bagian Tengah Dan Barat Yakni Abraham Atururi Dan Herman Monim Yang Sebelumnya
Menjabat Wakil Wakil Gubernur Irian Jaya Kedua Gubernur Baru Tersebut Dilantik Secara
Diam Diam Di Jakarta Pada 11 Oktober 1999.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Mpr Ri Hasil Pemilu 1999 Segera Merumuskan
Kebijakan Baru Tentang Papua Mpr Ri Mengesahkan Tap Mpr Ri Nomor Iv Tentang Garis
Garis Besar Haluan Negara Gbhn 1999 2004 Yang Menetapkan Bahwa Integrasi Bangsa
Dipertahankan Di Dalam Wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia Dengan Tetap
Menghargai Ke Setaraan Dan Keragaman Kehidupan Social Budaya Masyarakat Irian Jaya
Melalui Penetapan Daerah Otonomi Khusus Yang Diatur Dengan Undang-Undang Tap Mpr
Tersebut Juga Menyatakan Batas Waktu 1 Mei 2001 Untuk Penyelesaian Uu Otonomi
Khusus Papua Menurut S P Morin Anggota Dpr Wakil Dari Provinsi Papua Ide Otonomi
Khusus Tersebut Awalnya Dibicarakan Untuk Ditetapkan Hanya Di Provinsi Aceh Baru
Setelah Perdebatan Panjang Yang Melibatkan Politisi Politisi Papua Termasuk J P Solossa
Ruben Gobay Dan Tony Rahail Otonomi Khusus Akhirnya Diberlakukan Juga Untuk Papua,
Sejarah Lahirnya Otsus Papua Dalam Jurnal, Muridan S Widjojo, et, al, Undang-Undang
Otonomi Khusus Bagi Papua Masalah Legitimasi Dan Kemauan Politik, Jurnal Penelitian
Politik, Vol. 9, No. 1, 2012, h. 60-62

88
beranggapan sebaliknya. Dengan demikian, implementasi Otsus Papua masih

memunculkan sejumlah permasalahan yang memerlukan pemecahan konkret.


130

Menurut LIPI yang disampaikan dalam dialog damai Papua oleh

Mathodius Kossay aktivis muda Papua, penyelesaian konflik di Papua, harus

tersampaikan antara lain tentang: pertama, Diskriminasi, kedua, Gagalnya

ekonomi rakyat, ketiga, Kontradiksi antara jakarta dan papua dan yang

terakhir juga HAM. Dialog keempat masalah tersebut harus dilakukan tanpa

kekerasan, bermartabat, saling intervatif, menyeluruh dengan cara:

1. Dialog antar internal 7 wilayah adat

2. Dialog antar warga papua orang asli papua, orang papua

3. Dialog antar wakil2 didalam maupun diluar papua

4. Wakil pemrintah indonesia dengan pemerintah Papua131

Menurut Scott A. Bollens, penerapan otonomi khusus sebagai wujud

pelaksanaan otonomi daerah merupakan upaya pemerintah pusat untuk

memberi kesempatan bagi kalangan minoritas dapat lebih terlibat aktif dalam

politik, menawarkan prospek bagi minoritas untuk mempertahankan

kebudayaannya, meningkatkan kesempatan untuk lahir dan terbangunnya

koalisi antar-etnis, dan memberikan kesempatan yang luas bagi daerah -

130
Altianua Uamang, et, al, Implementasi Otonomi Khusus Provinsi Papua Dalam
Ketahanan Wilayah Nkri Di Pemerintah Kebupaten Mimika (Studi Pada Pengelolaan Dana
Desa Distrik Jila Tahun 2016-2017), Reformasi Issn 2088-7469 (Paper) Issn 2407-6864
(Online) Volume 8 Nomor 1 (2018) Magister Administrasi Publik, Universitas Tribhuwana
Tunggadewi, h. 52
131
Dalam Seminar Dialog Perdamaian “Damai Papua Untuk Keutuhan Nkri”, Kajian
Strategik & Global Ui, Selasa, 17 September 2019.

89
daerah yang berpotensi terpecah-belah untuk mengusahakan jalan keluar

secara konstitusional.132

Oleh karenanya, klausula-klausula yang berbeda dengan penerapan

otonomi daerah diwilayah Provinsi lainnya, maka Undang-Undang No 21

Tahun 2001 tentang Otsus Papua ini dapat dikategorikan sebagai bentuk

otonomi daerah asimetris yang dimaksudkan untuk menghargai kekhasan

yang dimiliki dan meminimalisir potensi resistensi dan yang dapat

menghasilkan dampak negatif, termasuk kekhawatiran bahwa otonomi bisa

merupakan “batu loncatan” untuk pemisahan diri.

D. Kelemahan dalam Penerapan Otonomi Khusus daerah Papua

Kendala yang muncul dan mengganggu efektifitas dalam penerapan

Otsus itu dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut :

Pertama, lambatnya penerbitan Peraturan Pemerintah No 54 Tahun

2004 tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua MRP. Sejak Pemerintah

Provinsi Papua memasukkan Draft PP tentang pembentukan Majelis Rakyat

Papua MRP Tahun 2002, implementasi pembentukan Majelis Rakyat Papua

baru dilaksanakan pada Bulan November 2005, padahal berdasarkan aturan

yang ada lembaga ini harus dibentuk paling lambat satu tahun setelah UU

Otsus diberlakukan.

132
Lukas Luli Lasan, Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya  Merespon Konflik  Dan  Aspirasi
Kemerdekaan Papua, Https://Www.Academia.Edu/13154823/Otonomi_Khusus_Papua, h. 6

90
Kedua, minimnya aturan pelaksanaan dalam bentuk Perdasi dan

Perdasus. Dalam kurun penerapan UU Otsus bagi Provinsi Papua khususnya

penyusunan peraturan pelaksanaan dalam bentuk Perdasi dan Perdasus belum

berjalan optimal padahal untuk mengejawantahkan UU No 21 Tahun 2001

diperlukan adanya Perdasi dan Perdasus sebagai instrumen operasionalisasi

dalam mewujudkan citacita pembangunan yang berorientasi pada

perlindungan dan penegakan hak-hak dasar orang asli Papua. Hal ini

dipertegas dalam pasal 75 UU No 21/2001 bahwa "peraturan pelaksanaan

yang dimaksud dalam Undang-undang Otonomi Khusus ditetapkan paling

lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan".

Ketiga, lemahnya konsistensi atas perlindungan dan penegakan

HAM. Harus diakui implementasi UU Otsus tidak serta-merta mampu

membawa perubahan signifikan dalam proses penegakan HAM di Papua.

Selama penerapan UU Otsus sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua,

semisal kasus Wamena 2003, Kasus Puncak Jaya (2004), pasca persidangan

kasus filep Karma (2005) Kasus Abepura (Maret 2006) Kasus penembakan

Mako Tabuni Ketua I KNPB dan masih banyak kasus lainnya yang belum

tuntas diselesaikan. Sejatinya Undang-undang ini diharapkan mampu

menjawab persoalan atau meminimalisir pelanggaran HAM yang terjadi

selama ini di Papua. Terlepas dari segala kekurangan dan kelemahannya.

Paling tidak Otsus Papua masih dipandang sebagai salah satu peluang

strategis atau pintu masuk bagi penyelesaian pelanggaran dan HAM di Papua

91
baik pada masa lampau maupun saat ini. Walaupun hal ini tidak menjadi

alasan pembenaran yang diterima oleh berbagai pihak di Papua.

Keempat, konflik pemekaran wilayah. Hal ini muncul akibat

ketergesa-gesaan pemerintah dalam menjalankan kebijakan pemekaran yang

sebenarnya dimaksudkan untuk mengefektifkan fungsi pelayanan

pemerintahan dan pemerataan pembangunan di wilayah Papua. Namun

demikian, kebijakan pemekaran sebagaimana dimaksud pemerintah justru

memicu terjadinya konflik mengingat terbitnya Inpres Nomor 1/2003 pada

tanggal 27 Januari 2003 tentang percepatan pelaksanaan Undang-undang

Nomor 45 Tahun 1999 yaitu pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Irian

Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak

Jaya, dan Kota Sorong, dibuat tanpa melibatkan MPRP sebagaimana amanat

UU Otsus. Konflik yang terjadi baik akibat pemekaran wilayah maupun

proses pergantian kekuasaan yang melibatkan elit lokal di Papua ini

mengganggu efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di beberapa daerah di

Papua dan pada akhirnya mempengaruhi penerapan Otonomi Khusus.

Sebagaimana tersirat di dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang

menegaskan bahwa keberhasilan pelaksanaan Undang-undang Otonomi

Khusus sangat tergantung sejauh mana tata pemerintahan yang baik (good

governance) berjalan dengan efektif dan efisien dalam kerangka melayani

kepentingan publik yang lebih adil, demokratis dan acountabilty.

Kelima, keterbatasan dan lemahnya sumber daya manusia (SDM)

Papua dalam merespon kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar

92
sebagaimana terkandung dalam UU Otsus. Secara objektif harus dilihat

bahwa efektifitas pelaksanaan Otsus tidak hanya terkait dengan pendekatan

yang dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi juga melibatkan kesiapan SDM

Papua yang merupakan perangkat pelaksana kebijakan Otsus di lapangan.

Berbagai konflik ditingkat lokal serta berkembangnya praktek korupsi

memperlihatkan bahwa persoalan Otsus memiliki kaitan erat dengan

kapasitas lokal dalam menerima alokasi tanggungjawab dan kewenangan

yang lebih besar sesuai dengan tuntutan masyarakat selama ini.133

E. Upaya Pemerintah Dalam penghapusan Diskriminasi Rasisme di Indonesia

Upaya Pemerintah untuk penegakan hukum dan HAM di Indonesia

antara lain meliputi hal-hal berikut:

1. Membentuk Peraturan Perundang-undangan tentang HAM. Hal ini dapat

dibuktikan dengan telah dirumuskannya ketentuan tentang penghormatan

HAM Asasi Manusia dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dalam

alinea I sampai alinea IV. Selanjutnya dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum

amandemen juga sudah dimuat tentang jaminan terhadap Hak-hak Asasi

Manusia yang tercantum dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 UUD 1945.

2. Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)

sebagai gerakan nasional. Salah satu komitmen penting yang dimiliki

Indonesia dalam kerangka kebijakan HAM adalah Rencana Aksi Nasional

133
Azmi Muttaqin, Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Merespon Konflik Dan
Aspirasi Kemerdekaan Papua, Jurnal Hukum Undip, 2011, h. 14

93
HAM Indonesia/Natioal Action Plan on Human Rights (RANHAM).

RANHAM Indonesia adalah jejaring HAM yang sangat potensial dan

signifikan dalam upaya menumbukembangkan budaya penghormatan dan

perlindungan terhadap HAM Indonesia. Sampai saat ini, RANHAM

Indonesia telah memasuki gelombang ketiga yang sudah dimulai sejak

gelombang pertama 1998-2003,23 gelombang kedua 2004-200924 dan

gelombang ketiga 2011-2014.

3. Peningkatan efektifitas dan penguatan lembaga atau institusi hukum ataupun

lembaga yang fungsi dan tugasnya menegakkan Hak Asasi Manusia.

4. Peningkatan koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektifitas

penegakan hukum dan HAM. 134

Sebagai upaya perlindungan dan penegakan HAM, pemerintah juga telah

membentuk lembaga-lembaga Badan ataupun Komisi resmi yang menangani

masalah-masalah Hak Asasi Manusia dan menjaga agar tidak terjadi

pelanggaranpelanggaran terhadap HAM serta dapat mengawasi tindakan-

tindakan yang berujung pada pelanggaran HAM seperti diskriminasi terhadap ras

dan etnis. Lembagalembaga yang telah ada di bentuk oleh Pemerintah Indonesia

tersebut antara lain:

1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

2. Pengadilan HAM Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus

yang berada di lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di

134
Rahmah Sulaiman, Peran Pemerintah Republik Indonesia Dalam Menanggapi
Tuduhan Atas Pelanggaran Ham Di Papua, Jurnal Hukum Universitas Sumatera Utara, 2017,
H. 34

94
daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM merupakan pengadilan

khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputu kejahatan

genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. pengadilan HAM

diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM.

3. Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak

Indonesia

4. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Komisi ini

dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998.

Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini adalah

sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk

kekerasan terhadap perempuan.

5. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Bidang HAM Masyarakat

juga mendirikan lembaga HAM dalam bentuk LSM (Lembaga

Swadaya Masyarakat) atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan

NGO (Non Govermental Organization) yang berfokus pada upaya

pengembangan kehidupan yang demokratis dan pengembangan

HAM. LSM seperti ini sering disebut sebagai LSM Prodemokrasi dan

HAM. Dalam pelaksanaan perlindungan dan penegakan HAM , LSM

tampak merupakan mitra kerja Komnas HAM. Di berbagai daerah

95
pun kini telah berkembang pesat LSM dengan minat pada aspek

HAM dan demokrasi maupun aspek kehidupan yang lain.135

Upaya pemerintah dalam penghapusan diskriminasi Rasisme terdapat

beberapa kebijakan yang secara signifikan melarang dan menghapus

diskriminasi. Antara lain:

a. Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang menghentikan

penggunaan istilah Pribumi dan Non-Pribumi dalam semua perumusan

dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun

pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.

b. Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang pelanggaran

adat istiadat dan kebudayaan Cina diruang publik

c. keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Keputusan Presiden Nomor

240 tahun 1967 tentang warga negara Indonesia Keturunan Tiong Hwa;

d. ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 tentang Pers yang

menentukan pelarangan penggunaan bahasa dan aksara mandarin dalam

media massa dan dalam nama toko atau perusahaan.

e. Peraturan presiden nomor 7 tahun 2005 mengenai Rencana Pembangunan

jangka menengah, pemerintah menunjukkan komitmen dalam rangka

menghapus diskriminasi dalam berbagai bentuk sebagai salah satu agenda

untuk menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.136


135
Rahmah Sulaiman, Peran Pemerintah Republik Indonesia Dalam Menanggapi
Tuduhan Atas Pelanggaran Ham Di Papua, Jurnal Hukum Universitas Sumatera Utara, 2017,
H.35-36
136
Hesti Armiwulan Sochmarwadiah, Diskriminasi Rasial, Kebebasan Dan
Kesetaraan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta: 2013, H.
298

96
Dokumen kebijakan tersebut secara eksplisit pemerintah menyebutkan

bahwa dokumen kebijakan diperlukan penguatan komitmen pemerintah untuk

menolak berbagai bentuk diskriminasi dalam konvensi Internasional tentang

penghapusan segala bentuk diskriminasi Rasis.

Sebagai peningkatan norma-norma moral terhadap perilaku diperlukan

kesadaran “Penguasa” dalam penerapan tindakan sanksi-sanksi pidana maka

konsep mengenai norma-norma hak asasi manusia didudukkan dalam konteks

soft Law artinya hak-hak tersebut akan dijamin melalui hukum positif (peraturan

perundang-undangan) dan mengenai penegakannya akan dilaksanakan oleh

otoritas hukum atau kekuasaan yudisial.

Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999, International Convention on the

Elimination of all Forms of Racial Discrimination 1965 sebagai Hard Law yang

mengikat semua perangkat aparatur negara Indonesia untuk tunduk pada

prinsip-prinsip dan norma-norma yang dimuat dalam konvensi.137

Amnesty international dalam sebuah laporan publikasinya pada tahun

2001 memberikan konsepsi tentang ras, rasisme dan praktik diskriminasi

rasisme yaitu:

1. The concept of race has no biological basis. It is a socio-political

construction usually basen on supposed physical charateristics of

groups;

137
Hesti Armiwulan Sochmarwadiah, Diskriminasi Rasial, Kebebasan Dan
Kesetaraan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, h.299

97
2. Racial categories are arbitrary and often used for political ends. The

meaning of race and the deological expressions of racism have

chaged over time and across continents.

3. Racism has often been used by dominant racial groups to justify their

dominant racial groups to justify their domination, and in some cases

racist attitudes are an expression of alienation and despair among the

powerless, including victims of racism;

4. The various manifestations of racism are invariaby linke to broad

economics and social issues.138

Kebijakan-kebijakan tersebut memperoleh beberapa tujuan hukum dengan

kriteria keadilan, kesejahteraan umum, perlindungan individu dan solidaritas dalam

realitas sosial. Mekanisme nasional penghapusan diskriminasi rasisme dimandatkan

138
1. Konsep Ras Tidak Memiliki Dasar Biologis. Ini Adalah Konstruksi Sosial-Politik
Yang Biasanya Didasarkan Pada Karakteristik Fisik Kelompok; 2. Kategori Ras Bersifat
Arbitrer Dan Sering Digunakan Untuk Tujuan Politik. Makna Ras Dan Ekspresi Deologis
Rasisme Telah Meningkat Seiring Waktu Dan Melintasi Benua. 3. Rasisme Telah Sering
Digunakan Oleh Kelompok Ras Dominan Untuk Membenarkan Kelompok Ras Dominan
Mereka Untuk Membenarkan Dominasi Mereka, Dan Dalam Beberapa Kasus Sikap Rasis
Adalah Ekspresi Keterasingan Dan Keputusasaan Di Antara Yang Tak Berdaya, Termasuk
Korban Rasisme; 4. Berbagai Manifestasi Rasisme Tidak Dapat Dipisahkan Dari Masalah
Ekonomi Dan Sosial Yang Luas. Racism And The Adminisration Of Justice, Amnesty
International Publicaton 2001. Www.Amnesty.Org.

98
dalam hukum HAM internasional, seperti ICCPR, 139
ICESCR, 140
ICERD 141
dan juga

konvensi-konvensi Internasional yang lainnya. Menegaskan bahwa pentingnya

mekanisme nasional ditentukan pada Deklarasi Vienna Tahun 1993 aline 36 yaitu:

Konferensi DUHAM kembali menegaskan peranan penting dalam lembaga-lembaga

nasional dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Secara umum mekanisme

nasional sudah cukup signifikan dari aspek kelembagaan ditinjau dari Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Agung dan proses penegakan HAM juga menjadi tanggung

139
Instrumen Ham Internasional, Yaitu Iccpr, Dalam Sistem Perundang-Undangan
Nasional, Indonesia Akan Lebih Mantap Dalam Melindungi Dan Memajukan Hak Asasi
Manusia. Di Sisi Lain, Meskipun Belum Menjadi Pihak Pada Iccpr, Indonesia Telah Mengakui
Tanggung Jawabnya Sebagai Anggota Pbb Untuk Menghormati Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia Dan Instrumen Internasional Lainnya, Dimana Elemen-Eleinen Ketentuan
Iccpr Ada Di Dalamnya. Ikut Sertanya Indonesia Dalam Iccpr Dapat Diartikan Sebagai
Revitalisasi Dan Penegasan Kembaii Komitmen Indonesia Terhadap Hak Asasi Manusia,
Khususnya Hak-Hak Sipil Dan Politik. Hanya Saja Perbedaannya Kali Ini., Komitmen
Indonesia Juga Disertai Dengan Kewajiban Hukum Internasional Sebagai Negara Pihak
Dalam Iccpr. Dikutip Dalam Jurnal Hukum International, Arif Havas Oegroseno, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International
Covenant On Civil And Political Rlghts/Iccpr (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil
Dan Polltik), Expert Commentary, Jurnal International Law, Vol.4, No.1, 2006, H.172
140
Kewajiban Terhadap Negara Dalam Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Ekosob
(Ekonomi, Sosial Dan Budaya) International Covenant On Economic, Social, And Cultural
Rights Antara Lain: Pertama, Protokol Opsional Icescr Merupakan Hasil Kompromis Antara
Sifat Hak-Hak Dengan Kebutuhan Untuk Memenuhi Kewajiban Dalam Icescr; Kedua: Hak
Ekosob Akan Mendukung Kebutuhan Terhadap Lembaga Ajudikasi Dalam Rangka
Memperjelas Cara Pandang Tradisional Terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya,
Ketiga: Sebuah Koordinasi Yang Komprehensif Dan Kerjasama Dengan Institusi Ham Yang
Bersifat Treaty Based Atau Badan Khusus Pbb. Dikutip Dalam Jurnal Ham, Harison Citrawan
Justisiabilitas Hak Ekosob Melalui Mekanisme Individual Communication Dalam Optional
Protocol To The International Covenant On Economic, Social, And Cultural Rights, Jurnal
Ham, Volume_5_No_2_Tahun_2014, H.144
141
Kepatuhan Tersebut Pada Pasal 9 Ayat 1 Konvensi Icerd Menyebutkan Bahwa
Setiap Negara Anggota Konvensi Diwajibkan Untuk Mengirimkan Laporan Periodik Kepada
The Committee On The Elimination Of Racial Discrimination (Cerd) Yaitu Sebuah Badan Ahli
Yang Independen Yang Bertugas Mengawasi Implementasi Icerd Di Negaranegara Anggota
Konvensi (Ochcr.Org, 2017). Laporan Periodik Dikirimkan Pada Waktuwaktu Yang Telah
Ditentukan Yaitu Satu Tahun Setelah Ratifikasi Dan Setiap Dua Tahun Setelahnya (Pasal 9
Ayat 1 Icerd), Dikutip Dalam Jurnal Jurnal Novia Sekar Tanjung Barokah, Antara
Ketidakpatuhan Dan Sejarah Masa Lalu: Analisis Kepatuhan Negara Indonesia Terhadap
Konvensi Icerd, Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta Dan Papua, Journal Of
International Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018, H. 448

99
jawab Jaksa, Hakim, Polisi dan Advokat yang substansinya menegakkan hukum

yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

Menurut penulis dengan adanya Deklarasi Vienna dan munculnya KOMNAS

HAM sebagai upaya positif dan adanya penanggungjawaban keseriusan pemerintah

dalam menanggapi persoalan HAM khususnya menangani diskriminasi Rasis

terhadap Papua yang ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 tahun

2008 dan peraturan pelaksanaan pengawasan oleh KOMNAS HAM ditentukan

dalam Peraturan Pelaksanaan Pengawasan oleh KOMNAS HAM ditentukan dalam

peraturan pemerintah No.56 Tahun 2010. Tentang Tata cara Pengawasan terhadap

Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras.

F. Peran Pemerintah Republik Indonesia dalam menanggapi Pelanggaran

HAM Rasisme terhadap Papua .

Pelanggaran Terhadap Dikriminasi Rasisme Terkait Dengan

International Convention on the Elimination of All Forms of Racial

Discrimination Pelanggaran di Papua mencakup pelanggaran terhadap


142

diskriminasi rasis dikarenakan terjadinya diskriminasi bahwa semua orang


142
Indonesia Telah Meratifikasi International Convention On Elimination Of All Forms
Of Racial Discrimination (Icerd) Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
Sejak Tahun 1999 Yang Disahkan Melalui Uu No.29 Tahun 1999. Dengan Kata Lain
Indonesia Telah Berkomitmen Untuk Mematuhi Icerd Dalam Rangka Menghapuskan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial Yang Ada Di Indonesia, Terlebih Karena Icerd Bersifat Legally
Binding Atau Mengikat Secara Hukum Bagi Negara Yang Telah Meratifikasinya. Terkait
Kepatuhan Tersebut Pada Pasal 9 Ayat 1 Konvensi Icerd Menyebutkan Bahwa Setiap
Negara Anggota Konvensi Diwajibkan Untuk Mengirimkan Laporan Periodik Kepada The
Committee On The Elimination Of Racial Discrimination (Cerd) Yaitu Sebuah Badan Ahli
Yang Independen Yang Bertugas Mengawasi Implementasi Icerd Di Negaranegara Anggota
Konvensi. Laporan Periodik Dikirimkan Pada Waktuwaktu Yang Telah Ditentukan Yaitu Satu
Tahun Setelah Ratifikasi Dan Setiap Dua Tahun Setelahnya (Pasal 9 Ayat 1 Icerd), Dalam
Jurnal Novia Sekar Tanjung Barokah, Antara Ketidakpatuhan Dan Sejarah Masa Lalu:
Analisis Kepatuhan Negara Indonesia Terhadap Konvensi Icerd, Studi Kasus Daerah
Istimewa Yogyakarta Dan Papua, Journal Of International Relations, Volume 4, Nomor 3,
2018, H. 447

100
Papua adalah anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM)143 dan tindakan

sewenang-wenang TNI membunuh tanpa aturan dan tidak ada hukuman

membuat populasi penduduk Papua menipis. Selain itu, apabila hal ini terus

berkelanjutan, maka kekerasan tersebut bisa menjadi Genoside144 yaitu

pemusnahan suatu ras atau suku.

Indonesia sebagai negara yang berdaulat tidak tinggal diam apabila ada

negara lain yang mengusik kedaulatan negara Republik Indonesia dari segala

aspek kedaulatan negara. Termasuk enam negara Kepulauan Pasifik yang

melakukan tuduhan terhadap Indonesia terkait mengenai isu pelanggaran yang

143
Dalam Perspektif Hukum, Dengan Munculnya Gerakan Opm Tersebut Dapat
Diasosiasikan Sebagai Suatu Perbuatan Makar Dari Suatu Kelompok Yang Melakukan
Perlawanan Terhadap Pemerintahan Yan Sah (Fighting Against The Legitimate Government)
Yang Sudah Tentu Bertentangan Dengan Aturan Hukum Secara Umum. Menurut Bilver
Singh, Pasca Rezim Politik Orde Baru, Perjuangan Opm Adalah Melakukan Respons
Perubahan Dengan Membentuk “National Coallition” Dan “United Fronts”. Salah Satunya
Adalah Pembentukan National Liberation Council (Nlc) Yang Dipimpin Oleh Amos Indey,
Toto, Dan Rumkoren. Dewan Ini Mengorganisir Organisasi-Organisasi Massa Yang Sudah
Berdiri Pada Tahun 1960-An Seperti Semangat Angkatan Muda Papua Anti-Republik
Indonesia (Sampari), Operasi Organisasi Papua Merdeka (Oopm), Dan Gerakan Nasional
Papua (Gnp). Pada Juni 2003, Atas Inisiatif Tom Beanal Dan John Otto Ondawame,
Pertemuan Pemimpin-Pemimpin Papua Barat Diselanggarakan Di Niewegein, Utrecht,
Netherlands Untuk Melakukan Rekonsiliasi Antar Pejuang-Pejuang Papua. Pertemuan
Tersebut Ditindaklanjuti Dengan Pertemuan Di Lae, Papua New Guinea Pada 28 November-
1 Desember 2005 Yang Menghasilkan Berdirinya West Papua National Coallition For
Liberation (Wpncl) Yang Bermarkas Di Port Villa. Dewan Ini Memiliki Sayap Militer Yang
Terpisah Dari Opm Yakni The West Papua National Liberation Armed Forces Yang Diketuai
Oleh Mathias Wenda. Dikutip Dari Jurnal Ikbal, Kedudukan Organisasi Papua Merdeka
(Opm) Dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Fh Unila, 2014, H. 205.
144
Pelanggaran Ham Yang Berat Tersebut, Sebagaimana Diuraikan Dalam Pasal 7
Uu Tersebut Meliputi Kejahatan Genosida Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Genosida
Menurut Pasal 8 Uu Tersebut Adalah Setiap Perbuatan Yang Dilakukan Dengan Makud
Untuk Menghancurkan Atau Memusnahkan Seluruh Atau Sebagian Kelompok Bangsa, Ras.
Kelompok Etnis, Kelompok Agama, Dengan Cdrd : A. Membunuh Anggota Kelompok: B.
Mengakibatkan Penderitaan Fisik Atau Mental Yang Berat Terhadap Anggotaanggota
Kelompokl C. Menciptakan Kondisi Kehidupan Kelompok Yang Akan Mengakibatkan
Kemusnahan Secara Fisik Baik Seluruh Atau Sebagiannya; D. Memaksakantindakan-
Tindakanyang Bertujuan Mencegah Kelahiran Di Dalam Kelompok; Atau E. Memindahkan
Secara Paksaan. Dikutip Dalam Jurnal Komnas Ham, Rina Rusmon, Konsep Peianggaran
Berat Hak Asasi Manusia Dilihat Dari Sisi Hukum Humaniter, Jurnal Ham . Vol. 2 No. 2
Nopember 2004, H.19

101
terjadi di Papua.145 Oleh karena itu, Enam negara tersebut secara terang-terangan

mengeluarkan pernyataan di forum PBB yang menuduh Indonesia telah

melakukan pelanggaran HAM di Papua dan mendesak PBB untuk segera

bertindak melakukan investigasi yang kredibel dan independen mengenai

dugaan pelanggaran HAM di Papua. Para pemimpin negara Pasifik tersebut juga

menyerukan Indonesia untuk menghormati hak-hak dari penduduk asli Papua.

Pernyataan negara-negara Pasifik tersebut direspon oleh Indonesia dengan

melakukan sebuah tindakan diplomasi dengan bentuk hak jawab di forum PBB

tersebut, dalam hak jawabnya di forum PBB. Melalui Pejabat di Perwakilan

Tinggi Republik Indonesia di PBB, Nara Masista Rakhmatia Indonesia

mengajukan hak jawabnya. Nara menyebut, pernyataan pemimpin negara-

negara Pasifik ini menunjukkan ketidakmengertian mereka terhadap sejarah,

perkembangan pembangunan, serta situasi terbaru di Papua dan Papua Barat.


146
Ia menyebutkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh negara-negara Pasifik

tersebut adalah tindakan yang tidak bersahabat dan sebuah manuver retorika

politik. Ia menambahkan, tindakan dari enam negara pasifik itu secara jelas

telah merusak tujuan piagam PBB serta tidak menghormati hukum

internasional. Dalam hak jawab tersebut, melaui Nara Masista Rakhmatia yang

145
Melki Pangaribuan, Menlu Tolak Tuduhan Solomon Tentang Pelanggaran Ham
Di Papua, Http://Www.Satuharapan.Com/Read-Detail/Read/Menlu-Tolak-Tuduhan-Solomon-
Tentang Pelanggaran-Ham-Di-Papua,

146
Andreas Gerry Tuwo, Jawaban Ri Atas Tuduhan 6 Negara Pasifik Terkait
Papua, Https://Www.Liputan6.Com/Global/Read/2612114/Jawaban-Ri-Atas-Tuduhan-6-
Negara-Pasifik-Terkait-Papua

102
mewakili Indonesia dalam menanggapi pernyataan negara-negara Pasifik

tersebut menyatakan bahwa Indonesia menolak dengan tegas tuduhan yang

dibuat oleh delegasi Vanuatu mengenai masalah Papua yang tidak

mencerminkan situasi nyata di lapangan. Kiprah Indonesia pada upaya promosi

dan perlindungan Hak Asasi Manusia tidak terbantahkan dan cerminan nyata.

Indonesia telah dan terus bekerjasama dengan berbagai Special Procedur and

Mandate Holder Dewan HAM PBB. Indonesia juga mengembangkan kolaborasi

di tingkat bilateral, regional dan multilateral termasuk dalam menguatkan

mekanisme HAM Dewan HAM, termasuk dalam rangka promosi dan

perlindungan hak-hak dasar. Bahkan pada tahun 2017 ini Indonesia telah

mengundang dan akan menerima kunjungan dari dua pelapor khusus ke

Indonesia, dan pada bulan Mei 2017 Indonesia akan menyampaikan Laporan

UPR ketiga di Dewan HAM. Nara Masista Rakhmatia dalam kesempatan itu

juga menyatakan Indonesia menyayangkan sikap yang diambil enam negara

Pasifik tersebut. Ia menilai, ada tujuan tersembunyi yang dibawa oleh negara

Pasifik tersebut dengan melakukan tuduhan terhadap Indonesia dan mengangkat

isu pelanggaran HAM di Papua. Ia juga menyebutkan bahwa sudah banyak

tindakan yang dilakukan Indonesia dalam menegakkan HAM dan ia

menjelaskan bahwa Republik Indonesia merupakan salah satu pendiri Dewan

serta telah empat kali menjadi anggota. Terbentuknya Komisi HAM di OKI dan

ASEAN merupakan inisiasi dari Indonesia. Tidak berhenti di titik itu saja,

Indonesia juga telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen HAM.

103
Sementara Salomon Island hanya meratifikasi empat instrumen HAM dan

Vanuatu hanya meratifikasi lima instrumen HAM.147

BAB IV

A. KESIMPULAN

1. Pembentukan dan pengimplementasian hukum hak asasi manusia mengenai

tindakan diskriminasi rasisme terhadap papua ditetapkan dalam Undang-

Undang No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan Diskriminasi Ras dan

dilatarbelakangi oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang

Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of

Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Rasis, 1965), Peristiwa di Surabaya, Malang,

Semarang, Manokwari, dan Sorong terhadap asrama mahasiswa Papua pada

tanggal 15-19 Agustus 2019 menjadi penting bagi pemerintah dan negara

147
Rahmah Sulaiman, Peran Pemerintah Republik Indonesia Dalam Menanggapi
Tuduhan Atas Pelanggaran Ham Di Papua, Jurnal Hukum Universitas Sumatera Utara, 2017,
H. 31

104
dalam merespon dan menangani persoalan Papua, termasuk dalam merespon

aspirasi serta tuntutan Mahasiswa Papua dimanapun.

2. Peran pemerintah dalam menanggapi diskriminasi Rasisme yang terjadi di

Papua memberikan Perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan di

dalam hukum kepada semua warga negara untuk hidup bebas dari

diskriminasi ras khususnya didaerah Papua karena, pemeritah memberikan

perlindungan yang efektif kepada setiap warga negara yang mengalami

tindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya penegakan

hukum dan penerapan sanksi, korban dijamin untuk memperoleh pertolongan,

penyelesaian, dan pemberian ganti rugi, aparatur negara dan lembaga

pemerintahan memperbarui, mengubah, mencabut, atau membatalkan

peraturan perundang-undangan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis,

adanya perlindungan yang diberikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia dan adanya ganti rugi apabila menjadi korban melalui pengadilan

atas tindakan diskriminasi ras.

105
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abidin Bagir et al, Zainal. Pluralisme Kewargaan, Bandung: Mizan dan CRCS
UGM, 2011.

Alkostar, Artidjo. Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:


PUSHAM UII, 2007.

Andi Nurul, Muliadi. ”Hukum dan Asasi Manusia”, Penerbit: Instrans Publishing
Malang 2018.

Araf, Al. et.al, Sekuritisasi Papua, Imparsial The Indonesian Humanity Rights
Monitor, Jakarta:2011
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Di Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001.
Asia Report N 232, Indonesia, Dinamika Kekerasan di Papua, (Jakarta:
International Crisis Group, 2012).

106
Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1995)

Djojosoekarto, Agung. et.al, Kinerja Otonomi Khusus, (Jakarta: Kemitraan, 2008).


El Muhtaj, Majda. “Dimensi-dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, sosial dan
Budaya”, Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Jusuf, Ester Indahyani. Jalan Panjang Penghapusan Diskriminasi Rasial, Jakarta:


Solidaritas Nusa Bangsa, Mei, 2001.

Kaloh, DR. J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, (Jakarta: Rineke Cipta, 2007).

Kossay, Paskalis. Konflik Papua: Akar masalah dan solusi, Jakarta: Tollelegi, 2011.

Mahmamassani, Subhi. Konsep Hak-Hak Asasi Manusia”, Penerbit: PT. Pustaka


Literasi Antarnusa, Jakarta.

Mamuji, Sri. et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005).

Marzuki, Suparman. Robohnya Keadilan (Politik Hukum HAM Era Reformasi),


PUSHAM UII, Yogyakarta: 2011.

Nickel, James W. “Hak Asasi Manusia Refleksi Filosofia atas Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia, Jakarta: PT: Gramedia Pustaka Umum, 1996.

Rawls, John. Teori Keadilan, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011).

Sihombing, Uli Parulian. Memahami Diskriminasi untuk memahami buku kebebasan


beragama, Jakarta: ILRC, 2009.

Simanjutak, Nikolas. Hak-Hak Asasi Manusia dalam Sosiloqui Pertarungan


Peradaban, Penerbit Erlangga, PT: Gelora Aksara Pratama, Jakarta:2017.

Smith, Rhona K.M. et.al, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:PUSHAM UII,
Cet. Ketiga, Desember 2015.

Sochmarwadiah, Hesti Armiwulan. Diskriminasi Rasial, kebebasan dan kesetaraan


dalam perspektif Hak Asasi Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta: 2013.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum Cet ke-3, (Jakarta: Penerbit


Universitas Indonesia, 1942).

107
Subiharta, N.H.T.Siahaan. Hukum Kewarganegaraan HAM, Pusat Kajian Kebijakan
Hukum dan Ekonomi, Jakarta:2007.

Suryadinata, Leo. dan Evi Nurvida Arifin, Penduduk Indonesia, Jakarta: LP3ES,
2003.

Utrecht, E. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Surabaya: Pustaka


Tinta Mas, 1988.

JURNAL DAN MAKALAH

Besar, Pelaksanaan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di


Indonesia, HUMANIORA Vol.2 No.1 April 2011.

Citrawan, Harison. Justisiabilitas Hak EKOSOB melalui mekanisme Individual


Communication dalam Optional Protocol to the International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights, Jurnal HAM,
Volume_5_no_2_tahun_2014.
_______________, Analisis Dampak Hak Asasi Manusia Atas Regulasi: Sebuah
Tinjauan Metodologi (Human Rights Impact Assessment On Regulation: A
Methodological Review), Jurnal Ham, Volume 8, Nomor 1, Juli 2017.

Eri Safira, Martha. Analisis Pendekatan Teori keadilan john rawls dan teori
moralitas immanuel khan, legalstandingjurnal ilmuhukum, ISSN (P):(2580-
8656), Vol. 3 No.1, Maret, 2019.
Fahmi, Khairul. Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem Pemilihan
Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010.

Fattah, Damanhuri. Teori Keadilan Menurut John Rawls, Jurnal Tapis Vol.9 No.2
Juli-Desember 2013.

Ikbal, Kedudukan Organisasi Papua Merdeka (Opm) Dalam Perspektif Hukum


Humaniter Internasional, Jurnal FH Unila, 2014.

Khairazi, Fauzan. Implementasi demokrasi dan hak asasi manusia di indonesia,


Jurnal Inovatif, Volume VIII Nomor I Januari 2015.

Lenny Marit, Elisabeth. dan Hugo Marami, Wacana “Papua Tanah Damai” dalam
bingkai otonomi khususPapua, Jurnal Ilmu sosial, Vol. 16, No.1, April 2018.

108
Masduki, Hendri. Pluralisme Dan Multikulturalisme Dalam Perspektif Kerukunan
Antar Umat Beragama (telaah dan urgensinya dalam sistem berbangsa dan
bernegara), Jurnal Dimensi, Vol 9(1), 2016.

Muttaqin, Azmi. Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Merespon Konflik Dan
Aspirasi Kemerdekaan Papua, Jurnal hukum UNDIP,
2011.

Mardiyono, Tanggung Jawab Negara Dan Mekanisme Penyelesaian Extrajudicial


Killings 1965, Jurnal Refleksi Hukum, [Vol.1, No.1)

Nainggolan, Poltok Portogi. Aktivitas Internasional Gerakan Separatisme Papua


International Activities Of Papua Separatist Movement, Kojion Vol. 79 No. 3
September 2074 Hol. 187 – 199.

Oegroseno, Arif Havas. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005


tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political
Rlghts/ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Polltik),
Expert Commentary, Jurnal International Law, Vol.4, No.1, 2006.

Pigai, Natalius. Solusi Damai di Tanah Papua (Mengubur Tragedi HAM dan
Mencari Jalan Kedamaian), Jurnal Administrasi Publik, Volume 11, Nomor
II, ISSN 1412-7040, Oktober 2014.
Rohim, Nur. Optimalisasi Otonomi Khusus Papua dalam Peningkatan Kesadaran
Hukum Masyarakat guna meredam konflik dan Kekerasan, Jurnal Flat Justitia
Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No.1, ISSN 1978-5186, 2014.

Rusmon, Rina. Konsep Peianggaran Berat Hak Asasi Manusia Dilihat Dari Sisi
Hukum Humaniter, JURNAL HAM . Vol. 2 No. 2 Nopember 2004.

S Widjojo, Muridan. dan Aisah Putri Budiatri, Undang-Undang Otonomi Khusus


Bagi Papua Masalah Legitimasi Dan Kemauan Politik, Jurnal Penelitian
Politik, LIPI, Vol. 9, No. 1, 2012.
Sekar Tanjung Barokah, Novia. Antara Ketidakpatuhan dan Sejarah Masa Lalu:
Analisis Kepatuhan Negara Indonesia terhadap Konvensi ICERD, Studi
Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta dan Papu, Journal of International
Relations, Volume 4, Nomor 3, 2018.

Sulaiman, Rahmah. Peran Pemerintah Republik Indonesia Dalam Menanggapi


Tuduhan Atas Pelanggaran Ham Di Papua, Jurnal Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2017.

Syaifuddin, Achmad Fedyani. Membumikan Multikulturalisme di Indonesia, Jurnal


Antropologi Sosial Budaya, Depok: Departemen Antropologi UI ETNOVISI
Vol II, No. I, April 2006.

109
Uamang, Altianua. Cakti Indra Gunawan dan Cahyo Sasmito, Implementasi Otonomi
Khusus Provinsi Papua Dalam Ketahanan Wilayah Nkri Di Pemerintah
Kebupaten Mimika (Studi Pada Pengelolaan Dana Desa Distrik Jila Tahun
2016-2017), REFORMASI ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864
(Online), Volume 8 Nomor 1 (2018).

SEMINAR

AICHR, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1, Jakarta: The Habibie Center, 2011.

Attamimi, A. Hamid S. Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan Perspektifnya


Menurut Pancasila dan UUD 1945, Makalah pada Seminar Sehari dalam
rangka Dies Natalis Universitas 17 Agustus Jakarta ke-42, diselenggarakan
oleh FH Universitas 17 Agustus Jakarta, 9 Juli 1994
Komnas Ham Nasional, Komentar Umum Kovenan Internasional Hak Sipil Dan
Politik Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia 2009, Jakarta: Komnas Ham, Isbn: 978-979-26-1437-4
Manan, Bagir. Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, Makalah pada Temu
Ilmiah Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 6 April
1999.

INTERNET

Amali, Zakki. AMP Nilai Diskriminatif Pemasangan Spanduk di Asrama Papua


Semarang, https://tirto.id/amp-nilai-diskriminatif-pemasangan-spanduk-di-
asrama-papua-semarang-egvQ, diakses pada 20 Oktober 2021.

Duignan, Brian. “John Rawls Filsuf Amerika,” dalam


https://www.britannica.com/biography/John-Rawls (diakses pada tanggal 11
Oktober 2021, jam 12.40 WIB), Filsafat Hukum Damang averroes al-
khawarizmi · Published January 1, 2012 · Updated January 1, 2012, tanggal
27 Oktober 2021
Gerry Tuwo, Andreas. Jawaban RI atas Tuduhan 6 Negara Pasifik Terkait Papua,
https://www.liputan6.com/global/read/2612114/jawaban-ri-atas-tuduhan-6-
negara-pasifik-terkait-papua,
Martin Sitompul, Papua ditangan Soeharto, Jakarta: Historia Masa Lampau, 2019
https://historia.id/politik/articles/papua-di-tangan-soeharto-DpwQV,
http://m.kompasiana.com/amp/alfiady/permasalahan-dan-penegakan-hak-asasi-
manusiadi-indonesia diakses pada tanggal 11 Oktober 2021 pukul 14.00

110
Luli Lasan, Lukas. Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Merespon Konflik Dan Aspirasi
Kemerdekaan Papua,
https://www.academia.edu/13154823/OTONOMI_KHUSUS_PAPUA.
Pangaribuan, Melki. Menlu Tolak Tuduhan Solomon tentang Pelanggaran HAM di
Papua, http://www.satuharapan.com/read-detail/read/menlu-tolak-tuduhan-
solomon-tentang pelanggaran-ham-di-papua, Rabu, 28 September 2016, 13.57
Papua Web, Bagian pertama Kajian Otonomi Khusus Papua,
http://papuaweb.org/goi/otsus/uncen/2003-kajian.rtf.

Racism and the adminisration of justice, Amnesty International Publicaton 2001.


www.amnesty.org.

Ratri Heryanto, Nurlayla. ed. "Statement Asli Wakil Wali Kota Malang dan
Kronologi Ricuh Demonstrasi Mahasiswa Papua". Malangtimes, 19 Agustus
2019, Diakses tanggal  20 Oktober 2021.
Sofya, Aminatus. & Rifky Edgar (15 Agustus 2019). Mujib Anwar, ed. "Aliansi
Mahasiswa Papua Demonstrasi di Malang Ngaku Dipukul & 5 Luka Berat,
Polisi Sebut Langgar UU". Tribunmadura.com. Diakses tanggal 20
Oktober 2021.

Thea, Ady. Dugaan Diskriminasi Rasial Mahasiswa Papua Harus Diselesaikan


Secara Hukum, Jakarta: HukumOnline,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d5e6da380e81/dugaan-
diskriminasi-rasial-mahasiswa-papua-harus-diselesaikan-secara-hukum/

Utami, Vivianna. jurnal penelitian berjudul "Political Institutions and Ethnic


Chinese Identity in Indonesia, Rasisme di Indonesia,
https://www.qureta.com/post/rasisme-di-indonesia,

Wahana lingkungan hidup indonesia, Hentikan Rasisme, Diskriminasi dan Kekerasan


pada Rakyat Papua, Jakarta:Siaran Pers, 19 Agustus 2019,
http://walhi.or.id/hentikan-rasisme-diskriminasi-dan-kekerasan-pada-rakyat-
papua

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945


________________,Undang-Undang tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 26
Tahun 2000, LN Nomor 208 Tahun 2000, TLN Nomor 4026.

_______________, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, LN Nomor 165


Tahun 1999, TLN Nomor 3886.

111
_______________, Undang-undang Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan
dikriminasi ras dan etnis, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 170
______________, Undang-Undang No. 21 tahun 2001, tentang Otonomi Khusus
Daerah Papua, Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran
Negara No. 4151.
Konvensi PBB tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui Undang-Undang
No.12 Tahun 2005
Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial sejak tahun 1999
yang disahkan melalui UU No.29 tahun 1999

112

Anda mungkin juga menyukai