Anda di halaman 1dari 12

Nama : Muhammad Ihsan Alfarabi

Unit :4

Mata Kuliah : Ilmu Hukum

PELAKSANAAN HUKUM DI INDONESIA

 Tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang di tetapkan oleh bangsa Indonesia
sendiri atau Negara Indonesia. Orde Lama dipimpin Presiden Soekarno dan wakil presiden
Moh. Hatta. Sejak 18 Agustus 1945 tata hukum positif di Indonesia adalah sistem hukum
yang tersusun atas subsistem hukum adat, subsistem hukum Islam, dan subsistem hukum
Barat. Dinamika politik pada masa ini mengalami pasang surut.

 Ketika kudeta G.30.S/PKI digagalkan, sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966
yang sering dikenal sebagai “Supersemar”, maka dimulailah suatu babak baru dalam
perjalanan sejarah kehidupan bangsa Indonesia, yang kemudian menyebut diri sebagai
pemerintahan Orde Baru. Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah
Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan.
[25] Diantaranya UU pokok Agraria, yang bersamaan dengan dibuatnya UU Penanaman
Modal Asing, UU Kehutanan, UU Pertambangan.

Orde baru juga menindas lembaga-lembaga hukum yang berada di bawah kekuasaan
administratif, menguasai sistem pendidikan, dan membatasi pemikiran kritis masyarakat,
sehingga hukum nasional tidak berkembang. Badan eksekutif Pemerintah Orde Baru telah
menyalahgunakan peraturan perundang-undangan. Kemunduran sistem ketatanegaraan yang
dibangun pada era orde baru telah mencapai puncaknya.Dengan munculnya krisis ekonomi
tersebut berdampak pada perekonomian Indonesia dan perekonomian dunia negara-negara
Asia.

Ketika Wakil Presiden Republik Indonesia B.J. Habibi menggantikan Presiden


Suharto. Selama masa jabatannya, ia melakukan empat kali amandemen terhadap UUD
Indonesia. Terlihat bahwa susunan UUD 1945 adalah pada Sidang Tahunan MPR 2002.
Susunan UUD 1945 memiliki struktur sebagai berikut: 1). UUD 1945, teks asli; 2).
Perubahan Pertama UUD 1945; 3). Perubahan Kedua UUD 1945; 4). Perubahan Ketiga UUD
1945; 5). Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia adalah negara hukum. Salah satu indikator negara hukum adalah
keberhasilan dalam penegakannya. Dikatakan berhasil karena hukumnya dijalankan dan
ditaati oleh seluruh elemen masyarakat, sedangkan dikatakan kurang (tidak berhasil) ketika
kurang maksimalnya penegakan hukum yang dapat berimplikasi kepada seluruh elemen yang
terkena dampaknya. Penegakan hukum merupakan proses dilakukannya upaya agar hukum
dapat tegak atau berfungsinya norma-norma hukum yang sedang berlaku dan sudah diatur
sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Hukum adalah alat nasional yang bertujuan untuk memelihara ketertiban nasional,
mendamaikan dan mengatur kehidupan suatu negara, agar tercapai keseimbangan antara
keadilan dan hak dan kewajiban. Hukum adalah seperangkat aturan, yang berisi perintah dan
larangan untuk mengatur ketertiban sosial, sehingga masyarakat itu sendiri harus
mematuhinya. Hukum pada prinsipnya adalah semacam realitas dan berbagai pernyataan
untuk melindungi kebebasan dan kehendak individu dan penyesuaian orang lain yang pada
dasarnya mengatur hubungan antar pribadi dalam masyarakat berdasarkan berbagai asas.

Hukum adalah suatu sistem yang diciptakan oleh manusia untuk membatasi tingkah
laku manusia agar tingkah laku manusia dapat dikendalikan. Hukum memiliki tanggung
jawab untuk menjamin kepastian hukum dalam masyarakat. Setiap masyarakat berhak untuk
dibela di hadapan hukum.Oleh karena itu, dalam undang-undang tersebut terdapat peraturan-
peraturan atau peraturan-peraturan tertulis atau tidak tertulis yang mengatur kehidupan
masyarakat.Jika dilanggar akan diberi sanksi.

Hukum bisa berupa aturan yang tertulis atau tidak tertulis. Adanya hukum tersebut
bertujuan untuk mengatur masyarakat, mencegah terjadinya perselisihan, mewujudkan
ketertiban, dan keadilan. Dengan adanya hukum akan membuat tingkat kejahatan
berkurang. Setiap orang yang terbukti melanggar hukum dan aturan, akan mendapatkan
sanksi atau hukuman.

Hukum diturunkan dari norma-norma yang berkembang di masyarakat yang bersifat


dinamis. Masyarakat senantiasa mengalami perkembangan dan kepentingan antara kelompok
masyarakat yang satu belum tentu sama dengan kelompok masyarakat lainnya, sehingga
suatu aturan hukum yang berlaku di sebuah kelompok masyarakat belum tentu sesuai dengan
kelompok masyarakat lainnya.

Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat ketaatan hukum warganya. Semakin
tinggi ketaatan hukum warga suatu negara, akan semakin tertib kehidupan bermasyarakatnya.
Sebaliknya, jika ketaatan hukum warga suatu negara rendah, yang berlaku adalah hukum
rimba. Pentingnya ketaatan hukum dalam suatu negara sangat diperlukan untuk dijadikan
pedoman oleh masyarakat sebagai aturan yang harus ditaati. Karena itu Indonesia sebagai
negara hukum, dalam kehidupan masyarakatnya tidak lepas dari aturan-aturan yang berlaku,
baik aturan yang tertulis maupun aturan yang tidak tertulis. Aturan-Aturan tersebut harus
ditaati sepenuhnya. Aturan tersebut diharapkan dapat menciptakan ketertiban dalam
lingkungan masyarakat. Karena itu pemberian sanksi atau hukuman terhadap pelanggar
aturan perlu diberikan.

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum
Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana,
berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa
lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut
Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang
perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-
budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai negara hukum, tentunya penegakan hukum
yang tidak memihak telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) UUD
1945 dimana semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Negara hukum yang
dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum, untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Namun
dalam prakteknya hukum indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada
masyarakat yang tertindas.

Indonesia adalah sebuah Negara yang menggunakan pancasila sebagai landasan


berbangsa dan bernegara,pancasila adalah sebuah ideologi yang berisi 5 prinsip yang saling
meliputi satu sama lain salah satu nya sila ke 5 yang berisi keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia yang merupakan perwujudan sila ke 5 sebagai implementasi sila ke 5 adalah
Indonesia merupakan Negara hukum,Negara hukum yang artinya semua yang di lakukan
seseorang harus di landasi peraturan dan undang-undang yang berlaku, hukum harus di
terapkan dengan adil tanpa harus ada pihak yang merasa di rugikan, menyoroti kasus hukum
di Indonesia rasanya sangat jauh dari yang nama nya keaadilan sampai ada istilah hukum
tajam kebawah tumpul keatas, istilah tersebut untuk kondisi hukum di Indonesia sekarang,
dimana hukum lebih condrong keatas atau para penguasa hukum, sedangkan bagi kalangan
bawah atau di bilang masyarakat kurang mampu hukum ibarat pisau sangat tajam, hukum di
Indonesia ini banyak menuai kritikan dari berbagai pihak.

Masyarakat miskin kerab menjadi korban dari penegak hukum yang tidak adil. Kita
sering mendengar anekdot sosial yang berkembang dan menjadi pembicaraan di tengah
kehidupan masyarakat terkait dengan penegakan hukum atas masyarakat miskin. Salah satu
kasus hukum yang menjadi sorotan publik adalah kasus nenek Asyani (67 tahun). Nenek
Asyani tidak pernah menyangka bakal berurusan dengan hukum dan pengapnya terali besi
tahanan. Ini lantaran nenek Asyani didakwa mencuri tujuh batang pohon jati di lingkungan
rumahnya, di Desa Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur.

Kasus pencurian kayu jati yang menjerat Asyani, 67, bukan cuma berbuah empati dari
banyak kalangan untuk nenek yang menjadi terdakwanya itu. Kasus yang terjadi di
Situbondo, Jawa Timur, ini juga berbuntut 'teguran' dari Menteri Kehutanan kepada Perum
Perhutani. Teguran disampaikan berupa surat edaran terkait implementasi Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Palu hakim diketuk, Nenek Asyani
langsung mengungkapkan amarahnya. Nenek renta berusia 67 tahun ini tak terima dengan
vonis bersalah oleh hakim. Nenek Asyani divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1
tahun 3 bulan dan denda Rp500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan. walau putusan
hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa 1 tahun 18 bulan penjara dan denda Rp 500 juta,
Nenek Asyani tidak terima. "Saya sudah bersumpah mati tidak ada gunanya. Pasti ada suap.
Saya tidak mencuri. Sumpah pocong, Pak," kata Nenek Asyani. Asyani didakwa mencuri
tujuh batang pohon jati milik petani untuk dibuat tempat tidur. Namun Asyani membantah
dengan alasan batang pohon jati itu diambil dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya 5
tahun silam.

Pada 19 November 2009, nenek Minah yang berumur 55 tahun dihukum oleh PN
Purwokerto selama 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Dia dinyatakan
bersalah karena memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA),
Ajibarang, Banyumas. Nenek Minah tidak membegal motor ataupun merampok toko emas.
Nenek Minah hanya mencuri kakao yang akhirnya menjadikannya harus menanggung
hukuman vonis penjara selama 1 tahun 15 hari. Hukuman yang jauh lebih berat dibanding
koruptor yang mengambil uang negara hingga milyaran rupiah. Hukum memang lebih sering
runcing ke bawah. Selama persidangan dengan agenda putusan berlangsung penuh keharuan.
Bahkan ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH, terlihat menangis saat
membacakan vonis. Begitu pula Hamdani yang dituduh mencuri sandal bolong divonis
hukuman tahanan selama dua bulan 24 hari. Selanjutnya Seorang kakek Samirin berumur 68
tahun seorang lansia yang memungut sisa getah pohon karet divonis hukuman penjara selama
2 bulan 4 hari oleh Pengadilan Simalungun. Langsung dikenakan hukuman seberat-beratnya,
sedangkan mereka sudah tua, faktor kasusnya pun disebabkan beberapa hal bukan untuk
memperkaya diri, seperti apa yang dilakukan oleh koruptor yang mereka sudah diberi fasilitas
namun, masih tamak hingga melalap yang bukan haknya lagi, apakah karena miskin hingga
rakyat kecil masih kesulitan dalam menggapai keadilan dan langsung dihakimi seberat-
beratnya, lantas di mana kata perikemanusiaan? Sedang pejabat yang melakukan korupsi
uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas, proses hukumnya seakan begitu menunda-
nunda dan digantung. Masyarakat seakan dihidangkan pertunjukan dari tokoh-tokoh tersebut,
dan menjadi mencengangkan di saat ada beberapa sel yang diberi fasilitas layaknya hotel
seperti lapas porong sidoarjo jawa timur, lapas lubukpakam sumut, lapas cipinang Jakarta
timur, rutan pondok bambo jakarta timur, lapas suka miskin, uniknya sel ini bisa dinikmati
oleh para pidana yang mempuyai duit, seperti yang dinyatakan oleh Najwa Shihab dalam
unggahannya mengatakan bahwa kondisi koruptor ternyata hidup mewah yang seharusnya
dihukum seberat beratnya malah merasakan keistimewaan dan kekhususan, bukankah tujuan
sel agar membuat para pelakunya jera agar tidak melakukan hal yang sama, sel juga dibuat
tidak senyaman mungkin namun mengapa ada pula seakan seperti hotel? Apakah memang
benar fasilitas sel bisa didapatkan jika membayar sejumlah uang? seperti apa yang kita
saksikan, jika benar, pantas saja pelakunya tidak khawatir untuk merampok uang rakyat
karena hukum terlalu lemah. Pantas saja kejahatan tak lekang sampai detik ini.

Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai
penyelesaian kasus besar yang belum tuntas, salah satunya adalah praktek korupsi yang
menggurita, namun ironisnya para pelaku utamanya sangat sedikit yang terambah hukum.
Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat
kecil. Realitas penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat
kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat, khususnya pada aparat penegak
hukum itu sendiri. Aparat penegak hukum rentan akan praktik suap, membuat hukum di
negeri ini nyatanya dapat diperjualbelikan, seperti kasus BLBI yang sampai sekarang belum
jelas titik pangkalnya, kasus E-KTP yang melibatkan banyak pihak di dewan legislasi, dan
beberapa kasus besar lainnya. Melihat kondisi tersebut nampaknya kita harus bercermin
kembali pada tujuan akhir hukum itu sendiri yakni untuk menciptakan keadilan.

Salah satu contoh lain kronologi kasus yang menggambarkan lemahnya perangkat
hukum di Indonesia adalah Kronologi Kasus Kaburnya Rachel Vennya Dari Karantina dan
Hukuman Pidana

Sesuai dengan laporan sidang di Pengadilan Negeri Tangerang, Kota Tangerang pada
tanggal 10/12/2021:

Pada 17 September 2021, selebgram Rachel Vennya serta dua rekannya tiba di
Bandara Soekarno-Hatta seusai bepergian ke Amerika Serikat. Sesuai dengan isi Keputusan
Ketua Satuan Tugas Penanganan Nomor 12 Tahun 2021 mengenai protokol karantina bagi
WNI Pelaku Perjalanan Internasional dan Surat Edaran Nomor 18 Tahun 2021 tentang
Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi COVID-19, Rachel Vennya
diharuskan menjalani masa karantina selama 8 hari (8 x 24 jam). Isolasi ini diadakan dalam
Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) di Wisma Atlet Pademangan - fasilitas karantina
gratis untuk imigran, pelajar dan unit pemerintah. 

Setelah hanya 3 hari (3 x 24 jam), Rachel Vennya membayar 40 juta rupiah pada
seorang unit protokoler dari Bandara Soekarno-Hatta, Ovelina Pratiwi, guna dimudahkan
kabur dari pusat karantina. Dua anggota TNI pengamanan Satgas COVID-19 berinisialkan FS
dan IG turut mengawal Rachel Vennya dan dua rekannya ke mobil pribadi yang
mengantarnya pulang agar terlihat masih dalam karantina ketat. Kaburnya Rachel Vennya
terungkap saat seorang petugas penginput data di Wisma Atlet Pademangan menyebar bukti
lewat media sosial Instagram pada tanggal 10 Oktober 2021, mendorong pihak-pihak yang
terkait (Kodam Jaya, TNI) untuk menelusuri kasus tersebut karena tuntutan publik.

Pada Rabu, 13 Oktober 2021, pihak Kodam Jaya mengungkapkan dugaan tindak non-
protokoler sekaligus ancaman sanksi yang mungkin dijatuhkan pada Rachel Vennya dan
rekan-rekannya:

 Hukuman pIdana paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100,000,
000.00,- [Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan,
Pasal 14 Undang- Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular]
 Denda wajib 50 juta bagi oknum yang menghindari protokol secara langsung (Rachel
Vennya dan rekan-rekannya) dan denda wajib 30 juta bagi oknum yang menjadi
mediator penyelewengan (Ovelina) [Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Karantina Kesehatan]

Pada 10 Desember 2021, Rachel Vennya dan tersangka lainnya menghadiri sidang
perdana di Pengadilan Negeri Tangerang. Keputusan akhir menyatakan bahwa Rachel
Vennya dan rekan-rekannya bersalah dan masing-masing dari mereka dijatuhkan denda 50
juta. Kelalaian membayar denda ini diganti dengan 1 bulan penjara. Selain denda,
keempatnya juga divonis 4 bulan penjara yang tidak perlu dijalani selama mereka tidak
melakukan tindak pidana dalam kurun waktu 8 bulan ke depan (masa percobaan). 

Hukuman ini dinilai lebih ringan daripada yang patut dijatuhkan. Hakim ketua, Arief
Budi, menjelaskan bahwa keringanan diberikan karena Rachel “sopan dan tidak berbelit-belit
selama berlangsungnya sidang”.

Analisis Faktor-Faktor Penegakan Hukum Dalam Kasus Rachel Vennya

1. Faktor hukum 

Pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Rachel Vennya (Pasal 93 Undang-


Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan, Pasal 14 Undang- Undang (UU)
Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular) konsisten dikutip dalam kasus-kasus
pelanggaran karantina pada masa pandemi, contohnya pada kasus kerumunan Habib Rizieq
pada tahun 2021 dan kasus pesta ulang tahun Kades Tulungagung pada awal Oktober 2021.
Eksekusi hukumannya sendiri tidak konsisten. Pada semua kasus viral tersebut, hukuman
yang dijatuhkan beda derajat keketatannya dan/atau bersifat bersyarat:

 Rachel Vennya tidak ditahan walau sudah menyandang status tersangka dan hanya
divonis penjara bila melakukan tindak pidana selama 8 bulan kedepan

 Habib Rizieq dipenjara sebelum sidang, dikenai denda 50 juta dan akan didenda 100
juta bila kejadian terjadi lagi

 Kades Tulungagung dikenai denda 12,5 juta sebagai subsider hukuman pidana 6 bulan

2. Faktor penegak hukum


Banyak politisi dan ahli hukum telah mengkritik keputusan hakim dalam sidang
Rachel Vennya. Beberapa sudut pandang yang paling disorot berasal dari Ferdinand
Hutahean, mantan politisi Partai Demokrat dan aktivis Nicho Silalahi:

 Vonis yang dijatuhkan jelas merupakan pelecehan atas keadilan oleh hakim,

 MA diminta melakukan pembinaan dan standarisasi keadilan bagi para hakim di


pengadilan,

 Hakim diserang tuduhan keras telah menerima suap, baik oleh ahli-ahli hukum di atas
maupun masyarakat yang memperhatikan kasus Rachel Vennya.

Keterlibatan pihak protokoler dalam kasus ini juga secara langsung menodai mutu
unit penegak hukum.

3. Faktor sarana dan fasilitas

Hakim ketua yang menangani kasus Rachel Vennya adalah Arief Budi Cahyono,
M.H. Dokumentasi dari situs PN Tangerang menunjukkan bukti bahwa ia dilantik menjadi
Pimpinan Pengadilan Negeri kelas IA Khusus sesuai dengan persyaratan yang tertera dalam
Keputusan Ketua MA RI No. 48/KMA/SK/II/2017 tentang Pola Promosi dan Mutasi Hakim
Pada Empat Lingkungan Peradilan. Usai mengeluarkan keputusan, banyak sumber berita
meliput beberapa keputusan yang pernah ia kepalai sebelum kasus Rachel Vennya. Beberapa
menuai kontroversi:

 Kasus prostitusi online anak dibawah umur oleh model Cythiara Alona. Terdakwa
hanya divonis 10 bulan penjara dengan alasan ia tidak memperoleh keuntungan dari
praktik eksploitasi. Hakim diserang tuduhan keras telah menerima suap.

 Kasus penipuan oleh CEO Timothy Tandiokusuma. Terdakwa dilepaskan tanpa


hukuman setelah terbukti terlibat kasus penipuan 13,2 miliar. 

Dalam PN Tangerang sendiri telah terjadi banyak kasus suap-menyuap.

4. Faktor masyarakat

Faktor utama yang mendorong penyelidikan kasus Rachel Vennya adalah tuntutan
pengguna media sosial. Bisa dilihat dari berbagai indikator media sosial bahwa tindakan
rachel Vennya merupakan hal yang tercela - banyaknya komentar kritis, turunnya angka
subscribers dan followers (dilansir dari social blade), dll. 
5. Faktor kebudayaan

Dalam kasus Rachel Vennya dapat dilihat beberapa budaya yang menonjol:

 Sensasionalisme → dengan adanya seorang kambing hitam yang bisa diserang,


masyarakat makin antusias dan aktif berperan dalam kasus Rachel Vennya - mulai
dari terkuaknya ulah para terdakwa, penuntutan pihak penegak hukum untuk memulai
investigasi, hingga pengucilan Rachel Vennya sebelum dan seusai sidang. Indikator
sensasionalisme lain terlihat dalam judul-judul artikel yang tidak berhubungan dengan
pelanggaran karantina, melainkan tentang Rachel Vennya sebagai seorang individu
(tuduhan pemabuk,caci maki karena sekamar dengan pacarnya di RSDC).

 Suap-menyuap (KKN) → suap menyuap terjadi antara Rachel Vennya dkk dan pihak
protokoler. Tuduhan suap antara Rachel Vennya dan hakim. Rachel Vennya pun
diduga menyuap pihak bandara sebesar 40 juta agar bisa lolos karantina.

 Tidak mematuhi hukum yang berlaku → Rachel Vennya mengaku dirinya tidak betah
saat di karantina sehingga memutuskan untuk kabur dari wisma atlet dengan cara
menyuap pihak wisma atlet

Banyak orang berpikir bahwa hukum dapat dibeli. Jadi bagi yang berkuasa, yang kaya
bisa aman meski melanggar peraturan nasional. Kemungkinan intervensi politik/politikus
telah menyebabkan runtuhnya negara hukum Indonesia. Ada tiga penyakit dalam politik,
yaitu politik uang, politik kekerasan, dan politik tak tergarap. Banyak kasus menjadi rumit.
Sebuah strategi politik membalikkan situasi hukum.

Peningkatan jumlah kasus korupsi menunjukkan perkembangan hukum saat ini.


Perhatikan lebih dekat, pemerintahan terakhir korupsi sangat sedikit, dan korupsi hanya
beberapa juta, tetapi berapa jumlah korupsi hari ini, miliaran, triliunan, dan seberapa besar
dikalikan bukan satu atau dua koruptor, tetapi lebih banyak dari itu.

Hanya saja pada masa pemerintahan ini, umumnya banyak orang yang menganggap
penegakan hukum di Indonesia sangat buruk. Demikian pula, publik menilai kinerja
pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga buruk. Sebelum pemerintahan sekarang,
evaluasi pemberantasan korupsi dinilai positif. Angka kriminalitas terus meningkat, korupsi
tinggi, kepastian hukum lemah, solusi tidak berkualitas, dan efisiensi administrasi nasional
rendah. Ada banyak kesalahan, salah satunya adalah aparat penegak hukum yang salah. Ada
suap dari Pihak A ke Pihak B, bahkan kasus suap pun sering terjadi dalam kehidupan sehari-
hari, dan kebanyakan dilakukan oleh instansi pemerintah.

Kondisi demikian atau buruknya kualitas penegakan hukum akan sangat


mempengaruhi kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Para penegak hukum yang
mengalami gangguan jiwa memperdagangkan hukum sama saja dengan merusak keadilan.
Tindakan yang mencederai keadilan atau ketidakadilan tentu saja merupakan tindakan
gegabah yang bertentangan dengan kehendak rakyat.

Di Indonesia, tujuan hukum adalah untuk membentuk negara Indonesia yang


melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi. dan perdamaian. Keadilan sosial.
Jika hukum tidak lagi dapat berfungsi sesuai dengan tujuan dan fungsinya, ini menandakan
bahwa sudah saatnya reformasi hukum.

Harus diingat bahwa hukum selalu menitikberatkan pada tiga tujuan utama, yaitu
kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan atau kemanfaatan. Ketiga tujuan hukum
tersebut harus tercermin dalam peraturan perundang-undangan sebelum dapat
diimplementasikan dalam praktik hukum. Oleh karena itu, pemerintah dan aparat penegak
hukum harus mewaspadai hal ini agar ketiga tujuan hukum tersebut dapat tercapai dengan
benar dan sungguh-sungguh.

Hukum berperan dalam kehidupan sosial atau masyarakat yang bertujuan untuk
menciptakan masyarakat yang nyaman dan adil, namun terkadang sebagian orang tidak
menyadari pernyataan di atas. Kita masih sering menemukan bahwa orang-orang yang
memiliki kepentingan atau yang masih percaya bahwa hukum yang ada di masyarakat tidak
penting telah melanggar hukum. Pelanggar hukum adalah orang-orang dalam studi sosiologi
hukum, dan dapat disebut orang yang tidak sadar dan taat hukum. Kesadaran tentang hukum
di Indonesia masih sangat rendah.

Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat adalah: Pertama,


mengatur negara menurut hukum. Seperangkat peraturan perundang-undangan yang
dirumuskan oleh instansi yang berwenang, tetapi masih belum menunjukkan perlindungan
masyarakat. Kedua, masyarakat. Saya merasa hukum Indonesia masih belum bisa
memberikan perlindungan kepada mereka. Ketiga, aparat penegak hukum sebagai legislator
dan eksekutor sendiri masih belum mampu untuk benar-benar melaksanakan peraturan yang
telah ditetapkan. Bahkan, aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi penegak hukum
seringkali melanggar hukum.

Peran agama dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sangat


diperlukan.“Khususnya Islam, sebagai agama utama di Indonesia, memiliki arti strategis bagi
proses peningkatan kesadaran hukum di Indonesia. Islam. Tatanan sosial melahirkan generasi
Al-Qur'an," jelasnya.

Oleh karena itu, budaya hukum merupakan faktor penting dalam memahami
perbedaan antara satu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya. “Budaya hukum
merupakan bagian integral dari sistem hukum,” lanjutnya. Pentingnya kesadaran dan budaya
hukum harus; pertama, struktur hukum. Kedua, badan hukum. Ketiga, budaya hukum.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu undang-undang yang
telah diatur secara tegas oleh undang-undang, pihak-pihak yang terlibat dalam penegakan
hukum, cara atau sarana penegakan hukum, undang-undang yang terdapat di lingkungan
masyarakat, dan mereka sendiri. budaya (nilai). Terdaftar). Keabsahan hukum Indonesia juga
tergantung pada faktor-faktor tersebut.Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari
sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

Pengawasan  terhadap kewenangan hakim perlu dilakukan dalam rangka membatasi


kekuasaannya agar tidak bertindak sewenang-wenang. Salah satu caranya adalah dengan
menunjukkan keteladanan dan menekankan pada rasa malu untuk membuat kesalahan. Dari
sinilah akan terlihat martabat seorang hakim.

Namun ada beberapa yang harus dipikirkan dan pertimbangkan lagi, negara ini akan
maju dan baik juga karena adanya kepercayaan masyarakat publik, ketika keputusan hakim
terus dianggap salah, masih adanya ketidak percayaan terhadap pengadilan dan hukum, maka
penegakan hukum secara umum akan selalu dianggap buruk.

Ada kalanya masyarakat kurang mengetahui alasan-alasan dari pengambilan


keputusan hakim, sehingga hukuman yang tidak sebanding pun dianggap masyarakat tidak
adil. Biarkan keputusan hakim berjalan, adanya opini-opini negatif ataupun kritik mengenai
hukum Indonesia sangatlah wajar, hal ini terkait perkembangan penegakan hukum itu sendiri.
Dari pihak hakim pun harus menunjukkan kepada publik bahwa penegakan hukum beserta
hakim yang terlibat memutuskan hukum memiliki martabat dan menunjukkan adanya
keadilan. Dari situlah penegakan hukum negara Indonesia ini akan kembali bernilai positif.

Pentingnya menata dan memperbaiki tatanan penegakan hukum negara Indonesia saat
ini perlu dilaksanakan. Konsistensi dalam hukum juga sangat diperlukan untuk kebaikan
penegakan hukum dan keadilan.

Anda mungkin juga menyukai