A. Latar Belakang
Gambaran umum dari hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup
dengan berkeluarga, kemudian bermasyarkat, dan kemudian bernegara, sejak manusia itu
berkeluarga mengatur diri dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka, misalnya
ayahnya pergi berburu atau mencari akar-akaran untuk bahan makanan, ibu
Perilaku kebiasaan itu terjadi berulang-ulang, sehingga menjadi pembagian kerja yang
tetap.
Dilihat dari sejarah dan perkembangan hidup sosial budaya umat manusia,
terjadinya hukum itu mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan
”Kebiasaan Pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru orang lain, maka ia akan juga
menjadi kebiasaan orang itu. Lambat laun di antara orang yang satu dan orang yang lain
di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melaksanakan kebiasaan itu. Dan apabila seluruh
anggota masyarkat melakukan perilaku kebiasaan tadi, maka lambat laut kebiasaan itu
menjadi “adat” dari masyarakat itu. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan
kelompok-kelompok masyarkat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang
harusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “Hukum Adat”. Jadi
hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarkat
bersangkutan. Untuk mempertahankan pelaksanaan hukum adat itu agar tidak terjadi
penyimpangan atau pelanggaran, maka diantara anggota masyarakat diserahi tugas
mengawasinya. Demikian lambat lau petugas-petugas adat ini menjadi kepala adat.1
adatnya terdiri dari kerabat-kerabat bagian klen yang akrab atau tidak akrab, yang
pada daerah pedalaman di daerahnya sendiri dalam kesatuan “Uli”. Kemudian mereka
menyebar ke daerah pantai dan karena adanya pengaruh dari luar, maka kesatuan-
kesatuan kerabat itu menjadi satu “Negorij” atau Negeri (Desa). Dalam suatu “Negeri”
terdiri dari bagian klen yang disebut “rumatau” (di pantai hitu) atau terdiri dari beberapa
keluarga dalam kesatuan adat yang disebut “Aman”, yang terdiri dari beberapa kampong
(Soa) dan setiap “Soa” terdiri dari beberapa “mata rumah” (fam)2
beberapa “aman” yang dikepalai oleh Kepala Negeri yang disebut “Raja” yang
seorang “Ama” (Bapak Tuan) yang mendiami beberapa “soa” (Rumatau) yang dikepalai
oleh “Kepala Soa”. Di masa sekarang susunan Aman, Soa dan Matarumah sudah tidak
begitu Nampak lagi, dipusat perkampungan dalam suatu negeri terdapat bangunan “balai
desa” (“Balai adat” yang disebut “baileu”, Rumah Raja, Rumah Pendeta, Gereja dan
Raja (Kepala Negeri) dibantu oleh “Ama” (Kepala Adat), “Kepala Soa” (Kepala
Kampung), “Tuan Tanah” yaitu pejabat yang mengatur urusan tanah dan warisan tanah,
“Kapitan” selaku panglima perang “Kewang” sebagai Polisi Hutan dan “Marinjo”
1
Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cetakan III, Penerbit CV. Mandar
Maju, Bandung. 2003. h. 1
2
Ibid., 137
melaksanakan tugasnya berdasarkan keputusan “Dewan Negeri” yang dsebut “Badan
Badan Saniri Negeri atau Lembaga Adat juga memiliki fungsi menyelesaikan
yang sering terjadi dimasayakat adalah perselesihan masalah hak kepemilikan tanah. Di
Negeri Amahai Kec Amahai Kabaupaten Maluku Tengah, masyarakat Negeri Amahai
perselisihan tanah adat pada lemabaga peradatan adat negeri Aamahai. Hal ini dianggap
prosesnya lebih cepat, efisien dan murah dibandingkan melalui jalur litigasi yang
berprinsip pada hukum adat atau nilai-nilai agama yang berlaku pada masyarakat
setempat dan akan dipegang sebagai prinsip-prinsip dasar. Menurut Prof. Van
Vollenhoven dalam bukunya Het Atrecht Van Nederlandsch Indie memberikan definisi:
Dalam konteks penelitian ini tim peneliti mencoba melihat femona hukum adat dan nilai-
nilai Agama yang dipegang oleh kedua Negeri Amahai dan Negeri Ruta dalam
menyelesaikan perkara sengketa masyarakat adatnya masing-masing. Keudanya
berpegang kepada hukum adat tapi memiliki nilai-nilai kepercayaan agama yang
berbeda. Contoh kasus Pada tahun 1980 sengketa kepemilikan lahan antara keluarga
Rais melawan keluarga Sumba dan masing-masing ahliwaris ini tidak mengetahui
dengan jelas batas-batas kepemilikannya itu, maka untuk solusi atau cara
penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara menyelam di Laut tanpa menggunakan
alat bantu pernafasan dengan disaksikan oleh warga masyarakat. Kepada kedua belah
3
Ibid., 138
4
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terbadu, edisi 2003, Penerbit PT. Citra Aditya Bakhti, Bandung
2003.
pihak sebelum menyelam akan diadakan ritual-ritual adat setempat dengan maksud kepada
kedua belah pihak pada saat penyelaman berlangsung masing-masing membawa batu kali
untuk pegang dan posisi berlangsung mereka saling berhadapan di dasar laut dengan kedalaman
tertentu yang dapat dilihat dan disaksikan oleh warga masyarakat karena sifatnya terbuka untuk
umum, ketika penyelaman itu berlangsung ternyata siapa dari mereka yang lebih dahulu timbul
di permukaan air laut, maka Dialah yang dianggap pihak yang kalah, dan sebaliknya pihak yang
masih berada didasar laut dengan serta merta dialah sebagai pemenang. Cara ini sering
dilakukan ketika ada sengketa tanah yang masing-masing pihak tidak memiliki bukti-bukti
apapun mengenai sengketa kepemilikan tersebut.
Persengketaan yang terjadi pada umumnya adalah akibat ketidak jelasan batas wilayah yang
dimiliki oleh masing-masing warga masyarakat. Solusi untuk masalah adat tersebut biasanya
diusahakan agar masing masing dapat duduk bersama untuk mencari jalan keluarnya dan
penyelesaian secara adat agar dapat ditem-puh dengan cara meminta petunjuk unsur lain
semacam sumpah pemutus secara adat.5
Selain cara tersebut tentu ada metode atau cara lain untuk menyelesaikan perkara
sengketa berdasarkan tradisi adat masyarkat setempat. Terntu ini menarik bila diteliti dan dikaji
kembali mekanisme penyelesaian sengketa di Negeri Amahai dan Ruta dalam prespektif hukum
positif dan hukum Islam.
Berdasarkan ulasan singkat di atas peneliti ingin meneliti dan mengkaji lebih
lanjut agar terjawab permasalahan atau fenomena di atas berdasarkan hukum positif dan
hukum Islam. Maka judul yang akan kami angkat adalah: MEKANISME
PENYELESAIAN SENGKETA PADA LEMBAGA ADAT NEGERI AMAHAI DAN
NEGERI RUTA KABUPATEN MALUKU TENGAH (Sebuah Kajian Prespektif
Hukum Positif dan Hukum Islam)
B. Pokok Permasalahan
5
Henry Arianto, Peran Peradatan Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan Amahai, Maluku
Tengah. Lex Jurnali Vol. 6 No.3, Agustus 2009.
Dari latar belakang di atas, maka pokok permalahahan yang akan dibahas dalam
2. Bagaimana kajian hukum positif dan hukum Islam terhadap mekanisme penyelesaian
C. Tujuan Penelitian
Ada beberapa tujuan dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini memang layak dan
menarik untuk dikaji lebih lanjut secara komprehensif. Tujuan tersebut antara lain
adalah; untuk mengetahui mekanisme penyelesian sengketa tanah adat pada lembaga
adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta. Setelah mengetahui secara komprehensif maka
akan dikaji dengan pendekatan Hukum Positif dan melihan relevansi dan perbedaannya
Pada dasarnya penelitian ini bukanlah sebuah penelitian yang baru, sebelumnya
sudah ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Namun penelitian ini
banyak akan menyoroti masalah mekanisme penyelesaian sengketa secara Adat. Adapun
Penelitain yang dilakuan oleh saudara Wahyudi, M. Sukri Akub, Andi Sofyan
dengan Judul Fungsi Lembaga Saniri Negeri Dalam Pelestarian Hukum Adat di Maluku
Tengah. Dalam tulisan ini mereka menyimpulkan bahwa Kewenangan Lembaga adat
wewenang, tugas dan fungsi lembaga adat dalam menyelesaian sengketa adat di
Penyelesaian delik adat dan sengketa adat oleh badan saniri negeri secara musyawarah
dan mufakat. Keputusan dan sanksi yang ditetapkan oleh badan saniri negeri ditaati
oleh masyarakat dengan tingkat ketaatan yang tinggi. Dalam proses penyelesaian
sengketa adat dan delik adat dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan
Keputusan dan sanksi yang ditetapkan oleh Badan saniri masih tetap ada dan
adat istiadat, hukum adat dan budaya masyarakat. Berbagai pelanggaran delik adat
yang selama kurung waktu 2008-2013 tercatat sebanyak 210 kasus. Setiap tahun
immateril tercatat 5 hingga 17 kasus dalam setahun, sehingga proses penegakan hukum
pidana adat dimaluku selama ini masih aktif diberlakukan sesuai dengan Peraturan
Daerah No. 04 Tahun 2006 tentang Proses Pembentukan Badan Saniri Negeri
Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah harus tetap menegakan hukum yang
termuat dalam Perda yang sesuai dengan nilai budaya yang dianut dan kesadaran
masyarakat maluku Tengah terhadap aturan hukum pidana adat yang masih ada dan
harus tetap dilestarikan dan adanya gejala melemah dari perilaku adat itu sendiri
6
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/98491c87f936cea89ebea3751ccc2077.pdf , Akses 02 Maret 2021. Henry
Arianto, Fungsi Lembaga Saniri Negeri Dalam Pelestarian Hukum Adat di Maluku Tengah, Lex Jurnalica Vol. 6
No.3, Agustus 2009.
Selanjutnya di dalam Jurnal yang ditulis oleh saudari Telly Muriany, dengan
bahwa nilai-nilai adat yang ada di Maluku tengah khususnya Negeri Amahai memiliki
peranan yang sangat penting dalam setiap penetapan suatu keputusan untuk dipedomani.
menurut hukum adat mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam persekutuan hukum
tersebut. Dalam tulisan ini lebih jauh mengaitkan dengan perda 01 tahun 2006,
peraturan daerah tersebut sudah cukup menguntungkan masyarkat adat diamana dimana
dibangun.
mendorong terjadinya perubahan atau pergeseran terhadap nilai budaya dan kultur sosial
masyarakat hukum adat yang didalamnya terdapat energi untuk membentuk suatu pola
perilaku yang mengatur tingkah laku maupun nilai budaya dan sangat dihormati oleh
masyarakat negeri.7
Henry Arianto, Sapia Talaohu dengan Judul Peran Peradatan Negeri dalam
tentu memikiki banyak kemiripan dengan Judul pada proposal ini, tapi dalam penelitian
yang dilakukan saudara Hen Arianto dan Sapia lebih banyak memfokuskan pada
penyelesaian sengketa tanah Adat di Negeri Amahai, seperti yang tertuang didalam
7
ejournal.unpatti.ac.id. file:///C:/Users/Intel/AppData/Local/Temp/jpopulis2014_8_1_4_muriany.pdf, Akses 02
Maret 2021. Telly Muriany, Fungsi Lembaga Saniri Negeri Dalam Pelestarian Hukum Adat di Maluku Tengah,
Populis, Volume 8 No. 1 Maret 2018.
kesimpulannya bahwa: Persengketaan yang terjadi adalah karena ketidak jelasan batas
masyarakat hukum adat kecamatan amahai adalah dengan cara penyelesaian sengketa
diluar pengadilan menurut sistem hukum adat yang didasarkan pada perdamaian dan
menimbulkan konsekwensi adanya pihak yang salah dan benar dan tetap menjaga
hubungan baik. Namun tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan mudah. Kadang
ada juga masalah yang sampai saat ini berlarut-larut. Contohny adalah proses
penyelesaian sengketa batas antara masyarakat desa Saleman dan Masyarakat Desa
Dari penjabaran diatas terlihat jelas bahwa sudah ada beberapa penelitian-
penelitain terdahulu yang relevan dalam penelitian ini. Namun penelitian yang terfokus
pada mekanisme penyelesaian sengketa di Lembaga adat blm ada yang menelitinya
secara komprehensif. Di dalam penelitian ini juga menyoroti dua negeri adat yang
mayoritas agamanya berbeda, Negeri Amahai mayoritas Muslim dan Negeri Ruta yang
perandingan dalam hal mekanisme penyelesaian sengketa secara adat. Berikutnya akan
dianalis berdasarkan hukum positif (Legal Formil) dan Hukum Islam, agar terdapat
8
Henry Arianto, Peran Peradatan Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan Amahai, Maluku
Tengah. Lex Jurnali Vol. 6 No.3, Agustus 2009.
E. Konsep dan Teori yang Relevan
1. Lembaga Adat
Lembaga adat merupakan suatu wadah atau organisasi yang mana memiliki peran
dan fungsi dalam tatanan masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat agar
hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam
wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus,
membentuk kelompok agar tercapainya sebuah visi dan misi bersama, dalam sebua desa
terdapat berbagai macam lembaga yang mana setiap memiliki peranan dan fungsinya
itu sendiri dalam memajukan pembangunan desa, adanya lembaga adat di desa
sangat membantu aparatur desa dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada
dalam desa, karena pemerintah telah menyerahkan urusan desa kepada aparatur desa
Desa adat atau yang disebut dengan nama lain adalah sebuah kesatuan
masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas
budaya yang berbentuk atas dasar teritorial serta berwenang mengatur dan mengurus
Pada umumnya yang membedakan desa dengan desa adat hanyalah pelaksanaan
9
Firman sujadi, dkk, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintaha Desa landasan Hukum dan
Kelembagaan Pemerintahan Desa, (Jakarta: Bee Media Pustaka, 2016), h. 309.
10
Ibid., h. 300
peraturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan tatanan aslinya. Pada saat ini desa
dengan desa adat memiliki perlakuan yang sama dari pemerintah dalam melaksanakan
tugas pemerintahan desa dalam rangka memajukan desa, melakukan perubahan desa
Adanya hukum adat yang berlaku disuatu desa dapat membantu aparatur desa
dalam menjalanakan sistem pemerintahan yang ada didesa, dimana lahirnya hukum
berbagai sengketa yang ada di desa, yang berlaku, adat merupakan suatu kebiasaan atau
budaya yang telah berkembang disuatu desa diman didalamnya terdapat masyarakat
adat yang ikut berperan menjalankan tatananhukum adat tersebut, dimana masyarakat
hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau the indigenous
interaksi sosial yang terjadi di setiap saatnya, pengertian dari hukum adat lebih sering
Dalam perjalanannya hukum adat yang bersifat universal memiliki asas hukum adat
Adanya asas gotong royong dalam masyarakat yang telah tertanam dalam
masyarakat yang menyebabkan adanya jiwa sosial tinggi dan adanya kehidupan di
11
Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), h. 1
12
Ibid, h. 2
2) Asas fungsi sosial dan milik dalam masyarakat.
Asas hukum adat yang kedua yang memiliki nilai universal adalah asas fungsi sosial
dan milik dalam masyarakat, asas ini tercermin sekali dalam kehidupan tradisional
masyarakat adat asas ini memiliki 2 unsur yaitu: asas fungsi sosial dan asas milik
dalam masyarakat.
Asas ini pada hakikatnya merupakan alah satu unsur demokrasi Indonesia asli yang
Asas ini juga merupakan unsur demokrasi yang kedua setelah dari asas persetujuan
sebagai dasar kekuasaan umum, asas ini merupakan ciri-ciri khas demokrasi aseli
yang telah ada dan dibina dalam kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia sejak
dahulu kala.13
Lembaga adat suatu wadah atau organisasi yang mana ketika dalam penyelesaian
suatu sengketa atau konflik adanya musyawarah antara para aparatur adat yang bisa
hukum adat.14 Dalam lembaga adat adanya lembaga musyawarah adat di bagi antara
lain:
13
R. Soerojo Wignojodipoero, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan,
(Jakarta: Gunung Agung, 1983 ), h. 61-79.
14
Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, (Jakarta: Alumni Bandung, 1981), h. 94.
kekerabatan di bagi menjadi tiga diantaranya: (1). Musyawarah Keluarga (2).
Lembaga ini ialah hanya terbatas pada bentuk musyawarah tetangga, musyawarah
kampong dan musyawarah desa, yang sejak zaman kekuasaan Kolonial diatur
merupakan sikap tindak perilaku orang yang suka berbicara, berunding, berembuk
pemerintahan desa merupakan suatu struktur yang telah diatur dalam Undang–Undang
termasuk tentang lembaga adat desa, yang mana lembaga adat desa memiliki wewenang
visi misi dan berkembangnya suatu desa yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum
desa dan masyarakat desa dapat membentuk lembaga adat desa. Lembaga adat desa
merupakan suatu lembaga yang tetap menyelestarikan adat istiadat dan hukum adat yang
berlaku dan menyelenggarakan fungsi adat istiadat yang menjadi tatanan asli desa.
Selain adanya peraturan yang mengatur tentang lembaga adat, ada juga peraturan yang
mengatur tentang desa adat yang diatur dalam permendagri No. 111 Tahun 2014 yang
mengatur mengenai peraturan desa adat. Peraturan desa adat diatur dalam ketentuan
lain-lain pada pasal 30 ayat (1) dimana disebutkan bahwa peraturan desa adat
disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku didesa adat
Mengacu pada peraturan daerah Maluku tengah no 1 tahun 2006 tentang Negeri,
dijelsakan pada BAB V Saniri Negeri dan Badan Pemusawaratan Negeri. Disini
dijelaskan bagaimana kedudukan dan fungsi Saniri Negeri sebagai lembaga Adat.
3. Hukum Islam
dengan specrum masalah dewasa ini yang semakin luas dan komples. Satu pertanyaan
yang muncul adalah apakah hukum Islam mampu pengatasi perbedaan-perbedaan Hukum
Adat di masyarakat atau kah tidak? Mengingat Islam telah masuk di hampir seantero
dunia, tentu mengalamii perbedaan adat dan budaya setempat. Disinilah tantangan hukum
Islam untuk dapat bersifat fleksibel, bisa beradaptasi dengan adat budaya setempat. Maka
disinilah peranan maqashi al-syariah sebagai tujuan dari Pembentukan Hukum Islam.
15
Firman Sujadi, dkk, Op Cit. h, 347.
Menurut Abd Wahab Khalaf maksud umum disyari’atkannya hukum Islam adalah
untuk merealisir kemaslahatan umat dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat
melestarikan kemaslahatan bagi umat manusia. Untuk itu dicanangkan tiga skala prioritas
(Bersifat Sekunder) dan al-Tahsiniyat (Bersifat Tersier). Sedangkan dalam tujuan yang
bersifat primer (Maqashid al-Dharuriyyat) didefinisikan sebagai tujuan yang harus ada,
yang ketidak adaanya akan berakibat menghancurkan kehidupan secara total. Artinya bila
sendi-sendi itu tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak
Tujuan dari pembentukan hukum Islam haruslah sedikit fleksibel tanpa harus
pada Lembaga Adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta. Karena ini permasalahan yang
16
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Qalm, 1980), h. 198.
17
Makhrus Munajat, Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2008), h. 51
bersifat adat amaka Urf atau konsep adat di dalam Islam akan dijadikan sebagain
pembanding.
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field research) dan bersifat
eksploratif yaitu berupa penjelasan mekanisme penyelesaian sengketa tanah adat pada
peraturan hukum, adat, hukum psitif dan hukum Islam, perbandingan ini haruslah
membandingkan sesuatu yang sama. Dalam hal ini perbandingannya adalah antara
peraturan dan mekanisme yang dipakai di lembaga adat Negeri Amahai dan Negeri
dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum
18
https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian-hukum/, Download 13
Agustus 2019
2. Sumber Data
Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data dari lembaga adat Negeri Amahai melalui wawancara. Wawancara dengan
pranata adat meliputi Raja Negeri, Saniri Negeri, Tuan Adat (Tuan Tanah), kepala soa
dan masyarakat adat. Perlu dikemukakan karena penelitian ini bersifat eksploratif,
maka tidak dibatasi oleh jumlah informan, namun peneliti berupaya menggali data
penyelesaian sengketa tanah adat di Negeri Amahai, profil lokasi penelitian, lemaga
peradatan dan lain-lain yang diperoleh dari sumber literature/tertulis seperti buku,
3. Metode pengumpulan
Data Pada tahapan pengumpulan data, penulis menggunakan tiga metode, yaitu:
a. Interview (Wawancara)
lembaga adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta, tentu dengan mengacu pada
pendekatan hukum positif dan akan dilihat relevansi dan pebedaannya dengan
hukum Islam.
b. Dokumentasi
data tentang profil Lemabga Adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta.
19
Peter Conolly, Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS,2002), cet. I, h. 153.
20
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 61.
4. Tehnik Analisis Data
deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu penyajian data guna menjelaskan suatu pemikiran
mekanisme penyelesaian sengketa tanah pada lembaga adat Negeri Amahai dan
Negeri Ruta, dan lebih jauh akan mengkomparasikan antara mekanisme penyelesian
sengketa pada peradatan Negeri Amahai dengan Negeri Ruta. Lalu dikasi berdasakan
hukum positif dan hukum Islam. Selanjutnya akan diperhatian sisi-sisi data yang
ganda. Kedua, metode ini mendekatkan secara langsung hakikat hubungan antara
peneliti dengan informan. Ketiga, kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri
dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi.23
G. Rencana Pembahasan
penelitian serta metode penelitian. Bab II berisi kajian teoritis yang mengurai konsepsi
hukum adat, Lemabaga Adat secara Normatif (Hukum Positif dan Hukum Islam). BAB
III mengurai secara deskriptif apa yang menjadi jawaban rumusan masalah pertama
Amahai dan Negeri Ruta. BAB IV Mengurai secara deskriptif analitis mekanisme
penyelesaian sengketa pada Lembaga Adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta berdasarkan
21
Sumadi Surabaya, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 18.
22
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002), h. 68-69.
23
Lexy J. Muleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 5.
prespektif Hukum Positif dan Hukum Islam. BAB V kesimpulan dan
saran/rekomendasi.
H. Waktu Pelaksanaan
bulan yang dimulai sejak bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2021. Dengan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Proposal
5 Perizinan Penelitian √
8 Interpretasi Data √ √ √
Seminar
12 Penggandaan Laporan Hasil Penelitian √
I. Anggaran Penelitian
Berdasarkan juknis penenelitian tahun 2021 penelitian ini diikutkankan dalam cluster
Penelitian Dasar Interdisipliner, maka besarnya anggaran penelitian ini adalah senilai
Rp. 40.000.000,-
J. Tim Peneliti
Buku:
Arianto, Henry, Peran Peradatan Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan Amahai, Maluku
Conolly, Peter, Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: LKiS,2002
____________________Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cetakan III, Penerbit CV. Mandar Maju,
Bandung. 2003
Khallaf , Abdul Wahab, Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Qalm, 1980
Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum Indonesia Terbadu, edisi 2003, Penerbit PT. Citra Aditya Bakhti, Bandung
2003.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002
Munajat, Makhrus, Studi Islam di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2008
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001
Sujadi, Firman, dkk, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintaha Desa landasan Hukum dan
Surabaya ,Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998
Internet
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/98491c87f936cea89ebea3751ccc2077.pdf , Akses 02 Maret 2021. Arianto,
Henry, Fungsi Lembaga Saniri Negeri Dalam Pelestarian Hukum Adat di Maluku Tengah, Lex Jurnalica
Maret 2021. Telly Muriany, Fungsi Lembaga Saniri Negeri Dalam Pelestarian Hukum Adat di Maluku
2019