Anda di halaman 1dari 21

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PADA LEMBAGA ADAT NEGERI

AMAHAI DAN NEGERI RUTA KABUPATEN MALUKU TENGAH


(Sebuah Kajian Prespektif Hukum Positif dan Hukum Islam)

A. Latar Belakang

Gambaran umum dari hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup

bermasyarkat. Sejak Allah menurunkan manusia ke muka bumi ia memulai hidupnya

dengan berkeluarga, kemudian bermasyarkat, dan kemudian bernegara, sejak manusia itu

berkeluarga mengatur diri dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka, misalnya

ayahnya pergi berburu atau mencari akar-akaran untuk bahan makanan, ibu

menghidupkan api untuk membakar hasil buruan kemudian mensantap bersama.

Perilaku kebiasaan itu terjadi berulang-ulang, sehingga menjadi pembagian kerja yang

tetap.

Dilihat dari sejarah dan perkembangan hidup sosial budaya umat manusia,

terjadinya hukum itu mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan

perilaku. Perilaku yang terus menerus dilakukan perorarangan menimbulkan kebiasaan

”Kebiasaan Pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru orang lain, maka ia akan juga

menjadi kebiasaan orang itu. Lambat laun di antara orang yang satu dan orang yang lain

di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melaksanakan kebiasaan itu. Dan apabila seluruh

anggota masyarkat melakukan perilaku kebiasaan tadi, maka lambat laut kebiasaan itu

menjadi “adat” dari masyarakat itu. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan

kelompok-kelompok masyarkat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang

harusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “Hukum Adat”. Jadi

hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarkat

bersangkutan. Untuk mempertahankan pelaksanaan hukum adat itu agar tidak terjadi
penyimpangan atau pelanggaran, maka diantara anggota masyarakat diserahi tugas

mengawasinya. Demikian lambat lau petugas-petugas adat ini menjadi kepala adat.1

Di daerah Maluku, terutama di pulau-pulau kecil Ambon dan Uliaser, masyarakat

adatnya terdiri dari kerabat-kerabat bagian klen yang akrab atau tidak akrab, yang

bersifat geneologis patrilineal. Di masa lampau kesatuan-kesatuan kerabat itu berdiam

pada daerah pedalaman di daerahnya sendiri dalam kesatuan “Uli”. Kemudian mereka

menyebar ke daerah pantai dan karena adanya pengaruh dari luar, maka kesatuan-

kesatuan kerabat itu menjadi satu “Negorij” atau Negeri (Desa). Dalam suatu “Negeri”

terdiri dari bagian klen yang disebut “rumatau” (di pantai hitu) atau terdiri dari beberapa

keluarga dalam kesatuan adat yang disebut “Aman”, yang terdiri dari beberapa kampong

(Soa) dan setiap “Soa” terdiri dari beberapa “mata rumah” (fam)2

Kepengurusan pemerintahan adat suatu negorij/Negeri merupakan kesatuan dari

beberapa “aman” yang dikepalai oleh Kepala Negeri yang disebut “Raja” yang

jabatannya turun temurun. Kesatuan kewarganegaraan adat “Aman” dipimpin oleh

seorang “Ama” (Bapak Tuan) yang mendiami beberapa “soa” (Rumatau) yang dikepalai

oleh “Kepala Soa”. Di masa sekarang susunan Aman, Soa dan Matarumah sudah tidak

begitu Nampak lagi, dipusat perkampungan dalam suatu negeri terdapat bangunan “balai

desa” (“Balai adat” yang disebut “baileu”, Rumah Raja, Rumah Pendeta, Gereja dan

Masjid serta warung-warung atau took-toko. Dalam melaksanakan pemerintahan adat,

Raja (Kepala Negeri) dibantu oleh “Ama” (Kepala Adat), “Kepala Soa” (Kepala

Kampung), “Tuan Tanah” yaitu pejabat yang mengatur urusan tanah dan warisan tanah,

“Kapitan” selaku panglima perang “Kewang” sebagai Polisi Hutan dan “Marinjo”

petugas penyampai berita/Pengumuman. Para pengurus pemerintahan adat tersebut

1
Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cetakan III, Penerbit CV. Mandar
Maju, Bandung. 2003. h. 1
2
Ibid., 137
melaksanakan tugasnya berdasarkan keputusan “Dewan Negeri” yang dsebut “Badan

Saniri Negeri” atau disingkat “Saniri”.3

Badan Saniri Negeri atau Lembaga Adat juga memiliki fungsi menyelesaikan

masalah-masalah atau perselisihan-perselsihan pada masyarkat adat, salah satu masalah

yang sering terjadi dimasayakat adalah perselesihan masalah hak kepemilikan tanah. Di

Negeri Amahai Kec Amahai Kabaupaten Maluku Tengah, masyarakat Negeri Amahai

ataupun masyarakat yang berada dikota Masohi sering menyelesaikan perkara-perkara

perselisihan tanah adat pada lemabaga peradatan adat negeri Aamahai. Hal ini dianggap

prosesnya lebih cepat, efisien dan murah dibandingkan melalui jalur litigasi yang

terkesan lama dan berbeli-belit.

Mekanisme penyelesaian sengketa di Negeri Amahai melalui lembaga adat tentu

berprinsip pada hukum adat atau nilai-nilai agama yang berlaku pada masyarakat

setempat dan akan dipegang sebagai prinsip-prinsip dasar. Menurut Prof. Van

Vollenhoven dalam bukunya Het Atrecht Van Nederlandsch Indie memberikan definisi:

“Hukum adat adalah sebagai keseluruhan aturan-aturan tingkah laku yang

berlaku bagi orang-orang Bumiputra dan Orang-Orang Timur Asing yang

mempunyai pemaksa atau sanksi, lagi pula tidak dikodifikasikan”.4

Dalam konteks penelitian ini tim peneliti mencoba melihat femona hukum adat dan nilai-
nilai Agama yang dipegang oleh kedua Negeri Amahai dan Negeri Ruta dalam
menyelesaikan perkara sengketa masyarakat adatnya masing-masing. Keudanya
berpegang kepada hukum adat tapi memiliki nilai-nilai kepercayaan agama yang
berbeda. Contoh kasus Pada tahun 1980 sengketa kepemilikan lahan antara keluarga
Rais melawan keluarga Sumba dan masing-masing ahliwaris ini tidak mengetahui
dengan jelas batas-batas kepemilikannya itu, maka untuk solusi atau cara
penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara menyelam di Laut tanpa menggunakan
alat bantu pernafasan dengan disaksikan oleh warga masyarakat. Kepada kedua belah
3
Ibid., 138
4
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terbadu, edisi 2003, Penerbit PT. Citra Aditya Bakhti, Bandung
2003.
pihak sebelum menyelam akan diadakan ritual-ritual adat setempat dengan maksud kepada
kedua belah pihak pada saat penyelaman berlangsung masing-masing membawa batu kali
untuk pegang dan posisi berlangsung mereka saling berhadapan di dasar laut dengan kedalaman
tertentu yang dapat dilihat dan disaksikan oleh warga masyarakat karena sifatnya terbuka untuk
umum, ketika penyelaman itu berlangsung ternyata siapa dari mereka yang lebih dahulu timbul
di permukaan air laut, maka Dialah yang dianggap pihak yang kalah, dan sebaliknya pihak yang
masih berada didasar laut dengan serta merta dialah sebagai pemenang. Cara ini sering
dilakukan ketika ada sengketa tanah yang masing-masing pihak tidak memiliki bukti-bukti
apapun mengenai sengketa kepemilikan tersebut.

Persengketaan yang terjadi pada umumnya adalah akibat ketidak jelasan batas wilayah yang
dimiliki oleh masing-masing warga masyarakat. Solusi untuk masalah adat tersebut biasanya
diusahakan agar masing masing dapat duduk bersama untuk mencari jalan keluarnya dan
penyelesaian secara adat agar dapat ditem-puh dengan cara meminta petunjuk unsur lain
semacam sumpah pemutus secara adat.5

Selain cara tersebut tentu ada metode atau cara lain untuk menyelesaikan perkara
sengketa berdasarkan tradisi adat masyarkat setempat. Terntu ini menarik bila diteliti dan dikaji
kembali mekanisme penyelesaian sengketa di Negeri Amahai dan Ruta dalam prespektif hukum
positif dan hukum Islam.
Berdasarkan ulasan singkat di atas peneliti ingin meneliti dan mengkaji lebih
lanjut agar terjawab permasalahan atau fenomena di atas berdasarkan hukum positif dan
hukum Islam. Maka judul yang akan kami angkat adalah: MEKANISME
PENYELESAIAN SENGKETA PADA LEMBAGA ADAT NEGERI AMAHAI DAN
NEGERI RUTA KABUPATEN MALUKU TENGAH (Sebuah Kajian Prespektif
Hukum Positif dan Hukum Islam)

B. Pokok Permasalahan

5
Henry Arianto, Peran Peradatan Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan Amahai, Maluku
Tengah. Lex Jurnali Vol. 6 No.3, Agustus 2009.
Dari latar belakang di atas, maka pokok permalahahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Mekanisme Penyelesaian sengketa pada lembaga adat Negeri Amahai

dan Negeri Ruta?

2. Bagaimana kajian hukum positif dan hukum Islam terhadap mekanisme penyelesaian

sengketa pada lembaga adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta?

C. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini memang layak dan

menarik untuk dikaji lebih lanjut secara komprehensif. Tujuan tersebut antara lain

adalah; untuk mengetahui mekanisme penyelesian sengketa tanah adat pada lembaga

adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta. Setelah mengetahui secara komprehensif maka

akan dikaji dengan pendekatan Hukum Positif dan melihan relevansi dan perbedaannya

dengan hukum Islam.

D. Kajian Terdahulu yang Relevan

Pada dasarnya penelitian ini bukanlah sebuah penelitian yang baru, sebelumnya

sudah ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Namun penelitian ini

menggunakan pendekan yang berbeda dengan penlitian-penelitian sebelumnya dan lebih

banyak akan menyoroti masalah mekanisme penyelesaian sengketa secara Adat. Adapun

beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian sebelumnya adalah:

Penelitain yang dilakuan oleh saudara Wahyudi, M. Sukri Akub, Andi Sofyan

dengan Judul Fungsi Lembaga Saniri Negeri Dalam Pelestarian Hukum Adat di Maluku

Tengah. Dalam tulisan ini mereka menyimpulkan bahwa Kewenangan Lembaga adat

dalam menyelesaikan sengketa adat di Maluku Tengah telah dilaksanakan dengan


baik dengan adanya Perda No 4 tahun 2006 secara khusus mengatur tentang

wewenang, tugas dan fungsi lembaga adat dalam menyelesaian sengketa adat di

masyarakat hukum adat Maluku Tengah, mempunyai dampak positif dalam

Penyelesaian delik adat dan sengketa adat oleh badan saniri negeri secara musyawarah

dan mufakat. Keputusan dan sanksi yang ditetapkan oleh badan saniri negeri ditaati

oleh masyarakat dengan tingkat ketaatan yang tinggi. Dalam proses penyelesaian

sengketa adat dan delik adat dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan

Keputusan dan sanksi yang ditetapkan oleh Badan saniri masih tetap ada dan

ditaati oleh masyarakat untuk menjaga, memelihara, mengayomi dan melestarikan

adat istiadat, hukum adat dan budaya masyarakat. Berbagai pelanggaran delik adat

yang selama kurung waktu 2008-2013 tercatat sebanyak 210 kasus. Setiap tahun

ditemukan pelanggaran delik adat masih dapat mencapai 15 hingga 44 kasus,

sedangkan pelanggaran yang tergolong serius yakni yang menimbulkan kerugian

immateril tercatat 5 hingga 17 kasus dalam setahun, sehingga proses penegakan hukum

pidana adat dimaluku selama ini masih aktif diberlakukan sesuai dengan Peraturan

Daerah No. 04 Tahun 2006 tentang Proses Pembentukan Badan Saniri Negeri

Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah harus tetap menegakan hukum yang

termuat dalam Perda yang sesuai dengan nilai budaya yang dianut dan kesadaran

masyarakat maluku Tengah terhadap aturan hukum pidana adat yang masih ada dan

harus tetap dilestarikan dan adanya gejala melemah dari perilaku adat itu sendiri

dalam masyarakat, akibat tergesernya pola kehidupan yang tradisionil ke arah

kehidupan yang modern saat ini.6

6
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/98491c87f936cea89ebea3751ccc2077.pdf , Akses 02 Maret 2021. Henry
Arianto, Fungsi Lembaga Saniri Negeri Dalam Pelestarian Hukum Adat di Maluku Tengah, Lex Jurnalica Vol. 6
No.3, Agustus 2009.
Selanjutnya di dalam Jurnal yang ditulis oleh saudari Telly Muriany, dengan

Judul “Implementasi Pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda Negeri) di Era Otonomi

Kabupaten Maluku Tengah (Studi Negeri Amahai)”. dikemukakan dalam tulisannya

bahwa nilai-nilai adat yang ada di Maluku tengah khususnya Negeri Amahai memiliki

peranan yang sangat penting dalam setiap penetapan suatu keputusan untuk dipedomani.

Artinya bahwa mereka yang membawa keputusan-keputusan adalah mereka yang

menurut hukum adat mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam persekutuan hukum

tersebut. Dalam tulisan ini lebih jauh mengaitkan dengan perda 01 tahun 2006,

menyangkut dengan pemerintahan Negeri, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa

peraturan daerah tersebut sudah cukup menguntungkan masyarkat adat diamana dimana

telah terakomodir kepentingan masyarakat adat dalam sistem pemerintahan yang

dibangun.

Lembaga ada/Sairi dalam pemerintahan Negeri dalam melaksanakan tugas dan

fungsi melakukan musyawara bersama-sama negan pemerintah negeri untuk

mengeluarkan keputusan-keputusan bagi negeri lembaga adat sangat penting dan

mendorong terjadinya perubahan atau pergeseran terhadap nilai budaya dan kultur sosial

masyarakat hukum adat yang didalamnya terdapat energi untuk membentuk suatu pola

perilaku yang mengatur tingkah laku maupun nilai budaya dan sangat dihormati oleh

masyarakat negeri.7

Henry Arianto, Sapia Talaohu dengan Judul Peran Peradatan Negeri dalam

Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan Amahai, Maluku Tengah. Penelitian ini

tentu memikiki banyak kemiripan dengan Judul pada proposal ini, tapi dalam penelitian

yang dilakukan saudara Hen Arianto dan Sapia lebih banyak memfokuskan pada

penyelesaian sengketa tanah Adat di Negeri Amahai, seperti yang tertuang didalam
7
ejournal.unpatti.ac.id. file:///C:/Users/Intel/AppData/Local/Temp/jpopulis2014_8_1_4_muriany.pdf, Akses 02
Maret 2021. Telly Muriany, Fungsi Lembaga Saniri Negeri Dalam Pelestarian Hukum Adat di Maluku Tengah,
Populis, Volume 8 No. 1 Maret 2018.
kesimpulannya bahwa: Persengketaan yang terjadi adalah karena ketidak jelasan batas

wilayah yang dimiliki oleh masing-masing warga masyarakat. Hukum yang

dipergunakan untuk penyelesaian konflik-konflik yang pada umumnya terjadi di

masyarakat hukum adat kecamatan amahai adalah dengan cara penyelesaian sengketa

diluar pengadilan menurut sistem hukum adat yang didasarkan pada perdamaian dan

keselarasan dalam kehidupan masyarkat. Cara penyelesaian demikian tidak

menimbulkan konsekwensi adanya pihak yang salah dan benar dan tetap menjaga

hubungan baik. Namun tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan mudah. Kadang

ada juga masalah yang sampai saat ini berlarut-larut. Contohny adalah proses

penyelesaian sengketa batas antara masyarakat desa Saleman dan Masyarakat Desa

Horale Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku tengah.8

Dari penjabaran diatas terlihat jelas bahwa sudah ada beberapa penelitian-

penelitain terdahulu yang relevan dalam penelitian ini. Namun penelitian yang terfokus

pada mekanisme penyelesaian sengketa di Lembaga adat blm ada yang menelitinya

secara komprehensif. Di dalam penelitian ini juga menyoroti dua negeri adat yang

mayoritas agamanya berbeda, Negeri Amahai mayoritas Muslim dan Negeri Ruta yang

mayoritas beragama Islam, sengaja dicantumkan dua tempat penelitain sebagai

perandingan dalam hal mekanisme penyelesaian sengketa secara adat. Berikutnya akan

dianalis berdasarkan hukum positif (Legal Formil) dan Hukum Islam, agar terdapat

integrasi keilmuan. Perbedaan yang paling mencolok adalah penelitian-penelitain

sebelumnya tidak menggunakan pendekatan hukum positif dan hukum Islam.

8
Henry Arianto, Peran Peradatan Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan Amahai, Maluku
Tengah. Lex Jurnali Vol. 6 No.3, Agustus 2009.
E. Konsep dan Teori yang Relevan

1. Lembaga Adat

Lembaga adat merupakan suatu wadah atau organisasi yang mana memiliki peran

dan fungsi dalam tatanan masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat agar

terbendungnya aspirasi masyarakat terhadap pemerintahan desa. Lembaga adat desa

merupakan sebuah lembaga kemasyarakatan yang dibentuk dalam suatu masyarakat

hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam

wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus,

dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat desa berkaitan

dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.9

Dalam tatanan suatu pemerintahan, desa merupakan suatu tempat dimana

membentuk kelompok agar tercapainya sebuah visi dan misi bersama, dalam sebua desa

terdapat berbagai macam lembaga yang mana setiap memiliki peranan dan fungsinya

itu sendiri dalam memajukan pembangunan desa, adanya lembaga adat di desa

sangat membantu aparatur desa dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada

dalam desa, karena pemerintah telah menyerahkan urusan desa kepada aparatur desa

untuk menjadikan desa sesuai visi misi yang ada.

Desa adat atau yang disebut dengan nama lain adalah sebuah kesatuan

masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas

budaya yang berbentuk atas dasar teritorial serta berwenang mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul.10

Pada umumnya yang membedakan desa dengan desa adat hanyalah pelaksanaan

peraturan yang menyangkut pelestarian masyarakat adat, kedamaian kesejahteraan dan

9
Firman sujadi, dkk, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintaha Desa landasan Hukum dan
Kelembagaan Pemerintahan Desa, (Jakarta: Bee Media Pustaka, 2016), h. 309.
10
Ibid., h. 300
peraturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan tatanan aslinya. Pada saat ini desa

dengan desa adat memiliki perlakuan yang sama dari pemerintah dalam melaksanakan

tugas pemerintahan desa dalam rangka memajukan desa, melakukan perubahan desa

dan menyelenggarakan peraturan pemerintahan desa yang efektif dalam melaksanakan

pembangunan desa serta memberikan pembinaan terhadap masyarakat setempat.

Adanya hukum adat yang berlaku disuatu desa dapat membantu aparatur desa

dalam menjalanakan sistem pemerintahan yang ada didesa, dimana lahirnya hukum

adat yang keputusan-keputusannya berasal dari ketua adat dalam menyelesaikan

berbagai sengketa yang ada di desa, yang berlaku, adat merupakan suatu kebiasaan atau

budaya yang telah berkembang disuatu desa diman didalamnya terdapat masyarakat

adat yang ikut berperan menjalankan tatananhukum adat tersebut, dimana masyarakat

hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau the indigenous

people, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut dengan istilah

“masyarakat adat”.11 Masyarakat merupakan suatu kumpulan sosial dimana adanya

interaksi sosial yang terjadi di setiap saatnya, pengertian dari hukum adat lebih sering

diindentikan dengan kebiasaan atau kebudayaan masyarakat setempat di suatu daerah12

Dalam perjalanannya hukum adat yang bersifat universal memiliki asas hukum adat

tersendiri yang memiliki nilai nilai diantaranya:

1) Asas gotong royong yang telah tertanam dijiwa masyarakat.

Adanya asas gotong royong dalam masyarakat yang telah tertanam dalam

masyarakat yang menyebabkan adanya jiwa sosial tinggi dan adanya kehidupan di

masyarakat, yang dalam perkembangannya memiliki dampak perubahan dari

intern maupun ekstern.

11
Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), h. 1
12
Ibid, h. 2
2) Asas fungsi sosial dan milik dalam masyarakat.

Asas hukum adat yang kedua yang memiliki nilai universal adalah asas fungsi sosial

dan milik dalam masyarakat, asas ini tercermin sekali dalam kehidupan tradisional

masyarakat adat asas ini memiliki 2 unsur yaitu: asas fungsi sosial dan asas milik

dalam masyarakat.

3) Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum

Asas ini pada hakikatnya merupakan alah satu unsur demokrasi Indonesia asli yang

senantiasa tercermin implementasinya dalam tata kehidupan masyarakat tradisional.

4) Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.

Asas ini juga merupakan unsur demokrasi yang kedua setelah dari asas persetujuan

sebagai dasar kekuasaan umum, asas ini merupakan ciri-ciri khas demokrasi aseli

yang telah ada dan dibina dalam kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia sejak

dahulu kala.13

Lembaga adat suatu wadah atau organisasi yang mana ketika dalam penyelesaian

suatu sengketa atau konflik adanya musyawarah antara para aparatur adat yang bisa

disebut dengan musyawarah adat. Dimana musyawarah adat dilakukan dalam

bermasyarakat untuk mewujudkan tujuan kehidupan bersama menurut tata tertib

hukum adat.14 Dalam lembaga adat adanya lembaga musyawarah adat di bagi antara

lain:

1. Lembaga Musyawarah Kekerabatan

Lembaga ini adalah lembaga musyawarah yang berlaku dalam penyeleggaraan

pemerintahan persekutuan hukum adat kekerabatan. Lembaga musyawarah

13
R. Soerojo Wignojodipoero, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan,
(Jakarta: Gunung Agung, 1983 ), h. 61-79.
14
Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, (Jakarta: Alumni Bandung, 1981), h. 94.
kekerabatan di bagi menjadi tiga diantaranya: (1). Musyawarah Keluarga (2).

Musyawarah Kerabat (3). Musyawarah Suku.

2. Lembaga Musyawarah Ketetanggaan.

Lembaga ini ialah hanya terbatas pada bentuk musyawarah tetangga, musyawarah

kampong dan musyawarah desa, yang sejak zaman kekuasaan Kolonial diatur

di dalam perundag-undangan ialah lembaga musyawarah desa, sedangkan yang

lainnya hanya berlaku berdasarkan hukum adat setempat. Lembaga musyawarah

ketetanggaan di bagi menjadi tiga diantaranya: (1). Musyawarah Tetangga (2).

Musyawarah Kampung (3). Musyawarah Desa

3. Lembaga Musyawarah Keorganisasian

Lembaga musyawarah keorganisasian yang dimaksud adalah lembaga adat yang

merupakan sikap tindak perilaku orang yang suka berbicara, berunding, berembuk

dan membahas persoalan bersama dalam wadah organisasi. Lembaga musywarah

keorganisasian dibagi menjadi tiga dianaranya: (1). Musyawarah Kumpulan (2).

Musyawarah Organisasi (3). Musyawarah Gologan.

2. Lembaga adat dalam Perundang-Undangan

Dalam suatu pemerintahan desa atau daerah adanya lembaga penyelenggaraan

pemerintahan desa merupakan suatu struktur yang telah diatur dalam Undang–Undang

termasuk tentang lembaga adat desa, yang mana lembaga adat desa memiliki wewenang

untuk mengatur, mengurus dan menyelenggarakan pemerintahan desa agar tercapainya

visi misi dan berkembangnya suatu desa yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum

adat yang berlaku.

Sebagaimana tertuang dalam pasal 95 UU Desa No 6 Tahun 2014, pemerintah

desa dan masyarakat desa dapat membentuk lembaga adat desa. Lembaga adat desa
merupakan suatu lembaga yang tetap menyelestarikan adat istiadat dan hukum adat yang

berlaku dan menyelenggarakan fungsi adat istiadat yang menjadi tatanan asli desa.

Selain adanya peraturan yang mengatur tentang lembaga adat, ada juga peraturan yang

mengatur tentang desa adat yang diatur dalam permendagri No. 111 Tahun 2014 yang

mengatur mengenai peraturan desa adat. Peraturan desa adat diatur dalam ketentuan

lain-lain pada pasal 30 ayat (1) dimana disebutkan bahwa peraturan desa adat

disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku didesa adat

sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.15

Mengacu pada peraturan daerah Maluku tengah no 1 tahun 2006 tentang Negeri,

dijelsakan pada BAB V Saniri Negeri dan Badan Pemusawaratan Negeri. Disini

dijelaskan bagaimana kedudukan dan fungsi Saniri Negeri sebagai lembaga Adat.

3. Hukum Islam

Pergumulan hukum Islam dengan reatilas zaman selalu menuntut timbulnya

pertanyaan ulang terhadap produk-produk ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan

dengan specrum masalah dewasa ini yang semakin luas dan komples. Satu pertanyaan

yang muncul adalah apakah hukum Islam mampu pengatasi perbedaan-perbedaan Hukum

Adat di masyarakat atau kah tidak? Mengingat Islam telah masuk di hampir seantero

dunia, tentu mengalamii perbedaan adat dan budaya setempat. Disinilah tantangan hukum

Islam untuk dapat bersifat fleksibel, bisa beradaptasi dengan adat budaya setempat. Maka

disinilah peranan maqashi al-syariah sebagai tujuan dari Pembentukan Hukum Islam.

15
Firman Sujadi, dkk, Op Cit. h, 347.
Menurut Abd Wahab Khalaf maksud umum disyari’atkannya hukum Islam adalah

untuk merealisir kemaslahatan umat dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat

primer (dharuri), sekunder (hajji) dan tersier (tahsini).16

Sebagai dokrin, Maqashid al-Syari’ah bermaksud mencapai, menjamin dan

melestarikan kemaslahatan bagi umat manusia. Untuk itu dicanangkan tiga skala prioritas

yang berbeda tetapi saling melengkapi: al-Dahruriyyah (Bersifat Primer), al-Hajiyyat

(Bersifat Sekunder) dan al-Tahsiniyat (Bersifat Tersier). Sedangkan dalam tujuan yang

bersifat primer (Maqashid al-Dharuriyyat) didefinisikan sebagai tujuan yang harus ada,

yang ketidak adaanya akan berakibat menghancurkan kehidupan secara total. Artinya bila

sendi-sendi itu tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak

akan tercapai. Disini ada lima kepentingan yang harus dilindungi:

1. Hifdz ad-din (perlindungan terhadap agama);

2. Hifdz an-nafs (Perlindungan terhadap jiwa);

3. Hifdz an-nasb (Perlindungan terhadap keturunan);

4. Hifdz al-aql (perlindunan terhadap akal);

5. Hifdz al-Mal (Perlindugan terhadap harta).

Perlindungan kelima hal tersebut di atas termasuk maslahat (kebaikan) yang

mu’tabar karena memiliki rujukan yang jelas dalam al-Qur’an.17

Tujuan dari pembentukan hukum Islam haruslah sedikit fleksibel tanpa harus

menghilangkan prinsip-prinsip dasar yang harus dilindungi maka Maqashid al-Syari’ah

akan dijadikan sebagai pendekatan untuk melihat mekanisme peneyelesaian sengketa

pada Lembaga Adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta. Karena ini permasalahan yang

16
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Qalm, 1980), h. 198.
17
Makhrus Munajat, Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2008), h. 51
bersifat adat amaka Urf atau konsep adat di dalam Islam akan dijadikan sebagain

pembanding.

F. Metode Penelitian

1. Jenis, Lokasi dan Pendekatan

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field research) dan bersifat

eksploratif yaitu berupa penjelasan mekanisme penyelesaian sengketa tanah adat pada

lemabga adat negeri amahai. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah

Pendekatan Pendekatan Yuridis Empiris dan Pendekatan Konseptual (Conceptual

Approach). Pendekatan komparatif adalah upaya untuk membandingkan peraturan-

peraturan hukum, adat, hukum psitif dan hukum Islam, perbandingan ini haruslah

membandingkan sesuatu yang sama. Dalam hal ini perbandingannya adalah antara

peraturan dan mekanisme yang dipakai di lembaga adat Negeri Amahai dan Negeri

ruta. Selanjutnya dalam analisisnya dipakai hukum positf serta dikomparasikan

dengan hukum Islam. Sedangkan pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.Pendekatan

ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang

dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum

ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas

ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun

asas hukum yang relevan dengan permasalahan.18

18
https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian-hukum/, Download 13
Agustus 2019
2. Sumber Data

Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah

data dari lembaga adat Negeri Amahai melalui wawancara. Wawancara dengan

pranata adat meliputi Raja Negeri, Saniri Negeri, Tuan Adat (Tuan Tanah), kepala soa

dan masyarakat adat. Perlu dikemukakan karena penelitian ini bersifat eksploratif,

maka tidak dibatasi oleh jumlah informan, namun peneliti berupaya menggali data

sekundernya merujuk pada sumber-sumber pendukung utama mengenai mekanisme

penyelesaian sengketa tanah adat di Negeri Amahai, profil lokasi penelitian, lemaga

peradatan dan lain-lain yang diperoleh dari sumber literature/tertulis seperti buku,

Koran, maupun dokumen-dokumen di Negeri Amahai.

3. Metode pengumpulan

Data Pada tahapan pengumpulan data, penulis menggunakan tiga metode, yaitu:

a. Interview (Wawancara)

Metode wawancara adalah Tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan

sistematik dan berdasarkan kepada tujuan penelitian.19 Wawancara berisi

pertanyaan yang berhubungan dengan mekanisme penyelesaian sengketa pada

lembaga adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta, tentu dengan mengacu pada

pendekatan hukum positif dan akan dilihat relevansi dan pebedaannya dengan

hukum Islam.

b. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah teknik pengumpulan data melalui bahan tertulis,

artifack, film, dan lain-lain.Yang mengandung keterangan dan penjelasan tentang

suatu peristiwa atau pemikiran.20 Metode ini digunakan untuk mengumpulakn

data tentang profil Lemabga Adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta.

19
Peter Conolly, Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS,2002), cet. I, h. 153.
20
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 61.
4. Tehnik Analisis Data

Setelah data diperoleh, selanjutkan akan dianalisis dengan teknik analisis

deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu penyajian data guna menjelaskan suatu pemikiran

atau fakta apa adanya.21 Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan

mekanisme penyelesaian sengketa tanah pada lembaga adat Negeri Amahai dan

Negeri Ruta, dan lebih jauh akan mengkomparasikan antara mekanisme penyelesian

sengketa pada peradatan Negeri Amahai dengan Negeri Ruta. Lalu dikasi berdasakan

hukum positif dan hukum Islam. Selanjutnya akan diperhatian sisi-sisi data yang

harus atau memerlukan analisis lebih lanjut.22

Sedangkan kualitatif penulis lakukan dengan pertimbangan; pertama,

menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan

ganda. Kedua, metode ini mendekatkan secara langsung hakikat hubungan antara

peneliti dengan informan. Ketiga, kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri

dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang

dihadapi.23

G. Rencana Pembahasan

Bab I berisi latar belakang yang mengurai permasalahan dan pertanyaan

penelitian serta metode penelitian. Bab II berisi kajian teoritis yang mengurai konsepsi

hukum adat, Lemabaga Adat secara Normatif (Hukum Positif dan Hukum Islam). BAB

III mengurai secara deskriptif apa yang menjadi jawaban rumusan masalah pertama

dengan menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa pada Lembaga Adat di Negeri

Amahai dan Negeri Ruta. BAB IV Mengurai secara deskriptif analitis mekanisme

penyelesaian sengketa pada Lembaga Adat Negeri Amahai dan Negeri Ruta berdasarkan
21
Sumadi Surabaya, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 18.
22
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002), h. 68-69.
23
Lexy J. Muleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 5.
prespektif Hukum Positif dan Hukum Islam. BAB V kesimpulan dan

saran/rekomendasi.

H. Waktu Pelaksanaan

Waktu pelaksanaan penelitian ini secara keseluruhan dilakukan selama enam

bulan yang dimulai sejak bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2021. Dengan

table pelaksaannya dirincikan sebagai berikut:

No Kegiatan Bulan Ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pengumuman Seleksi Proposal Penelitian √

2 Penyusunan Proposal Penelitian √

3 Pengumuman Hasil Selsksi Penelitian √

Proposal

4 Seminar Proposal Penelitian √

5 Perizinan Penelitian √

6 Perbaikan Proposal Hasil Seminar √

7 Penyusunan Daftar Wawancara √

8 Interpretasi Data √ √ √

9 Menyusun Laporan Penelitian √ √ √ √

10 Seminar Hasil Penelitian √

11 Perbaikan Laporan Penelitian Hasil √

Seminar
12 Penggandaan Laporan Hasil Penelitian √

I. Anggaran Penelitian

Berdasarkan juknis penenelitian tahun 2021 penelitian ini diikutkankan dalam cluster

Penelitian Dasar Interdisipliner, maka besarnya anggaran penelitian ini adalah senilai

Rp. 40.000.000,-

J. Tim Peneliti

Tim Peneliti untuk penelitian ini terdiri dari :

1. DR. Ahmad Lontor, MH sebagai Ketua Tim

2. Muhammad Umar Kelibia, M.SI sebagai Anggota


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arianto, Henry, Peran Peradatan Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kecamatan Amahai, Maluku

Tengah. Lex Jurnali Vol. 6 No.3, Agustus 2009.

Conolly, Peter, Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: LKiS,2002

Hadikusuma, H. Hilman, Hukum Ketatanegaraan Adat, Jakarta: Alumni Bandung, 1981

____________________Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cetakan III, Penerbit CV. Mandar Maju,

Bandung. 2003

Khallaf , Abdul Wahab, Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Qalm, 1980

Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum Indonesia Terbadu, edisi 2003, Penerbit PT. Citra Aditya Bakhti, Bandung

2003.

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002

Munajat, Makhrus, Studi Islam di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2008

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001

Sujadi, Firman, dkk, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintaha Desa landasan Hukum dan

Kelembagaan Pemerintahan Desa, Jakarta: Bee Media Pustaka, 2016

Surabaya ,Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998

Utomo, Laksanto, Hukum Adat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016

Wignojodipoero, R. Soerojo , Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan,

Jakarta: Gunung Agung, 1983

Internet
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/98491c87f936cea89ebea3751ccc2077.pdf , Akses 02 Maret 2021. Arianto,

Henry, Fungsi Lembaga Saniri Negeri Dalam Pelestarian Hukum Adat di Maluku Tengah, Lex Jurnalica

Vol. 6 No.3, Agustus 2009.

ejournal.unpatti.ac.id. file:///C:/Users/Intel/AppData/Local/Temp/jpopulis2014_8_1_4_muriany.pdf, Akses 02

Maret 2021. Telly Muriany, Fungsi Lembaga Saniri Negeri Dalam Pelestarian Hukum Adat di Maluku

Tengah, Populis, Volume 8 No. 1 Maret 2018.

https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian-hukum/, Akses 13 Agustus

2019

Anda mungkin juga menyukai