Anda di halaman 1dari 3

Sumber Berita |

Peradilan Adat dan Prakteknya di Berbagai Tempat Bagi masyarakat Indonesia, konsep peradilan ternyata bukanlah hal yang baru dikenal setelah masuknya hukum kolonial. Jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa lain, yang menawarkan sistem hukumnya, di semua komunitas masyarakat di wilayah Nusantara, telah berlangsung proses menyelesaikan sengketa berdasarkan mekanisme yang beragam yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan sosial melalui pemberian keadilan kepada para pihak. Prosesnya berlangsung dan terkelola oleh lembaga-lembaga adat atau lokal, yang dari segi bentuknya sangat beragam. Ada yang berada dibawah kewenangan lembaga yang khusus, sedangkan di sebagian tempat lainnya diselenggarakan oleh lembaga yang tidak secara khusus menangani sengketa. Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu yang lama, maka jejak-jejak yang menggambarkan keberadaannya masih bisa dilacak. Di beberapa tempat, malah bentuk nyatanya masih bisa disaksikan dan terus dipraktekkan hingga sekarang. Ternyata, upaya intervensi dan penundukan sistem peradilan adat, tidak terlalu berhasil meminggirkan praktek ini dari keseharian masyarakat. Kenyataan ini membuktikan, betapa kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh sangat luar biasa. Luar biasa, karena upaya dan strategi pemberangusannya demikian sistemik. Sistemik, karena ruangnya tidak hanya berada pada aras kebijakan, tetapi sekaligus juga pada aras yang lebih praksis melalui tindakan nyata di lapangan oleh aparat hukum negara, stigmatisasi negatif dan pelucutan kepercayaan komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan seperti ini, peradilan adat masih bisa membuktikan eksistensinya. Meskipun potretnya sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas msyarakat belum memiliki interaksi dengan budaya luar, kenyataan tersebut tidak mengurangi nilai dari kemampuan survival-nya. Pilihan sikap masyarakat terhadap sistem nilai yang dimilikinya, mungkin menjadi kunci atas tetap eksisnya sistem ini. Seterencana apapun proses penundukan yang dilakukan, pengaruhnya bisa dieliminir, sepanjang masyarakat sebagai pemangku sistem tersebut - secara sadar bersedia menjadikannya sebagai pilihan yang utama. Faktor lain yang menyebabkan tetap eksisnya peradilan adat dalam budaya masyarakat, adalah sifat fungsional dari peradilan adat itu sendiri. Dicibir sesinis apapun oleh kelompok-kelompok dominan dari luar komunitas, fungsionalitasnya tidak berkurang dalam memproduksi keadilan, keteraturan dan ketentraman bagi warganya, sehingga membuatnya - sangat layak - untuk dipercaya dan dipegang teguh oleh komunitas pemangkunya. Bagaimana Peradilan Adat tersebut dipraktekkan saat ini? 1. Kampung Datar Ajab, Kec, Hantakan, Kab. Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan Kampung ini terletak dikaki pegunungan Meratus, yang menjadi wilayah pemukiman Dayak Meratus. Kampung ini membawahi 4 (empat) Balai yaitu Balai Adat Agung Mula Ada, Balai Adat Tambun Batu, Balai Adat Matinjau dan Balai Adat Muanjal Pajat. Kelembagaan adat masih menjadi lembaga yang fugsional terhadap masyarakatnya dibawah pimpinan Kepala Adat dan Ketua Suku yang mengepalai Balai Adat serta Kepala Padang yang mengurusi hutan. Permasalahan yang terjadi (baik antar Balai maupun dengan orang laur) dan pelanggaran adat lainnya menjadi urusan tetua adat, untuk menyelesaiknnya dalam lingkup balai secara musyawarah, untuk menemukan kesepakatan mengenai kesalahan dan bentuk hukumannya. Musyawarah ini sendiri

Http://www.huma.or.id

dihadiri olah tokoh adat dan pengurus lembaga adat. Dalam prakteknya, bentuk hukumannya antara lain adalah bayar pamali (parabia) sebagai denda, diasingkan dari balainya, pembalasan seperti kesalahannnya dan bayar nyawa. Penjatuhan hukuman ini didasarkan pada kesalahan serta pertimbangan si korban dan pelaku Proses penyelesaiannya sebagai berikut Berawal dari adanya laporan/pengaduan kepada kepala adat. Laporan ini ditindak lanjuti dengan mengundang kepala adat, penghulu adat dan tokoh adat untuk memusyawarahkan langkah-langkah penyelaian. Selanjutnya dilaksanakan pemeriksaan pihak yang terkait dengan kasus tersebut (pelaku dan korban) serta mencari keterangan dari masyarakat. Dengan memahami duduk persoalan berdasarkan pemeriksan tersebut, diselenggarakan rapat adat yang dihadiri oleh masyarakat banyak 2. Lebong Utara, Kab. Rejang Lebong Bengkulu Kasus yang bisa diselesaikan diperadilan adat ini adalah pelanggaran atas adat kampung serta hal-hal lain yang telah diizinkan oleh pihak yang berwenang. Prosesnya sendiri dimulai dengan apa yang dinamakan proses kantor (saat ini dilakukan oleh Kepala Desa dan poerangkatnya) untuk memperoleh keterangan dan bukti-bukti. Selanjutnya kepala desa meminta diselenggrakannya persidangan adat untuk mengajukan pelaku, barang bukti dan saksi-saksi. Persidangan berlangsusng dibawah pimpinan ketua Kutai. Dalam mengambil keputusan atau menjatuhkan hukuman, Ketua Kutai ini dibantu oleh Ketua Syara dan Ketua Adat. 3. Kei Maluku Tenggara Di daerah ini dikenal hukum Larwur Ngabal yang berlaku diseluruh wilayah Kei. Saat ini Larwur Nagabl ini terdiri dari tiga ketentuan hukum, yaitu: o Nevnev, yang terdiri dari tujuh pasal ketentuan yang melarang pikiran, perkataan dan tindakan yang menyakiti, mencelakai, menghancurkan dan mematikan manusia o Hanilit, yang terdiri dari tujuh pasal dan dua pasal tambahan tentang kesusilan, serta o Hawaer batwirin, yang terdiri dari tujuh pasal mengenai kepemilikan Hukum ini menjadi satu-satunya hukum sebelum munculnya hukum agama dan negra yang ditegakkan oleh Raut (raja) dan Soa (setingkat kadus), yang kewenangan penyelesaiannya didasarkan pada berat-ringannya perkara Prosesnya sendiri berawal dari laporan orang yang merasa haknya dilanggar kepada pemimpin adat. Selanjutnya pemimpin adat menghubungi pihak-pihak yang berperkara dan menentukan hari persidangan. Pada waktu persidangan pihak-pihak yang berperkara hadir dengan saksi masing-masing. Sidang dipimpion oleh pemimpin adat dengan didampingi Dewan Adat. Dalam perkara pelanggaran susila, perempuan hanya boleh diperiksa oleh beberapa perempuan yang dituakan. Dalam prakteknya, Larwur Ngabal mengandung dua sanksi, yakni sanksi kebendaan atau hukum Delyoan dan hukum Kevhunin, semacam hukum karma. Sanksi inilah yang diyakini akan diterima oleh pihak yang mengelabui proses persidangan, sehingga berhasil lolos dari sanksi kebendaan. Sanksi Kevhunin ini tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang terlibat perkara, tetapi juga bagi semua pihak yang ikut dalam proses persidangan 4 . Maluku Utara

Http://www.huma.or.id

Dalam struktur kerajaan, raja(yang disebut Kolano) didampingi oleh Babato Nyangimoi Se Tufkange (Dewa Delapan Belas) sebagai penyusun UU atau hukum adat. Ada enam falsafah hukum (Kie Se Gam Magogugu Matiti Rora) yang menjadi sumber hukum, yaitu: o Adat Se Atorang yaitu hukum dasar yang disusun menurut kebiasaan yang dapat diterima dan dipatuhi oleh semua orang o Istiadat Se Kabasarang yaitu lembaga adat dan kekuasaan menurut ketentuan o Galib se Lukudi yaitu kebiasaan lama yang menjadi pegangan o Ngale Se Duhu yaitu bentuk budaya masing-masing suku bangsa dapat digunakan bersama sesuai keinginan o Sere se Doniru yaitu tata kehidupan seni budaya dan kebiasaan yang timbul dalam pergulan masyarakat yang dapat diterima Cing se Cingare yaitu pria dan wanita sebagai pasangan yang utuh dengan hak dan kewajiban masing-masing

Http://www.huma.or.id

Anda mungkin juga menyukai