Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman

suku, ras, agama, dan adat kebiasaaan yang tersebar di kota dan di desa.

Keragaman tersebut menjadi suatu kekayaan dan potensi yang dimiliki

oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dan

masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibi ius ibi

societas, yang artinya dimana ada masyarakat, disitu ada hukum. Oleh

karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan

masyarakat demi mencapai ketertiban umum. Aturan hukum tersebut ada

yang tertulis maupun yang tidak tertulis, berlaku secara nasional dan ada

yang berlaku secara kedaerahan, di dalam lapangan hukum publik maupun

privat.

Indonesia adalah negara hukum (rechtsaat), setiap ketentuan yang

berlaku selalu berpedoman kepada suatu sistem hukum yang berlaku

secara nasional. Namun disamping berlakunya hukum nasional, di tengah

masyarakat juga tumbuh dan berkembang suatu sistem hukum yang

bersumber dari kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat tersebut.

Kebiasaan ini lah yang nantinya berkembang menjadi suatu ketentuan

yang disebut dengan hukum adat.

1
Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum

dan adat. Hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-

norma dan sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan

manusia sehingga keamanan dan ketertiban dapat terpelihara. Sedangkan

adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa, merupakan

salah satu penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke

abad.

Antara hukum dan kehidupan masyarakat memang berkaitan erat,

hukum berperan besar dalam mewujudkan kehidupan yang tertib dan

aman. Apabila terjadi hal-hal yang menyimpang maka peran hukum dapat

dilihat secara lebih konkrit. Masyarakat dapat memilih hukum mana yang

dipakai untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka alami, karena

di Indonesia sendiri berlaku hukum nasional dan juga hukum yang

bersumber dari kebiasaan-kebiasaan di masyarakat yakni hukum adat.

Masyarakat mempunyai hak dalam memilih hukum mana yang mereka

rasa baik untuk mereka, apakah mereka merasa puas dan adil dalam proses

penyelesaian masalah tersebut hingga pada penetapan sanksinya.

Dalam lapangan hukum pidana, ada dua hukum yang berbeda yang

dapat digunakan oleh masyarakat, yaitu hukum pidana yang bersumber

pada peraturan yang tertulis seperti KUHP serta peraturan tidak tertulis

atau aturan yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat

yakni Hukum pidana adat. Keberadaan hukum pidana adat pada

masyarakat merupakan pencerminan kehidupan masyarakat tersebut dan

2
pada masing-masing daerah memiliki Hukum pidana adat yang berbeda

sesuai dengan adat-istiadat yang ada di daerah tersebut.

Begitu juga halnya di Desa Oelomin Kecamatan Nekamese Kabupaten

Kupang, dimana disamping berlakunya Hukum Nasional sebagai pilihan

hukum dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi disana, terdapat

juga Hukum adat sebagai alternatif pilihan hukum bagi masyarakat dalam

menyelesaikan permasalahan tersebut. Penerapan hukum adat di Desa

Oelomin ini biasanya bersifat pidana dalam bentuk pemberian sanksi

berupa sanksi denda. Masyarakat Desa Oelomin mengakui akan adanya

sanksi adat tersebut dan mentaatinya, sebab sanksi tersebut merupakan

kesepakatan yang telah di tetapkan oleh pemuka-pemuka adat sebelumnya.

Pemuka adat tersebut tergabung dalam suatu lembaga adat di Desa

Oelomin.

Lembaga-lembaga adat tersebut memiliki kewenangan dalam

masyarakat. Kewenangan tersebut berupa sebagai penegah (arbiter) dalam

penyelesaian suatu sengketa adat yang terjadi di Desa Oelomin. Lembaga

adat tersebut terdiri dari tokoh adat (Amnaes Uf) sebagai pemimpin dan di

ikuti oleh aparat desa lainnya.

Masyarakat desa Oelomin dalam menyelesaikan permasalahan yang

terjadi selalu diupayakan untuk diselesaikan secara adat, karena mereka

sendiri memiliki adat-istiadat atau sanksi adatnya sendiri guna mencegah

maupun menyelesaikan masalah yang terjadi, walaupun terdapat Hukum

3
Nasional yang juga dapat menyelesaikan masalah yang mereka alami.

Akan tetapi masyarakat Desa Oelomin lebih merasa puas dan adil akan

hasil dari penyelesaian masalah melalui Hukum adat mereka, walaupun

ada juga yang merasa kurang puas akan hasil penyelesaian tersebut karena

merasa sanksi yang ditetapkan terlalu berat bagi mereka. Di Desa Oelomin

sendiri mengangap apa yang sudah menjadi keputusan dalam penyelesaian

adat tersebut wajib diterima untuk dipertanggung jawabkan. Pemberian

sanksi adat di Desa Oelomin tersebut bertujuan untuk mengembalikan

keseimbangan dalam masyarakat Desa Oelomin atas perbuatan yang telah

terjadi.

Memperhatikan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian untuk mengetahui seperti apa penerapan hukum adat Desa

Oelomin dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi hingga

pemberian sanksi adatnya dan seperti apa pandangan dari masyarakat Desa

Oelomin sendiri terkait dengan penerapan hukum adat mereka. Maka dari

itu penulis melakukan penelitian dengan mengangkat judul tentang

“Penerapan Sanksi Pidana Adat Terhadap Perkara Pidana Yang

Terjadi Di Desa Oelomin Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Proses Penyelesaian Perkara Pidana Menurut Hukum Adat

Desa Oelomin Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang?

4
2. Seperti Apa Bentuk Sanksi Adat Yang Dijatuhkan Kepada Pelaku

Tindak Pidana Di Desa Oelomin Kecamatan Nekamese Kabupaten

Kupang?

3. Bagaimana Persepsi Masyarakat Terhadap Proses Penyelesaian

Perkara Dan Penerapan Sanksi Adat Di Desa Oelomin Kecamatan

Nekamese Kabupaten Kupang?

C. Keaslian Penelitian

Penulisan ini merupakan hasil kajian dari penulis sendiri. Sejauh

penelusuran yang dilakukan oleh penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Nusa Cendana Kupang (Undana), tidak ditemukan penulisan

atau karya tulis yang berhubungan dengan apa yang diteliti oleh penulis.

Selanjutnya dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh penulis di media

online ditemukan salah satu penulisan atau karya tulis yang berhubungan

dengan apa yang diteliti oleh penulis.Penelitian terdahulu yang berkaitan

dengan dengan penelitian ini adalah penelitian Bobi Handoko (2015).

Penelitian ini mengangkat judul “Penerapan Sanksi Pidana Adat Terhadap

Pelaku Zina di Wilayah Kenagarian Garagahan Kecamatan Lubuk Basung

Kabupaten Agam”.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

a) Bagaimana penerapan sanksi pidana adat terhadap Pelaku Zina di

Wilayah Kenagarian Garagahan Kecamatan Lubuk Basung

Kabupaten Agam?

5
b) Apa saja kendala dalam penerapan sanksi pidana adat terhadap

Pelaku Zina di Wilayah Kenagarian Garagahan Kecamatan Lubuk

Basung Kabupaten Agam?

c) Bagaimana upaya mengatasi kendala dalam penerapan sanksi

pidana adat terhadap Pelaku Zina di Wilayah Kenagarian

Garagahan Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam?.

Fokus penelitian ini ada pada penerapan sanksi pidana adat

terhadap Pelaku Zina dan kendala dalam penerapan sanksi pidana adat dan

upaya dalam mengatasi kendala tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui penerapan sanksi pidana adat terhadap Pelaku Zina dan untuk

mengetahui kendala dalam penerapan sanksi adat tersebut dan upaya

dalam mengatasi kendala penerapan sanksi pidana adat terhadap Pelaku

Zina yang ada di Wilayah Kenagarian Garagahan Kecamatan Lubuk

Basung Kabupaten Agam. Jenis penelitian atau pendekatan yang

digunakan adalah dengan Sosiologis yaitu penelitian berupa studi-studi

empiris dan undang-undang untuk menemukan teori-teori mengenai

penerapan sanksi pidana adat dan kendala dalam penerapan sanksi pidana

adat tersebut sampai upaya mengatasi kendala tersebut. Dalam penelitian

ini analisis yang dilakukan adalah analisis deskriptif kualitatif.

Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut, yang membedakan

dengan penelitian penulis adalah fokusnya dimana penulis lebih

memfokuskan pada efektivitas sanksi pidana adat yang ada di Desa

Oelomin itu sendiri dengan mencari tahu mengenai proses penyelesaian

6
tindak pidana menurut hukum adat Desa Oelomin dan bentuk sanksi

pidana adatnya itu seperti apa hinggah menggumpulkan pandangan dari

beberapa masyarakat Desa Oelomin mengenai penerapan sanksi pidana

adat tersebut. Apakah masyarakat Desa Oelomin sudah merasa adil atau

belum dalam pemberian sanksi pidana adat tersebut.

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1) Tujuan

a) Untuk mengetahui proses penyelesaian perkara pidana menurut

hukum adat yang ada di Desa Oelomin Kecamatan Nekamese

Kabupaten Kupang.

b) Untuk mengetahui bentuk sanksi adat yang dijatuhkan kepada

pelaku tindak pidana di Desa Oelomin Kecamatan Nekamese

Kabupaten Kupang.

c) Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap proses

penyelesaian dan penerapan sanksi adat di Desa Oelomin

Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang.

2) Manfaat

a) Kegunaan teoritis

1. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana.

2. Dapat menambah khasanah atau perbendaharaan ilmu

pengetahuan bagi masyarakat luas serta dapat dijadikan

sumber informasi bagi penulis dengan tema sejenis.

7
b) Keguanaan Praktis

1. Hasil penulisan ini dapat dimanfaatkan para penegak hukum.

Salah satunya hakim dalam hal menggali hukum maupun nilai-

nilai yang ada dalam masyarakat guna memberikan sebuah

putusan yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di dalam

masyarakat demi terciptanya keadilan dan juga sebagai salah

satu sumber bacaan dan pengetahuan bagi pembangunan

kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, makmur dan

sejahtera, terkhusus pembangunan hukum di Indonesia.

2. Bagi Penulis yaitu sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan tugas akhir dalam memperoleh gelar Sarjana

Hukum.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian Hukum Empiris yakni data yang diperoleh langsung dari

lapangan atau Lembaga-Lembaga yang terkait dengan penelitian ini.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Oelomin Kecamatan Nekamese

Kabupaten Kupang dengan dasar pertimbangan bahwa calon peneliti

8
ingin mencari tahu proses penyelesaian perkara pidana menurut hukum

adat Desa Oelomin dan bentuk sanksi adat di Desa Oelomin itu seperti

apa serta bagaimana pandangan masyarakat terhadap proses

penyelesaian dan penerapan sanksi adat terhadap permasalahan yang

terjadi, apakah menurut masyarakat hukum adat di Desa Oelomin itu

sudah efektif atau belum dalam menyelesaikan permasalahan yang

terjadi.

3. Jenis Dan Sumber Data

a. Data Primer yaitu data yang diperoleh dari responden melalui

wawancara.

b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka

dengan cara mengumpulkan dari berbagai sumber bacaan yang

berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.

c. Data Tersier yaitu data yang diperoleh dari kamus hukum.

F. Aspek Penelitian

1. Proses penyelesaian perkara pidana menurut hukum adat Desa

Oelomin Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang, diawali dengan

adanya keluhan dari masyarakat kepada kepala desa sebagai pemimpin

di desa. Berdasarkan keluhan tersebut kepala desa memberikan

kesempatan kepada kedua belah pihak khususnya dari pihak pelaku

untuk coba melakukan pendekatan terhadap pihak korban dengan

mendatangi kediaman korban untuk meminta maaf atas apa yang telah

terjadi. Dalam melakukan pendekatan terhadap pihak korban, dari

9
pihak pelaku datang dengan di dampingi oleh Tokoh Adat (Amnaes

Uf) beserta aparat desa seperti Kepala Dusun, RT maupun RW

setempat. Dalam pertemuan tersebut akan di mintai keterangan kedua

belah pihak, setelah mendengarkan keterangan tersebut akan disepakati

sanksi adatnya dan tanggal acara penyelesaian perkara tersebut.

kemudian dari hasil pertemuan tersebut akan disampaikan kepada

kepala desa dan aparat desa lainnya yang mungkin tidak sempat hadir

dalam pertemuan tersebut untuk nantinya akan hadir dan bersama-

sama menyaksikan penyelesaian perkara tersebut. selanjutnya dalam

acara penyelesaian perkara tersebut akan dipimpin oleh kepala desa

sebagai pemimpin pemerintahan di Desa dengan memberikan kata

sambutan dan didampingi juga dengan aparat desa lainnya seperti

Ketua BPD, para Tokoh Adat (Amnaes Uf) beserta, kepala Dusun, RT,

RW dan di awasi oleh Babinkamtibmas dan Babinsa selaku aparat

yang menjaga jalannya keamanan dan ketertiban di desa dan juga di

saksikan oleh sebagian masyarakat Desa Oelomin yang ingin

menyaksikan jalannya penyelesaian perkara tersebut. selanjutnya

kepala desa akan menyampaikan kesepakatan diantara kedua belah

pihak dalam hal sanksi adat yang akan diberikan seperti apa kepada

seluruh masyarakat yang hadir pada saat itu dan di akhir acara tersebut

akan ditutup dengan acara doa dan syukur bersama.

2. Bentuk sanksi adat Desa Oelomin Kecamatan Nekamese Kabupaten

Kupang :

10
a. Pidana Denda, yaitu dikenakan dengan sejumlah uang tunai,

kain adat, hewan, laruh atau tuak, dan benda lain yang telah

disepakati bersama.

b. Surat pernyataan damai, yaitu pelaku mengakui kesalahan

yang dilakukanya dan siap menerima sanksi adat yang akan

diberikan kepadanya dan pelaku juga berjanji tidak akan

melakukan tindak pidana lagi, apabila terulang kembali maka

pelaku harus siap untuk diproses sesuai dengan hukum yang

berlaku.

3. Persepsi masyarakat terhadap proses penyelesaian dan penerapan

sanksi adat di Desa Oelomin Kecamatan Nekamese Kabupaten

Kupang :

a. Sudah efektif (sudah adil)

b. Belum efektif (belum adil)

G. Informen dan Responden

1. Informen

Yang menjadi informen dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa

Oelomin yakni sebanyak 17 Orang.

2. Responden

Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah :

a) Kepala Desa Oelomin : 1 Orang

b) Kepala Dusun : 4 Orang

c) Tokoh adat Desa Oelomin : 4 Orang

11
d) Masyarakat Desa Oelomin : 17 Orang

Jumlah : 27 Orang

H. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

berikut :

a) Studi kepustakaan (library research), yaitu melakukan serangkaian

kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari berbagai

buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan

dalam penelitian.

b) Studi lapangan (field research) yang dilakukan melalui wawancara

adalah usaha untuk mengumpulkan data dari informasi di lapangan

dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada responden.

I. Pengolahan Data dan Analisis

a) Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan

pengolahan data sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah

permasalahan yang diteliti.

Adapun pengolahan data yang dimaksud meliputi tahapan sebagai

berikut (Abdulkadir Muhammad, 2004:126) :

12
1. Pemeriksaan data (editing) yaitu mengkoreksi apakah data

yang terkumpul sudah cukup lengkap, benar dan relevan

dengan masalah.

2. Penandaan data (coding) yaitu memberikan catatan atau

tanda yang menyampaikan jenis sumber data, pemegang

hak cipta atau urutan rumusan masalah.

3. Rekontruksi data (reconstricting) menyusun ulang data

secara teratur, berurutan dan logis sehingga mudah di

pahami serta di implementasikan.

4. Sistematisasi data (sitematizing) yaitu menempatkan data

menurut kerangka sistematika bahasa berdasarkan urutan

masalah.

b) Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

analisis deskriptif kualitatif. Analisis data Kualitatif adalah suatu cara

analisis yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang

dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku

yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh

(Soerjono Soekanto, 2009:154). Data yang telah diperoleh, kemudian

akan diolah kedalam bentuk kalimat guna memberikan gambaran yang

lebih jelas terhadap permasalahan yang diajukan, sehingga

memudahkan untuk ditarik suatu kesimpulan berdasarkan

permasalahan yang diajukan.

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Dan Istilah Adat

Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam

Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan dapat diartikan

sebagai “Tingkah laku seseorang yang terus-menerus dilakukan dengan cara

tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama”.

Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka suatu kebiasaan dapat

dikatakan sebagai adat bila memenuhi unsur-unsur berikut :

a. Adanya tingkah laku seseorang

b. Dilakukan terus-menerus

c. Adanya dimensi waktu.

d. Diikuti oleh orang lain atau masyarakat.

Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang

diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama ini

14
menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-istiadat tersebut. Tiap-tiap

masyarakat atau Bangsa memiliki adat-istiadatnya sendiri, yang

mencerminkan jiwa masyarakat atau bangsa, dan merupakan suatu

kepribadian dari masyarakat atau bangsa tersebut. Adat istiadat ini tak akan

hilang meskipun tingkat peradaban, dan cara hidup masyarakat telah

mengalami perkembangan, hal ini dikarenakan adat selalu menyesuaikan diri

dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga keberadaannya tetap kekal

dan sesuai dengan kehendak zaman. Adat-istiadat yang hidup didalam

masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat dan ini

merupakan sumber pokok dari hukum adat.

Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, adat adalah tingkah laku yang oleh

masyarakat diadatkan, melalui serangkaian kesepakatan dan ritual tertentu.

Adat ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis

mengikuti pemahaman dan kepentingan masyarakat, serta kemajuan zaman.

Aturan-aturan tingkah laku didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan

bukan merupakan aturan hukum.

a) Istilah Hukum Adat

Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr.

Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers”

(orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van

Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van

Nederland Indie”. Sejak diperkenalkan istilah ini oleh keduanya, maka

15
sejak tahun 1929 pemerintah kolonial Belanda mulai menggunakan secara

resmi dalam peraturan perundang-undangan Belanda.

Istilah hukum adat pada dasarnya tidak dikenal dalam lingkungan

masyarakat. Masyarakat hanya mengenal istilah adat atau kebiasaan,

sehingga istilah Adat Recht yang sering diterjemahkan menjadi hukum

adat sebenarnya berarti hukum kebiasaan. Namun menurut pendapat Van

Dijk tidak tepat menggunakan istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan

dari Adat Recht, hal ini karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan

adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya

hukum ini timbul karena masyarakat telah sedemikian lamanya melakukan

suatu kebiasaan tertentu, sehingga kebiasaan tersebut menjadi suatu aturan

yang diterima, disepakati dan diinginkan oleh masyarakat, tanpa diketahui

sumber nyata darimana aturan itu berasal. Sedangkan hukum adat

menuntut sumber-sumber nyata sebagai pedoman bagi tetua atau hakim

adat dalam menyelesaikan suatu perkara.

b) Pengertian Hukum Adat

Di Indonesia Hukum Adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli

yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia

yang dimana mengandung unsur agama. Adat sering dipandang sebagai

sebuah tradisi sehingga terkesan lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai

dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena

adat adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat

16
kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal

pantangan untuk dilakukan.

Maka dari hal tersebut muncul lah perdebatan mengenai devinisi

hukum adat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah :

a. Aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala

b. Cara yang sudah menjadi kebiasaan

c. Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,

norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lain berkaitan

menjadi suatu sistem.

Karena istilah hukum adat yang telah diserap kedalam Bahasa

Indonesia Menjadi kebiasaan maka devinisi Hukum Adat dapat disamakan

dengan Hukum kebiasaan.

Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya

merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akibat

hukum (das sein das sollen). Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa),

kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah peraturan-

peraturan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju

kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.

Namun menurut Ter Haar yang terkenal dengan Beslissingenleer (teori

keputusan), mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh

peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para

pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh serta merta

dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan

17
tersebut. keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan

tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam

tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari

keputusan warga masyarakat.

Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukan perubahan

pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat, yakni sebagai

berikut :

a. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga

masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari

kepala-kepala rakyat (Tokoh Adat) yang membantu pelaksanaan-

pelaksanaan perbuatan perbuatan hukum, atau dalam hal

pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas

mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut

karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan

dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama

dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidak-tidaknya

ditoleransi.

b. Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan

dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris

hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja,

eksekutif dan yudikatif) tersebut. keputusan tersebut tidak hanya

keputusan mengenai sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu di

dasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil

18
berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan

hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.

Sedangkan menurut Syekh Jalaluddin, menjelaskan hukum adat

pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan

kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang

dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa

tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa

tersebut, sedangkan yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan

yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu

peristiwa dengan peristiwa lain.

Hukum adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-

nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan yang

lainnya berkaitan menjadi sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat

kuat. Dan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang

dimaksud dengan hukum adat, perlu ditelaah beberapa pendapat para ahli

sebagai berikut :

1. Prof. Mr. B. Terhaar Bzn.

“Hukum adat adalah adalah keseluruhan peraturan yang menjelma

dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara

spontan dalam masyarakat.” Terhaar terkenal dengan teori

“Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat

itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap

penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-

19
istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap

sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.

2. Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven

“Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat

yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.”

3. Dr. Sukanto, S.H.

“Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya

tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan,

mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.”

4. Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.

“Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada

peraturan-peraturan.”

5. Prof. Dr. Soepomo, S.H.

“Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak

tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak

ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat

berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut

mempunyai kekuatan hukum.”

6. Prof. Dr. Hazairin

20
“Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu

kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat

pengakuan umum dalam masyarakat”

7. Soeroyo Wignyodipuro, S.H.

“Hukum adat adalah suatu ompleks norma-norma yang bersumber

pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi

peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari

dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis tapi senantiasa ditaati

dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi)”.

8. Mr. J.H.P. Bellefroit

“Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun

tidak diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati

oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut

berlaku sebagai hukum”.

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan sebelumnya, maka

terlihat unsur-unsur hukum adat sebagai berikut :

a) Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh

masyaraka.

b) Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis

c) Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral

d) Adanya keputusan kepala adat

e) Adanya sanksi/ akibat hukum

f) Tidak tertulis

21
g) Ditaati dalam masyarakat

B. Corak Hukum Adat

Hukum adat kita mempunyai corak-corak tertentu yang membedakannya

dengan jenis hukum lainnya, adapun corak hukum adat sebagai berikut :

1. Bercorak Relegius-Magis.

Menurut kepercayaan tradisional Indonesia, tiap-tiap masyarakat

diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap

aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia

lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam

lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek

moyang dan kehidupan makhluk-makhluk lainnya. Pemujaan-pemujaan

terhadap arwah-arwah nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang

diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat.

2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan

Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud

kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Antara Individu satu dengan

yang lainnya saling bermasyarakat, bekerja sama untuk mencapai

kepentingan bersama. Dalam hal ini kepentingan bersama kepentingan

bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan. Secara

singkat arti dari Komunal :

a. Manusia terikat pada kemasyarakatan tidak bebas dari segala

perbuatannya.

22
b. Tiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan

kedudukannya

c. Hak subyektif berfungsi sosial

d. Kepentingan bersama lebih diutamakan

e. Bersifat gotong royong

f. Sopan santun dan sabar

g. Sangat baik

h. Saling menghormati

3. Bercorak Demokrasi.

Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan,

kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan

pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai

sistem pemerintahan.

4. Bercorak Kontan.

Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada

saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus

dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan

didalam pergaulan bermasyarakat.

5. Bercorak Konkrit

Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau

keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus

dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang

23
dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada

saling mencurigai satu dengan yang lainnya.

C. Dasar Berlakunya Hukum Adat Di Indonesia

Batang Tubuh UUD 1945, tidak menyebutkan satupun pasal yang

mengatur tentang pemberlakuan hukum adat. Oleh karena itu, aturan

pemberlakuan kembali hukum adat terdapat pada Aturan Peralihan UUD 1945

Pasal II, yang berbunyi : “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih

langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang

Dasar ini”. Pemberlakuan hukum adat juga terdapat dalam UUDS 1950 Pasal

104 yang menyatakan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-

alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan perundangan

dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Akan tetapi karena UUDS

1950 ini pelaksanaannya belum pernah dilakukan, maka kembali kepada

Aturan Peralihan UUD 1945. Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b UUDS 1950,

menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur asing

berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka

membutuhkannya, maka pembuat Undang- Undang dapat menentukan bagi

mereka :

1. Hukum Eropa

2. Hukum Eropa yang telah diubah

3. Hukum bagi beberapa golongan bersama dan

4. Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintesa antara adat dan

hukum eropa.

24
Pasal 131 ini pada dasarnya mengatur tentang dasar hukumnya, yaitu

ditujukan pada undang-undang yang berlaku bagi warga masyarakat dan

bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Hal

ini diperkuat dalam Pasal 131 ayat (6) yang menyebutkan bahwa bila terjadi

perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat

mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku

adalah hukum Eropa. Sementara dalam UU No. 19 tahun 1964 Pasal 23 ayat

(1) menyebutkan bahwa “Segala putusan pengadilan selain harus memuat

dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal

tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis

yang dijadikan dasar untuk mengadili“. UU No.19 tahun 1964 ini direfisi jadi

UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena

dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu

besar dalam kekuasaan yudikatif.

Dalam Bagian penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan

bahwa yang di maksud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum

adat. Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ini pula ditegaskan bahwa

hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Terdapat juga dalam

Pasal 18 b ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.

25
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, dapatlah ditarik

kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat di Indonesia

adalah:

1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali

UUD 1945.

2. Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945

3. Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman

4. Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

5. Pasal 18 b ayat (2) UUD 1945.

D. Hukum Pidana Adat

Sebagaimana istilah hukum adat yang tidak dikenal secara umum, maka

istilah hukum pidana adat pada dasarnya juga tidak dikenal dalam kosakata di

wilayah Republik Indonesia. Istilah hukum pidana adat mengacu pada

terjemahan istilah Belanda adat delichten recht, atau “hukum pelanggaran

adat”, yang menunjuk pada segala perbuatan yang dapat merugikan seseorang

atau beberapa orang dan atau perbuatan itu merupakan kejahatan yang

berakibat merugikan atau menganggu keseimbangan masyarakat secara

keseluruhan. Jadi hukum pidana adat diartikan juga sebagai hukum

pelanggaran adat.

Adapun pengertian hukum pidana adat menurut pendapat para ahli yakni :

26
1. I Made Widnyana, menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum

yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat

secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikut.

Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat

menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap

menganggu keseimbangan kosmis masyarakat, oleh sebab itu bagi si

pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh

masyarakat melalui pengurus adatnya.

2. Hilman Hadikusuma menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum

yang hidup dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak

akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan

juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga.

Malahan hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber

kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat

hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada perundang-

undangan.

Berbeda dengan hukum pidana positf, yang menekankan pada adanya

“sebab”, maka hukum pidana adat menitik beratkan pada adanya “akibat” dari

suatu perbuatan, sehingga seseorang atau kerabatnya harus bertanggung jawab

atas akibat tersebut. Walaupun secara tertulis terkadang suatu perbuatan tidak

ada ketentuan atau larangannya, namun apabila perbuatan tersebut membawa

akibat yang menyebabkan kerugian dan bertentangan dengan pihak yang

terkena akibat itu, maka pihak yang menyebabkan akibat itu harus

27
bertanggung jawab atas perbuatannya. Jadi selama suatu perbuatan

mengakibatkan kegoncangan terhadap keseimbangan dalam kehidupan

masyarakat, baik peristiwa itu legal ataul ilegal, maka peristiwa atau

pelanggaran itu melanggar hukum, tanpa dibedakan apakah perbuatan tersebut

bertentangan dengan hukum positif, hukum adat, hukum agama, ataukah

bertentangan dengan kesopanan dan kesusilaan, selama suatu perbuatan

menimbulkan keguncangan maka dapat dikenakan delik adat.

Kegoncangan atau terganggunya keseimbangan masyarakat tidak

selamanya merupakan kegoncangan atau terganggunya masyarakat seluruhnya

atau sebagian besar, tetapi juga mungkin hanya merupakan gangguan

keseimbangan sekarabat rumah tangga saja. Sebagai contoh adalah peristiwa

menikahnya seorang gadis yang melengkahi kakaknya yang belum menikah,

meskipun secara hukum positif dan hukum agama peristiwa tersebut tidak

melanggar hukum, namun akibat perbuatan tersebut mengakibatkan

kegoncangan sekeluarga rumah tangga, maka bagi pihak keluarga gadis dapat

menuntuk pembayaran denda berupa “uang pelangkah” kepada pihak keluarga

mempelai laki-laki. Jadi jelaslah bahwa dalam hukum pelanggaran adat,

selama suatu perbuatan menimbulkan ketidak seimbangan kehidupan

seseorang, sekeluarga, atau masyarakat, meskipun perbutan tersebut dalam

pandangan hukum positif dan hukum agama bukanlah suatu pelanggaran, bagi

perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai pelanggaran adat.

E. Sifat Hukum Pidana Adat

28
Hukum pidana adat berbeda dengan sifat hukum pidana positif. Perbedaan

tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :

1. Menyeluruh dan menyatukan

Hukum pidana adat tidak membedakan antara pelanggaran bersifat

pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana, dengan pelanggaran yang

bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata. Begitupula tidak

dibedakan apakah pelanggaran tersebut adalah pelanggaran adat, agama,

kesusilaan dan kesopanan, kesemuanya akan diperiksa dan diadili oleh

hakim adat sebagai satu kesatuan perkara yang pertimbangan dan

keputusannya bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang

mempengaruhinya. Dikarenakan sistem pengadilan adat tidak mengenal

pembagian kekuasaan hukum antara hukum pidana dan perdata, dan juga

tidak membeda-bedakan delik hukum (kejahatan) dan delik undang-

undang (pelanggaran), maka hukum pidana adat tidak mengenal sistim

hukuman penjara.

2. Ketentuan yang terbuka

Ketentuan hukum dalam hukum pidana adat tidak bersifat pasti, tetapi

selalu terbuka terhadap segala peristiwa dan perbuatan yang mungkin

terjadi. Terbuka dapat diartikan bahwa sebuah peritiwa yang menurut

ukuran sekarang bukan merupakan suatu pelanggaran, bisa saja di lain

waktu merupakan suatu pelanggaran. Hal ini karena menurut hukum adat

yang terpenting dijadikan ukuran adalah rasa keadilan menurut kesadaran

masyarakat sesuai dengan perkembangan keadaan, waktu, dan tempat.

29
3. Membeda-bedakan permasalahan.

Sebuah pelanggaran adat dilihat bukan semata-mata pada perbuatan

dan akibatnya, tetapi juga dilihat dari apa yang menjadi latar belakang dan

siapa pelakunya. Dengan demikian maka dalam cara mencari penyelesaian

dan melakukan tindakan hukum terhadap sesuatu peristiwa menjadi

berbeda-beda. Sebagai contoh, pelanggaran yang dilakukan oleh keluarga

raja adat atau tokoh adat di dalam masyarakat tersebut akan lebih besar

akibat hukumannya daripada pelanggaran yang sama yang dilakukan oleh

orang biasa, oleh karena tingkat pengetahuan dan kemampuannya

dianggap lebih baik dari orang biasa. Begitupun sebaliknya perbuatan

menghilangkan nyawa atau mencuri milik anggota keluarga raja adat atau

pemuka masyarakat, lebih berat hukumannya daripada menghilangkan

nyawa orang biasa.

4. Peradilan dengan permintaan

Untuk melakukan peradilan dalam memeriksa dan menyelesaikan

perkara pelanggaran sebgaian besar didasarkan pada adanya permintaan

atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan

atau diperlakukan tidak adil, kecuali untuk hal-hal yang dianggap

berakibat merugikan langsung dan menganggu keseimbangan masyarakat

umum.

5. Tindakan reaksi dan koreksi

30
Sistem hukum adat pada dasarnya ditujukan guna menjaga

keseimbangan dan keharmonisan masyarakat. Oleh karena itu dalam

melakukan penyelesaian hukum terhadap suatu delik adat, dan untuk

mengembalikan kondisi masyarakat yang terganggu menjadi seperti

semula, maka pertanggungjawaban terhadap suatu pelanggaran bukan

hanya dikenakan bagi para pelaku pelanggaran, akan tetapi

pertanggungjawaban dapat pula dikenakan bagi keluarga atau kerabat

pelaku, atau bila perlu kepada masyarakat kampung dimana si pelaku

berada, melalui upacara selamatan dan lain-lain. Oleh karena sistem

peradilan adat tidak mengenal sistem hukuman penjara, maka dalam

melakukan tindakan reaksi atau koreksi terhadap berbagai pelanggaran

diberbagai lingkungan masyarakat adat di Indonesia, sistem peradilan adat

mengenakan sanksi sebagai berikut :

a) penggantian kerugian inmateril.

b) pembayaran “uang adat”

c) penutup malu atau permintaan maaf.

F. Masyarakat Adat Desa Oelomin

Masyarakat adat adalah suatu bentuk kehidupan bersama, warganya hidup

bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan adat

dari budaya. Masyarakat hukum adat adalah kesatuan kemasyarakatan yang

memiliki kelengkapan berdiri sendiri, yaitu kesatuan hukum, penguasa dan

lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua

anggotanya.

31
Seperti halnya di Desa Oelomin, merupakan salah satu desa dari 11 desa

yang ada di Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang. Desa Oelomin sendiri

memiliki luas wilayah sebesar 29.35 km dan memiliki jumlah penduduk

sebanyak 1987 jiwa dengan Jumlah KK sebanyak 368. Dengan total jumlah

RT yang ada di Desa Oelomin sebanyak 16 dan RW di Desa Oelomin

sebanyak 8.

Desa Oelomin sendiri terdiri atas 4 dusun yakni :

1. Dusun I (Oelomin)

2. Dusun II (Nenup)

3. Dusun III (Naiko)

4. Dusun IV (Atonifui)

Desa Oelomin mempunyai letak batas wilayah yakni sebagai berikut :

1. Utara berbatasan dengan kelurahan Kolhua

2. Selatan berbatasan dengan kelurahan fatukoa

3. Timur berbatasan dengan Desa Tunfeu dan Kelurahan Kolhua

4. Barat berbatasan dengan Kelurahan Bello dan Kelurahan Fatukoa.

Mayoritas penduduk asli Desa Oelomin bermata pencaharian sebagai

petani, baik petani kebun maupun sawah. Tetapi ada juga yang mata

pencahariannya sudah mulai berkembang, yakni seperti dibangunnya kios

untuk berjualan kebutuhan masyarakat, serta berbagai jasa layanan lainnya.

Masyarakat adat Desa Oelomin adalah orang Timor dan termasuk juga

Kepala Desa Oelomin yakni Bapa Tuce O.A Takesan yang adalah penduduk

asli Desa Oelomin yang juga berasal dari suku Timor. Selain suku Timor, ada

32
juga suku-suku lain seperti, suku Rote, Alor, Flores, Sumba, Belu, dan lain-

lain. Dengan hadirnya suku-suku tersebut, Desa Oelomin semakin lama

semakin majemuk, akan tetapi identitas sukunya tetap ada yaitu suku Timor.

Dengan letak Desa Oelomin yang berbatasan langsung dengan Kota Kupang,

Desa Oelomin tentunya tidak tertutup dari peradaban modern serta perubahan

jaman, akan tetapi ciri khas maupun bahasa yakni bahasa Timor sebagai

bahasa daerahnya tersebut tidak hilang dengan adanya peradaban modern serta

perubahan jaman tersebut.

Masyarakat adat Desa Oelomin memiliki lembaga adat sebagai alternatif

dalam menyelesaikan masalah adat yang terjadi. Lembaga adat tersebut

memiliki anggota yakni yang terdiri dari para tokoh adat dan juga aparat desa

lainnya. Tokoh adat di Desa Oelomin biasanya disebut dalam bahasa Timor

yakni dengan sebutan Amnaes Uf.

Tokoh adat (Amnaes Uf) ini terdiri dari enam keluarga adat asli Desa

Oelomin yakni :

a. Bapak Soleman Tasey sebagai tokoh adat (Amnaes Uf) mewakili dari

keluarga Tasey.

b. Bapak Oktovianus Lakat sebagai tokoh adat (Amnaes Uf) mewakili

dari keluarga Lakat.

c. Bapak Abraham Takesan sebagai tokoh adat (Amnaes Uf) mewakili

dari keluarga Takesan.

33
d. Bapak Usias Neno sebagai tokoh adat (Amnaes Uf) mewakili dari

keluarga Neno.

e. Bapak Felipus Ola sebagai tokoh adat (Amnaes Uf) mewakili dari

keluarga Ola.

f. Bapak Bernabas Baitanu sebagai tokoh adat (Amnaes Uf) mewakili

dari keluarga Baitanu.

Tokoh adat Desa Oelomin tersebut tidak dipilih oleh masyarakat tetapi

dilihat berdasarkan status keluarga atau orang yang dituakan di dalam

keluarga tersebut. misalnya anak laki-laki yang paling tua dalam keluarga atau

yang biasa disebut Atoni Mone akan menjadi tokoh adat selanjutnya apabila

tokoh adat sebelumnya telah meninggal, tetapi Atoni Mone juga akan

diperhatikan apakah mampu dalam menjalankan tugasnya sebagai tokoh adat

atau tidak dan apakah dia mengerti tentang aturan adat yang ada di Desa

Oelomin atau tidak, jika ia tidak mengetahuinya maka akan dicari orang lain

dari keluarga tersebut yang memenuhi syarat tersebut, tetapi jika ia memenuhi

syarat tersebut maka ia akan dinobatkan sebagai tokoh adat untuk mewakili

keluarga tersebut. Para tokoh adat yang telah disebutkan diatas itulah yang

akan dilibatkan untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi di Desa

Oelomin.

G. Kerangka Berpikir

Perkara Pidana

34
Proses Penyelesaian Penerapan Sanksi Pidana
Perkara Pidana Menurut Adat Terhadap Pelaku
Hukum Adat Desa Oelomin

Pandangan Masyarakat Terhadap


Proses Penyelesaian dan Penerapan
Sanksi Pidana Adat

Sudah Efektif Belum Efektif


(sudah adil) (belum adil)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Proses Penyelesaian Perkara Pidana Menurut Hukum Adat Desa

Oelomin Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang

Sebelum membahas jauh mengenai proses penyelesaian perkara

pidana menurut Hukum Adat Desa Oelomin Kecamatan Nekamese

35
Kabupaten Kupang, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan kasus

tindak pidana yang terjadi di Desa Oelomin yakni kasus kekerasan atau

penganiayaan secara bersama-sama.

Pada tanggal 12 Maret 2017 jam 7 malam bertempat di

RT.03/RW.02 Dusun I Desa Oelomin, Kecamatan Nekamese Kabupaten

Kupang. Telah terjadi tindak pidana kekerasan atau penganiayaan secara

bersama-sama yang dilakukan oleh dua (2) orang pelaku dan satu (1)

orang korban. Dua orang pelaku tersebut yakni atas nama :

1. Maxi Bones, lahir di Desa Oelomin pada tanggal 18 Agustus

1994, Umur 22 tahun, suku Timor, agama Kristen Protestan,

pekerjaan sebagai pelajar atau mahasiswa, alamat RT.03/RW.02

Dusun I Desa Oelomin, Kecamatan Nekamese Kabupaten

Kupang.

2. Matias Bones, lahir di Desa Oelomin pada tanggal 17 Mei 1991,

Umur 25 tahun, suku Timor, agama Kristen Protestan, pekerjaan

Swasta, alamat RT.03/RW.02 Dusun I Desa Oelomin, Kecamatan

Nekamese Kabupaten Kupang.

Selanjutnya pihak korban atas nama :

1. Yosep Bora Bili, asal suku Sumba, agama Kristen Katholik,

pekerjaan PNS, alamat RT.03/RW.02 Dusun I Desa Oelomin,

Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang.

Dengan kronologi perkara bermula saat korban yakni Yosep Bora

Bili yang merupakan sahabat dari kedua pelaku yakni Maxi Bones beserta

36
Matias Bones mendatangi kediaman dari kedua pelaku pada tanggal 12

Maret 2017 jam 7 malam. Selama korban berada di kediaman kedua

pelaku, mereka bercerita sambil minum-minuman beralkohol yang pada

akhirnya kedua pelaku yakni Maxi Bones dan Matias Bones yang adalah

kaka dan adik ini mabuk karena telah meminum-minuman beralkohol

tersebut. Dalam keadaan mabuk kedua pelaku mulai kehilangan akal sehat

dan pada akhirnya berbicara yang menyinggung perasaan dari pihak

korban, seperti keluarnya kata-kata kotor kepada korban yakni Yosep Bora

Bili yang membuat ia merasa tersinggung tetapi tidak ditanggapi serius

oleh korban. Tidak hanya sampai disitu, kedua pelaku tersebut sampai

memukul korban dan pada akhirnya korban merasa tidak suka dengan

perlakuan tersebut akhirnya marah dan mereka saling beradu mulut yang

berujung membuat kedua pelaku yakni Maxi Bones dan Matias Bones

merasa emosi dan akhirnya memukul korban yakni Yosep Bora Bili

sampai luka-luka.

Kemudian korban melarikan diri dan pergi melaporkan kejadian

tersebut di Polres Kupang dan Kemudian dari kepolisian bersama dengan

pihak korban datang ke tempat kejadian untuk melihat situasi dan bertemu

dengan aparat desa untuk bersama-sama menindak lanjuti perkara tersebut.

Tetapi setelah melakukan pembicaraan bersama dengan pihak korban dan

pelaku yang didampingi dengan aparat desa, dari pihak kepolisian

menganjurkan untuk kalau bisa diproses secara kekeluargaan atau secara

adat-istiadat di Desa Oelomin terlebih dahulu, apabila tidak bisa

37
mendapatkan solusi maka barulah di proses oleh pihak kepolisian. Dan

yang pada akhirnya dari pihak korban dan pelaku sepakat untuk menerima

anjuran dari kepolisian tersebut untuk diselesaikan secara kekeluargaan

atau secara adat di Desa Oelomin telebih dahulu.

Menurut Bapak Tuce O.A Takesan sebagai Kepala Desa Oelomin,

mengatakan bahwa dalam upaya menyelesaikan perkara yang terjadi di

Desa Oelomin adalah dengan pemaafan atau secara kekeluargaan.

Menyelesaikan perkara dengan permintaan maaf atau secara kekeluargaan

ini dapat membawa akibat harkat dan martabat pihak korban yang

sebelumnya telah hilang karena di perlakukan dengan tidak semestinya,

akhirnya timbul kembali dengan adanya permintaan maaf dari pihak

pelaku yang telah mengakui kesalahanya dan yang pada akhirnya dari

pihak korban merasakan adanya penghargaan atas harkat dan martabatnya

tersebut.

Proses penyelesaian perkara pidana menurut hukum adat Desa

Oelomin ini biasanya dilakukan di kediaman dari pihak korban, karena

dianggap lebih menghargai atau menghormati pihak korban selaku pihak

yang dirugikan. Dalam proses penyelesaian perkara di Desa Oelomin,

Kepala Desa yang telah menerima keluhan dari masyarakat kemudian

melakukan pertemuan dengan kedua pihak yang bertikai dan memberikan

kesempatan kepada kedua belah pihak khususnya dari pihak pelaku untuk

coba melakukan pendekatan terhadap pihak korban dengan mendatangi

kediaman korban untuk meminta maaf atas apa yang telah terjadi. Dalam

38
melakukan pendekatan terhadap pihak korban, dari pihak pelaku datang

dengan didampingi oleh Tokoh Adat (Amnaes Uf) beserta aparat desa

seperti Kepala Dusun, RT maupun RW setempat.

Dalam pertemuan tersebut, Tokoh Adat (Amnaes Uf) beserta aparat

desa lain harus dapat memberikan suasana damai diantara kedua belah

pihak, agar tujuan dalam penyelesaian menurut aturan adat Desa Oelomin

dapat tercapai dengan memberikan masukan-masukan atau nasihat kepada

kedua belah pihak. Selanjutnya dalam proses penyelesaian tersebut, Tokoh

Adat (Amanes Uf) akan memberikan kesempatan kepada pihak korban

untuk mendengarkan keterangannya terlebih dahul berkaitan dengan

masalah yang terjadi, setelah itu dari pihak pelaku juga akan diberikan

kesempatan yang sama untuk mendengarkan keterangannya.

Setelah mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak, Tokoh

Adat (Amnaes Uf) maupun aparat Desa yang ada pada saat penyelesaian

perkara tersebut mencoba menawarkan perdamaian di antara kedua belah

pihak, apabila sepakat untuk berdamai maka Tokoh Adat (Amnaes Uf)

akan memberitahukan sanksi adatnya seperti apa untuk desepakati oleh

kedua belah pihak. Tetapi apabila dari pihak pelaku merasa sanksi adatnya

terlalu berat, dari pihak pelaku dapat meminta keringanan atas sanksi adat

tersebut, jika dari para Tokoh Adat (Amnaes Uf) dan aparat desa lainnya

menerima permintaan untuk meringankan sanksi adat tersebut, maka akan

dipertimbangkan lagi sanksi adat tersebut, tetapi jika tidak diterima

permintaan dari pihak pelaku maka dari pihak pelaku wajib untuk

39
menerima sanksi adat yang sudah ditetapkan tersebut. Dan pada akhir dari

pertemuan tersebut juga akan ditentukan hari dan tanggal penyelesaian

perkara tersebut. Selanjutnya dari hasil pertemuan tersebut akan

disampaikan kepada kepala desa serta aparat desa lain yang tidak sempat

hadir pada saat pertemuan tersebut untuk hadir dan bersama-sama

menyaksikan dan menyelesaikan perkara tersebut.

Dalam proses penyelesaian perkara tersebut, Kepala Desa sebagai

pemimpin pemerintahan di Desa Oelomin membuka acara dengan

menyampaikan pendapat maupun masukan-masukan dan Kepala Desa

juga didampingi oleh aparat desa lainnya seperti Ketua Badan

Permusyawaratan Desa (BPD), para Tokoh Adat (Amnaes Uf) beserta,

kepala Dusun, RT, RW setempat dan akan diawasi oleh Bintara Pembina

Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) dan Bintara

Pembina Desa (Babinsa) selaku aparat yang menjaga jalannya keamanan

dan ketertiban yang ada di desa dan juga disaksikan oleh sebagian

masyarakat Desa Oelomin yang ingin menyaksikan jalannya penyelesaian

perkara tersebut.

Dalam acara penyelesaian perkara tersebut, setelah kepala desa

menyampaikan masukan-masukan, kemudian akan diberikan kesempatan

kepada aparat desa, ketua BPD maupun tokoh adat apabila ada yang ingin

disampaikan pada acara proses penyelesaian perkara tersebut. Selanjutnya

kepala desa juga akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak

untuk menyampaikan pendapat mereka masing-masing dan setelah itu

40
kepala desa juga akan menyampaikan kembali kepada masyarakat

mengenai kesepakatan pada pertemuan sebelumnya diantara kedua belah

pihak tersebut seperti apa. Tujuannya adalah untuk masyarakat yang hadir

pada saat penyelesaian tersebut juga mengetahui kesepakatan kedua belah

pihak tersebut seperti apa, misalnya seperti sanksi adat yang akan

diberikan. Selanjtnya akan diberikan kesempatan untuk kedua belah pihak

saling berjabat tangan sebagai tanda bahwa kedua belah pihak sepakat

untuk berdamai dan Setelah semua proses acara telah berakhir, maka akan

ditutup dengan acara doa dan syukur bersama, acara tersebut merupakan

tanda ungkapan kebersamaan, persatuan, dan persaudaraan diantara kedua

pihak yang bertikai.

Dengan berakhirnya seluruh proses acara penyelesaian perkara

tersebut, kedua belah pihak telah dianggap sudah saling memaafkan satu

dengan yang lainnya untuk kedepannya menjadi suatu keluarga yang tidak

memendam rasa benci antara satu dengan yang lain karena telah diakhiri

dengan adanya acara makan bersama tersebut. akan tetapi dari para tokoh

adat maupun aparat desa lainnya tidak ada tindakan lebih lanjut terkait

dengan apakah kedua belah pihak yang bertikai tersebut sudah betul-betul

berdamai atau hanya sebatas di depan para tokoh adat dan aparat desa

lainnya.

Menurut hasil wawancara bersama dengan beberapa Tokoh Adat

(Amnaes Uf) Desa Oelomin yakni Bapak Soleman Tasey, Bapak Abraham

Takesan dan Ibu Marice Takesan Tuan sebagai tokoh adat mewakili kaum

41
perempuan di Desa Oelomin, mereka sama-sama mengatakan kalau

keberadaan suatu hukum adat di Desa Oelomin ini selalu dipertahankan

dan ditaati oleh masyarakatnya, baik terhadap proses penyelesaian perkara

pidana maupun perdata selalu diupayakan penyelesaiannya menggunakan

hukum adat. Hal ini disebabkan karena hukum adat bagi masyarakat Desa

Oelomin sudah menyatu dengan kebiasaan hidup masyarakat di Desa

Oelomin. Penggunaan hukum adat sebagai jalan penyelesaian perkara-

perkara yang terjadi selalu diterapkan dalam kehidupan masyarakat adat

Desa Oelomin.

Dalam penyelesaian perkara pidana melalui hukum adat di Desa

Oelomin semakin sering dilakukan dan perlahan akan dapat diterima oleh

masyarakat, dimana masyarakatnya harus merasakan adanya rasa keadilan

dalam penyelesaian perkara tersebut. Selain prosesnya yang dianggap

cepat dan tidak berlarut-larut juga tidak menimbulkan rasa dendam

diantara para pihak yang bertikai, karena di dalam menyelesaikan perkara

pidana melalui hukum adat di Desa Oelomin ini selalu dikedepankan sifat

kekeluargaan dan prinsip perdamaian.

Di Desa Oelomin sendiri menanggap semua masyarakat yang tinggal

disana adalah sebagai keluarga mereka, baik yang sudah menetap sejak

lama disana maupun pendatang dari luar Desa Oelomin, dan Kepala Desa

beserta aparat Desa lainnya juga selalu menghimbau kepada

masyarakatnya terutama bagi pendatang yang datang tinggal di Desa

Oelomin agar supaya, apabila terjadi suatu masalah, alangkah baiknya

42
untuk diselesaikan menurut aturan yang ada disana karena sudah menjadi

kebiasaan yang ada disana, tetapi jika memang tidak menemukan jalan

tengah, barulah dikembalikan kepada mereka untuk diproses ke tingkat

yang lebih tinggi.

B. Sanksi Adat Desa Oelomin Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang

Sanksi adat merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan rasa

kekeluargaan yang sempat hancur akibat tindakan yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai kehidupan yang ada atau dengan kata lain melanggar

pelanggaran adat. Konflik yang terjadi memang harus diakhiri dengan

adanya suatu sanksi adat, agar supaya konflik atau pelanggaran tersebut

dapat diselesaikan dan tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Menurut pendapat salah satu Tokoh Adat (Amnaes Uf) Desa Oelomin

yakni Bapak Soleman Tasey mengatakan Tujuan adanya sanksi adat

adalah untuk mendatangkan rasa damai antara pihak-pihak yang bertikai,

karena sanksi adat pun juga adalah wujud tanda permintaan maaf pelaku

terhadap korban atas apa yang telah terjadi. Disamping itu juga sanksi adat

harus bersifat adil baik terhadap pihak korban maupun pelaku. Seperti

halnya di Desa Oelomin sendiri mempunyai sanksi adatnya dalam

menangani masalah yang terjadi. Sanksi adat yang ada di Desa Oelomin

ini bermacam-macam, tergantung dari masalah seperti apa yang terjadi.

Misalnya salah satu kasus perkelahian yang terjadi di tempat pesta.

Dimana ada seorang pemuda yang menghadiri suatu acara pesta dalam

keadaan mabuk karena ia telah habis minum-minuman beralkohol, dan

43
pemuda tersebut tidak mendapatkan makanan di acara pesta tersebut,

sehingga pemuda tersebut marah dan mengacaukan acara pesta tersebut.

Dari tindakan pemuda tersebut, ia di hukum dan dikenai sanksi adat

berupa makanan, seperti nasi dan lauk pauk satu bokor sedang, dimana ia

harus makan makanan tersebut sampai habis, apabila tidak dihabiskan

maka ia akan dikanai sanksi berupa sejumlah uang yang disepakati

bersama berapa jumlahnya.

Menurut hasil wawancara bersama kepala desa dan para tokoh adat

(Amanes Uf) Desa Oelomin, Sanksi adat yang ada di Desa Oelomin

biasanya atas kesepakatan bersama, artinya dari pihak korban dan pihak

pelaku akan menyepakati sanksi adat yang akan disampaikan oleh para

Tokoh Adat (Amanes Uf), Tetapi apabila dari pihak pelaku merasa sanksi

adatnya terlalu berat, dari pihak pelaku dapat meminta keringanan atas

sanksi adat tersebut, tetapi apabila dari para Tokoh Adat dan aparat desa

lainnya menerima permintaan untuk meringankan sanksi adat tersebut,

maka akan dipertimbangkan lagi sanksi adat tersebut, tetapi jika tidak

diterima permintaan dari pihak pelaku maka dari pihak pelaku wajib untuk

menerima sanksi adat yang sudah ditetapkan tersebut untuk dipertanggung

jawabkan.

Sanksi adat yang ada di Desa Oelomin biasanya berupa :

a. Sejumlah uang tunai

b. Hewan

44
c. Kain Adat yang sesuai dengan suku dari pihak korban

d. Surat pernyataan damai antara kedua belah pihak

e. Laruh atau Tuak

Sanksi adat yang ada di Desa Oelomin merupakan wujud tanda

permintaan maaf atas tindakan yang dilakukan yang melanggar

pelanggaran adat disana. Sanksi adat yang disebutkan diatas mempunyai

arti masing-masing, yakni seperti :

1. Sanksi berupa sejumlah uang dimaksudkan untuk membayar denda

atau ganti rugi atas tindakan yang dilakukan, misalnya untuk biaya

pengobatan dan lain-lain.

2. Sanksi berupa hewan dimaksudkan untuk nantinya hewan tersebut

akan disembelih atau dibunuh untuk dimasak dan dimakan

bersama-sama pada saat acara proses penyelesaian perkara tersebut

berakhir, yakni pada acara doa syukur bersama.

3. Sanksi adat berupa sebuah kain adat dimaksudkan untuk menutupi

kembali rasa malu yang diterima oleh pihak korban karena adanya

tindakan maupun perkataan kasar terhadap pihak korban, seperti

keluarnya kata-kata kotor dari pihak pelaku yang menyinggung

perasaan dari pihak korban.

4. Sanksi adat yang berupa surat pernyataan damai, dimaksudkan

sebagai alat bukti dalam proses penyelesaian masalah tersebut,

dimana dari pihak korban dan pelaku telah menyepakati untuk

menyelesaikan permasalahan yang terjadi secara adat dan siap

45
menerima sanksi adat yang akan diterima dan dikemudian hari

pelaku tidak akan melakukan suatu masalah lagi.

5. Sanksi adat berupa laruh atau tuak adalah sejenis minuman

beralkohol yang dimaksudkan untuk nantinya pada saat semua

proses acara penyelesaian masalah telah selesai, kedua pihak

bersama dengan seluruh masyarakat yang hadir pada saat proses

penyelesaian tersebut untuk bersama-sama merayakan dengan

meminum laruh atau tuak tersebut.

Sanksi adat di Desa Oelomin yang berupa sejumlah uang tunai, kain

adat, hewan, laruh atau tuak dan benda lain yang akan disepakati kedua

belah pihak tersebut berasal dari kesepakatan para Tokoh adat (Amnaes

Uf) dan aparat Desa Oelomin dalam pertemuan yang dilakukan oleh

mereka, sanksi adat tersebut sudah berasal dari tokoh adat sebelumnya dan

sudah menjadi turun-temurun di Desa Oelomin. Dan hasil dari

kesepakatan dalam pertemuan tersebut akan dihimbau kepada masyarakat

oleh aparat Desa Oelomin.

Berdasarkan informasi yang didapatkan, sanksi adat tersebut tidak

dibuat dalam Peraturan Desa (Perdes) melainkan hanya sebatas kata

sepakat diantara para tokoh adat dan juga aparat desa lainnya, sehingga

terdapat kelemahan dimana tidak menjamin kepastian hukum. Hal tersebut

dianggap tidak konsisten karena dapat berubah sewaktu-waktu sesuai

kepentingan yang menghendakinya. Sehingga perlunya sanksi adat yang

46
telah disepakati agar dibuatkan dalam Peraturan Desa (Perdes), agar

supaya dapat menjamin kepastian hukum bagi masyarakat.

Dalam kasus tindak pidana yang terjadi di Desa Oelomin yang sudah

dijelaskan sebelumnya yakni kasus tindak pidana kekerasan atau

penganiayaan secara bersama-sama yang dilakukan oleh Maxi Bones dan

Matias Bones terhadap Yosep Bora Bili tepatnya pada tanggal 12 Maret

2017 jam 7 malam. Kasus tersebut telah di proses menurut Hukum Adat

yang ada di Desa Oelomin dan dalam kasus tersebut telah diberikan sanksi

adat kepada kedua pelaku yang berupa :

a. Uang tunai seniali Rp.3.000.000,- (Tiga Juta Rupiah)

b. Dari pihak pelaku menyerahkan 2 (dua) ekor babi.

c. Satu lembar Kain Adat Sumba

d. Beras 50kg

e. Surat pernyataan Damai antara kedua belah pihak.

f. Laruh atau Tuak yang nantinya akan diminum bersama-sama

dengan kedua belah pihak dan warga Desa Oelomin yang ada

pada saat penyelesaian perkara tersebut.

Berdasarkan sanksi adat yang diberikan tersebut, kedua pihak baik

dari pihak korban dan pelaku dinyatakan telah saling memaafkan dan

tidak memiliki rasa dendam antara satu dengan yang lain dan sebagai

ungkapan yang tulus dan iklas dari pihak korban yang telah menerima

permintaan maaf dari pihak pelaku, maka dari pihak korban juga

menyerahkan 1 (satu) ekor babi yang secara adat Sumba akan dibunuh

47
dan kemudian dibagi dua, jadi satu bagian untuk pihak korban dan satu

bagiannya lagi diserahkan kepada pihak pelaku untuk dibawah pulang.

C. Persepsi Masyarakat Desa Oelomin Terhadap Proses Penyelesaian

Perkara Pidana Dan Sanksi Adat Yang Ada Di Desa Oelomin

Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang.

Keberadaan suatu Hukum adat di suatu daerah tertentu memiliki

ciri khasnya masing-masing karena Hukum adat tersebut hidup dan

berkembang sesuai dengan gaya kehidupan dari masyarakatnya, sehingga

dalam menangani masalah-masalah yang terjadi di daerah mereka tersebut,

baik dari cara penyelesaiannya hingga pemberian sanksi adatnya tersebut

harus sesuai dengan nilai-nilai yang ada disana. Tentunya keberadaan

suatu Hukum adat ini tidak lepas dari adanya sekelompok masyarakat

yang ada di dalamnya. Masyarakat tentu mempunyai peran dalam

keberadaan suatu hukum adat, dari kebiasaan-kebiasaan yang ada di dalam

masyarakat tersebut lahirlah suatu hukum adat dan juga masyarakat pun

punya pandangan tersendiri terkait dengan hukum adat tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian di Desa Oelomin, dimana peneliti

berhasil mendapatkan beberapa pandangan dari para kepala dusun serta

masyarakat Desa Oelomin terkait dengan proses penyelesaian perkara

pidana dan sanksi adat yang ada di Desa Oelomin Kecamatan Nekamese

Kabupaten Kupang, dimana menurut pendapat para kepala dusun Desa

Oelomin yakni :

48
1. Bapak Soleman Tasey sebagai kepala dusun I (Oelomin) dan

juga sebagai tokoh adat (Amnaes Uf) Desa Oelomin,

mengatakan bahwa masyarakatnya begitu mentaati dan

mempercayai keberadaan suatu hukum adat yang ada disana,

misalnya dengan terjadinya suatu masalah yang ada disana,

mereka lebih memilih untuk diselesaikan menurut aturan yang

ada disana lebih dahulu, karena prosesnya yang cepat dan juga

untuk menjaga agar rasa persaudaraan atau kekeluargaan

diantara mereka.

2. Bapak Yohanis Toy sebagai kepala dusun II (Nenup) Desa

Oelomin, mengatakan bahwa sekarang masyarakat mempunyai

hak untuk memilih hukum mana yang digunakan untuk

menyelesaikan masalah yang dialaminya, karena terdapat

hukum negara yang juga dapat menyelesaikan masalah yang

dialami, artinya masyarakat boleh memilih hukum mana yang

dirasa lebih baik dan yang dapat memberikan rasa kepuasan

terhadap masyarakat tersebut, tetapi sejauh ini di Desa Oelomin

ketika terjadi suatu masalah masyarakatnya lebih memilih

menggunakan hukum adat terlebih dahulu, jika memang tidak

bisa diselesaikan secara adat atau terjadi masalah yang tidak

bisa diselesaikan secara adat seperti kasus pembunuhan karena

menyangkut nyama seseorang, barulah diselesaikan ke tingkat

49
yang lebih tinggi karena lebih mempunyai wewenang dalam

menyelesaikan masalah tersebut.

3. Bapak Felipus Leli sebagai Kepala Dusun III (Naiko) Desa

Oelomin, mengatakan bahwa masyarakat Desa Oelomin

menganggap semua masyarakat yang ada disana itu adalah

keluarga mereka, sehingga apabila terjadi suatu masalah,

alangkah baiknya untuk diselesaikan menurut aturan disana

atau secara kekeluargaan, supaya menghindari adanya rasa

benci atau dendam antara satu dengan yang lain.

4. Bapak Yeheskial. O.Y Ablelo sebagai kepala dusun IV

(Atonifui) Desa Oelomin mengatakan bahwa masyarakat Desa

Oelomin baik yang pendatang maupun masyarakat asli di Desa

Oelomin sangat mentaati aturan disana, khusus bagi pendatang

yang sebelumnya tidak mengetahui seperti apa aturan disana,

maka dari pihak pemerintah yakni kepala desa dan aparat desa

lainnya selalu memberitahukan kepada mereka apabila terjadi

masalah, alangkah baiknya di selesaikan secara adat terlebih

dahulu, karena aturan-aturan adat di Desa Oelomin ini sudah

ada sejak nenek moyang mereka sehingga harus terus dijaga

dan dihormati.

Berkaitan dengan Hukum Adat di Desa Oelomin dalam

menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi disana, baik dari proses

penyelesaiannya sampai pada pemberian sanksi adatnya pun, terdapat juga

50
beberapa pandangan dari masyarakatnya. Maka dari itu peneliti melakukan

wawancara dengan beberapa masyarakat Desa Oelomin untuk

mengumpulkan data berkaitan dengan presepsi atau pandangan masyarakat

terkait dengan masalah yang terjadi disana.

Masyarakat Desa Oelomin mengangap baik dari proses

penyelesaian dan pemberian sanksi adatnya sudah sangat baik dan adil

karena sudah sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang ada

disana dan juga sudah sesuai dengan aturan adat yang telah ditetapkan oleh

para tokoh adat (amnaes uf) Desa Oelomin. Sanksi adat juga dianggap

sudah dapat memberikan efek jera terhadap pelaku karena ditambah

dengan surat pernyataan damai dan dalam surat tersebut dijelaskan apabila

pelaku melakukan perkara lagi maka pelaku tersebut harus siap diproses

sesuai dengan aturan yang berlaku.

Akan tetapi ada juga sebagian dari masyarakat Desa Oelomin yang

mengangap bahwa sanksi adat berupa uang dan hewan sangat

memberatkan karena jika dilihat dari kondisi ekonomi mereka maka sanksi

adat tersebut terlalu berat karena sebagian masyarakat Desa Oelomin

bermata pencaharian hanya sebagai petani kebun maupun sawah. Sehingga

apabila mereka mengalami masalah dan diberikan sanksi berupa sejumlah

uang dan hewan, maka akan terasa sangat berat.

Menurut sebagian pandangan dari masyarakat Desa Oelomin

bahwa, jika masyarakat tersebut memiliki hewan maka dirasa tidak terlalu

berat karena dalam melunasi sanksi adat yang berupa hewan tersebut akan

51
dapat dilunasinya dengan gampang, tetapi apabila jika masyarakat yang

tidak memiliki hewan, maka ia harus membeli hewan lagi untuk dapat

melunasi sanksi adat tersebut dan juga ditambah dengan sejumlah uang

maka akan sangat berat untuk dapat dilunasi, sehingga terkadang mereka

harus meminjam uang kepada keluarga maupun kerabat dekat untuk dapat

melunasi sanksi adat tersebut. Akan tetapi jika kita bandingkan dengan

perspektif hukum pidana maka ditegaskan bahwa dasar pemidanaan

terhadap seseorang adalah adanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh

orang tersebut. Sehingga berdasarkan perbuatannya tersebut, maka ia

mempunyai kewajiban untuk mempertanggung jawabkannya. Karena

dalam hukum pidana dikenal dengan adanya teori pemidanaan yang dapat

dijadikan alasan pembenar dalam penjatuhan pidana, yakni sebagai

berikut:

a. Teori absolut atau teori pembalasan, menurut teori ini setiap

kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak dan

tidak boleh tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana karena

telah melakukan kejahatan. Maka pemberian pidana disini

ditujukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang

telah melakukan kejahatan. Tujuan pemidanaan sebagai

pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi

orang, dengan menjatuhkan pidana setimpal dengan perbuatan

yang telah dilakukan.

52
b. Teori relatif atau teori tujuan, menurut teori ini maksud dari

adanya pemberian pidana terhadap suatu kejahatan adalah pada

tujuan dari penjatuhan pidana tersebut, sehingga ditemukan

adanya manfaat dari suatu penghukuman. Teori ini berprinsip

pada penjatuhan pidana guna menyelenggarakan tertib

masyarakat.

c. Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi antara teori

absolut dan teori relatif yang menggabungkan sudut

pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat. Artinya

dalam teori gabungan ini harus dapat menyeimbangkan antara

pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat agar sesuai

dengan kondisi masyarakat.

Jadi dalam setiap perbuatan yang melanggar hukum atau nilai-nilai

yang ada dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut harus dipertanggung

jawabkan dengan menerima dan menjalani segala bentuk sanksi yang

diberikan kepadanya, walaupun ia merasa terlalu berat akan sanksi yang

telah diberikan.

53
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari paparan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sehubungan

dengan pokok permasalahan yang diteliti yaitu sebagai berikut :

1. Dalam proses penyelesaian perkara melalui hukum adat Desa

Oelomin biasanya dilakukan di kediaman dari pihak korban. Pihak

pelaku akan melakukan pendekatan terhadap pihak korban dengan

didampingi oleh Tokoh Adat (Amnaes Uf) dan aparat desa

setempat. Dalam pertemuan tersebut, akan diupayakan agar

terciptanya perdamaian diantara kedua belah pihak, apabila kedua

pihak sepakat untuk berdamai maka akan ditetapkan sanksi adat

dan akan ditentukan jadwal acara proses penyelesaiannya. Pada

saat acara proses penyelesaian, akan dibuka oleh kepala desa

dengan memberikan sambutan atau masukan dan juga akan

diampingi oleh aparat desa, ketua BPD dan juga para Tokoh adat

yang juga akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan

masukan-masukan. Pada acara tersebut akan diawasi oleh

Babinkamtibmas dan Babinsa selaku aparat yang menjaga jalannya

keamanan dan ketertiban di desa dan juga di saksikan oleh sebagian

masyarakat Desa Oelomin yang ingin menyaksikan jalannya

penyelesaian perkara tersebut. Kemudian Kepala desa akan

54
memberikan kesempatan kepada kedua pihak untuk menyampaikan

pendapatnya masing-masing setelah itu kepala desa juga akan

menyampaikan kembali kesepakatan kedua pihak pada pertemuan

sebelumnya kepada masyarakat luas yang berupa sanksi adatnya

seperti apa. Setelah itu kedua belah pihak akan berjabat tangan dan

ditutup dengan acara doa syukur bersama.

Akan tetapi setelah acara penyelesaian perkara tersebut berakhir,

tidak ada tindakan lebih lanjut dari para tokoh adat (Amnaes Uf)

dan aparat desa lainnya dalam mengevaluasi kesepakatan diantara

kedua belah pihak, apakah mereka sudah betul-betul menerapkan

prinsip perdamaian atau belum, atau hanya sekedar di depan para

tokoh adat dan aparat desa lainnya, mereka menerapkan prinsip

perdamaian tersebut.

2. Sanksi adat Desa Oelomin biasanya berupa, sejumlah uang tunai,

hewan, kain adat yang sesuai dengan suku dari pihak korban, surat

pernyataan damai, laruh atau tuak, dan benda lainya yang akan

disepakati kedua belah pihak. Sanksi adat tersebut hanya sebatas

kata sepakat diantara para tokoh adat dan aparat desa lainnya dan

tidak dibuat dalam sebuah Peraturan Desa (Perdes), hal tersebut

menimbulkan kelemahan dimana tidak menjamin adanya kepastian

hukum.

3. Berkaitan dengan pandangan masyarakat Desa Oelomin mengenai

proses penyelesaian perkara menurut hukum adat Desa Oelomin

55
hingga pemberian sanksi adat terdapat sebagian masyarakat yang

beranggapan bahwa proses penyelesaian dan sanksi adatnya sudah

baik dan merasa puas, tetapi ada juga yang beranggapan bahwa

sanksi adat yang berupa sejumlah uang dan hewan sangat

memberatkan jika dilihat dari segi ekonomi masyarakat Desa

Oelomin yang sebagian besar hanya bekerja sebagai petani kebun

dan sawah. Akan tetapi, dalam perspektif hukum pidana maka

setiap perbuatan yang melanggar hukum atau nilai-nilai yang ada

dalam kehidupan masyarakat, maka perbuatan tersebut harus

dipertanggung jawabkan dengan menerima dan menjalani segala

bentuk sanksi yang diberikan kepadanya, walaupun ia merasa

terlalu berat akan sanksi yang telah diberikan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diajukan antara lain :

1. Dalam proses penyelesaian perkara menurut hukum adat Desa

Oelomin perlu dipertahankan dan penulis menyarankan agar kepala

desa bersama tokoh adat dan aparat desa lainnya harus berperan

aktif dalam melakukan evaluasi terhadap penerapan hasil dari

proses penyelesaian dan pemberian sanksi adat terhadap para pihak

yang bertikai, apakah para pihak yang bertikai tersebut betul-betul

menerapkan perdamaian atau hanya sekedar ditunjukan di depan

kepala desa bersama tokoh adat dan aparat desa lainnya.

56
2. Berkaitan dengan sanksi adat Desa Oelomin, penulis menyarankan

agar para tokoh adat bersama kepala desa dan aparat desa lainnya

dalam membuat suatu kesepakatan terkait dengan sanksi adat

jangan hanya sebatas kata sepakat diantara para tokoh adat dan

aparat desa lainnya pada saat itu, tetapi harus diupayakan agar

dibuat dalam Peraturan Desa (Perdes) agar masyarakat pun

mendapatkan jaminan kepastian hukum dan supaya sewaktu-waktu

tidak berubah-ubah sesuai dengan kepentingan berbagai pihak.

3. Berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap proses

penyelesaian perkara pidana menurut hukum adat Desa Oelomin

hingga pada pemberian sanksi adat terhadap pelaku, penulis

menyarankan agar masyarakat Desa Oelomin juga ikut serta dalam

memberikan masukan-masukan yang dapat membangun atau

memberikan perubahan ke arah yang lebih baik terhadap hukum

adat yang ada di Desa Oelomin, terkhususnya pada penetapan

sanksi adat yang dianggap terlalu berat, sehingga para tokoh adat

dan aparat desa lainnya dalam menetapkan suatu aturan adat

tersebut, agar sesuai dengan kehidupan masyarakat dan dapat

diterima oleh semua masyarakat Desa Oelomin dengan ikhlas dan

bukan karena terpaksa.

57
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT.


Citra Aditya Bakti

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan, Pradnya Paramita, Jakarta,


1993.

Bewa Ragawino, 2008. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia.

Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,


1985.

Yahya Harahap, Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Penyelesaian


Sengketa Di Luar Pengadilan, Depkeh RI, 1996;

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,


Bandung, 1992.

____________, 1985. Hukum Pidana Adat. Bandung : Penerbit Pustaka Diklat


Alumni.

I Made Widyana, Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana,


PT. Fikhawati Aneska, Jakarta, 2013.

____________, 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Bandung : Penerbit


PT.Eresco.

___________, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Penerbit PT Fikahati


Aneska bekerjasama dengan BANI, Jakarta, 2009;

Jan Rammelink, 2003, Hukum Pidana, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Cetakan Ke-2, Bina Aksara, Jakarta,


1984

58
Sri Mamuji, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, BP FHUI,
Jakarta.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo


Persada, 2009.

___________, Meninjau Hukum Adat Indonesia; dalam Surojo Wignjodipuro,


Gunung Agung, Jakarta, 1983;

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2000.

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung,


Jakarta, 1983;

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitap Undang-Undang Hukum Pidana.

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

C. Sumber-Sumber Lain

http://tiarramon.wordpress.com/2013/05/13/hukum-pidana-2/

http://ladydeeana91.blogspot.co.id/2012/04/hukum-pidana-adat.html?m=1

https://www.google.co.id/amp/s/belajarhukumonline.wordpress.com/
2015/11/26/hukum-pidana- adat/amp/

https://www.scribd.com/mobile/doc/296358030/penerapan-sanksi-pidana-
adat-pidana-kuhp-terhadap-pelaku-tindak-pidana

http://www.academia.edu/10346393/
PROPOSAL_TESIS_PENERAPAN_SANKSI_ADAT_DALAM_PENYE
LESAIAN_PERKARA_PIDANA

59

Anda mungkin juga menyukai