NOWARMAN SARLI
181010740
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seperti kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai
macam suku, agama dan adat istiadat yang beraneka ragam dari sabang sampai merauke. Adat
istiadat tersebut sangat berbeda satu sama lainnya. Sejak negara ini memproklamirkan
kemerdekaannya maka, Indonesia terbentuk menjadi negara kesatuan dengan memiliki satu
sistem hukum yang berlaku secara Nasional. Yang mana sistem hukum itu merupakan salah satu
alat pengitegrasi bangsa ini.
Sistem hukum Indonesia sampai saat ini masih berlaku adalah sistem hukum yang masih
berkiblat kepada negara Belanda yaitu sistem hukum Eropa Continental atau sistem hukum Civil
Law. Bukti adanya sistem hukum ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )
dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ) yang sampai saat ini dianggap masih
tetap berlaku.. Hal ini tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, pasal 1 aturan
peralihan yang berbunyi : “ segala peraturan perundang-undangan yang masih ada dianggap
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar 1945”
Terlepas daripada sistem hukum positif yang terulis diatas ada sistem hukum lain yang
dianggap tetap berlaku adalah sistem hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang hidup dan
berkembang didalam masyarakat. Namun apabila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan
kepentingan hukum nasional maka dianggap tetap berlaku, namun demikian sebaliknya jika
hukum adat itu dianggap bertentangan dengan hukum positif atau hukum nasional, maka
ketentuan hukum tertulislah yang berlaku. Hal ini seperti yang terdapat pada salah satu suku di
kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu. Salah satu suku yang hidup di
Petuanan Negeri Sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun
Bonara, yang berjarak 35 km2 dari Pusat kota Kecamatan.
Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat yang terbilang unik, namun salah satu adat
yang paling mengerikan adalah Tradisi adat memotong kepala manusia buat persembahan.Oleh
masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu
mengalahkan akal sehat dan logika manusia, karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia
buat persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Meskipun demikian tidak
banyak masyarakat Maluku yang mengetahui hal tersebut. Tradisi ini baru tercium khalayak
ramai setelah terjadinya kejadian tahun 2005 silam. Warga di Kecamatan Amahai Kabupaten
Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok mayat manusia yang sudah terpotong-
potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan
tradisi Suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe.
Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka. Akibat
perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat tertinggal di Pulau Seram
ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti
Sounawe, Nusy Sounawe, dan Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim
hukuman penjara seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon
Sounawe. Para pelaku mutilasi ini dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan secara
berencana, sebagaimana diatur dalam pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Bunyi pasal 340 KUHP : “barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun”
Pasal 55 ayat 1 ( 1) : “ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan,
yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan
Didalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana tersirat dalam
pasal tersebut diatas sangat jelas sekali bahwa para pelaku yang melakukan pembunuhan dalam
hal ini adalah pembunuhan berencana, maka akan dipidana dengan hukuman mati atau pidana
penjara seumur hidup. Namun satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa ketiga pelaku tersebut
adalah warga masyarakat yang tidak tahu bahwa tindakan mereka telah melanggar ketentuan
hukum pidana, hukum yang dianggap tidak pernah ada dalam kehidupan mereka. Hakim
mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi hakim bukan corong undang-undang. Hakim harus
mengikuti, memahami hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat, apakah itu hukum
kebiasaan/hukum adat/ atau hukum tidak tertulis. Sebagaimana tertera dalam pasal 5 ayat ( 1 )
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwa :
“ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
Dalam realiatanya sangat disayangkan karena pada praktiknya hakim di Indonesia
umumnya hanya menjadi corong undang-undang. Kebanyakan hakim selalu berpandangan
positivisme bahwa apa yang sudah diatur oleh undang-undang itu adalah hukum. Padahal hukum
adat juga merupakan sumber hukum tidak tertulis yang diakui dan dijadikan pedoman hidup
dalam masyarakat. Terutama masyarakat tradisional, yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan
tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama pendidikan tentang hukum, dalam hal ini
adalah hukum modern sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga
terkadang apa yang menurut hukum adat itu merupakan suatu hal yang biasa bagi masyarakat
adat ternyata hal tersebut telah melanggar ketentuan hukum tertulis, dan terlebih lagi bahwa
perbuatan tersebut harus dijatuhi dengan sanki pidana sebagaimana tercantum dalam ketentuan
peraturan peundang-undangan.
Melihat pada kondisi demikian tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi para penegak
hukum terutama hakim, agar dalam memutus perkara perlu lebih objektif lagi, karena seperti
pada upacara adat penggal kepala manusia oleh masyarakat suku Naulu merupakan suatu hal
yang sakral, dan merupakan kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama yang dilakukan secara
turun-temurun. Dan ketika para pelaku tersebut divonis hukuman mati merupakan suatu hal yang
menurut penulis merupakan keputusan yang kurang memenuhi rasa keadilan pada masyarakat
Naulu karena suku ini terbilang masih asing dan tidak memiliki latar belakang pendidikan
terutama mengenai hukum itu sendiri. Karena dengan vonis pidana mati itu sangatlah tidak tepat
karena seharusnya suku Naulu ini harus diberi pemahaman dan pengertian tentang hukum itu
agar terciptanya kesadaran hukum diantara mereka.
Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa
pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Untuk itu hakim yang baik haruslah dalam memutus perkara
seyogyannya harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengetahui mengenal, merasakan
dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan melihat latar belakang tersebut diatas hal ini penulis sangat tertarik untuk
membahas masalah ini dengan mengambil judul “ Penegakkan Hukum Pidana Terhadap
Upacara Adat Penggal Kepala Suku Naulu Di Kabupaten Maluku Tengah” (Suatu
Tinjauan Sosiologis )
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masalah pkok yang akan diteliti adalah :
1. Bagaimanakah Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat Penggal Kepala Suku Naulu
Tersebut Jika Dilihat Dari Kacamata Sosiologis ?
2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap para pelaku (
pemenggal kepala manusia )?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana agar upacara adat pemenggalan kepala manusia tersebut
tidak terjadi lagi di masa yang akan datang?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana proses penegakkan hukum pidana terhadap
Upacara Adat penggal kepala manusia Suku Naulu tersebut jika dilihat dari kacamata sosiologis
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati
terhadap para pelaku.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana agar upacara adat pemenggalan
kepala manusia tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan solusi dalam
bidang hukum pidana terkait dengan upacara adat penggal kepala yang terjadi pada suku Naulu.
Dengan demikian pembaca atau calon peneliti lain akan semakin mengetahui tentang upacara
adat penggal kepala pada masyarakat
Dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji secara
mendalam tentang penegakkan hukum pidana berkaitan dengan masalah yang penulis utarakan
diatas.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka
meningkatkan kualitas penegakan hukum pidana khususnya hakim dalam pengambilan
keputusan bila nantinya menghadapi kasus yang serupa.
E. KERANGKA TEORI
Karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan ancaman dan sanksi. Tetapi hukum
bukan dipaksa untuk membenarkan persoalan yang salah, atau memaksa mereka yang tidak
berkedudukan dan tidak beruang. Agar peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar
dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan kemasyarakatan tersebut
harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian, hukum mempunyai sifat mengatur
dan memaksa setiap orang supaya menaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi
yang tegas ( berupa hukuman ) terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya.[1]
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum public tujuan pokok
diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai suatu
kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu
datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan
bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam
kehidupan masyarakat.[2]
Berbicara tentang penegakkan hukum pidana ada beberapa teori yang menyertainya
antara lain : [3]
1. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl. Teori ini teori
tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu
sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu
untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu (pemabalasan).
2. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan tetapi lebih
kepada maksud/ tujuan hukuman, artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman.
Beberapa doktrin mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan
baik pencegahan umum (Algemene Crime) maupun pencegahan khusus (Special Crime). Selain
itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang
melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan daripada hukuman terletak
pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori
relative modern , penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat
dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara,
dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung
larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma.
3. Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan
sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar
tujuan daripada hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding.
Berdasarkan pada teori ini sebenarnya tujuan dari pada penegakkan hukum pidana tidak
lain adalah untuk memeberikan hukuman pidana kepada seseorang tidak semata-mata karena
pelakunya telah melakukan kejahatan, tetapi juga mencegah terjadinya kejahatan itu sendiri.
Tujuan hukum pidana sebagaimana disebut diatas adalah merupakan sumber hukum
tertulis atau hukum yang sifatnya modern, namun selain hukum tertulis itu ada sumber hukum
tidak tertulis yang merupakan pedoman hidup masyarakat adalah hukum adat. Dan didalam
peraturan perundang-undangan hukum adat diakui dan dijadikan sumber hukum tidak tertulis.
Von Savigny mengatakan bahwa terdapat hubungan organik antara hukum dengan
watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena hukum
adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum
kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat. Ia harus ditemukan. Legislasi hanya
penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu. [4]
Lebih lanjut Eugen Ehrlich dalam teorinya menyatakan bahwa :[5]
“hukum adalah hukum sosial. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan
kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat da
menjadi tatanan yang efektif . lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat
hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh kewibawaan negara. Ia tergantung pada kompetensi
penguasa dalam negara. Memang semua hukum dalam segi ekstrennya dapat diatur oleh instansi-
instansi negara, akan tetapi menurut segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok sosial
tergantung dari anggota-anggota kelompok itu. Inilah living law.Hukum sebagai norma-norma
hukum” (Rechtsnormen).
Dalam proses penegakkan hukum banyak faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
Robert. B. Siedman mengemukakan teorinya tentang faktor-faktor bekerjanya hukum yaitu : [6]
Bekerjanya hukum menurut Siedman ini menyatukan tiga kekuatan yaitu kekuatan
pembuat undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kekuatan pelaksana undang-undang
dalam hal ini adalah eksekutif dan keuatan sosial lain yaitu pemegang peran atau masyarakat
yang dalam hal ini adalah menyangkut kesadaran hukum masyarakat.
Hukum sebagai sistem tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan
(regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses
(procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) dan budaya hukum (legal structure). Sebagaimana dijelaskan oleh Lawrence M.
Friedman bahwa efektifitas hukum itu dipengaruhi oleh tiga faktor penting antara lain: [7]
1. Substansi hukum
2. Srtuktur hukum
3. Cultur hukum
Ketiga faktor ini sangat tergantung satu sama lainnya, karena apabila substansi hukumnya
sudah baik harus didukung oleh struktur hukum yang baik pula, demikian juga apabila culutur
hukum sangat mempengaruhi dua faktor yang lainnya. Karena faktor cultur juga melahirkan apa
yang dinamakan dengan kesadaran hukum.
Berl Kutchinky telah mengembangkan suatu teori mengenai kesadaran hukum, yang
sebenarnya merupakan penerapan dari teori-teori yang mula-mula diketengahkan oleh Adam
Podgorecki.:[8]. Dalam teorinya Kutschinky, mengatakan bahwa kesadaran hukum yaitu variabel
yang berisi 4 komponen yaitu:
1. Komponen Legal Awareness yaitu aspek mengenai pengetahuan terhadap
peraturan hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi teori hukum menyatakan bahwa
ketika hukum ditegakkan maka mengikat. Menurut teori residu semua orang dianggap
tahu hukum tapi kenyataannya tidak begitu, maka perlu Legal Awareness.
2. Legal Acquaintances : pemahaman hukum. Jadi orang memahami isi dari pada
peraturan hukum, mengetahui substansi dari UU.
3. Legal Attitude ( sikap hukum). Artinya kalau seseorang sudah memberikan
apressiasi & memberikan sikap : apakah UU baik/ tidak, manfaatnya apa dan seterusnya )
4. Legal Behavior ( perilaku hukum), orang tidak sekedar tahu, memahami tapi juga sudah
mengaplikasikan. Banyak orang tidak tahu hukum tapi perilakunya sesuai hukum, begitu juga
banyak orang tahu hukum tapi justru perilakunya melanggar hukum. Bahwa orang yang
memiliki kesadaran hukum yang rendah, misal jika menggunakan skor 4-5, sedang yang tertinggi
skor 7-10 dst. Bahwa belum tentu ketentuan pertama menjadi prasarat ketentuan berikutnya.Hal
yang lebih ideal, jika ke-4 ketentuan memenuhi syarat. Asumsinya hal di atas dalam keadaan
normal ada proses sosialisasi hukum, penyuluhan, pendidikan hukum dan seterusnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
“Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu
proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak
secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akantetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada
hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral”
Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada
prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula
yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya. [20] Menurut
Satochid Kartanegara,[21] bahwa :
“Hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum
pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-
undang hukum pidana, dan siksaan atau pende-ritaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan
terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus
diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap
norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau
perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana.
Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut:
1) Jiwa manusia (leven);
2) Keutuhan tubuh manusia (lyf);
3) Kehormatan seseorang (eer);
4) Kesusilaan (zede);
5) Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
6) Harta benda/kekayaan (vermogen). “
Berikut ini dikutip pengertian pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli:
Menurut van Hamel: [22]
“een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift,
op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare
rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.” (suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara
sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang
tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.)
Muladi dan Barda Nawawi Arief, pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung unsur
atau ciri-ciri sebagai berikut: [27]
1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-
akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh
yang berwenang);
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-
undang.
Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa “
“pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti
bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.
Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus
kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah
menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa
penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu,
secara harfiah telah menterjemahkan perkataan “doel der straf” dengan perkataan tujuan dari
pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah tujuan
dari pemidanaan”.
Seorang hakim dalam menjatuhkan pidana yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:
1. Kesalahan pembuat
2. Motif dan tujuan dilakukan tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin pembuat;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
6. Sikap dan tindakan pembuat pidana sesudah melakukan tindak pidana;
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak Pidana yang dilakukan;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan
10. Tindak pidana dilakukan dengan berencana.
Jenis- jenis pidana dalam ketentuan KUHP antara lain : menurut pasal 10 :
1. Pidana pokok :
a) Pidana mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan
d) Pidana denda
e) Pidana tutupan
2. Pidana tambahan :
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
III. Konsep Pembunuhan atau Pembunuhan Dalam Upacara Adat Penggal Kepala Suku
Naulu
Seperti sudah disinggung pada latar belakang bahwa salah satu suku di kabupaten
Maluku Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu. Salah satu suku yang hidup di Petuanan
Negeri Sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara,
yang berjarak 35 km2 dari Pusat kota Kecamatan. Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat
yang terbilang unik, namun salah satu adat yang paling mengerikan adalah Tradisi adat
memotong kepala manusia buat persembahan.Oleh masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai
kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia,
karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia buat persembahan bisa mendatangkan bala
atau musibah. Meskipun demikian Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga
rumah adat mereka.
Konsep penggal kepala dalam upacara adat suku naulu dalam pandangan hakim
pengadilan negeri Maluku Tengah merupakan konsep pembunuhan. Dan Pembunuhan tersebut
adalah merupakan pembunuhan yang terencana sehingga melanggar ketentuan
Pasal 340 KUHP;
“ barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”
Pasal 55 ayat 1 ( 1) :
“ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan,
dan yang turut serta melakukan perbuatan”
BAB III
METODE PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian Non Doctrinal yaitu berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori
mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum didalam masyarakat/Socio
Legal Research.. Yaitu menganalisa tentang penegakkan hukum pidana atas putusan hakim
pengadilan negeri Masohi pada penjatuhan pidana mati terhadap suku Naulu yang melakukan
upacara adat penggal kepala manusia dari sisi sosiologis.
2. Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :
a) Data primer merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-fakta empiris sebagai perilaku
maupun hasil perilaku manusia. Baik dalam bentuk perilaku verbal perilaku nyata, maupun
perilaku yang terdorong dalam barbagai hasil perilaku atau catatan-catatan/ arsip. Data primer
diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian yaitu dengan cara wawancara langsung dan
observasi atau pengamatan secara langsung dilapangan
b) Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang di ambil dari studi kepustakaan
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.Data
sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi dan penelusuran literatur yang berkaitan dengan
peneggakkan hukum pidana dan teori yang mendukungnya.
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu
autoritas mutlak dan mengikat. Berupa ketentuan hukum yang mengikat seperti, peraturan
perundang-undangan, catatan resmi dan lain-lain yang berkaitan dengan penegakkan hukum
pidana.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap/
mengenai bahan hukum primer. Seperti doktrin, jurnal, karya ilmiah dibidang hukum dan lain-
lain.
c. Bahan hukum tersier ( non hukum) adalah bahan hukum yang relevan seperti kamus hukum,
ensiklopedia dan kamus hukum lain yang masih relevan.
3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sepa Kabupaten Maluku Tengah dan Pengadilan Negeri
Masohi, Kabupaten Maluku Tengah
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk data primer dilakukan dengan wawancara langsung kepada hakim pengadilan negeri
Maluku Tengah dan pengamatan secara langsung pada masyarakat adat setempat. Sedangkan
data sekunder diperoleh dengan studi kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui literatur dan
dokumen lain yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.
5. Analisa Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjajaran, Bandung
Arief, Barda Nawawi, 2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara. BPUNDIP, Semarang
Kansil, CST, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka,
Jakarta,
Kholiq, M.Abdul, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Lamintang, P.A.F.
1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung
Mahmud Marzuki, Peter, 2005.Penelitian Hukum, Jakarta Kencana, Jakarta
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum Dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 1993,Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta
Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung
Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta
Salman, Otje, 1989, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung
Sunggono, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono , 1983, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta
Suharto, dan Efendi Junaidi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai
Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta
Sunarso ,Siswantoro, 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Tanya, Bernard L, Simanjuntak, Yoan, & Hage, Markus, Y. 2010, Teori Hukum, Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta
Taufik Makarao, Muhammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-
Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Kencana,
Yogyakarta
Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,
Semarang
Sumber Lain