Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL

METODE PENELITIAN HUKUM

NOWARMAN SARLI
181010740

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seperti kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai
macam suku, agama dan adat istiadat yang beraneka ragam dari sabang sampai merauke. Adat
istiadat tersebut sangat berbeda satu sama lainnya. Sejak negara ini memproklamirkan
kemerdekaannya maka, Indonesia terbentuk menjadi negara kesatuan dengan memiliki satu
sistem hukum yang berlaku secara Nasional. Yang mana sistem hukum itu merupakan salah satu
alat pengitegrasi bangsa ini.
Sistem hukum Indonesia sampai saat ini masih berlaku adalah sistem hukum yang masih
berkiblat kepada negara Belanda yaitu sistem hukum Eropa Continental atau sistem hukum Civil
Law. Bukti adanya sistem hukum ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )
dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ) yang sampai saat ini dianggap masih
tetap berlaku.. Hal ini tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, pasal 1 aturan
peralihan yang berbunyi : “ segala peraturan perundang-undangan yang masih ada dianggap
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar 1945”
Terlepas daripada sistem hukum positif yang terulis diatas ada sistem hukum lain yang
dianggap tetap berlaku adalah sistem hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang hidup dan
berkembang didalam masyarakat. Namun apabila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan
kepentingan hukum nasional maka dianggap tetap berlaku, namun demikian sebaliknya jika
hukum adat itu dianggap bertentangan dengan hukum positif atau hukum nasional, maka
ketentuan hukum tertulislah yang berlaku. Hal ini seperti yang terdapat pada salah satu suku di
kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu. Salah satu suku yang hidup di
Petuanan Negeri Sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun
Bonara, yang berjarak 35 km2 dari Pusat kota Kecamatan.
Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat yang terbilang unik, namun salah satu adat
yang paling mengerikan adalah Tradisi adat memotong kepala manusia buat persembahan.Oleh
masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu
mengalahkan akal sehat dan logika manusia, karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia
buat persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Meskipun demikian tidak
banyak masyarakat Maluku yang mengetahui hal tersebut. Tradisi ini baru tercium khalayak
ramai setelah terjadinya kejadian tahun 2005 silam. Warga di Kecamatan Amahai Kabupaten
Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok mayat manusia yang sudah terpotong-
potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan
tradisi Suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe.
Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka. Akibat
perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat tertinggal di Pulau Seram
ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti
Sounawe, Nusy Sounawe, dan Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim
hukuman penjara seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon
Sounawe. Para pelaku mutilasi ini dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan secara
berencana, sebagaimana diatur dalam pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Bunyi pasal 340 KUHP : “barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun”
Pasal 55 ayat 1 ( 1) : “ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan,
yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan
Didalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana tersirat dalam
pasal tersebut diatas sangat jelas sekali bahwa para pelaku yang melakukan pembunuhan dalam
hal ini adalah pembunuhan berencana, maka akan dipidana dengan hukuman mati atau pidana
penjara seumur hidup. Namun satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa ketiga pelaku tersebut
adalah warga masyarakat yang tidak tahu bahwa tindakan mereka telah melanggar ketentuan
hukum pidana, hukum yang dianggap tidak pernah ada dalam kehidupan mereka. Hakim
mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi hakim bukan corong undang-undang. Hakim harus
mengikuti, memahami hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat, apakah itu hukum
kebiasaan/hukum adat/ atau hukum tidak tertulis. Sebagaimana tertera dalam pasal 5 ayat ( 1 )
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwa :
“ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
Dalam realiatanya sangat disayangkan karena pada praktiknya hakim di Indonesia
umumnya hanya menjadi corong undang-undang. Kebanyakan hakim selalu berpandangan
positivisme bahwa apa yang sudah diatur oleh undang-undang itu adalah hukum. Padahal hukum
adat juga merupakan sumber hukum tidak tertulis yang diakui dan dijadikan pedoman hidup
dalam masyarakat. Terutama masyarakat tradisional, yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan
tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama pendidikan tentang hukum, dalam hal ini
adalah hukum modern sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga
terkadang apa yang menurut hukum adat itu merupakan suatu hal yang biasa bagi masyarakat
adat ternyata hal tersebut telah melanggar ketentuan hukum tertulis, dan terlebih lagi bahwa
perbuatan tersebut harus dijatuhi dengan sanki pidana sebagaimana tercantum dalam ketentuan
peraturan peundang-undangan.
Melihat pada kondisi demikian tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi para penegak
hukum terutama hakim, agar dalam memutus perkara perlu lebih objektif lagi, karena seperti
pada upacara adat penggal kepala manusia oleh masyarakat suku Naulu merupakan suatu hal
yang sakral, dan merupakan kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama yang dilakukan secara
turun-temurun. Dan ketika para pelaku tersebut divonis hukuman mati merupakan suatu hal yang
menurut penulis merupakan keputusan yang kurang memenuhi rasa keadilan pada masyarakat
Naulu karena suku ini terbilang masih asing dan tidak memiliki latar belakang pendidikan
terutama mengenai hukum itu sendiri. Karena dengan vonis pidana mati itu sangatlah tidak tepat
karena seharusnya suku Naulu ini harus diberi pemahaman dan pengertian tentang hukum itu
agar terciptanya kesadaran hukum diantara mereka.
Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa
pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Untuk itu hakim yang baik haruslah dalam memutus perkara
seyogyannya harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengetahui mengenal, merasakan
dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan melihat latar belakang tersebut diatas hal ini penulis sangat tertarik untuk
membahas masalah ini dengan mengambil judul “ Penegakkan Hukum Pidana Terhadap
Upacara Adat Penggal Kepala Suku Naulu Di Kabupaten Maluku Tengah” (Suatu
Tinjauan Sosiologis )

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masalah pkok yang akan diteliti adalah :
1. Bagaimanakah Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat Penggal Kepala Suku Naulu
Tersebut Jika Dilihat Dari Kacamata Sosiologis ?
2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap para pelaku (
pemenggal kepala manusia )?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana agar upacara adat pemenggalan kepala manusia tersebut
tidak terjadi lagi di masa yang akan datang?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana proses penegakkan hukum pidana terhadap
Upacara Adat penggal kepala manusia Suku Naulu tersebut jika dilihat dari kacamata sosiologis
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati
terhadap para pelaku.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana agar upacara adat pemenggalan
kepala manusia tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan solusi dalam
bidang hukum pidana terkait dengan upacara adat penggal kepala yang terjadi pada suku Naulu.
Dengan demikian pembaca atau calon peneliti lain akan semakin mengetahui tentang upacara
adat penggal kepala pada masyarakat
Dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji secara
mendalam tentang penegakkan hukum pidana berkaitan dengan masalah yang penulis utarakan
diatas.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka
meningkatkan kualitas penegakan hukum pidana khususnya hakim dalam pengambilan
keputusan bila nantinya menghadapi kasus yang serupa.

E. KERANGKA TEORI
Karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan ancaman dan sanksi. Tetapi hukum
bukan dipaksa untuk membenarkan persoalan yang salah, atau memaksa mereka yang tidak
berkedudukan dan tidak beruang. Agar peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar
dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan kemasyarakatan tersebut
harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian, hukum mempunyai sifat mengatur
dan memaksa setiap orang supaya menaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi
yang tegas ( berupa hukuman ) terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya.[1]
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum public tujuan pokok
diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai suatu
kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu
datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan
bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam
kehidupan masyarakat.[2]
Berbicara tentang penegakkan hukum pidana ada beberapa teori yang menyertainya
antara lain : [3]
1. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl. Teori ini teori
tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu
sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu
untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu (pemabalasan).
2. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan tetapi lebih
kepada maksud/ tujuan hukuman, artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman.
Beberapa doktrin mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan
baik pencegahan umum (Algemene Crime) maupun pencegahan khusus (Special Crime). Selain
itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang
melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan daripada hukuman terletak
pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori
relative modern , penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat
dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara,
dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung
larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma.
3. Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan
sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar
tujuan daripada hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding.
Berdasarkan pada teori ini sebenarnya tujuan dari pada penegakkan hukum pidana tidak
lain adalah untuk memeberikan hukuman pidana kepada seseorang tidak semata-mata karena
pelakunya telah melakukan kejahatan, tetapi juga mencegah terjadinya kejahatan itu sendiri.
Tujuan hukum pidana sebagaimana disebut diatas adalah merupakan sumber hukum
tertulis atau hukum yang sifatnya modern, namun selain hukum tertulis itu ada sumber hukum
tidak tertulis yang merupakan pedoman hidup masyarakat adalah hukum adat. Dan didalam
peraturan perundang-undangan hukum adat diakui dan dijadikan sumber hukum tidak tertulis.
Von Savigny mengatakan bahwa terdapat hubungan organik antara hukum dengan
watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena hukum
adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum
kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat. Ia harus ditemukan. Legislasi hanya
penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu. [4]
Lebih lanjut Eugen Ehrlich dalam teorinya menyatakan bahwa :[5]
“hukum adalah hukum sosial. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan
kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat da
menjadi tatanan yang efektif . lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat
hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh kewibawaan negara. Ia tergantung pada kompetensi
penguasa dalam negara. Memang semua hukum dalam segi ekstrennya dapat diatur oleh instansi-
instansi negara, akan tetapi menurut segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok sosial
tergantung dari anggota-anggota kelompok itu. Inilah living law.Hukum sebagai norma-norma
hukum” (Rechtsnormen).
Dalam proses penegakkan hukum banyak faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
Robert. B. Siedman mengemukakan teorinya tentang faktor-faktor bekerjanya hukum yaitu : [6]

Bekerjanya hukum menurut Siedman ini menyatukan tiga kekuatan yaitu kekuatan
pembuat undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kekuatan pelaksana undang-undang
dalam hal ini adalah eksekutif dan keuatan sosial lain yaitu pemegang peran atau masyarakat
yang dalam hal ini adalah menyangkut kesadaran hukum masyarakat.
Hukum sebagai sistem tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan
(regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses
(procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) dan budaya hukum (legal structure). Sebagaimana dijelaskan oleh Lawrence M.
Friedman bahwa efektifitas hukum itu dipengaruhi oleh tiga faktor penting antara lain: [7]
1. Substansi hukum
2. Srtuktur hukum
3. Cultur hukum
Ketiga faktor ini sangat tergantung satu sama lainnya, karena apabila substansi hukumnya
sudah baik harus didukung oleh struktur hukum yang baik pula, demikian juga apabila culutur
hukum sangat mempengaruhi dua faktor yang lainnya. Karena faktor cultur juga melahirkan apa
yang dinamakan dengan kesadaran hukum.
Berl Kutchinky telah mengembangkan suatu teori mengenai kesadaran hukum, yang
sebenarnya merupakan penerapan dari teori-teori yang mula-mula diketengahkan oleh Adam
Podgorecki.:[8]. Dalam teorinya Kutschinky, mengatakan bahwa kesadaran hukum yaitu variabel
yang berisi 4 komponen yaitu:
1. Komponen Legal Awareness yaitu aspek mengenai pengetahuan terhadap
peraturan hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi teori hukum menyatakan bahwa
ketika hukum ditegakkan maka mengikat. Menurut teori residu semua orang dianggap
tahu hukum tapi kenyataannya tidak begitu, maka perlu Legal Awareness.
2. Legal Acquaintances : pemahaman hukum. Jadi orang memahami isi dari pada
peraturan hukum, mengetahui substansi dari UU.
3. Legal Attitude ( sikap hukum). Artinya kalau seseorang sudah memberikan
apressiasi & memberikan sikap : apakah UU baik/ tidak, manfaatnya apa dan seterusnya )
4. Legal Behavior ( perilaku hukum), orang tidak sekedar tahu, memahami tapi juga sudah
mengaplikasikan. Banyak orang tidak tahu hukum tapi perilakunya sesuai hukum, begitu juga
banyak orang tahu hukum tapi justru perilakunya melanggar hukum. Bahwa orang yang
memiliki kesadaran hukum yang rendah, misal jika menggunakan skor 4-5, sedang yang tertinggi
skor 7-10 dst. Bahwa belum tentu ketentuan pertama menjadi prasarat ketentuan berikutnya.Hal
yang lebih ideal, jika ke-4 ketentuan memenuhi syarat. Asumsinya hal di atas dalam keadaan
normal ada proses sosialisasi hukum, penyuluhan, pendidikan hukum dan seterusnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Penegakkan Hukum


Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap
masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing,
mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan
hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat
tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Menurut Satjipto Rahardjo,
“penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep
menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-
keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain
adalah pikiranpikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan- peraturan
hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada
pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam
peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.”[10]

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto:

“Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu
proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak
secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akantetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada
hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral”

Menurut Jimly Ashhidiq


““Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut
subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti
luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan
hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu,
penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk
menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan
untuk menggunakan daya paksa.”
Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum
mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak
mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang
tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja
berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan
hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama,
yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii)
sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of
law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law).
Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law)
yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab
(accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut
sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas.
Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules
executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat
dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada
selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels),
keputusankeputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan
(vonis)hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap
aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin
mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada
teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu
difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena
itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan
pembudayaan hukum secara sistematis dan bersahaja.
Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan,
seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat membina penjahat dengan cara
melakukan pembinaan di lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberpaiki
terpidana di lembaga pemasyarakatan tersebut. Seharusnya hal ini mampu memberikan wacana
kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan pidana kepada para pelaku kejahatan
agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat. Sementara itu, dalam kenyataan empiris
di bidang pemidanaan secara umum masih menganut konsep hanya menghukum terpidana di
lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberikan gambaran bahwa kejahatan
tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial
masyarakat.
Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan
masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena
kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut
karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan
tujuan untuk kepentingan internalisasi.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia
terlindungi hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,
damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah
dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.
Dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,yaitu kepastian hukum
( Rechtssicherheit ), kemanfaatan ( Zwekmassigkeit ) dan keadian ( Gerechtigkeit ).[15] Ketiga
konsep ini pertama kali dikemukan oleh Gustav Radbruch[16]
Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa:
“Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya
hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku;
pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat justitia et pereat mundus ( meskipun dunia ini
runtuh hukum harus ditegakkan ). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. kepastian
hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti
bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum
masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan
untuk ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat megharapkan manfaat dalam pelaksanaan
atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum harus member
manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan
atau ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat.” [17]
Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam
pelaksanaan atau penegakkan hukum keadilan harus diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau
penegakkan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Keadilan itu bersifat
umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut
peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena
yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu
telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai
kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja,
maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang
penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna
bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka
sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut
tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu
yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.[18]
Semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa
pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh
wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-
keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan
seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari
lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya( Penjelasan UU No.48/ 2009
)
Oliver Holmes dalam teorinya mengatakan bahwa:[19]
“aturan hukum bukanlah sebuah poros keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan
menjawab dunia kehidupan dunia yang begitu kompleks. Dan lagi pula kebenaran yang riil,
bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Lebih lanjut Holmes
mengatakan seorang pelaksana hukum ( hakim ) sesungguhnya mengahadapi gejala-gejala hidup
secara realistis. Sering ia menghadapi dua bahkan lebih kebenaran yang seolah meminta
kepastian mana yang lebih unggul dalam konteks tertentu. Salah satu diantaranya adalah
kebenaran versi aturan hukum. Tidak jarang, bahkan amat sering, kebenaran-kebenaran lain
lebih unggul dari yang disodorkan aturan formal. Mereka lebih relevan, lebih tepat, dan bahkan
lebih bermanfaat untuk suatu konteks riil, ketimbang kebenaran yang ditawarkan aturan legal.
Dalam hal inilah seorang hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia harus
memenangkan kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko mengalahkan
aturan resmi."

II. Tinjauan Umum Tentang Pidana

Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada
prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula
yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya. [20] Menurut
Satochid Kartanegara,[21] bahwa :
“Hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum
pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-
undang hukum pidana, dan siksaan atau pende-ritaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan
terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus
diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap
norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau
perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana.
Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut:
1) Jiwa manusia (leven);
2) Keutuhan tubuh manusia (lyf);
3) Kehormatan seseorang (eer);
4) Kesusilaan (zede);
5) Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
6) Harta benda/kekayaan (vermogen). “
Berikut ini dikutip pengertian pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli:
Menurut van Hamel: [22]
“een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift,
op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare
rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.” (suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara
sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang
tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.)

Menurut Simons: [23]


“Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm verbonden, dat aan den
schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” (artinya: suatu penderitaan yang oleh undang-
undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu
putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.)

Sedangkan Menurut Sudarto:[24]Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan


kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dan
oleh Roeslan Saleh : [25]Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Menurut Ted Honderich:[26] Punishment is an authority‟s infliction of penalty
(something involving deprivation or distress) on an offender for an offence. (artinya: pidana
adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman [sesuatu yang meliputi
pencabutan dan penderitaan] yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah
pelanggaran).

Muladi dan Barda Nawawi Arief, pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung unsur
atau ciri-ciri sebagai berikut: [27]
1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-
akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh
yang berwenang);
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-
undang.
Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa “
“pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti
bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.
Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus
kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah
menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa
penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu,
secara harfiah telah menterjemahkan perkataan “doel der straf” dengan perkataan tujuan dari
pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah tujuan
dari pemidanaan”.
Seorang hakim dalam menjatuhkan pidana yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:
1. Kesalahan pembuat
2. Motif dan tujuan dilakukan tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin pembuat;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
6. Sikap dan tindakan pembuat pidana sesudah melakukan tindak pidana;
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak Pidana yang dilakukan;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan
10. Tindak pidana dilakukan dengan berencana.
Jenis- jenis pidana dalam ketentuan KUHP antara lain : menurut pasal 10 :
1. Pidana pokok :
a) Pidana mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan
d) Pidana denda
e) Pidana tutupan
2. Pidana tambahan :
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim

III. Konsep Pembunuhan atau Pembunuhan Dalam Upacara Adat Penggal Kepala Suku
Naulu

Seperti sudah disinggung pada latar belakang bahwa salah satu suku di kabupaten
Maluku Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu. Salah satu suku yang hidup di Petuanan
Negeri Sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara,
yang berjarak 35 km2 dari Pusat kota Kecamatan. Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat
yang terbilang unik, namun salah satu adat yang paling mengerikan adalah Tradisi adat
memotong kepala manusia buat persembahan.Oleh masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai
kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia,
karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia buat persembahan bisa mendatangkan bala
atau musibah. Meskipun demikian Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga
rumah adat mereka.
Konsep penggal kepala dalam upacara adat suku naulu dalam pandangan hakim
pengadilan negeri Maluku Tengah merupakan konsep pembunuhan. Dan Pembunuhan tersebut
adalah merupakan pembunuhan yang terencana sehingga melanggar ketentuan
Pasal 340 KUHP;
“ barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”
Pasal 55 ayat 1 ( 1) :
“ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan,
dan yang turut serta melakukan perbuatan”
BAB III

METODE PENELITIAN

A. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian Non Doctrinal yaitu berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori
mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum didalam masyarakat/Socio
Legal Research.. Yaitu menganalisa tentang penegakkan hukum pidana atas putusan hakim
pengadilan negeri Masohi pada penjatuhan pidana mati terhadap suku Naulu yang melakukan
upacara adat penggal kepala manusia dari sisi sosiologis.
2. Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :
a) Data primer merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-fakta empiris sebagai perilaku
maupun hasil perilaku manusia. Baik dalam bentuk perilaku verbal perilaku nyata, maupun
perilaku yang terdorong dalam barbagai hasil perilaku atau catatan-catatan/ arsip. Data primer
diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian yaitu dengan cara wawancara langsung dan
observasi atau pengamatan secara langsung dilapangan
b) Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang di ambil dari studi kepustakaan
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.Data
sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi dan penelusuran literatur yang berkaitan dengan
peneggakkan hukum pidana dan teori yang mendukungnya.
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu
autoritas mutlak dan mengikat. Berupa ketentuan hukum yang mengikat seperti, peraturan
perundang-undangan, catatan resmi dan lain-lain yang berkaitan dengan penegakkan hukum
pidana.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap/
mengenai bahan hukum primer. Seperti doktrin, jurnal, karya ilmiah dibidang hukum dan lain-
lain.
c. Bahan hukum tersier ( non hukum) adalah bahan hukum yang relevan seperti kamus hukum,
ensiklopedia dan kamus hukum lain yang masih relevan.

3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sepa Kabupaten Maluku Tengah dan Pengadilan Negeri
Masohi, Kabupaten Maluku Tengah
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk data primer dilakukan dengan wawancara langsung kepada hakim pengadilan negeri
Maluku Tengah dan pengamatan secara langsung pada masyarakat adat setempat. Sedangkan
data sekunder diperoleh dengan studi kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui literatur dan
dokumen lain yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.
5. Analisa Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjajaran, Bandung
Arief, Barda Nawawi, 2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara. BPUNDIP, Semarang
Kansil, CST, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka,
Jakarta,
Kholiq, M.Abdul, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Lamintang, P.A.F.
1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung
Mahmud Marzuki, Peter, 2005.Penelitian Hukum, Jakarta Kencana, Jakarta
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum Dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 1993,Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta
Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung
Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta
Salman, Otje, 1989, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung
Sunggono, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono , 1983, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta
Suharto, dan Efendi Junaidi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai
Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta
Sunarso ,Siswantoro, 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Tanya, Bernard L, Simanjuntak, Yoan, & Hage, Markus, Y. 2010, Teori Hukum, Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta
Taufik Makarao, Muhammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-
Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Kencana,
Yogyakarta
Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,
Semarang

Sumber Lain

Ashhidiq, Jimly, 2010, Penegakkan Hukum, http//:www.docudesk.com


Bemmelen, .M. van, 1987, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, Binacipta,
Bandung
Kartanegara, Satochid, 1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh
Mahasiswa PTIK Angkatan V,www.google.com
Esmi Warassih, 2010, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, Magister Hukum UNSOED,
Purwokerto,
Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, Anonim, 2009
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Anda mungkin juga menyukai