Anda di halaman 1dari 22

PROPOSAL PENELITIAN HUKUM

PENEGAKKAN HUKUM PIDANA TERHADAP UPACARA ADAT PENGGAL


KEPALA SUKU NAULU DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

OLEH:

NAMA : ROCHMAT SHOFYAN

NIM : 2018500177

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DR. SOETOMO

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillahi rabbil‘alamin, dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji dan
syukur kehadirat Allah SWT, karena atas izin, rahmat serta hidayahNya, penulisan Proposal
Usulan Penelitian yang berjudul “PENEGAKKAN HUKUM PIDANA TERHADAP
UPACARA ADAT PENGGAL KEPALA SUKU NAULU DI KABUPATEN MALUKU
TENGAH” dapat diselesaikan.

Penulisan Proposal Penelitian ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu Ujian Akhir
Semester 5 Fakultas Hukukm Universitas Dr. Soetomo. Proposal Penelitian ini disusun
berdasarkan hasil pengamatan, wawancara, diskusi, dan keterlibatan langsung.

Dalam penyajian Proposal Penelitian ini penulis menyadari masih belum mendekati
kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan koreksi dan saran yang sifatnya
membangun sebagai bahan masukan yang bermanfaat demi perbaikan dan peningkatan diri
dalam bidang ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari, berhasilnya studi dan penyusunan Proposal Usulan Penelitian ini tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan semangat dan do’a kepada peulis
dalam menghadapi setiap tantangan, sehingga sepatutnya pada kesempatan ini penulis
menghaturkan rasa terima kasih kepada :
Dr. SUBEKTI, S.H., M. HUM, selaku Dosen Pembimbing.

Akhir kata semoga Proposal Penelitian Hukum ini dapat dimanfaatkan dan dapat memberikan
sumbangsih pemikiran untuk perkembangan pengetahuan bagi setiap pembacanya.

Wasalamu’alaikum Wr.Wb.
Surabaya, Februari 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG 4
B. RUMUSAN MASALAH 7
C. TUJUAN PENELITIAN 7
D. MANFAAT PENELITIAN 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8


BAB III METODE PENELITIAN 17
DAFTAR PUSTAKA 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seperti kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam
suku, agama dan adat istiadat yang beraneka ragam dari sabang sampai merauke. Adat istiadat
tersebut sangat berbeda satu sama lainnya. Sejak negara ini memproklamirkan kemerdekaannya
maka, Indonesia terbentuk menjadi negara kesatuan dengan memiliki satu sistem hukum yang
berlaku secara Nasional. Yang mana sistem hukum itu merupakan salah satu alat pengitegrasi
bangsa ini.

Sistem hukum Indonesia sampai saat ini masih berlaku adalah sistem hukum yang masih
berkiblat kepada negara Belanda yaitu sistem hukum Eropa Continental atau sistem hukum Civil
Law. Bukti adanya sistem hukum ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ) yang sampai saat ini dianggap masih tetap
berlaku.. Hal ini tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, pasal 1 aturan peralihan
yang berbunyi : “ segala peraturan perundang-undangan yang masih ada dianggap tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar 1945

Terlepas daripada sistem hukum positif yang terulis diatas ada sistem hukum lain yang dianggap
tetap berlaku adalah sistem hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang hidup dan berkembang
didalam masyarakat. Namun apabila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan
hukum nasional maka dianggap tetap berlaku, namun demikian sebaliknya jika hukum adat itu
dianggap bertentangan dengan hukum positif atau hukum nasional, maka ketentuan hukum
tertulislah yang berlaku. Hal ini seperti yang terdapat pada salah satu suku di kabupaten Maluku
Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu. Salah satu suku yang hidup di Petuanan Negeri
Sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang
berjarak 35 km2 dari Pusat kota Kecamatan.

Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat yang terbilang unik, namun salah satu adat yang
paling mengerikan adalah Tradisi adat memotong kepala manusia buat persembahan.Oleh
masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu
mengalahkan akal sehat dan logika manusia, karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia

4
buat persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Meskipun demikian tidak banyak
masyarakat Maluku yang mengetahui hal tersebut. Tradisi ini baru tercium khalayak ramai
setelah terjadinya kejadian tahun 2005 silam. Warga di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku
Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok mayat manusia yang sudah terpotong-potong
bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan tradisi Suku
Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe.

Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka. Akibat
perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat tertinggal di Pulau Seram ini
divonis hukuman mati oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti
Sounawe, Nusy Sounawe, dan Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim
hukuman penjara seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan
SumonSounawe. Para pelaku mutilasi ini dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan secara
berencana, sebagaimana diatur dalam pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Bunyi pasal 340 KUHP : “barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”

Pasal 55 ayat 1 ( 1) : “ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan

Didalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana tersirat dalam pasal
tersebut diatas sangat jelas sekali bahwa para pelaku yang melakukan pembunuhan dalam hal ini
adalah pembunuhan berencana, maka akan dipidana dengan hukuman mati atau pidana penjara
seumur hidup. Namun satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa ketiga pelaku tersebut adalah
warga masyarakat yang tidak tahu bahwa tindakan mereka telah melanggar ketentuan hukum
pidana, hukum yang dianggap tidak pernah ada dalam kehidupan mereka. Hakim mengadili
berdasarkan undang-undang, tetapi hakim bukan corong undang-undang. Hakim harus mengikuti,
memahami hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat, apakah itu hukum kebiasaan/hukum
adat/ atau hukum tidak tertulis. Sebagaimana tertera dalam pasal 5 ayat ( 1 ) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 bahwa :

“ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”

5
Dalam realiatanya sangat disayangkan karena pada praktiknya hakim di Indonesia umumnya
hanya menjadi corong undang-undang. Kebanyakan hakim selalu berpandangan positivisme
bahwa apa yang sudah diatur oleh undang-undang itu adalah hukum. Padahal hukum adat juga
merupakan sumber hukum tidak tertulis yang diakui dan dijadikan pedoman hidup dalam
masyarakat. Terutama masyarakat tradisional, yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan tidak
memiliki latar belakang pendidikan terutama pendidikan tentang hukum, dalam hal ini adalah
hukum modern sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga terkadang
apa yang menurut hukum adat itu merupakan suatu hal yang biasa bagi masyarakat adat ternyata
hal tersebut telah melanggar ketentuan hukum tertulis, dan terlebih lagi bahwa perbuatan tersebut
harus dijatuhi dengan sanki pidana sebagaimana tercantum dalam ketentuan peraturan peundang-
undangan.

Melihat pada kondisi demikian tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi para penegak hukum
terutama hakim, agar dalam memutus perkara perlu lebih objektif lagi, karena seperti pada
upacara adat penggal kepala manusia oleh masyarakat suku Naulu merupakan suatu hal yang
sakral, dan merupakan kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama yang dilakukan secara turun-
temurun. Dan ketika para pelaku tersebut divonis hukuman mati merupakan suatu hal yang
menurut penulis merupakan keputusan yang kurang memenuhi rasa keadilan pada masyarakat
Naulu karena suku ini terbilang masih asing dan tidak memiliki latar belakang pendidikan
terutama mengenai hukum itu sendiri. Karena dengan vonis pidana mati itu sangatlah tidak tepat
karena seharusnya suku Naulu ini harus diberi pemahaman dan pengertian tentang hukum itu
agar terciptanya kesadaran hukum diantara mereka.

Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan
peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Untuk itu hakim yang baik haruslah dalam memutus perkara seyogyannya harus
terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengetahui mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan melihat
latar belakang tersebut diatas hal ini penulis sangat tertarik untuk membahas masalah ini dengan
mengambil judul “ Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat Penggal Kepala Suku
Naulu Di Kabupaten Maluku Tengah” (Suatu Tinjauan Sosiologis )

6
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masalah pkok yang akan diteliti adalah :

1. Bagaimanakah Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat Penggal Kepala Suku
Naulu Tersebut Jika Dilihat Dari Kacamata Sosiologis ?
2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap para pelaku
( pemenggal kepala manusia )?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana agar upacara adat pemenggalan kepala manusia
tersebut tidak terjadi lagi di masa yang akan datang?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana proses penegakkan hukum pidana
terhadap Upacara Adat penggal kepala manusia Suku Naulu tersebut jika dilihat dari
kacamata sosiologis
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana mati terhadap para pelaku.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana agar upacara adat
pemenggalan kepala manusia tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan solusi
dalam bidang hukum pidana terkait dengan upacara adat penggal kepala yang terjadi pada
suku Naulu. Dengan demikian pembaca atau calon peneliti lain akan semakin mengetahui
tentang upacara adat penggal kepala pada masyarakat
 Dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji secara
mendalam tentang penegakkan hukum pidana berkaitan dengan masalah yang penulis
utarakan diatas.
2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka
meningkatkan kualitas penegakan hukum pidana khususnya hakim dalam pengambilan
keputusan bila nantinya menghadapi kasus yang serupa.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Tinjauan Umum Tentang Penegakkan Hukum

Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap
masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing,
mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan
hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat
tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.

Menurut Satjipto Rahardjo,,

“penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep
menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-
keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain
adalah pikiranpikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan- peraturan
hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada
pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam
peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.”[10]

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto:

“Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu
proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak
secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akantetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada
hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral”[11]

Menurut Jimly Ashhidiq[12]

““Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-
norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan
hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan
hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya

8
penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses
penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja
yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau
menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu
hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk
menggunakan daya paksa.”

Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan
perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin
menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai
lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan
upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu,
ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan
hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan
bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum
(the enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang
efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab
(accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut
sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas.
Dalam arti luas,‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules
executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat
dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada
selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels),
keputusankeputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan
(vonis)hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap
aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin
mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori
‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan
sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu

9
ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan
pembudayaan hukum secara sistematis dan bersahaja.

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan,


seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat membina penjahat dengan cara
melakukan pembinaan di lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberpaiki
terpidana di lembaga pemasyarakatan tersebut. Seharusnya hal ini mampu memberikan wacana
kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan pidana kepada para pelaku kejahatan
agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat. Sementara itu, dalam kenyataan empiris di
bidang pemidanaan secara umum masih menganut konsep hanya menghukum terpidana di
lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberikan gambaran bahwa kejahatan
tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial
masyarakat.

Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan
masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni:

(1) takut berbuat dosa;

(2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat
imperatif;

(3) takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai
sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia


terlindungi hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,
damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah
dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.
Dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,yaitu kepastian hukum
(Rechtssicherheit ), kemanfaatan ( Zwekmassigkeit ) dan keadian ( Gerechtigkeit).[15] Ketiga
konsep ini pertama kali dikemukan oleh Gustav Radbruch[16] Lebih lanjut Sudikno
Mertokusumo mengatakan bahwa:

“Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya
hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku;
pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat justitia et pereat mundus ( meskipun dunia ini
runtuh hukum harus ditegakkan ). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. kepastian hukum

10
merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat
mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan
lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban
masyarakat. Sebaliknya masyarakat megharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakkan
hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum harus member manfaat atau
kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan
timbul keresahan didalam masyarakat.” [17]

Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan
atau penegakkan hukum keadilan harus diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakkan
hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Keadilan itu bersifat umum, mengikat
setiap orang, bersifat menyamaratakan.

Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut
peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena
yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu
telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai
kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja,
maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang
penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna
bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka
sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak
terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang
dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.[18]

Semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa
pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal,
merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib
diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan
pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-
adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari

11
lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya( Penjelasan UU No.48/
2009 )

Oliver Holmes dalam teorinya mengatakan bahwa:[19]

“aturan hukum bukanlah sebuah poros keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan
menjawab dunia kehidupan dunia yang begitu kompleks. Dan lagi pula kebenaran yang riil,
bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Lebih lanjut Holmes
mengatakan seorang pelaksana hukum ( hakim ) sesungguhnya mengahadapi gejala-gejala hidup
secara realistis. Sering ia menghadapi dua bahkan lebih kebenaran yang seolah meminta
kepastian mana yang lebih unggul dalam konteks tertentu. Salah satu diantaranya adalah
kebenaran versi aturan hukum. Tidak jarang, bahkan amat sering, kebenaran-kebenaran lain lebih
unggul dari yang disodorkan aturan formal. Mereka lebih relevan, lebih tepat, dan bahkan lebih
bermanfaat untuk suatu konteks riil, ketimbang kebenaran yang ditawarkan aturan legal. Dalam
hal inilah seorang hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia harus memenangkan
kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko mengalahkan aturan resmi."

12
II. Tinjauan Umum Tentang Pidana

Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu
pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan
dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum
yang lainnya. [20] Menurut

Satochid Kartanegara,,[21] bahwa :

“Hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum
pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-
undang hukum pidana, dan siksaan atau pende-ritaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan
terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus
diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap
norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau
perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana.

Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut:

1) Jiwa manusia (leven);


2) Keutuhan tubuh manusia (lyf);
3) Kehormatan seseorang (eer);
4) Kesusilaan (zede);
5) Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
6) Harta benda/kekayaan (vermogen). “

Berikut ini dikutip pengertian pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli:

Menurut van Hamel: [22]

“een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift,
op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare
rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.”(suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan
pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang

13
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang
harus ditegakkan oleh negara.)

Menurut Simons: [23]

“Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm verbonden, dat aan den
schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” (artinya: suatu penderitaan yang oleh undang-
undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu
putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.)

Sedangkan Menurut Sudarto:[24]

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dan oleh Roeslan Saleh : [25]Pidana adalah reaksi atas
delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik
itu.

Menurut Ted Honderich:[26] Punishment is an authority‟s infliction of penalty (something


involving deprivation or distress) on an offender for an offence. (artinya: pidana adalah suatu
penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman [sesuatu yang meliputi pencabutan dan
penderitaan] yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).

Muladi dan Barda Nawawi Arief, pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung unsur atau ciri-
ciri sebagai berikut: [27]

1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
(oleh yang berwenang);

14
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.

Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa “

“pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti
bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.
Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus
kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah
menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa
penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu, secara
harfiah telah menterjemahkan perkataan “doel der straf” dengan perkataan tujuan dari pidana,
padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah tujuan dari
pemidanaan”.[28]

Seorang hakim dalam menjatuhkan pidana yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan adalah
sebagai berikut[29]:

1. Kesalahan pembuat
2. Motif dan tujuan dilakukan tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin pembuat;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
6. Sikap dan tindakan pembuat pidana sesudah melakukan tindak pidana;
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak Pidana yang dilakukan;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan
10. Tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Jenis- jenis pidana dalam ketentuan KUHP antara lain : menurut pasal 10 :

1. Pidana pokok :
a) Pidana mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan

15
d) Pidana denda
e) Pidana tutupan

2. Pidana tambahan :
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim

III. Konsep Pembunuhan atau Pembunuhan Dalam Upacara Adat Penggal Kepala Suku
Naulu

Seperti sudah disinggung pada latar belakang bahwa salah satu suku di kabupaten Maluku
Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu. Salah satu suku yang hidup di Petuanan Negeri
Sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang
berjarak 35 km2 dari Pusat kota Kecamatan. Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat yang
terbilang unik, namun salah satu adat yang paling mengerikan adalah Tradisi adat memotong
kepala manusia buat persembahan.Oleh masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai kepercayaan
yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia, karena
diyakini jika tidak mendapat kepala manusia buat persembahan bisa mendatangkan bala atau
musibah. Meskipun demikian Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah
adat mereka. Konsep penggal kepala dalam upacara adat suku naulu dalam pandangan hakim
pengadilan negeri Maluku Tengah merupakan konsep pembunuhan. Dan Pembunuhan tersebut
adalah merupakan pembunuhan yang terencana sehingga melanggar ketentuan

Pasal 340 KUHP;

“ barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”

Pasal 55 ayat 1 ( 1) :

“ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan,
dan yang turut serta melakukan perbuatan”

16
BAB III

METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian
Penelitian Non Doctrinal yaitu berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai
proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum didalam masyarakat/Socio Legal
Research.[30]. Yaitu menganalisa tentang penegakkan hukum pidana atas putusan hakim
pengadilan negeri Masohi pada penjatuhan pidana mati terhadap suku Naulu yang melakukan
upacara adat penggal kepala manusia dari sisi sosiologis.

2. Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :

a) Data primer merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-fakta empiris sebagai
perilaku maupun hasil perilaku manusia. Baik dalam bentuk perilaku verbal perilaku nyata,
maupun perilaku yang terdorong dalam barbagai hasil perilaku atau catatan-catatan/ arsip.[31]
Data primer diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian yaitu dengan cara wawancara
langsung dan observasi atau pengamatan secara langsung dilapangan

b) Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang di ambil dari studi
kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non
hukum. [32].Data sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi dan penelusuran literatur yang
berkaitan dengan peneggakkan hukum pidana dan teori yang mendukungnya.
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifatautoritatif artinya memiliki
suatu autoritas mutlak dan mengikat. Berupa ketentuan hukum yang mengikat
seperti, peraturan perundang-undangan, catatan resmi dan lain-lain yang berkaitan
dengan penegakkan hukum pidana.

17
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap/
mengenai bahan hukum primer. Seperti doktrin, jurnal, karya ilmiah dibidang hukum
dan lain-lain.
c. Bahan hukum tersier ( non hukum) adalah bahan hukum yang relevan seperti kamus
hukum, ensiklopedia dan kamus hukum lain yang masih relevan.

3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sepa Kabupaten Maluku Tengah dan Pengadilan Negeri

Masohi, Kabupaten Maluku Tengah Teknik Pengumpulan Data

4. Pengumpulan Data
Untuk data primer dilakukan dengan wawancara langsung kepada hakim pengadilan negeri
Maluku Tengah dan pengamatan secara langsung pada masyarakat adat setempat. Sedangkan
data sekunder diperoleh dengan studi kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui literatur dan
dokumen lain yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.

5. Analisa Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.

18
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Siststeem Peradilan Piddaanana,, Widya Padjajaran, Bandung

Arief, Barda Nawawi, 2000, Keebbiijjakan Leegislatiif Dalam Penanggulangan K ejjahatan


dengngaan Piiddana Penjara. BPUNDIP, Semarang

Kansil, CST, 1993, Peengantar ilmu hukum dan Tata hukum II ndonenesisia, Ctk.9, Balai
Pustaka, Jakarta,

Kholiq, M.Abdul, 2002, Buku Peeddooman Kuli ah Hukum Pidana, Fakultas Lamintang, P.A.F.
1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung

Mahmud Marzuki, Peter, 2005.Penelilittiiaan Hukum, Jakarta Kencana, Jakarta

Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengegenanal Hukum, Suattu Pengantntaar, Universitas Atma


Jaya, Yogyakarta

Rahardjo, Satjipto, 2009, H ukum Dan Peerrubahan Sososiial, Suatu Ti njauan Teorriitis Serta
Pengalaman-Pengalaman DiIndonesia, Genta Publishing, Yogyakarta

Rahardjo, Satjipto, 1993,Maasasalalah Penegagakakan Hukum; Suattu Tinjauan Sosiolologigis,


Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta

Rahardjo, Satjipto, 1986, II lmu Hukum, Alumni, Bandung

Rifai, Ahmad, 2010, Penemmuauan H ukum Oleh H akim, Dalam Perspekktif H ukum
Progressif,,Sinar Grafika, Jakarta

Salman, Otje, 1989, Sosiologi H ukum, Suatu Pengantntaar, Armico, Bandung

Sunggono, Bambang, 1996, Meettooddoologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta

Soekanto, Soerjono , 1983, F akktotor-faktor yang MeemmppeengngaaruhiPenegakan Hukum,


PT. RajaGrafindoPersada, Jakarta

Suharto, dan Efendi Junaidi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai
Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta

19
Sunarso ,Siswantoro, 2004. Penegakan HukumDalam Kaajjiiaan sosiologis. Raja Grafindo
Persada, Jakarta

Tanya, Bernard L, Simanjuntak, Yoan, & Hage, Markus, Y. 2010, Teorri Hukum, Sttrategi Tertib
Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta

Taufik Makarao, Muhammad, Peemmbbaharuan Hukum Piiddana Indonesisiaa, Studi Tentang


Bentuk-Bentuk Piidana Khususnya Piidana Caambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemmiidanaan,
Kreasi Kencana, Yogyakarta

Warassih, Esmi, 2005, PranataHukum, Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,
Semarang

Sumber Lain

Ashhidiq, Jimly, 2010, Penegakkan Hukum, http//:www.docudesk.com

Bemmelen, .M. van, 1987, H ukum Piiddana 1 Hukum Piidana maateterriial bagigiaan umum,
Binacipta, Bandung

Kartanegara, Satochid, 1955, Kumpulan Caatatatatan Kuliaah H ukum Piddana II II ,,disusun


oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V,www.google.com

Esmi Warassih, 2010, Baahahan Kuliah Sosiologi Hukum, Magister Hukum UNSOED,
Purwokerto, Baahahan Kuliaah Sosiologi Hukum, Anonim, 2009

Kitab Undang-Undang H ukum Pidana

[1] Suharto, dan Junaidi Efendi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana,
Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta.hal.25-26

[2] M.Abdul, Kholiq, 2002, Buku Peedoman Kuuliah HukumPi dana, Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta, hal.15

[3] C.S.T.Kansil, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tatahukum Indonenesisia, Ctk.9, Balai
Pustaka, Jakarta, hal.97

[4] Bernard L. Tanya, Yoan Simanjuntak, & Markus, Y. Hage, 2010, Teori Hukum, Sttrategi
Tertib Manusia Liintntaas Ruang Dan Geenenerraassi, Genta Publishing, Yogyakarta. Hal.103

20
[5] II bid. hal.142

[6] Esmi Warassih, 2010, Baahahan Kuliaah Sosilogi H ukum,, Magister Ilmu Hukum
UNSOED, Purwokerto, hal.4

[7] H. Syafruddin Kalo, 2010, Penegakan H ukum Yang Menjamiin Keepastian Hukum Dan
Rasasa Keadiilan Masyarakat, Suatu Sumbbangan Pemmiiki ran, www. google.com. hal.1

[8] Otje Salman : 1989, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantntaar, Armico, Bandung, 42

[9] Anonim, 2009, Baahahan Kuliaah Sosiologi Hukum, hal.24

[10] Satjipta Rahardjo, Masalalah Penegakan Hukum; Suattu Tinjauauan Sosiologigis, Badan
Pembinaan Hukum

[11] Soerjono Soekanto, F aktor-faktor yang MeemmppengaruhiPenegakan Hukum, PT.


RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983, hal 5.

[12] Jimly Ashhidiq, 2010, Penegakkan Hukum, http//:www.docudesk.com

[13] I biid,

[14] Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja
Grafindo

[15] Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengegenanal Hukum, Suatu Pengantntaar, Universitas


Atma Jaya, Yogyakarta, hal.207

[16] Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal.21

[17] Sudikno, Op.Cit, hal.208

[18] II biid, hal.21

[19] Sudikno, Op.Cit. hal.166

[20] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, (Bandung:
Binacipta, 1987), hal.17.

[21] Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh
Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hal. 275-276.

[22] P.A.F. Lamintang, H ukum Peninitensier I ndonesisia, (Bandung: Armico, 1984), hal. 34.

21
[23] II bid., h. 35.

[24] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 2.

[25] Ibid.

[26] Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Piidana II ndonesia, Studi Tentang
Bentuk-Bentuk Piidana Khususnya Pi dana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Peemmiidanaan,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal.18

[27] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 4.

[28] P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 36

[29] Barda Nawawi Arief, Keebbijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejjahatan dengan
Pidadana Penjara. BPUNDIP.Semarang 2000 hal, 147-148

[30]Sunggono, Bambang, 1996, Metooddoologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.hal.42

[31] Peter Mahmud Marzuki, 2005.Penellitiaan H ukum, Jakarta Kencana, Jakarta, hal.141

[32] II bid.

22

Anda mungkin juga menyukai