Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENELITIAN

PERKEMBANGAN HUKUM ADAT SUKU REJANG DALAM PELAKSANAANNYA DI


DAERAH LEBONG KABUPATEN BENGKULU
PROVINSI SUMATRA

NAMA KELOMPOK :
1. IRMA ANANDA PUTRI (18040704003)
2. VERONICA VIDIA (18040704026)
3. LAEDY SEPTI MUNTARI (18040704046)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM
PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM
SEPTEMBER 2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Setiap masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa memiliki ikatan
dengan alam serta lingkungannya. Masyarakat tersebut membentuk sebuah konsensus guna
mencapai suatu ketertiban dalam berinteraksi di kelompok masyarakatnya. Hal ini
dikarenakan setiap masyarakat memiliki sejumlah keinginan dan jika tidak dibuat suatu
kesepakatan maka bukan tidak mungkin akan terjadi berbagai konflik kepentingan.
Semakin tingginya tingkat individualitas juga semakin membuat diri lebih
mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan bersama. Bahkan banyak juga
permasalahan pidana seperti kasus jual beli rumah, warisan, perzinahan, dan cepalo serta
tabrakan yang umumnya terjadi disebuah kehidupan masyarakat jika tidak diatasi oleh
lembaga adat, tentu akan langsung ke jalur hukum. Sementara kita tahu bahwa apapun bentuk
masalahnya, jika sudah memasuki ranah hukum maka akan memberikan dampak negatif bagi
keduanya salah satunya adalah rasa dendam. Padahal biasanya yang berkonflik jika ditelusuri
masih terkait antara dua keluarga besar. Guna menekan tingginya kerugian baik secara
materil maupun imateril maka dalam sebuah kelompok masyarakat adat akan membentuk
suatu kesepakatan dalam mencapai ketenangan dalam hidup bermasyarakat dan memberikan
sanksi jika ada yang melanggar dan ini dikenal dengan istilah hukum adat.
Adanya hukum adat Rejang dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat Rejang dengan
jenang kutei sebagai penanggung jawab untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi
di dalam masyarakat. Peran lembaga adat dalam menyelesaikan setiap permasalahan
khususnya yang terjadi di Kelurahan Air Rambai, Kecamatan Curup Kabupaten Rejang
Lebong sudah sangat tinggi perannya. Semua permasalahan sudah dapat diatasi dengan
musyawarah tanpa diakhiri dengan rasa dendam, justru menjadi sebuah ikatan persaudaraan
yang kuat.
Kabupaten Rejang Lebong merupakan sebuah kabupaten yang terdiri dari berbagai
macam etnis di dalamnya. Namun begitu, orang Rejang merupakan orang yang sangat
dominan yang ada dikabupaten ini. Keberadaan hukum adat orang Rejang juga berlaku
kepada seluruh suku bangsa yang ada di sini.1
Oleh karena itu, dalam laporan ini akan dilihat bagaimanakah perkembangan hukum
adat Suku Rejang dan bagaimana mereka menjadikan Kelpeak Ukum Adat Ngen Ca’o Kutei
Jang Kabupaten Rejang Lebong sebagai pedoman dalam kehidupan berma syarakatnya.
Padahal hukum positif atau hukum negara berlaku di setiap daerah dimanapun berada selama
itu menjadi wilayah Indonesia dan tak terkecuali bagi masyarakat di kabupaten ini.
Pentingnya melihat orang Rejang dengan pedoman hukum adat tersebut adalah untuk melihat
bagaimana peran dari jenang kutai sebagai pemimpin adat, kemudian bagaimana masyarakat
menjalankan kehidupan berma syarakatnya berdasarkan pedoman tersebut.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan hukum adat pada masyarakat suku rejang ?


2. Bagaimana Hukum adat dalam system kekerabatannya terkait ketaatan masyarakat
terhadap hukum adatnya ?
3. Perkembangan Hukum Adatnya ?
4. Bagaimana Perkembangan Masyarakat dan Bagaimana Mengikuti Perkembangan ?
5. Bagaimana mereka mengambil memutuskan perkembangan itu yang jauh dari
perkembangan manusianya ?
6. Bagaimana sanksi adatnya ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan hukum adat pada masyarakat suku rejang.

2. Untuk mengetahui hukum adat dalam sistem kekerabatan terkait ketaatan masyarakat
terhadap hukum adatnya.

3. Untuk mengetahui bagaimana mereka mempertahankan hukum adatnya

4. dan untuk mengetahui bagaimana bentuk sanksi yang terdapat pada suku rejang.

1.4 Manfaat Penelitian


1
Silvia Devi, “Orang Rejang dan Hukum Adatnya”,Jurnal Antropologi: isu-isu sosial budaya Vol.18 No.1, 2016, Hal
40
1. Manfaat Teoritis
Penulis dapat mengembangkan karya tulisnya dengan menggunakan ejaan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
2. Manfaat Praktis
Pembaca mendapatkan wawasan yang lebih dan juga informasi diharapkan dapat berfikir
secara kritis mengenai perkembangan hukum adat pada masyarakat suku rejang. Data
penelitian dapat bermanfaat sebagai referensi bagi mahasiswa atau masyarakat terhadap
kajian perkembangan hukum adat di bidang hukum adat.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu Yang Relevan


Penelitian yang disusun oleh Silvia Devi, Universitas Andalas , yang berjudul “ Orang
Rejang dan Hukum Adatnya : Tafsiran atas Kelpeak Ukum Adat Ngen Ca’o Kutei Jang
Kabupaten Rejang Lebong” . Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik
pengumpulan data berupa studi literatur dan wawancara dengan informan serta observasi di
lapangan. Laporan Penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana mereka menjadikan
Kelpeak Ukum Adat Ngen Ca’o Kutei Jang Kabupaten Rejang Lebong sebagai pedoman
dalam kehidupan bermasyarakatnya.

Penelitian yang disusun oleh Herlambang, Universitas Syiah Kuala, yang berjudul
“Membangun Asas Asas Peradilan Adat (Studi pada masyarakat Rejang dan Masyarakat
Melayu Bengkulu”. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan
fenomenologi. Penelitian ini menjelaskan tentang model musyawarah mufakat “Tuei Kutei”
di dalam hukum adat Rejang.

Penelitian yang disusun oleh Sanuri Majana, IAIN Bengkulu, yang berjudul
“Perkawinan Beleket Menurut Adat Rejang Di Rejang Lebong Ditinjau dari Hukum Islam”.
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualittatif dengan metode penelitian kepustakaan.
Laporan peenelitian ini menjelaskan tentang bagaimana perkawinan Beleket menurut adat
Rejang di Rejang Lebong serta tinjauan hukum islam terhadap perkawinan Beleket menurut
adat Rejang di Rejang Lebong.

1.2 Landasan Teori


1. Hukum adat yakni norma yang tumbuh dan berkembang serta dipatuhi oleh
masyarakat adat bertujuan untuk menciptakan kedamaian dalaam arti terciptanya
ketentraman dan ketenangan yang menimbulkan sanksi bagi yang melanggarnya.
(Kadirman, 2009: 2)
2. Hukum adat dipilih oleh masyarakat Rejang dalam menyelesaikan permasalahan
secara musyawarah dan berkahir dengan perdamaian (Iriana dan Metha, 2008:5)
3. Seorang kepala adat dalam menjalankan kekuasaannya dianggap tidak layak atau
bertindaak menyimpang dari adat istiadat yang telah melembaga, maka hilanglah
kepercayaan rakyat kepadanya. Kepala adat tidak dapat memaksakan kehendaknya
terhadap anak buah (rakyat) di luar sistem yang melembaga.( Marsden)
4. Proses penyelesaian sengketa yang terjadi dalam sebuah masyarakat hukum melalui
keputusan fungsionaris adat sebagai sebuah proses pembentukan hukum adat (Ter
Haar)

BAB III

METODE PENELITIAN
A. Metode penelitian
Penelitian ini tersusun dengan kelengkapan ilmiah yang disebut sebagai metode
penelitian yaitu cara kerja penelitian sesuai dengan cabang cabang ilmu yang menjadi
sasarannya atau obyeknya. Cara kerja tersebut merupakan pengetahuan tentang langkah
langkah sistematis dan logis dalam upaya pencarian data yang berkenaan dengan masalah
masalah penelitian guna diolah, dianalisis, diambil kesimpulan.

B. Pendekatan dan jenis peenelitian


Jenis penelitian ini termasuk jenis peneelitian kualitatif dengann berdasarkan pola data
yang muncul berwujud kata kata dan bukan rangkaian angka serta dengan menggunakan
metode penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif sendiri merupakan metode penelitian
yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena fenomena yang ada, yang berlangsung
saat ini atau saat yang lampau. Selain itu, metode deskriptif bertujuan untuk :
1) Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada
2) Menggambarkan secara sistematis dan mendalam fakta atau karakteristik populasi
tertentu atau bidang tertentu secara actual dan cermat.

C. Teknik pengumpulan data


Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu kepustakaan. Teknik kepustakaan
sendiri yaitu mencari atau menggali informasi atau pengetahuan yang berhubungan
dengan penelitian ini melalui sumber sumber ilmiah seperti buku buku dan jurnal jurnal.

D. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
kualitatif secara interaksi yang terdiri dari empat aspek, yaitu Pengumpulan, Reduksi
Data,Penyajian Data, Penarikan Kesimpulan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif mencakup
reduksi data, analisis, dan interpretasi data. Dari hasil analisis data yang kemudian dapat
ditarik kesimpulan.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian

Dengan adanya penelitian yang dilakukan,maka penulis akan membahas mengenai


keberadaan masyarakat hukum adat (suku rejang),hukum adat dalam sistem kekerabatannya
terkait ketaatan masyarakat dalam hukum adatnya,perkembangan hukum adatnya,perkembangan
masyarakat dan bagaimana mengikuti perkembangan,mengambil keputusan, dan saknsi adat.

Keberadaan masyarakat hukum adat (Suku Rejang)

Sebelum Belanda masuk ke Tanah Petulai,peradaban masyarakat sudah lebih maju


dibandingkan masyarakat lain,hal ini dibuktikan karena msyarakat rejang telah memiliki
pemerintahan masyarakatnya sendiri yang terdiri dari 5 orang tuwi kutei merupakan masyarakat
hukum adat asli yang berdiri dan geneologis terdiri dari sekurang-kurangnya 10-15 keluarga atau
rumah, Sedangkan tuwi kutei yang dipilih berdasrkan garis keturunan pendiri petulai (kesatuan
kekeluargaan masyarakat rejang yang asli). Dengan adanya system petulai tersebut menandakan
bahwa masyarakat rejang sudah memiliki hukum adat yang dipatuhi masyarakatnya. Masyarakat
Rejang umumnya tinggal di daerah pedalaman di sekitar lereng-lereng Pegunungan Bukit
Barisan. Sebagian kecil tinggal di dataran rendah dan pesisir pantai. Daerah pemukiman
masyarakat Rejang yang bermukim khususnya di Lebong pada awalnya berada di daerah sekitar
Danau Tes. Masyarakat Rejang pada mulanya hidup dalam kelompok yang kecil dan kemudian
berhimpun dalam kelompok yang lebih besar yang dinamakan kutei.

Pada tanggal 24 Oktober 2014 Akar Foundation melakukan konsultasi Publik dan
mengajukan Draft Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi
Bengkulu Kepada DPRD Kabupaten Lebong yang di terima oleh Ketua DPRD, Ketua Komisi II
dan Ketua Badan Legislasi DPRD Kabupaten Lebong yang disaksikan oleh Sekretaris Daerah,
Kepala Bagian Hukum, Kepala Bagian Pemerintahan, Dinas Kehutanan, BAPEDA Kabupaten
Lebong, Akademisi dan 9 (sembilan) orang Kepala Desa dan 20 (dua puluh) orang Tokoh
Masyarakat Adat Marga Suku IX dan Jurukalang Kabupaten Lebong.

Pada pertemuan ini, Draft Raperda ini disepakati menjadi draft Raperda Inisiatif DPRD
Kabupaten Lebong. Untuk percepatan pengakuan ini tentu disepakati pembagian kerja dan
aktivitas yang segera untuk dilaksanakan sebagai bagian dari rencana percepatan pengakuan,
tidak hanya konsolidasi dengan para pihak, tetapi juga perlu perluasan isue ke publik untuk
mendukung percepatan pengakuan ini. Pada prosesnya Draf Ranperda dan Naskah Akademik
yang merupakan hasil dari riset aksi dan pemetaan potensi tata kelola wilayah adat ini selama
selama 3 tahun. Dan, dari proses kondolidasi yang dilakukan di Sebelas Kutai Model di Kutai
Embong Uram, Embong I, Kota Baru, Kota Baru Santan dan Plabai Marga Suku IX dan Kutai
Talang Donok, Talang Donok I, Bajok, Teluk Diyen, Talang Ratu dan Suka Sari Marga
Jurukalang serta konsolidasi politik baik di tingkat local maupun nasional, draf Ranperda dan
Naskah akademik ini dilakukan 5 (lima) kali konsultasi publik dan 4 (empat) kali terjadi
perubahan.  

Akhirnya, pada Selasa 23/5/2017, DPRD Kabupaten Lebong melaksanakan Rapat


Paripurna pendapat akhir fraksi terhadap enam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
Eksekutif dan Legislatif DPRD. Lima fraksi yang hadir pada Rapat Paripurna ini yaitu Fraksi
Demokrat, Fraksi Nasdem, Fraksi Golkar, Fraksi Hanura dan Fraksi PKB. Dan, Paripurna ini di
hadiri oleh Sekretraris Daerah Kabupaten Lebong, dan unsur SKPD, Muspida, Tripika dan
Masyarakat Hukum Adat yang ada di Kabupaten Lebong dan 16 orang anggota DPRD yang
dimimpin oleh Azman May Dolan, dan dalam Pidatonya menyatakan bahwa Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum adat Rejang di
Kabupaten Lebong disahkan menjadi Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong. Pengakuan ini menjadi titik awal dan
sekaligus titik balik dalam usaha pengembalian hak-hak Masyarakat Hukum Adat Rejang setelah
sekian lama secara struktural dan sistematis diambil alih oleh Negara.2

Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat diperkuat pula dalam Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah bebeberapa kali diubah
terakhir dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 2 ayat (9),
ditentukan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.3

2
Erwin Basrin, “Pengesahan Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA)
Rejang di Kabupaten Lebong”, diakses dari
https://www.kompasiana.com/tiak.bdikar/592b995f799773e35e781773/pengesahan-peraturan-daerah-
pengakuan-dan-perlindungan-masyarakat-hukum-adat-mha-rejang-di-kabupaten-lebong?page=all, pada tanggal
20 September 2019 pukul 21.21
3
Imam Mahdi,Miinuddin. “ MENGAKTUALISASIKAN KEARIFAN LOKAL SUKU REJANG BENGKULU DALAM
PERATURAN DAERAH (PERDA)” Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu, tahun 2019. Hal 4
Suku Rejang juga memiliki suatu pandangan mengenai perkawinan yang diinginkan
(ideal).Perkawinan seperti ini kebanyakan diukur dari kondisi calon pengantin, baik laki maupun
perempuan. Perempuan yang baik untuk menjadi isteri apabila dia memenuhi berbagai
persyaratan, yang pada dasarnya menunjukkan perilaku yang baik dan pandai mengatur rumah
tangga. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain adalah : baik tutur katanya; pandai mengatur
halaman rumah dan bunga-bunga di pekarangan; pandai menyusun/mengatur kayu api
(semulung putung); bagus bumbung airnya (lesat beluak bioa); dan mempunyai sifat pembersih.
Sedangkan, bagi kaum laki-laki, syarat-syarat yang harus dipenuhi menunjukkan bahwa ia
adalah orang yang berilmu-pengetahuan dan berketerampilan. Syarat-syarat bagi laki-laki
tersebut antara lain adalah : banyak ilmu batin dan pandai bersilat; pandai menebas dan
menebang kayu; pandai membuat alat senjata dan alat-alat untuk bekerja.

Asal usul orang Rejang adalah daerah Tonkin Indochina, (India Belakang) yang sekitar
1200 tahun yang lalu melalui Kalimantan mereka pindah ke sumatera, pada waktu itu, mereka
berlayar menuju serawak (Kalimantan Utara) dan sebagian menetap disana hingga sekarang
keturunan mereka masih tetap berbahasa Rejang, dan disana juga ada sebuah sungai yang
bernama sungai Rejang. Dari sana mereka berlayar melalui pulau Bangka dan Belitung, menuju
memudiki sungai Musi kemudian menyimpang ke kanan memudiki sungai rawas hingga ke
daerah yang paling hulu, sebagian ada yang tinggal di sana, terakhir mereka memudiki sungai
rawas dan menuju Gunung Hulu Tapus sehingga menetap disana.4

Hukum adat dalam system kekerabatannya terkait ketaatan masyarakat terhadap hukum
adatnya
Kelompok suku bangsa rejang terbagi menjadi 4 suku dimana disebut sebagau
Petulai,menurut Bahasa rejang,Petulai adalah system kekerabatan berdasarkan Unilateral
(Prinsip keturunan yang diperhitungkan melalui 1 pihak saja) Dengan prinsip keturunan
Patrilinear.

Beleket adalah salah satu system perkawinan dalam Hukum Adat Rejang yang sudah
tidak digunakan lagi,system ini melepaskan haknya atas clan seseorang perempuan dari system
keluarga asal dan masuk kedalam keluarga laki-laki atau suami disamping memang wajib tinggal
sampai meninggal dikeluarga suaminya, sementara sang suami wajib memberikan leket dalam
bentuk uang dan barang kepada keluarga perempuan. Akan tetapi berdasarkan pemufakatan

4
Ferdiana Haryani.”BEGAWAI DALAM PERKAWINAN SUKU REJANG RAWAS DESA MUARA KUIS KECAMATAN ULU
RAWAS KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN”. Jurnal Unila. Hal 02.
bersama mereka dapat bertempat tinggal jauh dari desanya dengan tidak mengurangi asas kawin
jujur (beleket) yaitu anak-anak mereka yang kawin jujur tetap masuk suku ayah.5

Bentuk perkawinannya adalah semendo dan jujur. Sistem perkawinan dalam bentuk
kawn jujur pada awalnya dan kemudiNa dipengaruhi oleh adat Minangkabau yaitu system
perkawinan semendo.

Masyarakat setempat sebelum akan melaksanakan perkawinan terlebih dahulu mengadakan


Beasen bekulo. Beasen bekulo adalah mufakat atau musyawarah dalam menentukan hari dan
tanggal pernikahan. Tidak hanya berunding atau musyawarah tetapibeasen bekulo ini juga
mempertemukan keluarga diantara kedua calon mempelai. Tradisi ini bagi masyarakat
merupakan salah satu yang wajib untuk dlaksanakan. Karena jika tidak melaksanakanya maka
masyarakat setempat akan dikenakan sangsi berupa teguran.
Pelaksanaan beasen bekulo ini bertujuan untuk mempererat hubungan sosial antara keluarga
kedua belah pihak baik perempuan maupun laki-laki. Aktivitas berkumpul dalam beasen bekulo
hanya dilakukan pada saat calon mempelai laki-laki akan melamar calon mempelai perempuan,
karena beasen bekulo ini merupakan serangkaian acara yang dibuat oleh mempelai laki-laki
untuk mempelai perempuan yang akan dilamarnya. Waktu pelaksanaannnya pada malam hari
sekitar pukul 20.00-22.00 WIB.

Tahapan-tahapan perkawinan suku Rejang Rawas terdiri dari tiga yaitu Begawai sebelum Akad
Nikah, Begawai Ketika Akad Nikah, dan Begawai Setelah Akad Nikah dengan susunan
kegiatannya sebagai berikut :
1. Begawai sebelum Akad Nikah
Kegiatan Begawai terdiri dari beberapa kegiatan yang harus dilakukan untuk
mempertahankan adat perkawinan bagi Suku Rejang Rawas khususnya di Desa Muara
Kuis Kecamatan Ulu Rawas Kabupaten Musi Rawas yang meliputi
Prasanan/Peminangan /lamaran yaitu keluarga laki-laki dan keluarga perempuan
berkumpul di kediaman keluarga perempuan, yang juga dihadiri oleh kepala desa dan
ketua adat, untuk menanyakan keseriusan kedua pasangan serta menentukan hari dan
tanggal pernikahan (wawancara dengan Bapak Ma‟as tanggal 8 Februari.
2. Begawai Ketika Akad Nikah
5
Sanuri Majana.”Perkawinan Beleket Menurut Adat Rejang Di Rejang Lebong Ditinjau dari Hukum Islam”. Jurnal
Qiyas. Hal. 98-99
Meminta izin dilakukan dengan cara berdo‟a meminta izin kepada arwah poyang, nenek,
bapak, ibu, orang-orang yang telah mendahului (wawancara dengan Bapak Abun Jani
tanggal 7 Februari 2013).
3. Begawai setelah Akad Nikah
Setelah gawai berakhir maka keluarga yang mempunyai gawai wajib mengembalikan alat-
alat yang dipinjam, pengantin mandi-mandian, do‟a syukuran yang bertujuan mengucapkan
terima kasih kepada Tuhan YME karena acara berjalan dengan lancar, kemudian menyiram
kuburan serta berkunjung kerumah sanak saudara mengucapkan terima kasih atas
partisipsinya dalam gawai.6

Kegiatan Begawai terdiri dari beberapa kegiatan yang harus dilakukan untuk mempertahankan adat
perkawinan bagi Suku Rejang Rawas khususnya di Desa Muara Kuis Kecamatan Ulu Rawas
Kabupaten Musi Rawas yang meliputi Prasanan/Peminangan /lamaran yaitu keluarga laki-laki dan
keluarga perempuan berkumpul di kediaman keluarga perempuan, yang juga dihadiri oleh kepala
desa dan ketua adat, untuk menanyakan keseriusan kedua pasangan serta menentukan hari dan
tanggal pernikahan (wawancara dengan Bapak Ma‟as tanggal 8 Februari 2013). Tujuan dari
peminangan ini ialah memberi tanda ikatan, sebagai bukti ucapan

pelaksanaan beasen bekulo dalam adat perkawinan pada Suku Rejang melalui tahapan-
tahapan terlebih dahulu.

1. Meletak uang, meletak uang maksudnya memberi tanda ikatan kepada calon mempelai
perempuan yang akan dilamar. Tujuannya pertama sebagai bukti bahwa ucapan kedua belah
pihak mengandung keseriusan dan kesepakatan untuk mewujudkan ikatan perkawinan diantara

laki-laki dan perempuan. Kedua, bersifat pemagaran bahwa laki-laki dan perempuan telah
terikat, sehingga tidak ada orang lain yang mengganggunya. Ketika akan melaksanakan meletak
uang pihak laki-laki akan meninggalkan tanda berupa uang, barang-barang dan emas melalui
pelantara yang diberikan kepada calon mempelai perempuan yang akan dilamar. Uang yang
diberikan pada saat meletak uang adalah sesuai dengan permintaan calon mempelai perempuan.
Biasanya semakin tinggi status sosialnya maka semakin tinggi pula uang hantaran yang akan
diberikan.
2. Pelamaran, dalam pelaksanaan pelamaran ini ada tiga tahap yang harus diperhatikan

6
Ferdiana Haryani.”BEGAWAI DALAM PERKAWINAN SUKU REJANG RAWAS DESA MUARA KUIS KECAMATAN ULU
RAWAS KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN”. Jurnal Unila. Hal 02.
a. Semuluak asen tujuannya menyelidiki keadaan calon menantu dan menilai dari dekat budi
bahasa serta kecakapan atau kerajinan si perempuan. Jika ada kesesuaian dari pihak keluarga
perempuan maka akan dilanjutkan, tapi jika tidak ada kesesuaian maka pihakperempuan akan
mengembalikan uang tanda pada saat meletak uang.
b. Temotoa asen artinya menyusul hasil mufakat pada saat semeluak asen. Tujuannya
mengambil keputusan mufakat antara keluarga tentang jumlah uang hantaran lengkap dengan
barang-barang seperti uang dan emas, duduk letak perasanan kedua mempelai sesudah kawin
menurut
adat. Tempat pelaksanaan temetoa asen selalu ditempat pihak perempuan sebab yang menetoa
(menyusul) itu adalah pihak laki-laki. Upacara selalu diadakan pada malam hari dimulai jam
20.00-22.00 WIB hingga selesai. Pelaksanaan upacara temotoa asen ini adalah ketua basenatau
seorang ketua adat dari masing-masing pihak yang dihadiri oleh keluarga atau famili baik dari
pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Juru basen/ketua adat ini biasanya orang yang
dituakan oleh masing-masing keluarga dan ia pandai bicara dan mengetahui adat serta riwayat
keluarganya.
c. Jemejai Asen. Upacara terakhir dari peminangan adalah upacara jemejai asen, artinya menjadi
atau membulatkan hasil mufakat. Jemejei asen ini merupakan acara setelah semeluak asen dan
temetoa asen sebab ketika jemejei asen semua pembicaraan mengenai uang hantaran dan barang-
barang sesuai degan permintaan si perempuan tadi yang telah disepakati bersama dan telah
disetujui oleh kepala desa dan anggota lainnya.
3. Menentukan hari acara, Setelah pihak laki-laki menyusul pihak perempuan dan
menyampaikan maksud kedatangannya dan berakhir pada hasil mufakat mengenai uang hantaran
dan barang-barang maupun lainnya, maka selanjutnya adalah menentukan hari dan tanggal akad
nikah serta hari kerja, dimana maksud dari hari kerja disini masyarakat sekitar ikut membantu
mempersiapkan apa-apa saja yang diperlukan ketika akan melangsungkan pernikahan.

Serta makna yang terkandung dalam pelaksanaan beasen bekulo adalah:

1. Sebagai pretise atau kebanggaan, bagi keluarga yang mengadakan beasen bekulo ini, karena
semakin tinggi status sosial yang dimiliki seseorang maka acara yang dilaksanakan akan besar
dan meriah maka semakin dipuji dan bangga keluarga yang melaksanakan beasen bekulo ini.
2. Memperkuat hubungan kekeluargaan, dimana dengan adanya pelaksanaan beasen bekulo ini
bisa meningkatkan tali silahturahmi diantara kedua belah pihak baik dari keluarga laki-laki
maupun dari keluarga perempuan. 7
warisan menurut hukum waris adat Rejang menganut sistem individual dan kolektif,
sistem individual yang dimaksud adalah bahwa harta warisan itu akan dibagikan pemiliknya dan
penguasaannya kepada masing-masing ahli waris sebagai bagian yang ia terima dari haknya
sebagai ahli waris. Harta yang dapat dibagikan secara individual adalah semua harta peninggalan
pewaris, kecuali harta pusako yang sifat atau fungsinya tidak terbagi. Terhadap harta pusako itu
tetap dimiliki secara bersama-sama diantara para ahli waris. Harta yang menurut sifatnya tidak
terbagi itu adalah harta pusako yang mempunyai kekuatan magis, seperti keris, tombak, pedang
dan benda pusaka lain. Sedangkan harta pusako yang menurut fungsinya tidak dapat dibagi
adalah rumah asal atau rumah pusaka yang disertai dengan sebidang kebun atau sebidang
sawah.8
Sistem pewarisan pada masyarakat Rejang yang tinggal di Provinsi Bengkulu, etnik Rejang
membedakan hak waris ke dalam dua kategori, yakni: hak sorang dan hak suwarang. Sistem
pewarisan kedua hak-waris tersebut adalah sebagai berikut. Harta waris yang disebut sebagai
hak sorang adalah harta benda seorang laki-laki atau perempuan sebelum ia kawin, baik berupa
hasil jerih payahnya sendiri maupun berupa pemberian atau peninggalan orang tua yang
diturunkan (diberikan) kepadanya. Demikian seterusnya. Harta waris yang disebut sebagai hak
suwarang adalah harta benda yang berasal dari hasil jerih payah suami istri sesudah mereka
kawin. Meskipun harta benda yang dimiliki berasal dari hak sorang, apabila telah kawin hasilnya
menjadi milik bersama atau menjadi hak suwarang. Misalnya, sawah dan atau ladang bawaan
adalah hak sorang, tetapi hasil dari jerih payah mereka menggarapnya adalah hak suwarang.
Apabila terjadi perceraian hidup (soak) dan tanpa dikaruniai anak, maka hak sorang akan
diambil orang masing-masing pihak dan hak suwarang akan dibagi sama rata. Namun, apabila
salah satu meninggal dunia, maka hak sorang dan hak suwarang tersebut akan dikembalikan
kepada keluarganya. Dalam pembagian tersebut berlaku ketentuan adat yaitu, hak sorang
berpulang dan hak suwarang berbagi. Makna dari pepatah ini adalah harta yang menjadi hak
sorang akan dikembalikan pada masing-masing pihak, sedangkan harta yang didapatkan ketika
sudah menikah akan dibagi sama banyak antara suami dan istri. Pepatah di atas memang berlaku
7
Mutia Eriantika,Dr Maihasni M.Si ,Dian Kurnia Anggreta, M.Si3 .” BEASEN BEKULO DALAM ADAT UPACARA
PERKAWINAN PADA SUKU REJANG “. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. Hal : 2-4

8
Edytiawarman.”PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WARISAN MENURUT HUKUM ADAT REJANG DI KABUPATEN
KEPAHIANG”.Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum: Bengkoelen Justice. Vol 1, No 2, Tahun 2011. Hal 45-59
tetapi dalam beberapa hal saja, misalnya bagi suami-istri yang setelah menikah memilih adat
menetap menurut adat semendo rajo-rajo.
Apabila keduanya masih hidup dan kemudian bercerai tetapi telah memiliki anak, maka hak
sorang dan hak suwarang yang diambil tersebut nantinya akan diserahkan kepada anak-anaknya.
Namun apabila perceraian terjadi karena salah seorang meninggal dunia, maka hak sorang jatuh
kepada anak, dan hak suwarang dikuasai oleh yang masih hidup. Harta peninggalan baik yang
berasal dari sorang maupun suwarang lama-kelamaan akan menjadi harta pusaka, dan apabila
kedua orang tua telah meninggal, maka harta pusaka tersebut dibagi ke seluruh ahli warisnya
(anak, orang tua, cucu, saudara kandung, saudara ayah dan ibu dan saudara sepupu).9

Larangan-larangan dalam system perkawinan dalam Hukum Adat Rejang saat ini
banyak dipengaruhi oleh system agama Islam (syarak), selain larangan kawin dengan sesame
warga se petulai, larangan perkawinan parallel cousins dan cross counsins atau perkawinan antar
orang-orang saudara sepupu atau orang-orang yang senenek datau sedatuk pun merupakan
larangan berat, sangsi atas pelanggaran ini sangat berat dengan membayar mas kutai serta
penyembelihan seekor kambing untuk membasuh dusun dari noda atas pelanggaran yang
dilakukan.10

Perkembangan Hukum Adatnya

Suku Rejang memiliki lembaga adat tersendiri yaitu BMA (Badan Musyawarah Adat).
Masyarakat rejang juga sangat menjaga budaya dan adat mereka sehingga bisa dibilang mereka
kurang mengikuti perkembangan dan cenderung menolak apabila perkembangan tersebut
bertentangan dengan argumentasi atau kepercayaan yang mereka anggap benar11.
Sistem kepemimpinan tradisional yang memberi tempat kepada Tuei Kutei, sebagai
orang yang bijaksana dan memahami hukum adat rejang dan tokoh panutan bagi masyarakatnya
untuk mengendalikan kehidupan sosial kemasyarakatan, khususnya menyelesaikan berbagai
pelanggaran norma hukum adat rejang. Pengaruh Tuei Kutei ini menjadi semakin kuat dengan
pola pemukiman tradisional Suku Bangsa Rejang, yang berbentuk Talang, Turan atau Tabeak,
Sadie, Pasar, Marga. Faktor lain yang juga mempengaruhi model musyawarah adat kutei adalah
sistem kepercayaan masyarakat Suku Bangsa Rejang, yang masih mempercayai kekuatan gaib
9
Ahmad Dahsan,” Hukum Waris Islam dalam pelaksanaan dan pandangan Masyarakat Rejang dan Serawai
Bengkulu”, Jurnal Surya Keadilan vol.1 No. 1, hal 34-35
10
Erwin Basrin, “Sistem Hukum Adat Rejang Marga Jurukalang Lebong”, diakses dari
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/tiak.bdikar/sistem-hukum-adat-rejang-marga-
jurukalang-lebong-5500b46ba333111d72511999, pada tanggal 16 September 2019, pukul 08.58
11
Silvia Devi, “Orang Rejang dan Hukum Adatnya”,Jurnal Antropologi: isu-isu sosial budaya Vol.18 No.1, 2016, Hal
46
sebagai pelindung bagi suatu keluarga dan masyarakat, yang harus dihormati, dengan jalan
mencegah dan menyeleaikan pelanggaran yang terjadi di dalam keluarga atau masyarakat12

politik hukum masyarakat adat Rejang dalam bersinergi dengan hukum nasional menjadi
dua periode, yaitu; antara tahun 1999-2004 dan periode 2004-2015. Pada periode setelah
reformasi pada tahun 1999 hingga tahun 2004 model pemilihan kepala desa Rejang yang
dilaksanakan dengan cara musyawarah adat oleh Ketua Kuteui yang merupakan hasil
rekomendasi dari Petulai masih ada di beberapa desa. Akan tetapi beberapa desa berdasarkan
pada aturan undang-undang yang ada melaksanakan pemilihan kepala desa secara langsung yang
pelaksanaannya oleh Panitia pemilihan kepala desa. Kesan demokratis secara hukum posistif
mulai ada, namun kearifan lokal sedikit demi sedikit mulai terkikis.13
Perkembangan Masyarakat dan Bagaimana Mengikuti Perkembangan

Suku Rejang belum memahami media yang berperan untuk dijadikan pedoman yang
tepat untuk meriwayatkan sejarah, seperti kemampuan menggambar, menulis, memahat, maupun
hal-hal lain yang dapat memungkinkan untuk terdeteksi oleh generasi yang akan datang untuk
disejarahkan. Bukti-bukti arkeolog tersebut belum ditemukan keberadaannya hingga zaman
sekarang.

Suku Rejang masih dipengaruhi oleh tradisi yang bersifat fiktif, sehingga hal-hal yang
tidak masuk akal dimasukkan dalam kisah sejarah. Hal ini menjadikan sejarah asal usul Rejang
menjadi kisah fiktif yang validitas dan reliabilitasnya jauh dari patokan untuk meriwayatkan
sejarah.14

Bengkulu memiliki lima tari tradisional daerah diantaranya Tari Andun, Tari Ganau, Tari
Persembahan, Tari Lalan Belekdan salah satunya yang berasal dari Suku Rejang yaitu Tari
Kejei. Tari Kejei merupakan tarian sakral yang diyakini masyarakat yang mengandung nilai dan
makna tersendiri bagi masyarakat Rejang. Kejei pertama kali dilaksanakan adalah Kejei
pernikahan Putri Senggang dan Biku Bermano. Tari Kejei dipercaya sudah ada sebelum
kedatangan para Biku dari Majapahit. Sejak para Biku datang, alat musiknya diganti dengan alat
dari logam, seperti yang digunakan sampai saat ini. Tari Kejei ditarikan oleh Anak Sangei atau
yang disebut muda-mudi masyarakat Rejang. Kekhasan tari ini adalah alat-alat musik
12
Herlambang, “Membangun asas-asas peradilan adat (studi pada masyarakat Rejang dan Masyarakat melayu
Bengkulu)”, kanun Jurnal ilmu hukum No.56, Th.,XIV (April,2012), PP 85- 117
13
Teguh Kayen. “HUKUM ADAT DI HADAPAN POLITIK HUKUM NERGARA: STUDI SOSIOLOGIS
HUKUM MASYARAKAT ADAT REJANG”. Jurnal Jurisprudence, Vol. 5 No. 2 September 2015. Hal 76
14
Gennes Arlin Mela C. Apindis. “Makna Simbolik Tari Kejei Suku Rejang”. Jurnal Sosiologi Nusantara. Vol 04. No2.
Tahun 2018. Hal 65
pengiringnya terbuat dari bambu, seperti kulintang, seruling dan gong. Namun sekarang alat
musik tersebut terbuat dari kuningan.15

Suku Rejang tidak terlalu mempedulikan masa lampau, tetapi menerima sejarah masa lalu yang
diriwayatkan oleh para sejarawan dan cendikiawan asing yang berstatus penjajah. Hal ini juga
dihubungkan dengan beberapa oknum suku Rejang yang terlalu percaya diri berpendapat
menurut kemauannya sendiri, padahal kemampuan berbahasa Rejang dengan berbagai dialek
Rejang yang ada tidak dikuasainya. Suku Rejang yang berpartisipasi dalam proyek tersebut juga
bukan berstatus orang Rejang asli, apalagi menjalani kehidupan di komunitas suku Rejang yang
masih asli.

Suku Rejang dengan sumber daya alam yang paling dieksploitasi oleh penjajah menjadi
daerah yang dijadikan asal usul suku Rejang. Ini disebabkan oleh rekayasa dari para penjajah
yang memang memiliki kemampuan membaca dan menulis, sedangkan suku Rejang sangat
dibodohkan. Sifat dari penjajah yang seperti ini sudah diketahui oleh para sejarawan Indonesia,
yakni penjajah menjauhkan bangsa Indonesia untuk mengetahui ilmu pengetahuan modern.
Pengetahuan modern seperti kemampuan ilmu bahasa, ilmu hitung, ilmu filsafat, maupun ilmu-
ilmu modern yang lainnya belum didapatkan oleh suku Rejang yang merupakan suku bangsa di
Indonesia. Ini terbukti dengan aksara kaganga yang konon merupakan tulisan asli suku Rejang,
tetapi pada kenyataan tidak mampu dipahami suku Rejang masa silam hingga masa sekarang.
Hal ini juga menumbuhkan keraguan bahwa aksara tersebut adalah asli tulisan suku Rejang yang
memang prakarsa suku Rejang itu sendiri.

Suku Rejang terlalu suka meniru secara tidak kreatif, ini terbukti dengan alat musik
tradisional, tari tradisional, rumah adat, adat upacara pernikahan, dan bahkan pakaian adat yang
ada semuanya imitasi dari suku bangsa terdekat dan pendatang yang ada di tanah Rejang.
Fenomena ini secara kasat mata dapat langsung ditebak oleh setiap pengamatnya, meskipun
pengamat tersebut adalah seorang amatir.16

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan terhadap bahasa Rejang, Serawai dan
Pasemah maka dapat disimpulkan
1. Berpisahnya bahasa Serawai dan bahasa Rejang terjadi antara 1327 - 1138 tahun yang lalu,
yaitu sekitar tahun 690 M sampai tahun 879 M (di hitung dari tahun 2017).
15
Gennes Arlin Mela C. Apindis. “Makna Simbolik Tari Kejei Suku Rejang”. Jurnal Sosiologi Nusantara. Vol 04. No2.
Tahun 2018. Hal 66
16
Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Rejang Lebong, “Sejarah Rejang Lebong”, diakses dari
http://www.rejanglebongkab.go.id/sejarah-rejang-lebong/, pada tanggal 16 September 2019, pukul 07.10
2. Berpisahnya Bahasa Serawai dan Bahasa Pasemah terjadi antara 455 - 347 tahun yang lalu,
yaitu sekitar tahun 1562 M sampai tahun 1670 M (di hitung dari tahun 2017).

3. Berpisahnya Bahasa Rejang dan Bahasa Pasemah terjadi antara 1402 – 1188 tahun yang lalu,
yaitu sekitar tahun 615 M sampai tahun 829 M (di hitung dari tahun 2017).
Jika dilihat waktu pisah antara ke-3 bahasa tersebut dimana waktu pisah:
Serawai-Rejang : antara 1327 – 1138 tahun yang lalu
Serawai-Pasemah : antara 455 - 347 tahun yang lalu
Rejang-Pasemah : antara 1402 – 1188 tahun yang lalu
maka dapat kita simpulkan bahwa ketiga bahasa tersebut masih dalam satu bahasa karena waktu
pisah masih berkisar antara 0-5 abad. Namun jika kita lihat persentase kata kerabat dapat kita
ketahui:
Serawai-Rejang : 58%
Serawai-Pasemah : 84%
Rejang-Pasemah : 57%
Maka dapat kita simpulkan bahawa bahasa Serawai-Rejang dan Rejang- Pasemah merupakan
satu bahasa (language), sedangkan bahasa Serawai-Pasemah merupakan Keluarga (family)
karena persentase kata kerabat 84%.17
Mengambil Keputusan

Orang Rejang pada umumnya sangat mematuhi segala hasil keputusan yang dibuat oleh Jenang
Kutei,keputusan yang tersebut dihasilkan dengan pemikiran dan hati nurani yang terdalam
karena harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti dengan pedoman
“Betimbang Samo Beneak”

Pihak yang memiliki peran dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi ditengah
masyarakat yang merupakan perpanjangan tangan dari BMA adalah Jenang Kutei atau yang bisa
disebut hakim desa. Dasar hukum ketentuan ini adalah Surat Keputusan Bupati Rejang Lebong
Nomor 58 Tahun 2005 yang berisi tentang pelaksanaan hukum adat rejang dan Surat Keputusan
Bupati Rejag Lebong Nomor 93 Tahun 2005 tanggal 17 Maret 2005 yang ditindaklanjuti oleh
BMA Kabupaten Rejang dengan menegluarkan Surat Nomor 26a/BMA/III?2005 tanggal 23
Maret 2005.

17
Nafri Yanti. “HUBUNGAN KEKERABATAN BAHASA REJANG, SERAWAI, DAN PASEMAH DENGAN MENGGUNAKAN
TEKNIK LEKSIKOSTATISTIK”. Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. Vol 3, No 2, Tahun 2017, halaman 71
Namun begitu tedapat suatu ungkapan bagi masyarakat Rejang bahwa apapun
permasalahn yang terjadi ditengah masyarakat dapat diselesaikan dengan berdasarkan pada adat
tigo persilo, yakni :

1. Adat Temenggung, yakni peraturan adat yang memberikan denda besar kecilnya kesalahan atau
pelanggaran yang dilakukan seseorang.
2. Adat Singo Rajo, yakni peraturan adat yang menyatakan bahwa dalam menyelesaikan suatu
persoalan selalu bersifat obyektif tanpa memandang latar belakang atau status si pelanggar
hukum.
3. Adat Iman Mergageak Tiung Mergalo, artinya orang yang tidak mau disalahkan. Hitam
dikatakan putih,putih dikatakan hitam, akhirnya Tanjung Genting tambun tulang, air keruh
berkubang basah.18

Pada masa periode pertama (1999-2004) dan sebelumnya, hukum adat Rejang dalam
menyelesaikan sengketa masih sangat dijunjung tinggi, meskipun hegemoni hukum nasional
sedikit demi sedikit masuk dalam ranah politik hukum adat. Hukum Adat Rejang merupakan
dasar hukum dan tata tertib kehidupan, ia mengatur bukan saja hubungan perorangan dengan
keluarga, tetapi juga mengatur hubungan masyarakat dengan masyarakat hukum adatnya.
Hukum adat Rejang sangat berkarakter dan kuat menerkam benak masyarakatnya. Di
dalam hukum adat Rejang terkandung nilai-nilai kekeluargaan, kegotong-royongan,
musyawarah, mufakat dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul
dalam masyarakat.
Kedudukan hakim dalam majelis musyawarah adat ditentukan dengan penuh ketelitian
dan kehati-hatian, karena menyangkut hubungan dengan seseorang yang sedang dalam sengketa
yang hasil keputusannya harus benar-benar sesuai dengan moral dan etika adat. Terlihat di dalam
praktek hukum, supremasi hukum merupakan suatu yang sangat sakral di mata masyarakat
Rejang.19
Sanksi Adat

Bagi orang Rejang yang terkait permasalahan maka akan menerima segala keputusan
jenang kutei seperti yang terdapat dalam pedoman bahwa Tiep-tiep tun menyereak makeu
kesaleak, wajib ite temimo artinya apapun kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang

18
Silvia Devi, “Orang Rejang dan Hukum Adatnya”,Jurnal Antropologi: isu-isu sosial budaya Vol.18 No.1, 2016, Hal
46
19
Teguh Kayen. “HUKUM ADAT DI HADAPAN POLITIK HUKUM NERGARA: STUDI SOSIOLOGIS
HUKUM MASYARAKAT ADAT REJANG”. Jurnal Jurisprudence, Vol. 5 No. 2 September 2015. Hal 76
kemudian dia telah memohon maaf dan melakukan dendanya, maka sudah seharusnya dimaaf
kan secara ikhlas. Janganlah memberatkan beban mereka yang telah berbuat salah tersebut. Oleh
karena hal ini sangat dimengerti oleh masyarakat, maka mereka menerima dengan ikhlas segala
keputusan tersebut.

Sanksi bagi pelaku zina adalah pemberian hukum denda,sementara pelaku hamil diluar
nikah mendapat sanksi cuci kampung. Terdapat jenis-jenis denda dalam hukum adat Rejang
yang dikenal dengan sebutan bangun, yakni (1) bangun sesalan, (2) bangun penuh, (3) bangun
mayo. Tidak hanya itu saja,

Tata cara pemberian sanksi ini melalui Pengaduan masyarakat kepada BMA/RT dan
setelah terbukti.maka palah pelanggar akan dipanggil dan disidang dikantor lurah dengan
dihadiri kepala desa,ketua BMA dan Jenang Kutei dan kemudian baru dikenakan sanksi sesuai
pelanggaran yang dilakukan.20

BAB V
KESIMPULAN

5.1 SIMPULAN
Dari laporan diatas dapat disimpulkan bahwa suku Rejang merupakan suku yang tertua
di Sumatera yang masih memiliki adat istiadat yang kuat. Suku Rejang mempunyai pedoman

20
Kelpeak Ukum Adat Ngen ca’o Kutei Jang Kabupaten Rejang Lebong yang menyangkut
berbagai adat istiadat yang berlaku di masyarakat Rejang. Adanya peran dari Jenaang Kutei
sebagai hakim desa yang menangani segala persoalan yang terjadi jika terdapat pelanggaran adat
yang dilakukan oleh masyarakat Rejang. Orang Rejang di tanah Rejang umunya sangat
mematuhi segala hasil keputusan yang dibuat oleh Jenang Kutei. Hal ini dikarenakan keputusan
tersebut benar benar dihasilkan dengan pemikiran dan hati nurani yang terdalam karena harus
bisa dipertanggungjawaabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu suku Rejang sangat
sulit untuk menerima argument argument di luar kelaziman mereka. Hal ini mereka gunakan
untuk mebuktikan bahwa mereka masih memiliki keyakinan dan ketaataan terhadap adat
isitiadatnya yang telah ada sejak dahulu kala.

DAFTAR PUSTAKA

Basrin Erwin. 2012-2017.Pengesahan Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat


Hukum Adat (MHA) Rejang di Kabupaten Lebong.
https://www.kompasiana.com/tiak.bdikar/592b995f799773e35e781773/pengesahan-peraturan-
daerah-pengakuan-dan-perlindungan-masyarakat-hukum-adat-mha-rejang-di-kabupaten-lebong?
page=all
Erwin Basrin.2012. Sistem Hukum Adat Rejang Marga Jurukalang Lebong.
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/tiak.bdikar/sistem-hukum-adat-
rejang-marga-jurukalang-lebong-5500b46ba333111d72511999
Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Rejang Lebong.Sejarah Rejang Lebong.
http://www.rejanglebongkab.go.id/sejarah-rejang-lebong/
Jurnal
Silvia Devi.2016.Orang Rejang dan Hukum Adatnya.Jurnal Antropologi: isu-isu sosial budaya.18(1):40
Herlambang.2014.Membangun asas-asas peradilan adat (studi pada masyarakat Rejang dan
Masyarakat melayu Bengkulu). kanun Jurnal ilmu hukum. 14(56): 85- 117
Mahdi Imam,Miinuddin. “ MENGAKTUALISASIKAN KEARIFAN LOKAL SUKU REJANG BENGKULU DALAM
PERATURAN DAERAH (PERDA)” Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu, tahun 2019. Halaman 4
Haryani Ferdiana.”BEGAWAI DALAM PERKAWINAN SUKU REJANG RAWAS DESA MUARA KUIS KECAMATAN
ULU RAWAS KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN”. Jurnal Unila. Hal 02.
Sanuri Majana.”Perkawinan Beleket Menurut Adat Rejang Di Rejang Lebong Ditinjau dari Hukum Islam”. Jurnal
Qiyas. Hal. 98-99
Edytiawarman.”PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WARISAN MENURUT HUKUM ADAT REJANG DI
KABUPATEN KEPAHIANG”.Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum: Bengkoelen Justice. Vol 1, No 2, Tahun 2011. Hal
45-59
Mutia Eriantika,Dr Maihasni M.Si ,Dian Kurnia Anggreta, M.Si3 .” BEASEN BEKULO DALAM ADAT UPACARA
PERKAWINAN PADA SUKU REJANG “. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. Hal : 2-4
Ahmad Dahsan,” Hukum Waris Islam dalam pelaksanaan dan pandangan Masyarakat Rejang dan
Serawai Bengkulu”, Jurnal Surya Keadilan vol.1 No. 1, hal 34-35
Teguh Kayen. “HUKUM ADAT DI HADAPAN POLITIK HUKUM NERGARA: STUDI SOSIOLOGIS
HUKUM MASYARAKAT ADAT REJANG”. Jurnal Jurisprudence, Vol. 5 No. 2 September 2015. Hal 76
Arlin Gennes “Makna Simbolik Tari Kejei Suku Rejang”. Jurnal Sosiologi Nusantara. Vol 04. No2. Tahun 2018.
Hal 65-66
Yanti Nafri. “HUBUNGAN KEKERABATAN BAHASA REJANG, SERAWAI, DAN PASEMAH DENGAN
MENGGUNAKAN TEKNIK LEKSIKOSTATISTIK”. Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. Vol 3, No 2,
Tahun 2017, halaman 71

Anda mungkin juga menyukai