Alamat Korespondensi:
Nur Intan, SH
Tamalate 1 Tidung 4 Setapak 2 no. 87
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Makassar, 90125
HP: 081341964870
Email: nur.intan07@rocketmail.com
Abstrak
Sistem pelapisan sosial dalam ketentuan adat pernikahan pada masyarakat Muna secara laten dapat menimbulkan
konflik antar lapisan sosial yang memerlukan penyelesaian . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) mengapa
terjadi konflik dalam proses perkawinan, (2) bagaimana penyelesaian konflik dalam proses perkawinan berdasarkan
hukum adat Muna. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Muna, yaitu di Kecamatan Lawa dan Wadaga. Tipe
penelitian yang digunakan, yaitu penelitian hukum empiris. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling. Data diperoleh melalui wawancara dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan
dipaparkan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya konflik dalam proses perkawinan pada masyarakat Muna yaitu minimnya pengetahuan dan pemahaman
tentang filosofi hukum adat, profesionalisme pemuka adat, dan pola pikir individu karena efek globalisasi.
Penyelesaian konflik dalam proses perkawinan diupayakan untuk diselesaikan oleh orang tua atau kerabat dari
kedua belah pihak. Namun apabila orang tua dan kerabat tidak mampu mencarikan jalan keluarnya, maka diperlukan
keterlibatan pemuka adat yang bertindak sebagai mediator dengan pertimbangan bahwa mereka adalah orang yang
mengetahui secara mendalam mengenai filosofi hukum adat Muna, memiliki wibawa, kharisma, dihormati, disegani,
dan dipatuhi perkataannya.
Kata Kunci: konflik perkawinan, penyelesaian konflik
Abtsract
Social stratification in the wedding ceremony at Muna society moved make a conflict to obligate a dispute
resolution. The research aims to find out (1) why the conflict happens in marriage process in Muna society, (2) how
to settle the conflict in marriage process based on Muna Customary Law. The research took place in Muna regency.
The research classification is jurisdical sociological. The research took place in Lawa and Wadaga subdistricts,
Muna regency. Sample was taken purposively. Data was collected by doing interview and document research. The
data obtained by the research was identified by certain groups, then analyzed qualitatively and presented
descriptively. The output of the research shows that there are several factors which cause the conflict happens in
marriage process of Muna society which are lack of knowledge and comprehension of customary law philosophy,
professionalism of custom leader, and individual paradigm caused by globalization effect. Dispute settlement in
marriage process sought to be settled by parents or relatives of the parties. However if parents and relatives could
not seek the way out of the conflict, then custom leader involvement is required who acts as mediator with
consideration that they are who know well about Muna customary law philosophy, having prestige, charisma,
respected, and their words are obeyed.
Keywords: conflict in marriage, dispute resolution
PENDAHULUAN
Undang-undang dasar 1945 hasil amandemen kedua dalam Pasal 18 B ayat (2)
menentukan bahwa : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undangundang, dan Pasal 28I ayat (3) : identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban . Selanjutnya Pasal 32 (1) Undang-undang
Dasar 1945 hasil amandemen keempat menentukan bahwa : Negara memajukan kebudayaan
nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Berdasarkan ketentuan ini dapat
dipahami bahwa Indonesia memiliki identitas kekayaan budaya yang sangat beraneka ragam dan
menyebar diwilayah nusantara yang dimiliki berbagai suku. Kemudian Pasal 28B ayat (1)
menentukan bahwa : setiap orang berhak membentuk dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28b ayat (1) tersebut maka manusia akan dapat berkembang
dengan baik dan beradab dengan adanya proses yang disebut perkawinan, karena dengan melalui
perkawinan menyebabkan adanya atau lahirnya keturunan yang baik dan sah, dan keturunan
yang baik dan sah kemudian akan dapat menimbulkan terciptanya suatu keluarga yang baik dan
sah pula dan kemudian akhirnya berkembang menjadi kerabat dan masyarakat yang baik dan sah
pula. Dengan demikian maka perkawinan merupakan unsur tali temali yang meneruskan
kehidupan manusia dan masyarakat yang baik secara sah.
Dikarenakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adat yang menyangkut tujuan perkawinan
tersebut serta menyangkut kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan dalam masyarakat, maka
proses pelaksanaan perkawinan harus diatur dengan tata tertib adat agar terhindar dari penyimpangan dan
pelanggaran yang memalukan yang akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan keluarga, dan
kerabat yang bersangkutan (Setyadi, 2008).
Perkawinan adat pada masyarakat Muna diatur menurut hukum adat yang didasarkan pada
stratifikasi sosial. Penggolongan masyarakat di atas berpengaruh dalam sistim perkawinan pada
masyarakat Muna baik dari bentuk ataupun nilai adat perkawinan pada perkawinan antar golongan
berbeda, sesuai dengan stratanya menurut ketetapan adat Sarano Wuna/Dewan Syarat Muna
(Neulamaghoono sara) pada jaman pemerintahan kerajaan Muna dahulu.
disajikan
secara
deskriptif,
yaitu
dengan
menguraikan,
menjelaskan,
dan
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat konflik dalam proses perkawinan antar
golongan. Terdapat 2 (dua) proses perkawinan yang berkonflik karena adanya ketidaksesuaian
pendapat mengenai kuantitas pokok adat di kecamatan Wadaga, sedangkan terdapat 4(empat)
proses perkawinan yang berkonflik di Kecamatan Lawa dengan rincian 3 (tiga) proses
perkawinan yang berkonflik karena adanya ketidaksesuaian mengenai kuantitas pokok adat dan 1
(satu) yang berkonflik karena adanya salahsatu pihak yaitu pihak perempuan yang melanggar
perjanjian kawin. Dari seluruh kasus yaitu 6 (kasus) seluruhnya atau 100 % dapat dimediasi oleh
pemuka adat, hanya ada 1 (satu) atau 1,66 % yang berakhir denagn perceraian.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
konflik dalam proses perkawinan pada masyarakat Muna yaitu : (1) Minimnya pengetahuan dan
pemahaman tentang filosofi hukum adat, hal ini terjadi karena adanya beberapa pemuka adat dan
masyarakat umum yang tidak memahami nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam hukum adat
khususnya mengenai sistem pelapisan sosial pada masyarakat Muna yang hanya melihat dari segi
tingkatannya tanpa melihat dari segi fungsi dan perannya. (2) Profesionalisme pemuka adat,
Secara umum para pemuka adat dikecamatan Lawa dan Wadaga cukup profesional hanya saja
ada beberapa pemuka adat yang yang melakukan kaberpihakan yang berlebihan terhadap pihak
yang diwakilinya dalam penentuan besarnya bhoka dalam pembayaran adhati bhalano (pokok
adat) dan adanya pengaburan terhadap stratifikasi dalam masyarakat Muna.Pemuka adat di
Muna adalah orang yang mempeoleh pengaruh, prestise dan peranannya berdasarkan nilai dan
norma-norma adat Muna.
Cara utama untuk menjadi pemuka adat adalah kelahiran dan perkawinan. Jadi untuk
menjadi seorang pemuka adat yang terpenting adalah seseorang tersebut secara geneologis
memiliki hubungan darah atau merupakan keturunan dari Raja atau yang memiliki kekuasaan di
masa pemerintahan kerajaan Muna dahulu, sehingga menempati kedudukan-kedudukan sosial
yang lebih tinggi. Agar dapat digolongkan profesionalisme dalam suatu pekerjaan atau jabatan
tertentu maka harus mempunyai kriteria umum atau persyaratan yang harus ada pada diri
seseorang antara lain Abdul Manan (Anakletus, 2011). (3). Pola pikir individu karena efek
globalisasi.Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berperan dalam membentuk paradigma
dan pola pikir individu dalam mengkritisi nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam
masyarakatnya. (Suriyaman, 2009) menyatakan biasanya proses kebangkitan individu diawali
dengan adanya tingkat pemahaman seseorang atas hak-haknya sebagai individu, yang memiliki
ruang publik dan ruang privat. Ruang publik diartikan sebagai tempat terjadinya proses
penginternalisasian nilai-nilai masyarakat terhadap seorang individu, dan dalam ruang ini
individu dapat mengkritisi nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakatnya.
Stratifakasi sosial atau penggolongan masyarakat pada masyarakat Muna secara umum
dapat dibedakan atas : (1) Golongan yang berbakat dalam hal pembangunan, pemerintahan dan
ilmu, golongan ini selanjutnya dinamakan Kaomu. (2) Golongan yang berbakat dibidang hukum,
agama dan kemasyarakatan dinamakan golongan Walaka. (3) Golongan yang berbakat dibidang
pertanian, peternakan dan perburuan dinamakan Anangkolaki. (Batoa, 1991). Sejak pertemuan
yang diadakan di Istana Raja Muna tahun 1538 antara raja Muna La Posasu dengan Syekh Akbar
maulana Sayd Abdul Wahid, dengan Sultan Buton Laki Laponto yang bermusyafir pada kerajaan
Muna, maka Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan Muna (Ongga, 1999). Masuknya
Islam membawa pengaruh terhadap pelaksanaan pernikahan di Muna.
Pada zaman dahulu, untuk perkawinan diharapkan untuk mencari pasangannya atau
jodohnya pada kelas golongan yang sama. Sangat dilarang keras jika terjadi perkawinan berbeda
golongan. Apalagi jika persilangan itu terjadi antara laki-laki golongan anangkolaki dan
golongan poino kontu lakono sau akan menikahi perempuan golongan kaomu dan walaka.Baik
golongan kaomu maupun walaka tidak menghendaki jika keturunan mereka akan menikah
dengan keturunan golongan yang lain karena mereka beranggapan bahwa suatu saat golongan
asli dari mereka akan punah jika terjadi perkawinan yang terlalu dibebaskan seperti saat ini. Hal
ini sejalan dengan pandangan Ter Haar (Kuasa, 2011) bahwa perkawinan menurut hukum adat
adalah urusan kerabat, urusan derajat dan urusan pribadi satu sama lain dan hubungannya yang
sangat berbeda-beda. Masyarakat hukum adat memandang bahwa perkawinan untuk meneruskan
keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan.
Penyelesaian konflik melalui mekanisme hukam adat dapat dilakukan melalui
musyawarah yang mengambil bentuk mediasi, negosiasi, fasilitasi dan arbitrase. Para pemuka
adat menjalankan fungsinya sebagai mediator, fasilitator, negosiator, dan arbiter. Dalam
prakriknya para tokoh adat umumnya menggunakan pendekatan ini secara bersama-sama,
terutama dalam penyelesaian privat maupun publik. Penyelesaian yang ditempuh oleh para pihak
yang berkonflik adalah penyelesaian secara kekeluargaan dengan mediasi guna mencari jalan
keluar yang terbaik, untuk itu diperlukan peran pemuka adat yang bertindak sebagai mediator.
Adapun tahap penyelesaian konflik dengan proses mediasi yang ditempuh yaitu : (1)
Pihak yang pertama sekali membantu menyelesaikan konflik ini adalah orang tua atau kerabat
dari kedua belah pihak. Namun apabila orang tua dan kerabat tidak mampu mencarikan jalan
keluarnya, maka diperlukan keterlibatan pemuka adat untuk menyelesaikannya. (2) Para pihak
yang memberikan kepercayaan kepada pemuka adat didasarkan pada kepercayaan bahwa mereka
adalah orang yang mengetahui secara mendalam filosofi hukum adat Muna, memiliki wibawa,
kharisma, dihormati, disegani, dan dipatuhi perkataannya. (3) Pemuka adat yang mendapat
kepercayaan sebagai mediator melakukan pendekatan-pendekatan yang menggunakan bahasa
adat dan bahasa agama dan berusaha mendalami peristiwa dengan sangat hati-hati. Hal ini terkait
dengan perasaan emosional (marah, sedih dan dendam). (4) Pemuka adat berusaha meredam
kemarahan para pihak yang berkonflik dan duduk bersama, menceritakan penyebab konflik dan
mencari kemungkinan jalan keluar yang terbaik. (5) Pemuka adat memberikan saran dan
pertimbangan kedua belah pihak. pemuka adat bertindak sebagai mediator dengan cara memberi
nasihat dan pertimbangan dan menyerahkan kepada perwakilan dari masing-masing pihak untuk
memutuskannya. Tetapi jika tidak berhasil maka akan diputus oleh pemuka adat yang disepakati
oleh kedua belah pihak. (6) Apabila tidak dicapai kata mufakat tentang besarnya pokok adat ini,
maka penyelesaiannya adalah mengganti pembayaran pokok adat tersebut dengan mahar sebuah
Alquran dan seperangkat alat shalat.
Dengan demikian dalam masyarakat Muna jika ada konflik dalam prosesi adat, terutama
adhati bhalano atau pembayaran pokok adat ini, maka selalu kembali kepada agama yang
dipegang teguh. Ada falsafah yang dipegang teguh dalam kehidupan masyarakat Muna yaitu :
hansuru baja sumano konohansuru liwu, nohansuru liwu sumano kono hansuru ajati,
nahansuru
ajati
sumano
konohansuru
agama,
falsafah
tersebut
berarti
hancur-
tersebut tidak dapat betah dan bertahan diri untuk menyatu dan menetap dalam lingkungan
masyarakat itu, oleh karenanya ia akan pindah ke desa atau negeri lain yang jauh dari desa
semula.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ali, (2004). Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan (Volume I), Prenada Media
Grup, Jakarta.
A. Suriyaman Mustari Pide, (2009). Hukum Adat, Dulu, Kini dan Masa Akan Datang, Pelita
Pustaka.
Jakobus Anakletus Rahajaan, (2011). Peranan lembaga adat sebagai lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, Tesis tidak diterbitkan, Makassar: program Magister Ilmu HukumUniversitas Hasanuddin.
J. Couvreur, (2001). Sejarah dan Kebudayaan kerajaan Muna, Artha Wacana Press, Kupang.
La limi batoa, (1991). sejarah Muna, balai Pustaka.
La ode Abdul Rauf, (1999). Peranan Elit dalam proses Modernisasi, Balai pustaka.
La Ode Ongga, (1991). Hakekat dan Rahasia Bathin Rasulullah SAW akan kejadian Negeri
Buton dan Negeri Muna di Sulawesi tenggara.
Syahrizal Abbas, (2011). Mediasi dalam Hukum Syariah,Hukum Adat,dan Hukum Nasional,
Kencana, Jakarta.
Tolib Setiady, (2008). Intisari Hukum Adat di Indonesia (dalam kajian kepustakaan), Alfabeta,
Bandung.
Wa kuasa, (2011). Adat pernikahan : kajian struktur dan fungsi dalam sistem kekerabatan pada
etnik Muna, Tesis tidak diterbitkan, Kendari: program magister kajian budaya-Universitas
Haluoleo.