Anda di halaman 1dari 14

Makalah Sistem Hukum Indonesia

“Hukum yang Berkembang di Masyarakat”


(Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Hukum Indonesia)

Dosen Pembimbing :
Bapak Abdul Rozak, SH., MH

Disusun Oleh:
Marlina Patricia 151200134
Rayi Madhin Sirat 151200139
Reysa Diva Reyhan 151200147
Ajeng Kenya 151200158

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sosial, suatu masyarakat khususnya masyarakat Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari hukum, sebagaimana adagium yang sering kita dengar
yakni ibi ius ibi societas (dimana ada masyarakat disitu terdapat hukum) oleh
karenanya Indonesia menjadi suatu negara yang berdasarkan hukum (rechts staat).
Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal tiga sistem hukum yang menjadi bagian yang
tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya, yakni hukum adat, hukum Islam, dan
hukum barat. Disamping itu Etika dan Norma sejak lama menjadi standar bagi
pergaulan hidup di tengah masyarakat yang beradab. Etika dan norma menjadi aturan
yang menentukan apakah perilaku manusia tertentu patut atau tidak. Berdasarkan hal
itu orang dapat mengetahui apa yang dia dapat harapkan dari orang lain. Untuk suatu
kehidupan bersama aturan demikian mutlak perlu. Perilaku kita sehari-hari
dipengaruhi oleh banyak etika dan normanorma yang tidak tercantum dalam undang-
undang, yang kadang-kadang tidak diakui oleh hukum dan bahkan tidak diungkapkan.
Norma yang mengatur perilaku manusia adalah norma hukum. Norma tersebut hidup
dalam pergaulan dan lama kelamaan menjadi aturan dan hukum yang mengikat
tingkah laku masyarakat pemeluknya dan dibanyak tempat disebut sebagai hukum
adat. Dalam hukum adat tersebut ada hukum yang mengatur masalah harta benda dan
kekeluargaan dan terdapat juga hukum delik adat yang dapat juga disebut sebagai
Hukum pidana adat, atau hukum pelanggaran adat.
Hukum pidana adat dapat diartikan juga sebagai hukum yang hidup (living
law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terusmenerus, dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang
dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu
keseimbangan kosmis masyarakat. Karenanya, Hukum delik adat adalah aturanaturan
hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat
terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan agar
keseimbangan masayarakat tidak terganggu. Karena bagi si pelanggar diberikan reaksi
adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat dengan musyawarah bersama
pemimpin atau pengurus Adat bangsa Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika” ini
tidak mati, melainkan selalu berkembang, senantiasa bergerak serta berdasarkan
keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikuti proses dan perkembangan
peradaban bangsanya.
Ketika dilihat dari kearifan masyarakat Indonesia yang bercorak religios-
magis, secara konkrit terkristalisasi dalam produk hukum masyarakat lokal, yang
dalam ancangan antropologi hukum disebut hukum kebiasaan (customary), hukum
rakyat (folk law), hukum penduduk asli (indigenous law), hukum tidak tertulis
(unwritten law), atau hukum tidak resmi (unofficial law), atau dalam konteks
Indonesia disebut hukum adat (adat law/adatrecht). Ada semacam kesepakatan hukum
yang disepakati oleh masyarakat adat tertentu secara kontinyu, dari generasi ke
generasi, tentang suatu yang dilarang atau suatu yang diperbolehkan. Suatu yang
dilarang inilah apabila dilanggar akan mendapat sanksi untuk mewujudkan keadilan,
baik keadilan bagi si pelanggar, keadilan bagi seseorang yang dilanggar, termasuk
mewujudkan keadilan masyarakat adat seutuhnya. Rasa ingin mewujudkan keadilan
ini yang oleh para pakar hukum pidana adat dikatakan sebagai pemulihan
keseimbangan yang telah terganggu, sehingga kemudian adat dapat menjadi sumber
hukum pidana nasional. Sumber hukum sebenarnya adalah kesadaran masyarakat
tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup kemasyarakatan yang tertib
dan damai. Jadi, sumber hukum tersebut harus mengalirkan aturan-aturan (norma-
norma) hidup yang adil dan sesuai dengan perasaan dan kesadaran hukum (nilai-nilai)
masyarakat, yang dapat menciptakan suasana damai dan teratur karena selalu
memperhatikan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya, pembaharuan hukum
pidana di sini haruslah dilakukan secara menyeluruh dan sistematis dengan
memperhatikan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Jadi, ukuran untuk
mengkriminalisasi suatu perbuatan bergantung pada nilai-nilai dan pandangan kolektif
yang terdapat di masyarakat mengenai apa yang benar, baik, bermanfaat atau
sebaliknya. “Das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke” yang
berati hukum itu tidak dibuat, tetapi berada dan berkembang dengan jiwa bangsa
seperti pendapatnya Von Savigny. Dengan demikian yang diuraikan dalam hukum
adat delik adalah tentang peristiwa dan perbuatan yang merupakan delik adat dan
bagaimana cara menyelesaikan sehingga keseimbangan masyarakat tidak lagi merasa
terganggu. Akan tetapi lahirnya hukum pidana adat dan sanksi-sanksi adat tidak
terlepas dari akibat adanya suatu pelanggaran atau kejahatan yang menurut hukum
pidana adat dipandang sebagai kejahatan dan dapat merusak rasa nyaman, tenteram
dan rasa damai dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga bagi pelaku dan pelanggar
tersebut sesuai dengan sanksi adat merupakan suatu balasan atau pelajaran bagi
sipelaku kejahatan supaya tidak mengulanginya lagi, bahkan menurut hukum pidana
adat tidak hanya berguna bagi sipelaku saja tetapi juga berlaku bagi setiap orang
supaya tidak melakukan kejahatan seperti contoh di Kabupaten Batang Hari (1998 s.d
2007) terjadi atau tercatat kasus/peristiwa pembunuhanyang diselesaikan secara
hukum pidana adat yaitu 5 (lima) kasus (Sumber data Polres Batang Hari dan
Pengadilan Negeri Ma. Bulian ), Dua ( 2 ) kasus diselesaikan secara adat (hukum
adat) penuh tanpa dilanjutkan pada proses hukum menurut system Peradilan Pidana
Indonesia dan Tiga ( 3) kasus diselesaikan secara adat (hukum adat) dengan
dilanjutkan pada proses hukum menurut SPP-Indonesia (Penyidik Polri, Jaksa
Penuntut Umum dan Sidang Pengadilan Negeri). Kenyataan ini merupakan suatu
bukti bahwa di Kabupaten Batang Hari fungsi dan peranan Lembaga Adat masih
sangat besar, sehingga setiap keputusan yang diambil melalui musyawarah mufakat
diakui oleh anggota masyarakat (keluarga pelaku/ terdakwa dan keluarga korban).
Dengan kata lain, proses penyelesaian secara adat (hukum pidana adat) akan
mewujudkan rasa keadilan masyarakat dan dapat mengembalikan keseimbangan
dalam masyarakat yang telah terganggu karena terjadinya kejahatan/ pelanggaran.
Dari latar belakang tersebut kelompok kami ingin membahas lebih lanjut mengenai
kasus pembunuhan yang terjadi di desa ture dan desa lubuk riso kecamatan pemayung
kabupaten batang hari.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas dapat diperoleh bebrapa rumusan masalahnya taitu antara
lain :
1. Bagaimana latarbelakang kasus pembunuhan yang terjadi di desa ture dan lubuk
riso kecamatan pemayung kabupaten batang hari?
2. Bagaimana proses dan pertimbangan hukum mengenai kasus tersebut?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui latarbelakang kasus pembunuhan di desa ture dan desa lubuk
riso kecamatan pemayung kabupaten batang hari
2. Untuk mengetahui proses dan pertimbangan hukum kasus pembunuhan yang
terjadi di desa ture dan desa lubuk riso kecamatan pemayung kabupaten batang
hari
BAB II

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG DAN KASUS PEMBUNUHAN


1. Kasus Pembunuhan di Desa Ture
Tahun 1999, Peristiwa pembunuhan berawal dari tindakan saudara Jaini warga
Lopak Aur Kecamatan Pemayung Kabu-paten Batang Hari (korban), menebang
“Pohon Durian Milik Adat” oleh saudara Jangte Kades Pulau Betung (pelaku dan
kawan-kawan) menegur saudara Jaini (korban), bunyi kalimatnya :

- Pelaku : mengapo nebang duren milik adat (warisan bersama).

- Korban : sayo jugo punyo hak atas pohon duren tersebut (harto warisan bersamo),
siapo yang berani melarang atau menentang, silahkan temui saya di Kantor Polsek
Pemayung (Jembatan Mas ).

Mendengar tantangan tersebut saudara Jangte dan kawan-kawan langsung


menuju Kantor Polsek Pemayung (Jembatan Mas) dengan membawa senjata tajam
menemui saudara Jaini (korban) yang sedang berada di Kantor Polsek Pemayung.
Melihat kedatangan Jangte dan kawan-kawan, datang dengan membawa senjata
tajam, maka saudara Jaini lari kerumah warga disebelah Kantor Polsek. Di rumah
inilah nyawa Jaini dihabisi oleh Jangte dan kawan-kawan (meninggal di tempat keja-
dian), termasuk anak korban bernama Haidir canister Jaini yang berusaha menolong
orang tuanya dari amukan massa tersebut (meninggal dirumah Sakit). Oleh karena
Peristiwa pembunuhan itu dilakukan oleh massa, pihak kepolisian tidak dapat
berbuat banyak (mengamankannya karena personil terbatas).

2. Kasus Pembunuhan di desa Lubuk Riso, Kecamatan Pemayung, Kabupaten


Batanghari
Tahun 2000, peristiwa pembunuhan yang diawali pembunyian petasan, oleh
warga Desa Lubuk Ruso dan di tegur oleh warga Desa Ture. Warga Lubuk Ruso
tidak terima atas teguran tersebut dan memukul warga Desa Ture (sebenarnya bukan
korban), sehingga terjadilah pertengkaran yang semakin memanas (Penjelesan Waka
Polres Batang Hari As.Supt Drs. Azis). Atas kejadian Kamis, 23 Desember 2000
tersebut di atas pada Jumat 24 Desember 2000 antara kedua belah pihak telah
dilakukan penyelesaian melalui perdamaian secara musyawarah-mufakat yang
hasilnya telah diterima oleh kedua belah pihak.

Pada tanggal 27 Desember 2000 sekitar pukul 15.00 WIB (bertepatan lebaran
Idul Fitri) Saudara Agustrianto bin Zikwan, Yahya Nawawi bin Ishak, dan Amin
Hasan datang ke rumah “Kades Lubuk Ruso” Syahroni dengan maksud menje-laskan
bahwa atas kejadian diatas antara kedua belah pihak sudah berdamai dan tidak ada
lagi permasalahan serta meyakinkan bahwa tidak ada penyerangan dari orang Ture
ke Lubuk Ruso.

Berdasarkan informasi bahwa tiga warga Ture ditahan oleh warga Lubuk Ruso
di Rumah Kades Lubuk Ruso ( Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari),
aparat desa Sdr. Manaf (Sekdes Ture) dan Ismail (aparat desa Ture), melakukan
koordinasi dengan aparat desa lainnya (pukul 18.00 WIB tanggal 27-12-2000). Pukul
20.30 WIB dipanggil Camat Pemayung ke Kantornya (27-12-2000) melalui Kades
Pulau Betung dan Ketua Gathering Komunikasi Karang Taruna Kec. Pemayung.
Yang sudah hadir di Kantor Camat Pemayung, antara lain; Camat Pemayung, Ketua
Lembaga Adat Pemayung, Kasat Serse Polres Batang Hari, Kapolpos Pemayung dan
Utusan dari warga Desa Lubuk Ruso.

Pertemuan diatas dimaksudkan agar kedua belah pihak mengadakan


perundingan awal yaitu ; mengamankan dan langkah-langkah menyelamatkan atau
mengeluarkan tiga warga Ture yang berada dirumah Kades Lubuk Ruso, untuk
dibawa ke Kantor Camat Pemayung, selanjutnya diamankan ke Polres Batang Hari
(usaha ini tidak berhasil).

Sekitar pukul 05.00 WIB (tanggal 28 Desember 2000), informasi dari anggota
Kepolisian Polres Batang Hari bahwa satu orang dari warga Ture yang ditahan
dirumah Kades Lubuk Ruso Pulang. Pihak kepolisian tidak bisa masuk ke Desa
Lubuk Ruso karena jalan menuju desa tersebut diblokir masyarakat Desa Lubuk
Ruso.

Kedatangan ketiga warga Desa Ture tersebut diatas ke Desa Lubuk Ruso
(Rumah Kades) menimbulkan kesalah pahaman dan kecurigaan warga Lubuk Ruso.
Kecurigaan tersebut semakin kuat karena tiga warga Desa Ture datang kerumah
Kades Lubuk Ruso dengan membawa senjata tajam (awal konflik).
Warga Desa Lubuk Ruso merasa ter-tantang dan suasana emosional memuncak
dan akhirnya terjadi tawuran yang tidak seimbang (Massa), tiga warga Desa Ture
tidak berdaya 2 orang tewas ditempat (Agustrianto dan Yahya Nawawi) dan 1 orang
Lolos atau selamat (Amin Hasan). Pukul 09.00 WIB dapat informasi bahwa dua
warga Desa Ture (Agustrianto dan Yahya Nawawi) meninggal dunia karena
dibunuh.

Kondisi korban digambarkan dalam surat Zikwan dan Ishak (orang tua korban),
yaitu: Jari tangan keduanya tidak ada lagi, Kuping (telinga) sebelah tidak ada lagi, isi
perut terbuyar dan anggota tubuh sangat memprihatinkan.

B. PROSES DAN PERTIMBANGAN HUKUM


1. Kasus Pembunuhan di Desa Ture
Terhadap kejadian tersebut, atas inisiatif Lembaga Adat (Kabupaten Batang Hari dan
Kecamatan Pemayung), Pemerintah setem-pat dan Tuo Tenganai Kedua belah pihak
(korban dan pelaku) yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan, diadakan
musya-warah adat dan tercapailah individualized structure sepakat bahwa kasus
pembunuhan ini diselesaikan secara adat, demi tetap terpeliharanya kese-imbangan
kerukunan hidup antar keluarga kedua warga desa tersebut (desa Pulau Betung dan
Desa Lopak Aur). Dengan pengenaan pembebanan menurut adat kepada pihak
pelaku (Jangte dan kawan-kawan) berupa :

- Kerbau, beras dan selemak semanisnya (untuk dimasak dan dimakan bersama),

- Uang kurang lebih Rp. 14.000.000,- (empat belas juta rupiah) untuk keluarga
korban.

Semenjak adanya perdamaian tersebut tahun 1999 sampai dengan sekarang


hubungan kekeluargaan antara keluarga korban dengan keluarga pelaku tetap ter-
pelihara dengan baik (rukun dan damai). Kasus ini tidak berlanjut pada expositions
penyelesaian hukum tahap berikutnya sesuai ketentuan KUHP dan KUHAP, hanya
batas penyelesaian secara adat (Hukum Adat).
2. Kasus Pembunuhan di desa Lubuk Riso, Kecamatan Pemayung, Kabupaten
Batanghari
Pada hari Jumat tanggal 29 Desember 2000 atas inisiatif atau prakarsa
Pemerintah Daerah Kabupaten Batang Hari dan Ketua Lembaga Adat Kabupaten
Batang Hari yang dihadiri oleh Kapolres Batang Hari, kasus pembunuhan ini
diusahakan penyele-saiannya secara adat (hukum adat). Dari hasil musyawarah
mufakat antara kedua belah pihak (korban dan pelaku) terdapat kata sepakat untuk
melakukan perdamaian yang isinya antara lain :

1. Pertama : bahwa warga masyarakat Desa Lubuk Ruso sebagai pihak


pelaku/terdakwa yang telah melakukan penga-niayaan sehingga menyebabkan
kematian dua orang warga Desa Ture, yang menurut adat akan dikenakan Denda
“Membangun” sesuai dengan ketentuan musyawarah adat. Setelah dirinci
dengan uang sebesar Rp.48.000.000,- (Empat puluh delapan juta rupiah) yang
seterusnya didalam sejumlah dana tersebut juga termasuk seekor kerbau lengkap
denganselemak semanisnya beserta dua unit sepeda motor yang dirusak massa.
2. Kedua : bahwa warga Desa Ture sudah menerima keputusan tersebut dengan
ikhlas tanpa ada unsur paksaan pihak manapun.
3. Ketiga : bahwa untuk biaya selamatan adat sebesar Rp.8.000.000,- (delapan juta
rupiah) akan diserahkan tanggal 9 Januari 2001 dan biaya kerajat korban sebesar
Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) dengan perincian :
- Kerajat Korban Rp. 25.000.000,-

- Sepeda motor FIZZ Rp. 12.000.000,-

- Sepeda motor Rp. 2.500.000,-

Total : Rp. 40.000.000,-

- Akan dibayarkan paling lambat dua bulan sejak tanggal perdamaian ini
disahkan

4. Keempat : bahwa dengan ketentuan sesuai jangka waktu yang ditentukan


ini kedua belah pihak tidak akan mengadakan hal-hal yang menimbulkan
terjadinya masalah berikut.
5. Kelima : bahwa apabila terjadi hal yang tidak diingini, salah satu desa saling
menyerang maka penyelesaiannya akan ditangani oleh pihak yang berwajib dan
tidak dikaitkan dengan perdamaian ini. Sejak penyelesaian perdamaian secara
adat melalui musyawarah mufakat tanggal 29 Desember 2000 sampai dengan
sekarang hubungan kekeluargaan antara pihak korban dan pihak pelaku
berjalan baik (rukun dan damai). Terhadap kasus pembunuhan ini, expositions
hukum sesuai dengan hukum positif (KUHP and KUHAP) tidak dilanjutkan.
Sumber informasi ini, dikutip dari keterangan yang bersifat tertulis dan
keterangan yang bersifat lisan, yang diperoleh dilapangan (Polres Batang Hari,
Pemda, Ketua Lembaga Adat dan Keluarga korban dan/atau keluarga pelaku).
Pengambilan information atau keterangan ini dilakukan pada tanggal 24
Januari 2008, tanggal 6 dan tanggal 20 Februari 2008.
BAB III

PENUTUPAN

A. KESIMPULAN
Kewajiban melakukan penyelidikan oleh Kepolisian tidak selesai mengingat telah
diselesaikan secara tegas melalu adat, dengan pertimbangan :

1. Pasal 102 ayat (1) uu No. 8 Tahun 1981, mengetahui, menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan

2. Pasal 106 UU No. 8 Tahun 1981, yang menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana
wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.

3. Asas dalam hukum acara pidana menyatakan bahwa setiap perkara pidana harus
diajukan ke depan hakim. Dalam KUHAP, konsideran huruf a adalah negara
hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD-45 yang menjunjung tinggi hak
asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

4. Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara 5,
bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

B. SARAN
Kesimpulan dari kajian hasil Studi kasus ini, kami menyampaikan beberapa saran,
antara lain sebagai berikut :

1. Penting untuk dilihat secara keseluruhan

a. Tujuan dari kasus-kasus pidana pembunuhan dimana pelakunya kebanyakan


orang yang langsung terlibat dengan peristiwa pidana (massa) untuk
dibicarakan dan juga dipertimbangkan dalam perubahan hukum pidana (RUU-
KUHP Nasional) sebagai seperti yang diharapkan. Dari perspektif legitimasi
positif (Perundang-undangan) harus disusun dengan metodologi hukum yang
sesuai (KUHP dan KUHAP) dan pelakunya harus bertanggung jawab secara
sah atas hal tersebut. Padahal, kebenarannya di Kab. Di Batang Hari yang
terjadi kasus pembunuhan berencana diselesaikan secara adat melalui
kerukunan dan kekeluargaan dengan rasa hormat, eksekusi dan penghormatan
oleh keluarga pelaku dan keluarga korban, sehingga hubungan kekeluargaan
sangat terjaga khususnya kerukunan, keamanan, kesepakatan, dan
konkordansi. Karenanya sah-sah saja terdakwa meminta hukumannya kepada
yang berwenang untuk diringankan, karena ketika diselesaikan secara
kerukunan dan kekeluargaan menjadikan sebagai salah satu pertimbangan
yang dapat meringankan hukuman bagi yang berperkara.

2. Sebelum selesainya interaksi hukum dalam penyelesaian tindak pidana unjuk rasa
(kesalahan atau pelanggaran) sebagai kewajiban pelaku, penting dilakukan upaya-
upaya penyelesaian standar sejak dini melalui pertimbangan (keharmonisan standar),
dengan tujuan bahwa hubungan keluarga atau persekutuan antara kelompok pelaku
dan korban tetap dalam kondisi; dilindungi, menyenangkan, tenang, tenang dan
damai. Hal itu dikarenakan peristiwa-peristiwa kriminal ini, agar keseimbangan
kehidupan individu tidak terganggu, rasa balas dendam hilang dan pada penyelesaian
terakhir siklus hukum tetap di Pengadilan Negeri.

3. Dengan adanya KUHAP, setiap perkara pidana, pemeriksaan dan penyelesaiannya


dilakukan sesuai dengan kerangka sistem Peradilan Pidana Nasional, khususnya
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Pedoman ini sesuai dengan standar hukum
yang digambarkan. Dalam kejadian ini fungsi adat (hukum adat) muncul sebagai
intervensi yang mendamaikan dan mempersatukan kembali agar tenteram dan
selanjutnya memberikan hukuman adat pada pribadi, keluarga, puak dan kalbu yang
berselisih atau sengketa (peristiwa pidana) dan dendam diselesaikan (hak darah balik
ke pampas, hak nyawa balik ke bangun). Sejalan dengan itu, dalam pembahasan dan
pemeriksaan gagasan pembaharuan hukum pidana (RUU – KUHP) persoalan
tugas/kemampuan Lembaga Adat dalam penggunaan hukum adat ini perlu
dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam rancangan undang-undang RUU -
KUHP Nasional.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Bushar, Pokok-pokok Hukum

Adat Indonesia, Pradnya Paramita, Tjet- ke 5, 1959

Lembaga Adat Provinsi Jambi, Himpunan

Materi, Pembekalan Adat Istiadat Bagi Para Kepala Desa Dan Lurah Dalam Propinsi Jambi,
Tahun 2003.

Haar Ter, B, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Djakarta - 1960.

Haar Ter, B dan Poesponoto Soobakti, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya
Paramita, Djakarta - 1985.

Hadikusuma Hilman, Hi,SH, Prof, Hukum Pidana Adat, Alumni/ 1998/ Bandung, Hukum
Ketatanegaraan Adat, Alumni Bandung- 1981, Hukum dan Kepribadian Bangsa, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum UNILA - 1986

Djojodigueno, Asas-Asas Hukum Adat, Yayasan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta- 1958

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan


Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Badung, 2001, hal. 1

Anda mungkin juga menyukai