Anda di halaman 1dari 9

HUKUM ADAT

KELOMPOK 5

DISUSUN OLEH :

ANNISA SAFIRA (3017210044)

MARIO CHRISTY ANUGRAH (3017210172)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PANCASILA

2018
KATA PENGANTAR

Adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu
penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh Karena itu, maka tiap
bangsa di dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak
sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan
unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan. Didalam
Negara RI, adat yang dimiliki oleh daerah-daerah suku-suku bangsa adalah berbeda-beda,
meskipun dasar serta sifatnya adalah satu, yaitu keindonesiaan.

Sistem hukum adat bersumber kepada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh berkembang dan dipertahankan degan kesadaran hukum masyarakatnya. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber
pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan
tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak
tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
1. Ciri Hukum Adat
Berikut merupakan ciri umum dari Hukum Adat :
1. Lisan, artinya tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan dan tidak
dikodifikasi
2. Tidak tersusun secara sistematis
3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab atau buku perundang-undangan
4. Tidak teratur
5. Pengambilan keputusan tidak menggunakan pertimbangan.
6. Pasal-pasal aturan nya tidak sistematatis dan tidak mempunyai penjelasan.

2. Sifat Hukum Adat Indonesia


Berikut merupakan sifat yang menjadi ciri dari Hukum Adat :
1. Bercorak Religius - Magis :
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh ke
kuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan
lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada
pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam,
arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek
moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat.
Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun
rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara
relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada
halangan dan selalu berhasil dengan baik.

2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan


Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai
satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri,
manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan
bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.

3. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan
bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas
permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan.
Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil
musyawarah dan lain sebagainya.

4. Bercorak Kontan
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang
bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak,
ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.

5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan
dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda
yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai
tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.

3. Corak Hukum Adat

Adapun Hukum Adat di Indonesia yang normatif pada umumnya menunjukkan


beberapa corak, diantaranya :

1. Tradisional
Hukium Adat itu pada dasarnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun-
temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang keadaannnya
masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.

2. Keagamaan
Hukum Adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis religious), artinya
perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan
terhadap yang ghaib atau berdasarkan pada ajaran Ketuhana Yang Maha Esa.

3. Kebersamaan
Hukum Adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (communal), artinya
lebih mengutamakan kepeningan bersama, dimana kepentingan pribadi itu diliputi
oleh kepentingan bersama. Hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu
dan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong-mrnolong dan
gotomg royong.

4. Konkret dan Visual


Corak Hukum Adat adalah “konkret”, artinya jelas, nyata, berwujud, dan “visual”,
artinya dapat dilihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Jadi, sifat hubungan hukum
yang berlaku dalam hukum adat itu “terang dan tunai”. Tidak samar-samar, terang
disaksikan, diketahui, dilihat, dan didengar orang lain., Nampak terjadi ijab-qabul
(serah terimanya).
4. Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah
tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum barat. Dan untuk dapat
memahami serta sadar akan hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran
yang hidup di dalam masyarakat indonesia
Antara sistem hukum adat dan sistem hukum barat terdapat beberapa perbedaan yang
fundamental, misalnya :
a. Hukum barat mengenal zakelijke rechten yaitu hak-hak atas benda yang berlaku bagi
setiap orang dan persoonlijkerechten yaitu hak seseorang, untuk menuntut orang lain
agar berbuat atau tidak berbuat terhadap hak-haknya. Jadi dalam hukum barat hak
atas suatu benda bersifat mutlak dan dapat dipertahankan kepada siapapun juga. Hal
ini tidak dikenal dalam hukum adat.
b. Hukum barat mengenal perbedaan publiekrecht dan privaatreeht sedangkan dalam
hukum adat tidak mengenal hukum publik dan hukum privat. Jikapun ada maka
batasnya berlainan.
c. Pelanggaran hukum barat dibedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan harus
diperiksa oleh hakim pidana dan pelanggaran perdata yang diperiksa oleh hakim
perdata. Hukum adat tidak mengenal demikian, tiap pelanggaran hukum adat
membutuhkan pembetulan kembali dan hakim (ketua adat) memutuskan upaya/ reaksi
adat untuk mengembalikan keadaan.

5. Lingkungan Berlakunya Hukum Adat

Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan


Hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum
adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut
di bagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw).
Lingkaran Hukum Adat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeulue).


2. Tanah Gayo, Alas, dan Batak.
1. Tanah Gayo (Gayo Leus).
2. Tanah Alas.
3. Tanah Batak (Tapanuli).
a. Tapanuli Utara:
1. Batak Pakpak (Barus).
2. Batak Karo.
3. Batak Simelungun.
4. Batak Toba (Simsir, Balige, Laguboti, Lumban, Julu).
b. Tapanuli Selatan:
1. Padang Lawas (Tano Sepanjang).
2. Angkola.
3. Mandailing (Sayurmatinggi).
3. Nias (Nias Selatan).
4. Tanah Minagkabau ( Padang, Agam, Tanah Datar, Lima puluh Kota, Tanah Kampar,
Kerinci). Mentawai (Orang Pagai).
5. Sumatera Selatan.
a. Bengkulu (Rejang).
b. Lampung ( Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang
Bawang).
c. Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo).
d. Jambi (Batin dan Penghulu).
e. Enggano.
6. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri. Sumatera Timur, Orang Banjar).
7. Bangka dan Belitung.
8. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak
Klemanten, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung
Punan).
9. Gorontalo (Bolaang Mangondow, Boalemo).
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi, Kaili,
Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar,
Selayar, Muna).
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Bandar, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep.
Kei, Kep. Aru, Kisar).
14. Irian.
15. Kep. Timor (Kepulauan Timor - Timor, Timor Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores,
Ngada, Riti, Sayu Bima).
16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karang Asem, Buleleng,
Jembrana, Lombok, Sumbawa).
17. Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura ( Jawa Pusat, Kedu, Puworejo, Tulungagung,
Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).
19. Jawa Barat (Pariangan, Sunda, Jakarta, Banten).
6. Hubungan Hukum Adat dengan Kebudayaan

Hukum Adat senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara
hidup dan pandangan hidup yang kesulurahnnya merupakan kebudayan masyarakat
tempat hukum adat itu berlaku. Tidak mungkin suatu hukum yang asing itu bertentangan
dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan, atau tidak
memenuhi rasa keadilan rakyat yang bersangkutan atau bertentangan dengan kebudayaan
rakyat yang bersangkutan. Jadi kita tidak boleh meninjau hukum adat Indonesia terlepas
dari “volksgeist”. “geestesstructuur” masyarakat Indonesia, dari sudut alam pikiran yang
khas orang Indonesia yang terjelma dalam hukum adat itu. Hukum Adat merupakan suatu
segi kebudayan Indonesia, sebagai penjelmaan kepribadian Indonesia
KESIMPULAN
esia.

Anda mungkin juga menyukai