Anda di halaman 1dari 19

sabtu, 01 November 2014 Blog Muhammad Nasir

Norma dan Hukum Adat Suku Bugis


This is Bahasa Indonesia version of Norms and Customary Law of Bugis.
Setiap suku bangsa memiliki adat tersendiri yang merupakan pencerminan kepribadian
dan penjelmaan dari jiwa bangsa itu sendiri. Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu
bangsa yang berlangsung turun temurun dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia tentu memiliki
adat kebiasaan sendiri-sendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya sehingga ketidaksamaan
inilah yang memberikan identitas antara bangsa yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula
bangsa Bugis yang juga memiliki tatanan hukum adat dalam menjalani kehidupannya.
Adat diibaratkan sebagai sebuah pondasi yang kukuh. Kehidupan modern pun tidak
mampu melengserkan adat dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Adat dapat
mengadaptasikan diri dengan keadaan dalam proses kemajuan zaman sehingga adat itu tetap
kekal dan tegar menghadapi tantangan zaman.
Hukum adat merupakan suatu tatanan hidup masyarakat yang kemudian menjadi hukum
yang tidak tertulis, berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta memperlancar proses
interaksi dalam masyarakat tersebut. Walaupun demikian, adat tetap dipatuhi berdasarkan atas
keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Dengan kata lain,
hukum adat mempunyai fungsi manfaat dalam pembangunan (hukum) karena:
1. Hukum adat merumuskan keteraturan perilaku mengenai peranan
2. Perilaku-perilaku dengan segala akibat-akibatnya dirumuskan secara menyeluruh
3. Pola penyelesaian sengketa yang kadang bersifat simbolis
Dahulu, dikalangan bangsa Bugis Bone dikenal hukum adat dengan istilah Malaweng.
Dari berbagai sumber yang diperoleh penulis, Hukum Adat Malaweng itu terdapat tiga tingkatan,
yaitu :
1. Malaweng tingkat pertama (Malaweng Pakkita), yakni sesesorang yang melakukan pelanggaran
melalui pandangan mata. Misalnya, menatap sinis kepada orang lain, menatap tajam laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrimnya dan lain sejenisnya.
2.

Malaweng tingkat kedua (Malaweng Ada-ada), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran
melalui kata-kata yang diucapkan. Misalnya, berkata yang tidak senonoh kepada orang,
membicarakan aib orang lain, berkata sombong dan angkuh, berkata kasar kepada lawan
bicaranya, dan lain sejenisnya.

3.

Malaweng tingkat ketiga ( Malaweng Kedo-kedo), yakni seseorang yang melakukan


pelanggaran karena perbuatan tingkah laku. Misalnya, laki-laki melakukan hubungan intim
dengan perempuan adik atau kakak kandungnya sendiri, membawa lari anak gadis (silariang),
melakukan hubungan intim dengan ibu/ayah kandungnya sendiri, menghilangkan nyawa orang
lain, mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan yang punya, dan lain sejenisnya.
Dahulu, khusus dalam hal kawin mawin dengan saudara kandungnya sendiri atau
ayah/ibu kandungnya sendiri tergolong pelanggaran-pelanggaran adat yang paling berat karena
apabila hal ini terjadi maka keduanya baik laki-laki maupun perempuan mendapat hukuman
dengan cara Riladung yakni keduanya dimasukkan ke dalam sebuah karung yang diikat
dengan tali kemudian ditenggelamkan ke dasar laut dengan menggunakan alat pemberat batu.
Dahulu, salah satu tempat eksekusi yang ada di Bone adalah Kawasan Tanjung Pallette yang
berjarak 12 km dari kota Watampone sekarang ini. Keduanya dinaikkan kesebuah perahu kecil
dan dibawa ke arah timur sejauh 3 km dari pantai Tanjung Pallette kemudian ditenggelamkan ke
laut.
Masyarakat suku Bugis, sebagaimana masyarakat lainnya di Propinsi Sulawesi Selatan
pada umumnya, merupakan pemeluk Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh
keadaan yang serba religius. Kondisi ini ditunjukkan oleh banyaknya tempat-tempat ibadah dan
Pendidikan Agama Islam.
Sekalipun masyarakat suku Bugis mayoritas memeluk agama Islam, namun di kota
Watampone juga ada gereja dan beberapa tempat ibadah pemeluk agama lainnya. Hal ini berarti,
pemeluk agama lain cukup leluasa untuk menunaikan ibadahnya. Keadaan ini memberikan
dampak yang positif terhadap kehidupan keagamaan, karena mereka saling menghormati dan
menghargai satu dengan yang lainnya. Di samping itu, peran pemuka agama terutama para alim
ulama sangat dominan dalam kehidupan keagamaan. Bahkan bagi masyarakat suku Bugis, alim
ulama merupakan figur kharismatik yang menjadi panutan masyarakat.
Adapun mengenai pengembangan kebudayaan, saat ini suku Bugis berupaya untuk
membina nilai-nilai budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional dengan berdasarkan pada
penerapan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat suku Bugis. Salah satu bentuknya
adalah memfasilitasi terbentuknya Lembaga Adat Saoraja sebagai mitra dalam hal pelestarian
nilai-nilai adat dan budaya luhur serta pengembangan kebudayaan.

Suku bangsa Bugis yang mendiami pulau Sulawesi bagian Selatan juga mempunyai
norma yang disebut PANCANORMA yakni terdapat 5 (lima) butir norma yang menjadi salah
satu unsur pembeda dari sejumlah suku bangsa yang ada.
Konsep Pancanorma (Pangngadereng) ini lahir sejak abad ke-16 yaitu pada masa
pemerintahan Raja Bone ke-6 (1543-1568). Pada masa itu terdapat seorang cendekiawan Bugis
yang bernama Lamellong. Karena kemampuan berpikir yang dimilikinya, Raja memberinya
gelar Kajaolalliddong yaitu cendekiawan atau orang cerdik pandai dari sebuah kampung yang
bernama Lalliddong di wilayah kerajaan Bone. Sang Kajaolah yang melahirkan Konsep
Pangngadereng yang hingga kini masih dipegang teguh oleh suku bangsa Bugis. Pokok-pokok
pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan yang beliau ciptakan menjadi acuan bagi Raja dalam
melaksanakan aktivitas pemerintahan. Dalam lintas perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa
besar jasa Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan
Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan
pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama Lamumpatue ri Timurung tahun 1582
pada masa pemerintahan La tenri Rawe BongkangngeE raja Bone ke-7 (1568-1584). Dalam ikrar
itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng),
dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah
batu.
Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni:
1. Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
2. Tidak memejamkan mata siang dan malam;
3. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
4. Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Implementasi pokok-pokok pikiran sebagai unsur perekat dalam menjalankan aktivitas
pemerintahan di atas adalah:
1. Siattinglima, yakni bergandengan tangan
2. Sitonraola, yakni kesepakatan melalui musyawarah
3. Tessipano, yakni tidak saling menjatuhkan
4. Tessibelleang, yakni tidak saling menghianati
Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan di atas
merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan raja, sehingga raja tidak dapat

bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan. Dalam


pembatasan kekuasaan di Lontara disebutkan, bahwa Arung Mangkau (raja) berkewajiban untuk
menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian raja harus sepenuhnya diarahkan kepada
kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.
Berdasarkan dari berbagai pokok-pokok pikiran Kajaolalliddong di atas maka kelima
butir Pangngadereng (Pancanorma) yang dimaksud adalah:
1. Ade
2. Bicara
3. Rapang
4. Wari
5. Sara
ADE
Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan
masyarakat. Ade sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain:
1. Ade pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.
2.

Ade Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap
tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

3.

Ade Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
BICARA
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif,
menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa
berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.
RAPANG
Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusankeputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri
tetangga.
WARI
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam
masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan
sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.

SARA
Sara adalah suatu sistem yang mengatur dimana seorang raja dalam menjalankan roda
pemerintahannya harus bersandar kepada Dewatae (Tuhan yang Maha Esa)
Dengan demikian, itulah ajaran Kajao Lalliddong tentang hukum yang mengatur
kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun komunitas dalam wilayah kerajaan. Dengan
ditambahkannya komponen sara di atas menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ajaran Kajao
ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaan-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan.
Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep Pangngadereng ini menumbuhkan suatu wahana
kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara.
Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri pada peta budaya
masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara
ini.
Itulah kelima butir tatanan dalam konteks kesukuan bagi suku bangsa Bugis yang menjadi
dasar dalam menjalankan roda pemerintahan Raja-Raja Bone sejak abad XVI pada masa
pemerintahan Raja Bone ke-6 La Uliyo BoteE (1543-1568) yang selanjutnya menjadi pegangan
bagi kerajaa-kerajaan Bugis.
Berdasarkan Konsep Pancanorma di atas maka dikalangan suku bangsa Bugis lahirlah
istilah Paseng dan Pangaja. Paseng (Petuah) adalah sesuatu pesan yang berlaku pada masa
dulu, kini, dan akan datang. Sedang Pangaja (Nasihat) adalah suatu pesan yang lahir setelah
seseorang melakukan perbuatan yang dianggap bertentangan dengan norma yang berlaku.
Paseng atau petuah yang dimaksud adalah:
1. Lempu / Kejujuran : Pahit dan getir
2. Getteng / Prinsip
3. Sipakatau / Manusiawi
4. Mappesona ri Dewatae / Bersandar kepada Allah
Selain Malaweng dan Pancanorma, hubungan kekerabatan dan stratifikasi sosial juga
merupakan hal yang penting dalam hukum adat masyarakat Bugis. Dalam masyarakat manapun,
hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik karena dinilai penting oleh anggotanya
maupun fungsinya sebagai struktur dasar dalam suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan
mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa yang

mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang Bugis
dan yang saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka.
Pada umunya orang Bugis mempunyai sitem kekerabatan yang disebut dengan
assiajingeng, yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari
pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua. Hubungan kekerabatan ini menjadi
sangat luas karena selain ia menjadi anggota keluarga ibu, ia juga menjadi anggota keluarga dari
pihak ayah. Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi atas siajing marpp (kerabat
dekat) dan siajing mabla (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing marpp merupakan
kelompok penentu dan pengendali martabat keluarga. Anggota keluarga dekat inilah yang
menjadi to masiri (orang yang malu) bila anggota keluarga perempuan ri lariang (dibawa lari
oleh orang lain), dan mereka itulah yang berkewajiban menghapus siri tersebut. Anggota siajing
marpp didasarkan atas dua jalur, yaitu rpp marpp yaitu keanggotaan yang didasarkan atas
hubungan darah, dan siteppang marpp (sompung lolo) yaitu keanggotaan didasarkan tas
hubungan perkawinan. (Makkulau, 2006).
Adapun anggota keluarga yang tergolong rpp marpp yaitu:
1. Iyya, Saya (yang bersangkutan)
2. Indo (ibu kandung iyya)
3. Ambo (ayah kandung iyya)
4. Nene (nenek kandung Iyya baik dari pihak ibu maupun dari ayah
5. Lato (kakek kandung Iyya baik dari ibu maupun dari ayah)
6. Silisureng makkunrai (saudara kandung perempuan Iyya )
7. Silisureng woroan (saudara laki-laki iyya)
8. Ana (anak kandung iyya)
9. Anaur (keponakan kandung iyya)
10. Amaur (paman kandung iyya)
11. Eppo (cucu kandung iyya)
12. Inaur / amaur makkunrai (bibi kandung iyya)
Sedangkan anggota keluarga yang termasuk siteppang marpp yaitu:
1. Baine atau indo anana (istri iyya)
2. Matua (ibu/ayah kandung istri)
3. Ipa woroan (saudara laki-laki istri iyya)

4. Ipa makkunrai (saudara kandung perempuan istri iyya)


5. Manttu (menantu, istri atau suami dari anak kandung iyya)
Lapisan sosial tradisional masyarakat Bone membedakan status menurut kadar arung
nya (keturunan). Ukuran yang digunakan adalah soal asal keturunan sebagai unsur primer. Oleh
karena itu perlu dibedakan dahulu jenis-jenis keturunan yang terdapat di Kabupeten Bone secara
umum dibagi atas beberapa golongan, yaitu:
1. Ana mattola: yang berhak mewarisi tahta dan dipersiapkan untuk menjadi raja arung (raja/ratu).
Tingkatan ini terbagi atas dua sub golongan yakni: ana sengngeng dan anarajng.
2. Ana cra siseng/I: anak yang beradarah campuran atas kedua sub di atas yang kawin dengan
perempuan biasa.
3. Ana cra dua/II: anak hasil perkawinan cra siseng dengan perempuan biasa.
4.

Ana cra tellu/III: anak hasil perkawinan cra dua dengan perempuan biasa. Ketiga lapisan
cerak ini menduduki golongan bangsawan menengah. Kemudian cra tellu ini dengan
perempuan biasa akan menghasilkan bangsawan terendah. Ampo cinaga, anakkarung maddaradara, dan anang.

5.

Tau sama (orang biasa)/tau maradka (orang bebas): di kalangan ini masih dibedakan atas
keturunan leluhirnya yang masih terhitung bangsawan, betapapun rendahnya lapisan dan berapa
jauhpun pertautannya (tau tongeng karaja) dan yang benar-benar keturunan orang biasa (tau
sama mattant lamp).

6. Ata (hamba sahaya): golongan yang hilang kemerdekaannya karena sesuatu ikatan langsung.
Meskipun penggolongan keturunan tersebut hanya bertahan sampai pada masa
kemerdekaan, namun penggolongan keturunan tersebut sekarang ini tidak lagi dianut secara
ketat, namun dalam berbagai hal, utamanya dalam kehidupan sosial kadangkala masih
dipertanyakan, misalnya dalam hal meminang gadis, maka yang dipertanyakan adalah keturunan.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber : di Copy dari: Risky Edy Nawawi: http://riskymickey.blogspot.com/2012/01/normadan-hukum-adat-suku-bugis.html

Soekanto, Soerjono. 1981. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada

http://jendelabugis.blogspot.com/2011/01/malaweng-dan-hukum-adat-bangsa-bugis.html#

http://jendelabugis.blogspot.com/2011/07/konsep-pancanorma-pangngadereng.html

http://jendelabugis.blogspot.com/2010/03/tata-cara-perkawinan-adat-bone.html

Dikutip Teluk Bone 18 Januari 2011 Blog Jendela Bugis

Malaweng dan Hukum Adat Bangsa Bugis


Setiap suku bangsa memiliki adat tersendiri yang merupakan pencerminan
kepribadian dan penjelmaan dari pada jiwa bangsa itu sendiri. Demik...

Setiap suku bangsa memiliki adat tersendiri yang merupakan pencerminan kepribadian
dan penjelmaan dari pada jiwa bangsa itu sendiri. Demikian pula bangsa Bugis memiliki tatanan
hukum adat dalam menjalani kehidupannya.
Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa yang berlangsung turun temurun
dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia tentu memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri, yang
satu berbeda dengan yang lainnya. Sehingga ketidaksamaan inilah yang memberikan identitas
antara bangsa yang satu dengan yang lainnya.
Adat diibaratkan sebuah fundasi yang kukuh, sehingga kehidupan modern pun ternyata tidak
mampu melengserkan adat-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Karena adat itu dapat
mengadaptasikan diri dengan keadaan dalam proses kemajuan zaman sehingga adat itu tetap
kekal dan tegar menghadapi tantangan zaman.
Hukum adat merupakan sesuatu tatanan hidup masyarakat yang kemudian menjadi hukum yang
tidak tertulis. walaupun demikian tetap dipatuhi berdasarkan atas keyakinan bahwa peraturanperaturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Dahulu, dikalangan bangsa Bugis Bone dikenal hukum adat dengan istilah Malaweng. Dari
berbagai sumber yang diperoleh penulis bahwa, Hukum Adat Malaweng itu terdapat tiga
tingkatan, yaitu :
1. Malaweng tingkat pertama (Malaweng Pakkita), yakni sesorang yang melakukan pelanggaran
melalui pandangan mata. Misalnya, menatap sinis kepada orang lain, menatap tajam laki-laki
dan perempuan yang bukan muhrimnya dan lain sejenisnya.
2. Malaweng tingkat kedua (Malaweng Ada-ada), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran
melalui kata-kata yang diucapkan. Misalnya, berkata yang tidak senonoh kepada orang,
membicarakan aib orang lain, berkata sombong dan angkuh, berkata kasar kepada lawan
bicaranya, dan lain sejenisnya.
3. Malaweng tingkat ketiga ( Malaweng Kedo-kedo), yakni seseorang yang melakukan
pelanggaran karena perbuatan tingkah laku. Misalnya, laki-laki melakukan hubungan intim
dengan perempuan adik atau kakak kandungnya sendiri, membawa lari anak gadis (silariang),
melakukan hubungan intim dengan ibu/ayah kandungnya sendiri, menghilangkan nyawa

orang lain, mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan yang punya, dan lain
sejenisnya.
Dahulu, khusus dalam hal kawin mawin dengan saudara kandungnya sendiri atau
ayah/ibu kandungnya sendiri tergolong pelanggarang pelanggaran adat yang paling berat karena
apabila hal ini terjadi maka keduanya baik laki-laki maupun perempuan mendapat hukuman
dengan cara Riladung yakni keduanya dimasukkan ke dalam sebuah karung yang diikat
dengan tali kemudian ditenggelamkan ke dasar laut dengan menggunakan alat pemberat batu.
Dahulu, salah satu tempat eksekusi yang ada di Bone adalah Kawasan Tanjung Pallette yang
berjarak 12 km dari kota Watampone sekarang ini. Keduanya dinaikkan kesebuah perahu kecil
dan dibawa ke arah timur sejauh 3 km dari pantai Tanjung Pallette kemudian ditenggelamkan ke
laut.
(Teluk Bone)

ADAT DAN KEBUDAYAAN SUKU BUGIS

artnculture.ilmci.com/935/adat-dan-kebudayaan-sukubugis.aspx
29 May
Adat dan Kebudayaan Suku Bugis Di Sulawesi Selatan
Suku Bugis atau to Ugi adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia.
Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini
komunitas
Bugis
telah
menyebar
luas
ke
seluruh
Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orangorang bugis
umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah
berdagang dan berusaha (massompe) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya
faktor
historis
orang-orang
Bugis
itu
sendiri
di
masa
lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah
didatangi titisan langsung dari dunia atas yang turun (manurung) atau dari dunia bawah
yang naik (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis,
2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak
perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu
mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata Bugis berasal dari kata to ugi, yang
berarti
orang
Bugis.
Penamaan ugi merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat
di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La
Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja
mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu,
ayahanda
dari
Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La
Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware (Yang Dipertuan Di
Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo,
dan
beberapa
tradisi
lain
di
Sulawesi
seperti
Buton
(Sumber
:
id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orangorang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya
yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di
dalam La Galigo atau sure galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga
tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan
catatan lain baik yang berhubungan adat (ade) dan kebudayaankebudayaan di masa itu yang
tertuang dalam Lontara. Tokohtokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah
Sawerigading, We Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We Tenriabeng (Ibu We Cudai), We
Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We Cudai).
Tokohtokoh inilah yang diceritakan dalam Sure Galigo sebagai pembentukan awal peradaban
Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan
keturunanketurunannya, serta nasihatnasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam
mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial,

bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun
bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.

Konsep
Ade
(Adat)
dan
Spiritualitas
(Agama)
Konsep ade (adat) merupakan tema sentral dalam teksteks hukum dan sejarah orang Bugis.
Namun, istilah ade itu hanyalah pengganti istilahistilah lama yang terdapat di dalam teks-teks
zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu.
Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pangadereng atau adat istiadat, berupa
serangkaian
norma
yang
terkait
satu
sama
lain.
Selain konsep ade secara umum yang terdapat di dalam konsep pangadereng, terdapat pula
bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari
(norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara (syariat Islam) (Mattulada,
Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis
seperti Sawerigading, We Cudai, La Galigo, We Tenriabeng, We Opu Sengngeng, dan lain-lain
merupakan
tokohtokoh
yang
hidup
di
zaman
pra-Islam.
Tokohtokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewadewa di
kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu
We Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep ade (adat) serta kontrakkontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa
yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut,
sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa
yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut
kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.

Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan
perubahan terutama pada tingkat ade (adat) dan spiritualitas. Upacaraupacara penyajian,
kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi
melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini
sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orangorang bugis hingga
saat
ini
semua
menganut
agama
Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab
Syafii, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri.
Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara
pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang
yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk
melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui
jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan

bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya
agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan
oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau matanna tikka Sultan Alimuddin Idris Matindroe Ri
Naga
Ulng,
La
Madaremmeng,
dan
Andi
Mappanyukki.
Konsepkonsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara.
Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling
menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara. Hal ini juga memiliki
kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budayabudaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan seharihari mengajarkan
halhal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe (permisi) sambil
berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang
bercerita, mengucapkan iy (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum
mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda.
Inilah di antaranya ajaranajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara yang
harus direalisasikan dalam kehidupan seharihari oleh masyarakat Bugis.

Manusia
Bugis
Sejarah orangorang Bugis memang sangat panjang, di dalam teksteks sejarah seperti karya
sastra La Galigo dan Lontara diceritakan baik awal mula peradaban orangorang Bugis, masa
kerajaankerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal
ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk
warisan dari nenek moyang orangorang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami
maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade (adat) dan budaya masyarakat Bugis
yang sesungguhnya. Budaya siri yang seharusnya dipegang teguh dan ditegakkan dalam nilai
nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia BugisMakassar, siri merupakan
unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk
dibela
dan
dipertahankan
di
muka
bumi
selain
siri.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat
mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri yang dianggap tercemar atau
dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja,
termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri dalam kehidupan mereka.(Hamid
Abdullah,
Manusia
Bugis-Makassar
.37).
Di zaman ini, siri tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan.
Pada prakteknya siri dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakantindakan yang
anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siri adalah nilai sakral
masyarakat bugis, budaya siri harus dipertahankan pada koridor ade (adat) dan ajaran agama
Islam
dalam
mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat
secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan
nilainilai ade (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat
pangadereng
(adat
istiadat)
melekat
pada
pribadi
mereka.

Mereka yang mampu memegang teguh prinsipprinsip tersebut adalah cerminan dari seorang
manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam
membawa norma dan aturan sosial di bumi.

Blog Mata Dunia

Peraturan Daerah dan Hukum Adat


Provinsi Sulawesi Selatan
Author - Mesriah Ria Date - 23:48:00 hukum Pengetahuan umum
Salah satu kebiasaan yang cukup dikenal di Sulawesi Selatan adalah Mappalili. Mappalili
(Bugis) atau
Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi
dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah
ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat dari
Kabupaten Pangkep terutama Mappalili adalah bagian dari budaya yang sudah diselenggarakan
sejak beberapa tahun lalu. Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Tujuannya adalah
untuk daerah kosong yang akan ditanam, disalipuri (Bugis) atau dilebbu (Makassar) atau
disimpan dari gangguan yang biasanya mengurangi produksi.

Peraturan Daerah dan Hukum Adat Provinsi Sulawesi Selatan

1. Hukum Tertulis Sulawesi Selatan

a.

Kewilayahan
Hukum tertulis menyangkut aspek kewilayahan masyarakat hukum adat tertampung di dalam
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 21 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan
Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Pengakuan secara tertulis tehadap eksistensi adat istiadat dan
lembaga adat tersebut tidak secara jelas mengatur wilayah masyarakat hukum adat.

b. Kebudayaan
Komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan
terkait dengan pemberdayaan masyarakat hukum adat, yaitu dengan dikeluarkan Peraturan
Daerah Nomor 19 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat
Istiadat dan Lembaga Adat. Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 menjelaskan bahwa :
a). Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun
yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan
atau dalam satu masyarakat hukum adat di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan
berwenang untuk mengakui, mengatasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan
yang berkaitan, dengan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.

b). Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah atau kegiatan sosial yang berubah dan
berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Desa atau satuan
masyarakat lainnya, serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat
sebagaimana terwujud dalam berbagai pola kelakuan yang merupakan kebiasaan-kebiasaan
dalam kehidupan masyarakat setempat.

Kemudian pada Bab IV Pasal 5 ayat (1) disebutkan, bahwa Lembaga Adat berkedudukan
sebagai wadah atau organisasi permusyawaratan/ permufakatan kepala adat/ketua adat atau
pemuka adat lainnya yang berada di luar organisasi pemerintah. Pada ayat (2) disebutkan, bahwa
Lembaga Adat mempunyai tugas, yaitu :
1). Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta menyelesaikan
perselisihan menyangkut hukum adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.

2). Memberdayakan, melestariakan dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan


masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam
menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan.

3). Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif antara kepala
adat/pemangku adat dan pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.

Pada ayat (3) dijelaskan, jika ada perbedaan pendapat antara lembaga adat dan aparat
pemerintah di daerah, perbedaan itu diselesaikan dengan musyawarah/mufakat. Apabila tidak
berhasil diselesaikan maka penyelesaian dilakukan oleh Kepala Pemerintahan dan Lembaga Ada
yang lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat
setempat.

Selanjutnya pada Bab V Pasal 6 ayat (1) ditegaskan, bahwa Lembaga Adat mempunyai hak
dan kewajiban, yaitu :
a). Mewakili masyarakat hukum adat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat
hukum adat.
b). Mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan adat dan meningkatkan kemajuan dan taraf
hidup masyarakat menjadi lebih baik.
c). Menyelesaikan perselisihan yang mencakup perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasan
masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pada ayat (2) ditegaskan, bahwa Lembaga Adat berkewajiban :


a). Membantu kelancaran penyelenggaraan pemerintah pelaksanaan pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan, terutama dalam pemanfaatan hak-hak adat dan harta kekayaan lembaga adat
dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat setempat.

b). Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yang luas
kepada aparat pemerintah terutama, pemerintah desa atau kelurahan dalam melaksanakan tugastugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, pelaksanaan pembangunan
yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis.

c). Menciptakan

suasana

yang

dapat menjamin terpeliharanya kebhinekaan adat dalam

memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.


Pada bab VI Pasal 7 disebutkan, bahwa susunan organisasi Lembaga Adat ditetapkan oleh
Kepala Desa setelah mendapat persetujuan BPD. Pada Bab III Pasal 4 ayat (5) dalam Peraturan
Daerah nomor 19 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat
Istiadat dan Lembaga Adat; disebutkan bahwa tujuan pembinaan adalah untuk meningkatkan
sikap positif terhadap adat istiadat dan lembaga adat dapat mencapai taraf hidup yang lebih baik.

1. Hukum Tidak Tertulis Sulawesi Selatan


a.

Kewilayahan

Kewilayah ditetapkan secara turun temurun dengan luas wilayah tetap, dan bahkan cenderung
berkurang. Sebagian wilayah penguasaannya secara kolektif atau ulayat, dan sebagian lain
penguasaannya oleh perorangan.
b. Kebudayaan
Masyarakat hukum adat dipimpin oleh Pemangku Adat/Penghulu yang memiliki kewenangan
mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat dalam berbagai kepentingan. Dalam kehidupan
sehari-hari, mereka masih mengembangkan nilai gotong royong dan senantiasa berupaya
mengatasi permasalahan yang terjadi secara bersama-sama.

Transformasi pengetahuan dan teknologi secara turun terumun dari generasi ke generasi,
terutama pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan musim, flora fauna, hari baik hari
buruk, ramuan obat atau gejala-gejala alam yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat.
Sistem mata pencaharian hidup yaitu mengolah alam seperti berkebun, bersawah dan
berladang serta nelayan. Meskipun sumber ekonomi mereka tergantung dari alam, namun mereka
tidak pernah merusak alam. Mereka memegang teguh kearifan lokal dalam berinteraksi dengan
alam yang memberikan kehidupan turun temurun bagi anak cuku mereka.
Dalam berkomunikasi antar mereka, digunakan bahasa setempat yang khas yang kadang
tidak dapat dimengerti oleh komunitas yang lain. Penggunaan bahasa mengikuti struktur
berdasarkan status sosial dalam masyarakat.
Kemudian untuk mempertahankan adat istiadat, mereka menyelenggarkaan berbagai upacara
adat dalam siklus kehidupan manusia, seperti pada saat kehamilan, kelahiran, turun tanah,
dikhitan, menikah dan meninggal dunia. Selain upacara adat, masyarakat hukum adat juga masih
memelihara seni budaya lokal yang merupakan warisan leluhur mereka. Seni budaya dalam
bentuk tarian, musik dan tarian tradisional biasanya ditampilkan bertepatan dengan hari-hari
tertentu untuk melengkapi upacara adat. Di kalangan Suku Bugis ada seni sastra yang tertulis
dalam lontar yang menggunakan aksara Bugis/Makasar.

2. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum Sulawesi Selatan


a.

Implementasi
Implementasi pengakuan hukum oleh Pemerintah Daerah dirasakan masih belum optimal. Hal
ini dapat dicermati dari belum adanya Peraturan Daerah yang memberikan perhatian secara
khusus terhadap kehidupan masyarakat hukum adat.

b. Kendala
Implementasi pengakuan hukum masih dihadapkan pada beberapa kendala, yaitu :

1). Belum adanya kemauan politik dari Pemerintah Daerah untuk memberikan pengakuan hokum
terhadap eksistensi Masyarakat hukum adat.
2). Belum ada Peraturan Daerah yang mengatur secara khusus, termasuk aspek hukum kepemilikan
tanah ulayat.

4. Harapan Hukum Adat Sulawesi Selatan


Agar Masyarakat hukum adat memperoleh pengakuan hukum secara memadai, maka
diharapkan :
a.

Adanya Peraturan Daerah yang secara khusus memberikan pengakuan secara hukum terhadap
eksistensi dan hak-hak Masyarakat hukum adat.

b.

Pemerintah mengembangkan program pembangunan budaya berdampingan dengan


pembangunan ekonomi dan politik.

Anda mungkin juga menyukai