Anda di halaman 1dari 9

TUGAS KELOMPOK

PEMASANGAN LIP PLATE PADA WANITA


DI SUKU MURSI ETHIOPIA

Oleh :

KELOMPOK 6
KELAS G (NON REGULER)

Rafiuddin
Ikhsan Pambudi
Desi Tri Etika
Tuti Astini
Nur Inra

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAKASSAR
TAHUN 2018
A. Latar Belakang

Adat atau tradisi biasanya diartikan sebagai suatu

ketentuan yang berlaku dalam masyarakat tertentu, dan

menjelaskan satu keseluruhan cara hidup dalam

bermasyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tradisi

mempunyai dua arti: Pertama, adat kebiasaan turun temurun

yang masih dijalankan masyarakat. Kedua, penilaian atau

anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara

yang paling baik dan benar. Dengan demikian, tradisi

merupakan istilah generik untuk menunjuk segala sesuatu

yang hadir menyertai kekinian.

Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau

kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah

sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi

bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya

dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang

sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya

informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik

tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini,

suatu tradisi dapat punah.

Pada era modern ini, masih banyak tradisi yang tetap

dipertahankan secara turun temurun dari nenek moyang

hingga ke anak cucu pada suatu masyarakat. Demikian juga


yang terjadi di salah satu Suku yang ada di Ethiopia tepatnya

di Suku Mursi. Wanita suku mursi mempunyai cara tersendiri

untuk mempercantik dirinya. Menjadi cantik versi suku Mursi

di Ethiopia ini terbilang sangat aneh. Bagaimana tidak, mereka

menilai kecantikan seorang wanita dari seberapa lebar ukuran

mulutnya. Semakin lebar mulut seorang wanita, maka

semakin cantik. Mereka menilai kecantikannya dari lebar bibir

bawah yang memakai piring. Wanita mursi yang mengikuti

tradisi tersebut maka dia layak untuk dinikahi. 6 atau 1 tahun

sebelum menikah wanita mursi sudah harus memakai Piring

Bibir. Tradisi ini masih berlanjut hingga sekarang, dan

menurut mereka ini adalah salah satu cara untuk memikat

pasangan laki-laki mereka.

B. Tradisi Suku Mursi di Ethiopia

Republik Demokratik Federal Etiopia (Ityop'iya, bahasa

Amhara: ኢትዮጵያ) atau Etiopia adalah sebuah negara yang

terletak di Afrika. Etiopia mempunyai salah satu sejarah

terlengkap sebagai negara merdeka di benua tersebut.

Merupakan negara tertua di dunia, kawasan Etiopia juga

merupakan salah satu tempat peradaban yang terawal di

dunia. Pemerintahan Etiopia pertama dibentuk sekitar tahun

980 SM dan menerima agama Kristen pada abad ke-4 M.

Negara ini cukup unik jika dibandingkan dengan negara-


negara Afrika lainnya karena tidak pernah dijajah selama masa

Perebutan Afrika dan terus merdeka hingga tahun 1936 saat

pasukan Italia menguasai negara tersebut. Pasukan-pasukan

Britania Raya dan Etiopia mengalahkan tentara Italia pada

1941 dan Etiopia memperoleh kembali kedaulatannya setelah

menanda tangani Perjanjian Britania-Etiopia pada Desember

1944. Etiopia dulu pernah bernama Abisinia.

Kini Etiopia merupakan negara berbentuk republik dan

mengambil bagian secara aktif dalam aktivitas-aktivitas kerja

sama internasional. Ibukotanya Addis Ababa merupakan pusat

administrasi Kesatuan Afrika (AU)

Ethiopia dihuni oleh beberapa suku, salah satu yang

paling terkenal yaitu Suku Mursi. Suku Mursi sudah dikenal

sebagai salah satu suku yang unik di dunia. Ini terkait para

wanitanya, yang memiliki piringan di bibirnya. Piringan yang

bundar dan cukup besar, menggantung di bagian bawah

bibirnya. Tradisi ini disebut 'labret' atau 'lip plate', yang

dilakukan pada gadis berusia 15 hingga 16 tahun sejak

ratusan tahun lalu. Labret ini menggunakan piring yang

terbuat dari tanah liat atau plat kayu.

Bagi pria Suku Mursi, wanita yang seperti itu adalah

wanita yang cantik. Piringan di bibir, ternyata sudah menjadi

simbol kecantikan bagi wanita Suku Mursi sejak ratusan


tahun lamanya. Sekaligus, simbol kedewasaan seorang wanita

dan siap untuk dinikahkan. Bagi wanita yang tidak memiliki

itu, dicap sebagai pemalas dan akan dikucilkan.

Bahkan semakin besar ukuran piringnya, semakin besar

mas kawin yang harus diberikan pihak pengantin pria. Maka

jangan heran, melihat wanita dengan piring di bagian bibirnya

saat bertualang ke Omo Valley. Jumlah populasi mereka,

sebanyak 10.000 jiwa.

Piring yang dimasukan ke bibir wanita suku Mursi

tersebut, terbuat dari tanah liat. Diameter piringnya, rata-rata

10 cm dengan yang paling besar bisa mencapai 20 cm.

Mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimana cara memasukan

piring ke dalam bibirnya?

Para wanita yang hendak dimasukan piring ke dalam

bibirnya harus berusia 15-17 tahun atau sudah mengalami

masa puberitas. Kemudian, sang orang tua dari gadis itu akan

membuat lubang terlebih dulu di bagian bawahnya. Menarik

bibir bagian bawah dan melubanginya. Ibunya sudah

menyiapkan alat semacam pisau kecil yang tajam. Lalu sang

ayah, bertugas untuk menahan badan dan menutup mata si

gadis dan menanangkannya. Setelah pisaunya dirasa sudah

tajam, barulah bibir bagian bawah ditarik dan dilubangi

sampai tembus, seperti ditindik. Darah segar akan mengalir


dari bibir si gadis tersebut. Belum selesai, batang bambu

berukuran kecil akan dimasukan ke bagian yang telah

dilubangi. Si Gadis harus menahan rasa sakit, bahkan sampai

menangis. Beberapa hari kemudian, bambu yang ada di lubang

bagian bawah bibirnya akan diganti dengan piring yang

ukuran kecil. Bulan berganti bulan, piringannya akan diganti

dengan ukuran yang lebih besar. Lubang di bagian bawah

bibirnya yang elastis dan akan mampu memuat ukuran piring

yang makin besar. Jika piringnya diganti atau dicabut,

bibirnya bolong.

Ukuran dari piringan tiap wanita berbeda-beda. Saat

sudah menikah, para wanita pun memakai piringan yang

diberikan oleh suami. Tradisi ini terus dilakukan oleh Suku

Mursi sampai sekarang dan terus dilakukan kepada generasi-

generasi mudanya. Bagi kita, tradisi mereka yang menganggap

simbol kecantikan berupa piring besar di bibir mungkin sedikit

aneh. Tapi bagi Suku Mursi, itu adalah suatu kecantikan

identitas dan lambang kedewasaan seorang wanita.


Gambar Wanita Suku Murai

C. Hubungan Tradisi Suku Mursi dengan Aspek Kesehatan

Seperti kita ketahui, pada tradisi 'labret' atau 'lip plate'

ini, untuk memasukkan piring ke dalam bibir si gadis, sang

orang tua dari gadis itu akan membuat lubang terlebih dulu di

bagian bawahnya. Menarik bibir bagian bawah dan

melubanginya. Ibunya sudah menyiapkan alat semacam pisau

kecil yang tajam. Lalu sang ayah, bertugas untuk menahan

badan dan menutup mata si gadis dan menenangkannya.

Setelah pisaunya dirasa sudah tajam, barulah bibir bagian

bawah ditarik dan dilubangi sampai tembus, seperti ditindik.

Darah segar akan mengalir dari bibir si gadis tersebut. Belum

selesai, batang bambu berukuran kecil akan dimasukan ke

bagian yang telah dilubangi.

Tindakan ini sangat beresiko bagi kesehatan karena

apabila peralatan yang digunakan untuk membuat lubang ini


tidak steril, bisa saja menyebabkan terjadinya infeksi. Setelah

dilakukan pemasangan piring, akan ada perubahan bentuk

bibir yang tidak normal karena adanya lubang pada bibir

bawah serta otomatis akan ada rasa tidak nyaman pada saat

berbicara karena adanya piring tersebut. Beberapa wanita

harus melepas piring mereka ketika akan makan, tapi bagi

mereka yang telah terbiasa, mereka bisa makan tanpa

melepasnya.

Setiap penambahan ukuran diameter piring akan

menimbulkan luka baru pada bagian bibir. Untuk mengobati

luka-luka bekas piring, biasanya wanita Suku Mursi

menggunakan salep yang berasal dari tanaman.

D. Inovasi yang terkait dengan tradisi Suku Mursi

Secara konvensional, kecantikan sesuatu yang identik dengan

tubuh perempuan. Label kecantikan diciptakan oleh

masyarakat dimana laki-laki lebih berkuasa. Bila dilihat dari

sisi ini, berarti perempuan ditempatkan pada posisi sebagai

objek penilaian, karena tentu saja kecantikan berarti perspektif

dari kaum laki-laki. Ini tentu kecantikan versi subjektifitas

belaka, karena kecantikan itu sendiri beragam versinya.

Bermacam cara ditempuh.

Lalu apa itu kecantikan? Siapa yang menjadi juri penilaian

atasnya? Meski tidak bisa dikatakan bahwa kecantikan


berteman intim dengan penderitaan, beberapa orang dari

berbagai belahan dunia rela menjadi bagian dari rasa sakit

deminya. Seperti sebuah ungkapan di Perancis, "L'un receh

souffrir pour etre pacar" yang diterjemahkan menjadi

"Seseorang harus menderita untuk menjadi cantik." Seperti

pada tradisi 'labret' atau 'lip plate' yang menjadi simbol

kecantikan bagi wanita Suku Mursi sejak ratusan tahun

lamanya. Sekaligus, simbol kedewasaan seorang wanita dan

siap untuk dinikahkan. Bagi wanita yang tidak memiliki itu,

dicap sebagai pemalas dan akan dikucilkan. Yang tanpa

mereka sadari bahwa tradisi ini juga mempunyai dampak yang

buruk bagi kesehatan diantaranya infeksi dan rasa tidak

nyaman pada bagaian mulut karena adanya piringan yang

mengganggu aktifitas mereka. Terkait dengan masalah –

masalah yang ada hubungannya dengan tradisi tersebut, perlu

dilakukan semacam advokasi kepada para wanita – wanita

suku mursi agar tetap menjaga kebersihan diri terutama pada

bagian bibir yang selalu ditambah diameter lingkarannya dan

piringan atau ring yang dipasang pada bibir mereka agar bisa

mengurangi resiko infeksi.

Anda mungkin juga menyukai