Anda di halaman 1dari 21

Mata Kuliah : Toksikologi Lingkungan

Dosen : Dr. Hasnawati Amqam, SKM, M.Sc.

KARBON MONOKSIDA (Co)

Oleh :

RUSYDI INDRA
NIM : K012181005

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
TAHUN 2019
I. Latar Belakang
Dewasa ini, pencemaran udara merupakan masalah serius yang
dihadapi oleh negara-negara industri. Pencemaran udara menimbulkan
dampak yang sangat merugikan. Akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran
udara tersebut tidak hanya berdampak langsung terhadap kesehatan
manusia, akan tetapi juga dapat merusak lingkungan. Salah satu emisi yang
terdapat pada pencemaran udara tersebut yaitu senyawa karbon monoksida
(CO).
Karbon monoksida adalah gas, yang sifatnya tidak berwarna, tidak
berbau dan hambar, menjadikannya sebagai ancaman tak terlihat. Karbon
monoksida merupakan penyebab utama dari keracunan morbiditas dan
mortalitas di banyak negara maju . Pada tahun 1999-2004, menurut catatan
kematian di Amerika, keracunan karbon monoksida merupakan salah satu
penyebab kematian dari 16.447 kasus. Selama periode tersebut, keracunan
karbon monoksida terhitung 439 kematian per tahun. Menurut estimasi
40.000 orang per tahun membutuhkan bantuan medis karena keracunan
karbon monoksida di Amerika Serikat. (Reumuth et al., 2018)
Dua sumber yang paling umum adalah asap dari kebakaran dan asap
knalpot mesin mobil (tanpa adanya converter kataliktik). Lainnya termasuk
penggunaan arang pada pemanggang di ruangan - ruangan terbatas
(misalnya tenda), peralatan pembakaran yang tidak berventilasi, rusak atau
tidak beroperasi dengan benar. dan pembakaran yang tidak sempurna dari
butana dan propana. Serta berasal dari lingkungan termasuk sisa industri
(Penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan), kebakaran hutan dan
hutan, dan lain – lain. (Gregorczyk-Maga et al., 2019)
Adanya perubahan neorologik, aktivitas menurun, kenaikan
hemotokrit dan perubahan pada fetus atau janin bagi wanita hamil
merupakan tanda pajanan gas karbon monoksida pada konsentrasi rendah.
Sedangkan pajanan pada konsentrasi tinggi atau dampak akut pajanan gas
karbon monoksida dapat menyebabkan kematian. Hemoglobin dalam tubuh
mengikat gas karbon monoksida yang masuk dan membentuk

1
karboksihaemoglobin (COHb). Sehingga menghambat masuknya oksigen ke
dalam tubuh. Menurut penelitian terbaru, meningkatnya karbon monoksida
berperan dalam lesi mukosa oral, yang mengarah ke neoplasma rongga
mulut. (Gregorczyk-Maga et al., 2019)

II. Sumber Karbon Monoksida


1. Sumber Eksternal
Karbon monoksida merupakan hasil dari proses pembakaran yang tidak
sempurna seperti yang dalam pengoperasian kendaraan, pemanasan,
pembangkit listrik batubara, dan pembakaran biomassa. Dua sumber
yang paling umum adalah asap dari kebakaran dan asap knalpot mesin
mobil (tanpa adanya converter kataliktik). Peristiwa geografis alam
seperti letusan gunung berapi, emisi gas alam, degradasi, vegetasi dan
hewan, dan kebakaran hutan semua berkontribusi menghasilkan gas
karbon monoksida. Secara global, Sekitar 40% karbon monoksida
berasal dari sumber-sumber alam. Selebihnya, sekitar 60% merupakan
hasil campur tangan manusia seperti konsumsi bahan bakar fosil,
pembuangan sampah, asap tembakau, dan kebakaran, penggunaan arang
pada pemanggang di ruangan - ruangan terbatas (misalnya tenda),
peralatan pembakaran yang tidak berventilasi, rusak atau tidak
beroperasi dengan benar. dan pembakaran yang tidak sempurna dari
butana dan propana.(Gregorczyk-Maga et al., 2019; Varma, Mulay, &
Chemtob, 2015)
Terlepas dari berbagai perubahan lain, negara-negara berkembang yang
ditandai dengan meningkatnya migrasi penduduk desa ke daerah kumuh
dan kota-kota kumuh seperti São Paulo, Mexico, Johannesburg,
Mumbai, Shanghai, dan lain-lain; ini dikaitkan dengan peningkatan
karbon monoksida di udara. Pada daerah tertentu, gas karbon
monoksida tidak melebihai nilai ambang batas, seperti di Mexico dan
Los Angeles yang sebenarnya bisa saja kedua kota tersebut tingkat
pencemaran karbon monoksidanya tinggi. Hal ini membuktikan bahwa

2
banyak upaya yang dilakukan oleh lembaga pemerintah untuk
mengurangi emisi karbon monoksida.(Varma et al., 2015)
2. Sumber Endogen
Selain pajanan inhalasi ke karbon monoksida di udara, pajanan internal
terhadap karbon monoksida terjadi sebagai akibat dari produksi karbon
monoksida dari prekursor endogen (misalnya, degradasi heme, auto-
oksidasi fenol, foto-oksidasi senyawa organik, dan peroksidasi lipid
(lipid membran sel)) dan dari metabolisme oksidatif dari prekursor
eksogen (misalnya, karbon tetraklorida, diklorometana, dan
dihalometana lainnya). Heme oxygenase mendegradasi heme menjadi
karbon monoksida dan biliverdin, dan kemudian diubah menjadi
bilirubin. Sebagian kecil (20%) dari karbon monoksida endogen berasal
dari hemoproteins lain seperti mioglobin dan banyak enzim yang
mengandung besi lainnya. Ini berfungsi sebagai sampel dalam
pemantauan karbon monoksida endogen untuk tujuan diagnostik.
Sumber metabolisme karbon monoksida menghasilkan beban tubuh
karbon monoksida jika tidak ada pajanan karbon monoksida eksogen di
udara. Laju produksi karbon monoksida endogen diperkirakan sekitar
0,42 mL karbon monoksida pada suhu dan tekanan standar, kering
(STPD) / jam atau 0,006 mL karbon monoksida / jam-kg berat
badan.(U.S. Department of Health and Human Services: Agency for
Toxic Substances and Disease Registry, 2012; Varma et al., 2015)

III. Toksikokinetik
Karbon monoksida ada di lingkungan sebagai gas (konstanta hukum Henry>
fraksi 50.000 atm / mol, 25 ° C), sehingga manusia dapat terpapar karbon
monoksida dari pernapasan dan / atau kontak kulit dengan karbon
monoksida di udara. Belum ada informasi yang tersedia tentang pajanan
karbon monoksida melalui penyerapan kulit. Namun, seperti halnya gas-gas
lain yang secara tajam diserap dari paru-paru (mis., oksigen), penyerapan
karbon monoksida melalui kulit diharapkan hanya memberikan kontribusi

3
kecil dibandingkan jika terhirup. Meskipun karbon monoksida dapat larut
dalam air (23 mL CO / L air, 20 ° C), konsentrasi yang cukup dalam air
minum akan terjadi hanya pada tekanan parsial karbon monoksida yang
sangat tinggi di udara, kondisi di mana inhalasi akan menjadi jalur serapan
yang dominan. Karena satu-satunya jalur yang relevan dari pajanan pada
manusia adalah jalur inhalasi, maka pajanan oral dan kulit tidak
dipertimbangkan lebih lanjut dalam pembahasan toksikokinetik karbon
monoksida.(U.S. Department of Health and Human Services: Agency for
Toxic Substances and Disease Registry, 2012)
1. Absorpsi.
Inhalasi Karbon monoksida dengan cepat dan luas diserap ke dalam
darah kemudian diangkut ke alveoli paru-paru sebagai hasil dari
kekuatan konvektif pada saluran pernapasan dan difusi. Pada permukaan
antara gas-darah alveolar, karbon monoksida larut menjadi plasma
kapiler paru kemudian berdifusi menjadi eritrosit dan jaringan lain.
Pengikatan karbon monoksida oleh eritrosit Hb (untuk membentuk
COHb) berkontribusi untuk mempertahankan konsentrasi karbon
monoksida terlarut yang relatif rendah dalam sitosol eritrosit dan gradien
tekanan parsial untuk mendorong transfer karbon monoksida dari udara
alveolar ke darah. Difusi karbon monoksida menjadi eritrosit dan
pengikatan karbon monoksida dengan Hb cukup cepat sehingga tercapai
keseimbangan yang hampir sama antara tekanan parsial karbon
monoksida dalam udara alveolar dan darah kapiler ujung arterial (arteri)
alveolar. Penyerapan karbon monoksida yang berkelanjutan merupakan
hasil dari proses eliminasi sistemik yang menurunkan konsentrasi
campuran karbon monoksida darah pada vena ke kapiler alveolar.(U.S.
Department of Health and Human Services: Agency for Toxic
Substances and Disease Registry, 2012; Varma et al., 2015)
2. Distribusi.
Distribusi karbon monoksida yang terserap sebagian besar ditentukan
oleh afinitasnya untuk mengikat heme. Pengikatan karbon monoksida

4
dengan protein heme intraseluler berkontribusi untuk mempertahankan
gradien difusi karbon monoksida dari plasma menjadi eritrosit dan
jaringan ekstravaskular. Protein heme dominan yang mempengaruhi
distribusi karbon monoksida adalah Hb eritrosit dan mioglobin otot.
Distribusi karbon monoksida dalam tubuh sebagian besar merupakan
cerminan dari distribusi Hb dan mioglobin, dengan beban karbon
monoksida terbesar ditemukan dalam darah, jantung, otot rangka, dan
limpa. Kontribusi darah dan otot rangka yang relatif besar terhadap total
konten karbon monoksida tubuh konsisten dengan kontribusi yang
dibuat oleh jaringan-jaringan ini terhadap total Hb tubuh dan mioglobin
otot. Pada umumnya, darah orang dewasa mengandung sekitar 12 mmol
Hb, dengan total kapasitas pengikatan sekitar 48 mmol karbon
monoksida saat jenuh total, dan otot mengandung sekitar 8 mmol
mioglobin, dengan total kapasitas pengikatan 8 mmol karbon monoksida
saat jenuh penuh .(U.S. Department of Health and Human Services:
Agency for Toxic Substances and Disease Registry, 2012)
3. Metabolisme.
Metabolisme karbon monoksida terdiri dari tiga proses utama: (1)
produksi metabolisme karbon monoksida dari prekursor endogen dan
eksogen; (2) pengikatan karbon monoksida dengan protein heme (mis.,
Hb, mioglobin, sitokrom); dan (3) metabolisme oksidatif karbon
monoksida menjadi karbon dioksida.(U.S. Department of Health and
Human Services: Agency for Toxic Substances and Disease Registry,
2012)
4. Ekskresi.
Karbon monoksida yang terserap dieliminasi dari tubuh melalui
pernafasan dan metabolisme oksidatif. Metabolisme oksidatif karbon
monoksida diperkirakan merupakan fraksi yang relatif kecil (<10%) dari
produksi karbon monoksida endogen. Dalam sebagian besar kondisi,
rute dominan eliminasi karbon monoksida terserap melalui pernafasan.
Mekanisme eliminasi karbon monoksida melalui pernafasan adalah

5
difusi, dengan kekuatan pendorong pada permukaan alveolar menjadi
perbedaan tekanan parsial antara karbon monoksida di udara alveolar
dan dalam darah kapiler alveolar. Yang terakhir dipertahankan pada
tingkat yang relatif rendah dengan mengikat karbon monoksida ke Hb.
Difusi juga merupakan mekanisme pelepasan karbon monoksida dari
penyimpanan intraseluler ke dalam darah, dengan kekuatan penggerak
dipengaruhi oleh pengikatan karbon monoksida dengan protein heme
ekstravaskular (mis., Mioglobin) dan darah Hb.(U.S. Department of
Health and Human Services: Agency for Toxic Substances and Disease
Registry, 2012)

Gambar 1
Toksikokinetik Karbon monoksida

IV. Toksikodinamik
Karbon monoksida memberikan efek pada metabolisme sel melalui mode
aksi hipoksia dan non-hipoksia. Kedua mode tindakan dianggap sebagian
besar (jika tidak sepenuhnya) merupakan hasil dari kemampuan karbon
monoksida untuk berikatan dengan heme dan mengubah fungsi dan / atau
metabolisme protein heme. Setelah terhirup karbon monoksida

6
menyebabkan hipoksia jaringan terutama mempengaruhi daerah yang tinggi
aliran darah dan kebutuhan oksigen. Afinitas pengikatan karbon monoksida
untuk hemoglobin lebih dari 200 kali lebih besar daripada oksigen untuk
hemoglobin menyebabkan jantung depresi dan berpotensi hipotensi.
Pembentukan COHb mengurangi daya dukung Oksigen darah dan merusak
pelepasan Oksigen dari Hb untuk pemanfaatannya dalam jaringan. Melalui
mekanisme yang sama, karbon monoksida mengurangi penyimpanan
oksigen dalam sel otot dengan mengikat dan menggantikan oksigen dari
mioglobin. Meskipun semua jaringan rentan terhadap cedera hipoksia yang
disebabkan oleh karbon monoksida, organ yang membutuhkan oksigen
tertinggi sangat rentan, termasuk otak dan jantung. Namun, mekanisme
patologi utama belum terbukti bahwa pengurangan oksigen disebabkan oleh
peningkatan carboxyhemoglobin. Efek toksik hasil dari karbon monoksida
mengikat sitokrom oksidase dan menghambat transpor rantai
electron.(Reumuth et al., 2018; U.S. Department of Health and Human
Services: Agency for Toxic Substances and Disease Registry, 2012)
Sebagian besar mekanisme aksi non-hipoksik karbon monoksida telah
dikaitkan dengan pengikatan karbon monoksida dengan protein selain Hb.
Sasaran penting karbon monoksida mencakup komponen dari beberapa
sistem pengaturan fisiologis yang penting, termasuk penyimpanan dan
pemanfaatan oksigen otak dan otot (mioglobin, neuroglobin); jalur
pensinyalan sel nitrit oksida (mis., nitrat oksida sintase, guanylyl cyclase);
jalur pensinyalan sel prostaglandin (cyclooxygenase, prostaglandin H
synthase); metabolisme energi dan respirasi mitokondria (sitokrom c
oksidase, sitokrom c, NADPH oksidase); steroid dan metabolisme obat
(sitokrom P450); keseimbangan redoks seluler dan spesies oksigen reaktif
(ROS; katalase, peroksidase); dan berbagai faktor transkripsi (mis., protein
domain PAS neuron, NPAS2, terlibat dalam regulasi ritme sirkadian). (U.S.
Department of Health and Human Services: Agency for Toxic Substances
and Disease Registry, 2012)

7
Keracunan karbon monoksida dapat menyebabkan turunnya kapasitas
transportasi oksigen dalam darah oleh hemoglobin dan penggunaan oksigen
di tingkat sel. Karbon monoksida mempengaruhi berbagai organ di dalam
tubuh, organ yang paling terganggu adalah yang mengkonsumsi oksigen
dalam jumlah besar yaitu jantung (pompa bahan bakar), paru – paru (sumber
bahan bakar), dan otak (kekuatan pendorong).(Downs, 2015)
Beberapa literatur menyatakan bahwa hipoksia ensefalopati yang terjadi
akibat dari keracunan karbon monoksida karena injuri reperfusi dimana
peroksidasi lipid dan pembentukan radikal bebas yang menyebabkan
mortalitas dan morbiditas. Efek toksisitas merupakan hasil dari hipoksia
seluler yang disebabkan oleh gangguan transportasi oksigen. Karbon
monoksida mengikat hemoglobin secara reversible, yang menyebabkan
anemia. Hal ini karena karbon monoksida mengikat hemoglobin kali lebih
kuat daripada oksigen. Kadar HbCO 16% sudah dapat menimbulkan gejala
klinis. Karbon monoksida yang terikat hemoglobin menyebabkan
menurunnya ketersediaan oksigen untuk jaringan.(Abe et al., 2018)
Karbon Monoksida mengikat myoglobin jantung lebih kuat dari pada
mengikat hemoglobin sehingga menyebabkan depresi miokard dan hipotensi
yang berakibat terjadinya hipoksia jaringan. Keadaan klinis terkadang tidak
sesuai dengan kadar HbCO menyebabkan kegagalan respirasi di tingkat
seluler. Karbon monoksida mengikat cytochromes c dan P450 yang daya
ikatnya lebih lemah dari oksigen sehingga diduga menyebabkan defisit
neuropsikiatris. Beberapa penelitian mengindikasikan bila karbon
monoksida dapat menyebabkan peroksidasi lipid otak dan perubahan
inflamasi di otak yang dimediasi oleh lekosit. Proses tersebut dapat
dihambat dengan terapi hiperbarik oksigen. Pada kasus keracunan berat,
pasien menunjukkan gangguan sistem saraf pusat sehingga menyebabkan
edema dan nekrosis fokal.(Palmer & Von Rueden, 2015)
Penelitian terakhir menunjukkan adanya pelepasan radikal bebas nitric oxide
dari platelet dan lapisan endothelium vaskuler pada keadaan keracunan

8
karbon monoksida yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan edema serebri.
(McRae, Pudwell, Peterson, & Smith, 2019; Palmer & Von Rueden, 2015)

Gambar 2
Deretan rantai proses pada fase kerja toksik dalam organisme secara
biologic

V. Biomarker Pajanan dan Efek


Pengukuran COHb darah adalah biomarker utama untuk mengidentifikasi
pajanan karbon monoksida. Hampir semua karbon monoksida dalam tubuh
berpasangan dengan Hb dan protein heme lainnya. Sekitar 60-70% dari
beban tubuh ada sebagai COHb darah. Oleh karena itu, pengukuran COHb
memberikan indikator yang berguna tentang peningkatan beban tubuh
karbon monoksida, meskipun kegunaan pengukuran COHb darah
merupakan skrining skala besar untuk pajanan atau keracunan yang tinggi
masih dipertanyakan. Hubungan antara kadar COHb dan pajanan lebih
kompleks karena banyak faktor fisiologis yang memengaruhi penyerapan
dan eliminasi karbon monoksida. Paruh waktu eliminasi karbon monoksida
yang diserap telah diperkirakan sekitar 300 menit; Oleh karena itu, nilai
COHb yang diukur pada waktu tertentu setelah pajanan akan mencerminkan
tingkat pajanan dan eliminasi karbon monoksida. Beberapa model
farmakokinetik telah dikembangkan dapat digunakan untuk memprediksi

9
kadar COHb darah yang akan sesuai dengan konsentrasi pemajanan dan
durasi yang diberikan pada orang dewasa pada umumnya dan pada janin
yang dihasilkan dari pajanan ibu. Model-model ini dapat digunakan untuk
merekonstruksi skenario kemungkinan pajanan karbon monoksida (mis.,
Konsentrasi, durasi dan kesenjangan antara pengukuran COHb dan
penghentian pajanan) yang dapat menghasilkan tingkat COHb terukur yang
diberikan.(U.S. Department of Health and Human Services: Agency for
Toxic Substances and Disease Registry, 2012)
Meskipun COHb darah mencerminkan beban tubuh karbon monoksida saat
ini, pengukuran COHb darah belum terbukti sebagai prediktor yang dapat
diandalkan untuk tingkat keparahan toksisitas akut (Hampson dan Hauff
2008). Selanjutnya, karena waktu yang telah berlalu antara penghentian
pajanan CO untuk pengukuran COHb, ditambah dengan efek intervensi
medis, COHb darah tidak memberikan perkiraan yang dapat diandalkan dari
tingkat pajanan CO. Secara umum, tanda dan gejala keracunan karbon
monoksida akut dapat muncul pada tingkat COHb mulai dari 3 hingga 24%.
Tingkat mulai dari 2 hingga 6% telah terbukti memperburuk kardiovaskular
yang mendasarinya. Penyakit, termasuk iskemia miokard yang meningkat
dan peningkatan aritmia jantung. Tanda keracunan karbon monoksida yang
lebih parah berkorelasi buruk dengan COHb darah, dengan kehilangan
kesadaran terjadi pada tingkat rata-rata 24,3% (kisaran: 2-70%) dan
kematian pada tingkat rata-rata 32,1%. Eksposur yang menghasilkan level
COHb> 50% biasanya berakibat fatal.(U.S. Department of Health and
Human Services: Agency for Toxic Substances and Disease Registry, 2012)
Diagnosis dan karakterisasi toksisitas karbon monoksida meliputi
pengukuran COHb darah dan penilaian tanda-tanda. Hal ini dianggap parah
apabila termasuk: (1) sakit kepala, mual, pelebaran pembuluh darah kulit,
muntah, pusing, dan penglihatan kabur; (2) kebingungan, sinkop, nyeri
dada, dispnea, kelemahan, takikardia, dan takhnea rhabdomiolisis; dan (3)
palpitasi, disritmia jantung, hipotensi, iskemia miokard, henti jantung, henti
napas, edema paru, kejang, dan koma. Pengujian neuropsikologis dan

10
neuroimaging telah dipertimbangkan untuk mengevaluasi efek sistem saraf
pusat. Penanda enzim jantung berhubungan dengan disfungsi miokard dan
peningkatan risiko kematian jantung jangka panjang setelah keracunan
karbon monoksida; penanda biokimia untuk cedera otak, seperti neuron-
spesifik enolase dan S-100 beta protein, belum ditemukan berkorelasi
dengan keparahan keracunan atau hasil klinis.(U.S. Department of Health
and Human Services: Agency for Toxic Substances and Disease Registry,
2012)
Efek pada sistem kardiorespirasi.
Setiap molekul karbon monoksida memasuki tubuh melalui paru – paru
bereaksi dengan hemoglobin, mengurangi kapasitas pembawa oksigen darah
dan menyebabkan stres yang terbatas pada organisme. Dengan demikian,
pada kondisi tidak ada dosis karbon monoksida itu bukan tanpa efek pada
tubuh. Tubuh mengkompensasi stress anoxic ini dengan meningkatkan
fungsi jantung atau dengan meningkatkan aliran darah ke organ tertentu,
seperti otak.(Downs, 2015; Varma et al., 2015)
Gejala dan tanda yang berhubungan dengan keracunan karbon monoksida
berhubungan erat dengan waktu lamanya pajanan. Hipoksia jaringan dan sel
dapat bersifat ringan sampai berat. Pada beberapa kasus, kadar COHb dalam
darah tidak mempunyai korelasi dengan gejala dan tanda yang timbul.
Lamanya waktu pajanan menjadi faktor yang sangat penting, lamanya
pajanan terhadap gas karbon monoksida selama satu jam dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas beberapa kali lipat. (Varma et al.,
2015)
Waktu paruh dari COHb ketika pasien menghirup udara ruangan adalah 4
sampai 6 jam dan dapat dikurangi menjadi menjadi 40 – 80 menit bila
pasien menghirup oksigen 100%. Terapi oksigen hiperbarik pada tekanan 2
– 3 atm dapat jauh lebih singkat waktu paruhnya menjadi kurang dari 30
menit. Karena lamanya waktu pajanan dan jarak waktu pemberian oksigen
100% pada-pasien yang terlambat, didapatkan kadar HbCO yang tinggi

11
(57%) pada pasien, sehingga pasien adalah kandidat yang kuat untuk
pemberian terapi oksigen hiperbarik. (Abe et al., 2018)
Efek toksik karbon monoksida secara langsung ke jantung bila terjadi
pajanan selama 4 jam. Efek terhadap kardiovaskular dapat berupa iskemia
miokard, edema pulmonal, aritmia dan sindrom miokardial. Efek
kardiovaskuler ini dapat disebabkan karena menurunnya fungsi jantung
yang disebabkan oleh hipoksia jaringan, reaksi karbon monoksida dengan
myoglobin dan menyebabkan kurangnya pelepasan oksigen ke sel.
Pada beberapa penelitian, dilaporkan adanya abnormalitas konduksi jantung
akibat keracunan karbon monoksida yang merupakan efek dari iskemia
miokard dan infark otot jantung. Perubahan secara patologi anatomi yang
ditemukan dapat berupa nekrosis miokard, infiltrasi lekosit dan bercak-
bercak perdarahan pada otot jantung sehingga terjadi peningkatan kadar
Creatinin Kinase Myocardial Band.(Varma et al., 2015)
Efek pada sistem saraf.
Manifestasi klinis yang paling sering muncul pada pasien dengan intoksikasi
karbon monoksida adalah rasa lemah, sakit kepala, nausea, rasa cemas dan
kesulitan berpikir. Pasien juga sering mengalami nistagmus, ataksia dan
pada intoksikasi akut yang berat dapat ditemukan edema serebri.
Pasien dengan keracunan karbon monksida mengalami berbagai gejala
neuropsikiatri serta berbagai temuan melalui magnetik resonance imaging
(MRI). Secara klinis, pasien dengan gejala ringan seperti sakit kepala dan
mual dan kemungkinan terparah mengalami koma dan kematian. Pasien
dengan keracunan karbon monoksida akut muncul dengan berbagai
perubahan mental, sehingga diagnosis dini dan pengobatan sangat penting.
Keracunan karbon monoksida biasanya menyebabkan lesi iskemik di
bilateral globi Pallidi dari ganglia basal, termasuk corpus callosum,
thalamus, hippocampus, materi putih periventrikular, dan korteks serebral
mungkin terlibat.(Lee et al., 2016)
Dari beberapa penelitian, pemeriksaan neuroimaging yang paling sering
didapatkan adalah lesi dengan densitas rendah di globus palidus. Penelitian

12
terbaru berpendapat bahwa karbon monoksida dapat menyebabkan hipoksia
yang diikuti oleh injuri reoksigenasi dari sistem saraf pusat. Pada taruma
serebri karena pajanan karbon monoksida dengan konsentrasi tinggi, terjadi
perubahan oksidasi vaskuler yang dipicu oleh spesies reaktif nitrogen yang
diduga menyebabkan rangkaian reaksi biokimia yang mengakibatkan
aktivasi dan adhesi lekosit yang kemudian diikuti dengan peroksidasi lipid
di otak. (Varma et al., 2015)
Keadaan hipoksia ini menyebabkan sel-sel endotelial dan platelet
melepaskan asam nitrat, yang kemudian membentuk radikal bebas
peroksinitrat. Jika hal ini terjadi di otak dapat menyebabkan disfungsi
mitokondria, kebocoran kapiler, sequestrasi lekosit dan apoptosis. Keadaan
patologis ini paling sering terjadi saat fase pemulihan (reperfusi) di saat
peroksidasi lipid terjadi. Hasil selanjutnya adalah demyelinisasi serebral
yang sifatnya reversibel. Perubahan, tersebut biasanya dapat terdeteksi pada
pemeriksaan MRI. (Lee et al., 2016; Varma et al., 2015)
Peran dari nitric oxide (NO) dan radikal bebas oksigen lainnya sudah
banyak diteliti dengan latar belakang keracunan karbon monoksida.
Beberapa riset pada hewan menunjukkan vasodilatasi serebral setelah
pajanan karbon monoksida, yang berhubungan dengan hilangnya kesadaran
sementara dan peningkatan kadar NO dalam darah. Diduga kehilangan
kesadaran tersebut berhubungan dengan relaksasi pembuluh darah yang
dimediasi oleh NO dan menyebabkan rendahnya aliran darah.(Coşkun,
Eren, Eren, & Korkmaz, 2018)
Nitrit oksida juga merupakan vasodilator sistemik yang dapat menyebabkan
hipotensi. Adanya hipotensi sistemik pada keracunan karbon monoksida ini
berhubungan dengan derajat keparahan lesi serebral khususnya pada daerah
yang membutuhkan perfusi oksigen yang tinggi. Nitrit oksida berperan
dalam kerusakan otak secara oksidatif yang bertanggung jawab terjadinya
gangguan neurologis yang tertunda. NO dapat mempengaruhi adhesi netrofil
di endotel, dengan cara mengganggu fungsi dari molekul adhesi p2-integrin
sehingga memacu aktivasi xantin oksidase, formasi radikal bebas, kerusakan

13
oksidatif dan peroksidase lipid serebral, yang diduga menyebabkan
gannguan neurologis yang tertunda (delayed neurologic sequele). (Sönmez
et al., 2018)
Peroksidasi lipid serebral setelah keracunan karbon monoksida merupakan
fenomena reperfusi post iskemik, yang dimediasi oleh gangguan aliran
darah otak dan kerusakan yang disebabkan oleh oksigen radikal bebas.
Periode tidak sadarkan diri dan terjadinya hipotensi pada pasien dapat
menyebabkan peroksidasi lipid tersebut. Dalam beberapa penelitian, NO
inhibitor dapat mencegah terjadinya vasodilatasi serebral dan kerusakan
oksidatif. (McRae et al., 2019)
Efek pada kulit, otot dan jaringan lunak.
Hipoksia dapat terjadi menyeluruh dari tingkat seluler dan jaringan sehingga
berefek pada kulit, otot dan jaringan lunak. Pada orang kulit putih bisa
ditemukan kulit berwarna seperti buah cherry (cherry red) tetapi hal ini
jarang terjadi. Sebuah penelitian terbaru menyatakan bahwa meningkatnya
karbon monoksida berperan dalam lesi mukosa oral, yang mengarah ke
neoplasma rongga mulut. (Downs, 2015; Gregorczyk-Maga et al., 2019)
Efek pada Bayi, Ibu dan Janin
Karbon monoksida melintasi plasenta secara bebas. Penyumbatan
hemoglobin ibu dan janin oleh karbon monoksida mengakibatkan masalah
serius pada janin, terutama di minggu – minggu terakhir kehamilan.
Hemoglobin ibu dan hemoglobin janin tidak identik. Hemoglobin janin
memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap karbon monoksida
dibandingkan dengan hemoglobin ibu. Hampir 2 hari yang diperlukan untuk
mencapai keseimbangan dalam hemoglobin ibu dan janin, dan pada
kesetimbangan COHb janin sedikit lebih tinggi dari COHb ibu. Merokok
merupakan faktor risiko yang diakui selama kehamilan. Hasil analisis dari
60 kasus pajanan karbon monoksida terhadap ibu hamil dan disimpulkan
bahwa pajanan akut parah karbon monoksida dapat menyebabkan kematian
janin serta malformasi anatomis dan perubahan fungsional.(Palmer & Von
Rueden, 2015; Varma et al., 2015)

14
VI. Pajanan Terhadap Lingkungan
1. Udara
Karbon monoksida adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
menyebabkan iritasi, dan tidak berasa yang ada di mana-mana di
atmosfer. Ini muncul dari sumber alami dan antropogenik. Ini
diproduksi sebagai polutan utama selama pembakaran bahan bakar fosil
dan biomassa yang tidak lengkap. Karbon monoksida juga diproduksi
secara tidak langsung dari oksidasi fotokimia metana dan senyawa
organik volatil lainnya (VOC) di atmosfer. Vegetasi dapat
memancarkan karbon monoksida langsung ke atmosfer sebagai produk
sampingan metabolisme, dan fotooksidasi bahan organik di perairan
permukaan (danau, sungai, sungai, lautan) dan tanah permukaan juga
menghasilkan pembentukan karbon monoksida.(U.S. Department of
Health and Human Services: Agency for Toxic Substances and Disease
Registry, 2012)
Tingkat udara karbon monoksida dalam ruangan sangat tergantung pada
kebiasaan merokok, jenis peralatan dan unit pemanas yang digunakan di
rumah atau bangunan, dan apakah rumah atau bangunan memiliki
garasi terpasang untuk mobil. Tingkat karbon monoksida dari
penggunaan peralatan akan tergantung pada beberapa faktor, seperti
jenis bahan bakar yang digunakan, ventilasi, desain alat, laju konsumsi
bahan bakar, pola penggunaan, dan kondisi operasi. Perkiraan
kuantitatif telah dibuat mengenai emisi karbon monoksida dari tungku
pembakaran kayu dan perapian dalam kondisi operasi normal.(U.S.
Department of Health and Human Services: Agency for Toxic
Substances and Disease Registry, 2012)
2. Air
Pelepasan antropogenik langsung karbon monoksida ke air tidak
diharapkan; Namun, proses alami terjadi yang menghasilkan
pembentukan karbon monoksida di perairan. Fotodegradasi bahan
organik terlarut terutama bertanggung jawab untuk memproduksi

15
karbon monoksida di permukaan perairan yang diterangi matahari.
Emisi dari lautan adalah sumber kecil karbon monoksida dengan
perkiraan berkisar dari sekitar 10 hingga 100 teragram (Tg) setiap
tahun.(U.S. Department of Health and Human Services: Agency for
Toxic Substances and Disease Registry, 2012)
3. Tanah
Pembentukan karbon monoksida dalam tanah tampaknya terjadi oleh
proses abiotik, seperti dekomposisi termal atau fotodekomposisi bahan
organik. Secara umum, kondisi hangat dan lembab yang ditemukan di
sebagian besar tanah mendukung penyerapan karbon monoksida,
sedangkan kondisi panas dan kering seperti yang ditemukan di padang
pasir dan beberapa sabana mendukung pelepasan karbon monoksida
dari tanah ke atmosfer dengan perkiraan emisi tahunan sekitar 30 Tg
per tahun.(U.S. Department of Health and Human Services: Agency for
Toxic Substances and Disease Registry, 2012)

Gambar
Mekanisme Pajanan Karbon Monoksida

16
VII. Nasib Karbon Monoksida Di Lingkungan
1. Transportasi dan Partisi
Karbon monoksida adalah gas yang akan menyekat ke atmosfer dan
didistribusikan secara global oleh gerakan horizontal angin. Arah angin
menentukan transportasi horizontal karbon monoksida dan dampak
emisi apa yang akan terjadi pada satu lokasi ke lokasi lain. Tingkat
karbon monoksida mungkin tinggi di sekitar sumber-sumber lokal, dan
lokasi-lokasi di bawah angin dari sumbernya juga dapat meningkat.
Pengangkutan karbon monoksida di lokasi perkotaan sangat kompleks
dan dapat dipengaruhi oleh geometri ngarai jalanan, topografi di sekitar
jalan raya, dan adanya hambatan kebisingan, vegetasi, dan bangunan,
serta faktor meteorologi lokal.(U.S. Department of Health and Human
Services: Agency for Toxic Substances and Disease Registry, 2012)
2. Transformasi dan Degradasi
Udara
Karbon monoksida umumnya stabil dalam kondisi lingkungan. Reaksi
dengan oksigen molekuler (O2) atau uap air sangat lambat pada suhu
dan tekanan sekitar. Karbon monoksida bereaksi dengan atom oksigen
triplet, diproduksi oleh fotodegradasi atmosfer nitrogen dioksida dan
ozon, atau oksigen atom, yang dibentuk oleh fotodisosiasi molekul O2
di stratosfer untuk membentuk CO2. Namun, jalur degradasi utama
karbon monoksida di troposfer adalah melalui reaksinya dengan radikal
hidroksil yang dihasilkan secara fotokimia. Ini menghasilkan
pembentukan CO2 dan atom hidrogen yang bereaksi cepat dengan O2
untuk membentuk radikal peroksi. Radikal hidroksil terbentuk secara
fotokimia oleh sinar matahari; oleh karena itu, level mereka di udara
dalam ruangan akan diabaikan.(U.S. Department of Health and Human
Services: Agency for Toxic Substances and Disease Registry, 2012)
Air
Meskipun lautan dan badan air lainnya dianggap sebagai sumber karbon
monoksida di lingkungan, bukti menunjukkan bahwa berbagai

17
mikroorganisme dapat mendegradasi karbon monoksida di dalam air.
(U.S. Department of Health and Human Services: Agency for Toxic
Substances and Disease Registry, 2012)
Tanah dan Sedimen
Tanah dapat bertindak sebagai sumber atau penyerap karbon monoksida,
tergantung pada kelembaban tanah, intensitas sinar matahari mencapai
permukaan tanah, dan suhu tanah. Secara umum, kondisi hangat dan
lembab yang ditemukan di sebagian besar tanah mendukung
penyerapan, sedangkan kondisi panas dan kering seperti yang ditemukan
di padang pasir dan beberapa sabana mendukung pelepasan karbon
monoksida. Oksidasi karbon monoksida menjadi CO2 telah ditunjukkan
baik untuk mikroorganisme aerob maupun anaerob.(U.S. Department of
Health and Human Services: Agency for Toxic Substances and Disease
Registry, 2012)

VIII. Kesimpulan
Keracunan Karbon monoksida merupakan salah satu jenis keracunan
melalui inhalasi di yang dapat menyebabkan kesakitan dan kematian yang
tinggi serta melibatkan beberapa sistem organ. Karbon monoksida, yang
dikenal sebagai silent killer, masuk ke tubuh melalui proses inhalasi dan
diserap oleh paru - paru. Karbon monoksida diabsorbsi ke dalam darah
sebagai gas menyebabkan keadaan sesak nafas. Target utama adalah oksigen
dan langsung berkorelasi dengan spesifik dengan hemoglobin menghasilkan
senyawa COHb. Karena konsentrasi COHb meningkat,
formaoksihemoglobin pada setiap konsentrasi oksigen dalam penurunan
udara yang dihirup. COHb adalah penyebab utama keracunan karbon
monoksida. Keracunan karbon monoksida memberi efek terhadap system
kardiorespirasi, system saraf, otot, kulit dan jaringan lunak serta
berpengaruh pada ibu hamil, perkembangan janin dan bayi.

18
IX. Referensi
Abe, N., Nishihara, T., Takasaki, Y., Asano, M., Hamada, T., Sekiya, K., …
Yorozuya, T. (2018). Carbon monoxide poisoning–induced delayed
encephalopathy accompanies decreased microglial cell numbers: Distinctive
pathophysiological features from hypoxemia–induced brain damage. Brain
Research, 1710(September 2018), 22–32.
https://doi.org/10.1016/j.brainres.2018.12.027
Aprilia, Devita Nur; Nurjazuli; Joko, T. (2017). Analisis Risiko Kesehatan
Lingkungan Pajanan Gas Karbon Monoksida (Co) Pada Petugas Pengumpul
Tol Di Semarang. JKM E-Journal, 5, 367–375.
Coşkun, A., Eren, F. A., Eren, Ş. H., & Korkmaz, İ. (2018). Predicting of
neuropsychosis in carbon monoxide poisoning according to the plasma
troponin, COHb, RDW and MPV levels: Neuropsychoses in carbon
monoxide poisoning. American Journal of Emergency Medicine.
https://doi.org/10.1016/j.ajem.2018.09.017
Downs, J. C. U. (2015). Carbon Monoxide Exposure: Autopsy Findings.
Encyclopedia of Forensic and Legal Medicine: Second Edition (Vol. 1).
Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-800034-2.00058-6
Gregorczyk-Maga, I., Maga, M., Wachsmann, A., Janik, M. K., Chrzastek-Janik,
O., Bajkowski, M., … Koziej, M. (2019). Air pollution may affect the
assessment of smoking habits by exhaled carbon monoxide measurements.
Environmental Research, 172(November 2018), 258–265.
https://doi.org/10.1016/J.ENVRES.2019.01.063
Lee, I. H., Kim, D. M., Yoo, D. S., Park, J. Y., Hwang, S.-B., & Song, C. J.
(2016). Acute carbon monoxide poisoning: MR imaging findings with
clinical correlation. Diagnostic and Interventional Imaging, 98(4), 299–306.
https://doi.org/10.1016/j.diii.2016.10.004
McRae, K. E., Pudwell, J., Peterson, N., & Smith, G. N. (2019). Inhaled carbon
monoxide increases vasodilation in the microvascular circulation.
Microvascular Research, 123, 92–98.
https://doi.org/10.1016/j.mvr.2019.01.004
Palmer, J., & Von Rueden, K. (2015). Carbon Monoxide Poisoning and
Pregnancy: Critical Nursing Interventions. Journal of Emergency Nursing,
41(6), 479–483. https://doi.org/10.1016/j.jen.2015.07.013
Reumuth, G., Alharbi, Z., Houschyar, K. S., Kim, B. S., Siemers, F., Fuchs, P. C.,
& Grieb, G. (2018). Carbon monoxide intoxication: What we know. Burns,
6–10. https://doi.org/10.1016/j.burns.2018.07.006
Sandilands, E. A., & Bateman, D. N. (2016). Carbon monoxide. Medicine (United
Kingdom), 44(3), 151–152. https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2015.12.024
Sönmez, B. M., İşcanlı, M. D., Parlak, S., Doğan, Y., Ulubay, H. G., & Temel, E.
(2018). Delayed neurologic sequelae of carbon monoxide intoxication.
Turkish Journal of Emergency Medicine, 18(4), 167–169.
https://doi.org/10.1016/j.tjem.2018.04.002
U.S. Department of Health and Human Services: Agency for Toxic Substances
and Disease Registry. (2012). Toxicological Profile for Carbon Monoxide.
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR), (June), 1–347.

19
Retrieved from http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp201.pdf
Varma, D. R., Mulay, S., & Chemtob, S. (2015). Carbon Monoxide: From Public
Health Risk to Painless Killer. Handbook of Toxicology of Chemical Warfare
Agents: Second Edition. Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-
800159-2.00021-X

20

Anda mungkin juga menyukai