ETNIS MANDAR
OLEH :
KELOMPOK 6
ANGGOTA KELOMPOK :
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
2
canggihnya teknologi, banyak masyarakat Mandar yang lebih memilih
menggunakan perahu modern daripada perahu Sandeq, pengenalan kedua alat
ini kepada masyarakat umum sangatlah penting.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sajarah berdirinya Mandar?
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah
Kabupaten Polewali Mandar adalah salah satu dari 6 kabupaten yang
ada di Provinsi Sulawesi Barat. Wilayah Kabupaten Polewali Mandar adalah
wilayah yang sebelumnya tergabung di dalam beberapa kerajaan pada
Persekutuan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga.
Sejarah berdirinya Kabupaten Polewali Mandar tidak bisa dilepaskan
dari rentetan panjang sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan pembentukan Propinsi Sulawesi. Dalam catatan sejarah disebutkan pada
masa penjajahan, wilayah Kabupaten Polewali Mandar adalah bagian dari 7
wilayah pemerintahan yang dikenal dengan nama Afdeling Mandar yang
meliputi empat Onder afdeling, yaitu Onder Afdeling Majene beribukota
Majene, Onder Afdeling Mamuju beribukota Mamuju, Onder Afdeling
Polewali beribukota Polewali dan Onder Afdeling Mamasa beribukota
Mamasa. Keempat Onder Afdeling tersebut masuk dalam daerah Swatantra
Mandar, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
1952 dan Nomor 2 Tahun 1953. Namun setelah ditetapkannya Undang
Undang Nomor 29 Tahun 1959 Tanggal 4 Juli 1959 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah di Sulawesi, maka seluruh daerah Swatantra di wilayah 38
Propinsi Sulawesi yang telah dibentuk berdasarkan peraturan perundang-
undangan dinyatakan dicabut.
Dalam konteks Kabupaten Polewali Mamasa, sejarah pembentukannya
tidak bisa dilepaskan dari peran Panitia Penuntut Kabupaten. Dalam buku
Inventarisasi Arsip Pemerintah Daerah Polmas yang diterbitkan oleh Badan
Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dijelaskan bahwa
4
sejarah pembentukan Kabupaten Polewali Mamasa 1960 diawali dengan
pembentukan Tim/Panitia Penuntut Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat
II Polewali Mamasa.
Panitia penuntut terbentuknya Daerah Tingkat II Polewali Mamasa
segera menyusun rencana strategis dalam bentuk konsep dan aksi yang akan
diusulkan kepada Pemerintah untuk menyatukan Onder Afdeling Polewali
dan Onder Afdeling Mamasa menjadi satu kabupaten. Ada beberapa ide yang
berkembang dalam pemeberian nama kabupaten tersebut. Sebagian tokoh
masyarakat menghendaki nama kabupaten yang akan dibentuk diberi nama
Kabupaten Balanipa berdasarkan tinjauan historisnya. Di sisi lain ada juga
yang menghendaki nama kabupaten yang akan di bentuk menjadi Kabupaten
Maspol singkatan dari nama Mamasa Polewali. Namun setelah Panitia
Penuntut Kabupaten melaksanakan musyawarah secara mufakat maka
ditetapkanlah nama Kabupaten Polewali Mamasa sebagai nama kabupaten
yang akan diusulkan ke Pemerintah Pusat dengan Ibu kotanya Wonomulyo.
Delegasi ini berjuang ditingkat pusat untuk memperjuangkan aspirasi
masyarakat dalam rangka percepatan pembentukan Daerah Tingkat II
Polewali Mamasa dibantu oleh salah seorang anggota DPRGR/MPRS asal
daerah Polewali Mamasa, H.Syarifuddin. Setelah melalui perjuangan
panjang, akhirnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 ditetapkan dalam
Sidang Pleno DPR-GR Pusat dan terbentuklah Kabupaten Daerah Tingkat II
Polewali Mamasa bersama Daerah Tingkat II lainnya di Sulawesi dengan
ibukota Polewali. Pemindahan rencana 40 ibu kota dari Wonomulyo ke
Polewali didasarkan pada berbagai pertimbangan diantaranya pertimbangan
sosial, ekonomi dan politik.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang Undang Nomor 29
Tahun 1959 diadakanlah pembenahan berupa pengaturan dan
penyempurnaan aparat kelengkapan pemerintahan pada masing-masing
Daerah Tingkat II. Untuk Kabupaten Daerah Tingkat II Polewali Mamasa,
5
pemerintah menunjuk dan melantik Andi Hasan Mangga sebagai Bupati
pertama Kabupaten Polewali Mamasa pada tanggal 20 Februari 1960
sekaligus serah terima jabatan dari, Mattotorang Dg. Massikki selaku Ex.
Residen Afdeling Mandar.
Hasil perjuangan rakyat Polewali Mamasa di wilayah pegunungan
berujung manis dengan lahirnya Undang-undang nomor 11 Tahun 2002
tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa, sebagai pemekaran dari
Kabupaten Polewali Mamasa.
Setelah melalui kajian yang mendalam dengan melibatkan berbagai
komponen terutama para akademisi, budayawan, sejarawan, LSM, Ormas,
tokoh 41 masyarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda termasuk Pemerintah,
nama Kabupaten Polewali Mamasa akhirnya berubah menjadi Kabupaten
Polewali Mandar, yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74
Tahun 2006 tentang Perubahan nama Kabupaten Polewali Mamasa Menjadi
Kabupaten Polewali Mandar. Kemudian melalui sidang paripurna DPRD
tanggal 27 Mei 2009 ditetapkanlah Peraturan Daerah Kabupaten Polewali
Mandar Nomor 2 Tahun 2009 tentang Hari Jadi Kabupaten Polewali Mandar
yang jatuh pada tanggal 29 Desember dan diperingati setiap tahunnya.
Secara sosioantropologis, masyarakat Kabupaten Polewali Mandar
terdiri dari berbagai macam etnis, agama dan Budaya antara lain; Mandar
sebagai etnis mayoritas, Bugis, Jawa, Makassar, Toraja, Mamasa dan lain-
lain, serta sub etnis Pitu Ulunnna Salu (PUS), Pattae’, Palili, Pannei, Pattinjo
dan lain-lain. Keanekaragaman etnis dan sub etnis ikut mewarnai konfigurasi
budaya masarakat Polewali Mandar yang sangat kaya dengan nilai budaya,
seni, tradisi , dan berbagai kearifan lokal lainnya. Tidak kalah pentingnya,
bahwa keanekaragaman tersebut bukan merupakan 42 potensi yang dapat
menimbulkan dis-integrasi, namun justru menjadi perekat terjalinnya
kebersamaan, persatuan, dan kesatuan rakyat Polewali Mandar sebagai
modal utama dalam memacu pembangunan Kabupaten Polewali Mandar
6
menjadi masyarakat yang sejahtera, aman, damai, tertib dan makmur, serta
memiliki daya saing dan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika.1
2. Arti Kata Mandar
Kata Mandar memiliki tiga arti yaitu :
1. Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat
menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah
penyebutannya menjadi Mandar.
2. Kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai
3. Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam
perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar
yang berarti tempat yang jarang penduduknya.
Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan
tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan
keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar
yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata
mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa
penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di
pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih
dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak
penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan
(digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada
adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa,
sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan
Sungai Mandar.
1
Adli Azhari, Skripsi Representasi Nilai-nilai Budaya Lokal Dalam Lambang Daerah Kabupaten
Polewali Mandar, (Gowa: Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, 2017), h. 37-42.
7
Pertemuan budaya Mandar dengan ajaran Islam melahirkan budaya-
budaya yang berkembang menjadi budaya Islam dalam masyarakat Mandar.
Pada awal perkembangannya bagi masyarakat Mandar, budaya sayyang
pattu’du dan khatam al-Qur’an memiliki pertalian yang sangat erat antara
yang satu dengan yang lainnya. Sebab, budaya sayyang pattu’du digelar
untuk mengapresiasi anak yang telah mengkhatamkan bacaan al-Qur’annya.
Apresiasi tinggi itu dalam bentuk menunggang kuda yang telah terlatih
diiringi bunyi rebana dan untaian kalindaqdaq puisi Mandar dari
pakkalindaqdaq berisi pujian. Antraksi kuda menari atau yang lazim disebut
Sayyang pattu’du adalah salah satu antraksi budaya unik dari suku Mandar
Sulawesi Barat pada khususnya, Sayyang Pattu’du yang diiringi pukulan
rebana dengan syair lagu bernuansa Islam-Mandar biasanya dilaksanakan
pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw (pammunuang),
perkawinan dan khatam al-Qur’an dalam hal ini anak-anak yang sudah
khatam 30 juz.
Kuda yang lihai menari dengan cara manggut-manggut dan
menggoyangkan kaki serta pinggulnya ini bisa kita jumpai di kab. Polewali
Mandar Sulawesi Barat. Dalam acara syukuran yang dilaksanakan warga
suku Mandar antraksi Sayyang pattu’du atau kuda menari adalah salah satu
warisan budaya suku Mandar yang unik dan bernuansa religi. Uniknya
antraksi kuda terlatih ini ditunggangi pada umumnya gadis jelita kemudian
diarak keliling kota dengan diiringi tabuhan rebana. Sepanjang jalan yang
dilalui kuda akan terus menari dan terus bergoyang mengikuti iringan musik
yang bernuansa Islami. Keunikan antraksi ini mampu menyedot perhatian
masyarakat di sepanjang jalan yang dilalui, Acara seperti ini merupakan
perpaduan antara pelestarian budaya dengan syiar agama yang konon dimana
dahulu kuda merupakan alat penyebaran agama Islam di tanah Mandar. Bagi
masyarakat Mandar acara khatam al-Qur’an dan budaya Sayyang Pattu’du
sudah memiliki keterkaitan erat antara satu dengan yang lainnya, acara ini
8
tetap mereka lestarikan dengan baik, bahkan penyelenggaran pesta budaya
ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi tidak ada yang tahu pasti kapan
pertama kalinya dilaksanakan. Selain pada perayaan maulid Sayyang
Pattu’du di tanah Mandar ini juga kerap ditampilkan pada acara perkawinan.
Sayyang pattu’du yang juga merupakan aset budaya Mandar dalam hal ini
sebagai Negara yang memiliki jutaan keunikan baik dari segi suku, budaya,
bahasa dan lain sebagainya. Menurut penulis Budaya Sayyang Pattu’du’
sangat disayangkan jika tidak dilestarikan oleh pemerintah daerah, pasalnya
budaya seperti ini memiliki daya tarik untuk mendatangkan wisatawan lokal
dan mancanegara bertandang ke tanah Mandar.2
9
memiliki makna dan filosofi yang berhubungan erat dengan adat istiadat
suku Mandar yang sejak dulu dijalani, dilestarikan, dan dijaga bersama.
Sementara jumlah anak tangga yang menjadi akses menuju rumah
biasanya terdiri dari jumlah yang ganjil, antara 7 hingga 13 tangga.
Kemudian untuk bagian dindingnya dilengkapi desain ukiran khas suku
Mandar. Jumlah ruangan di rumah ini terbilang cukup banyak dan masing-
masing ruangan memiliki fungsi khusus. Masyarakat setempat sering
menyebut ruangan dengan istilah lontang. Lontang sendiri terbagi menjadi
dua yaitu lontang utama dan lontang tambahan.
Ada tujuh pembagian ruang atau kamar pada rumah adat Sulawesi
Barat boyang, dimana tiga bagian merupakan lotang utama (samboyang,
tangnga boyang, dan bui boyang) serta empat bagian adalah lotang
tambahan (tapang, paceko, lego-lego, dan naong boyang).
1) Lotang Utama
Samboyang
Ruangan ini letaknya di bagian depan rumah, yang berupa teras, dan
berfungsi sebagai ruangan terdepan tempat para pria berkumpul
ketika ada acara adat. Ruangan ini juga digunakan sebagai area
penerimaan tamu. Ukuran samboyang bisa dibilang cukup lebar.
Tangnga Boyang
10
Bui Boyang
2) Lotang Tambahan
Tapang
Paceko
11
Lego-Lego
Naong Boyang
12
2. Setiap ornamen yang terdapat pada rumah boyang memiliki nilai-nilai
filosofis dan oleh masyarakat sekitar dipercayai sebagai identitas
sosial dari suku Mandar yang menghuni kawasan Sulawesi Barat.
Rumah adat boyang terdiri menjadi dua jenis yaitu boyang adaq
dan boyang beasa.
13
sendiri masih bisa ditemui di beberapa daerah di Sulawesi Barat. Meski
jumlahnya terbatas, namun bangunan-bangunan tersebut masih terus
dihuni dan menjadi warisan budaya yang wajib dijaga kelestariannya.3
14
sangat digemari oleh masyarakat Sulawesi karena memiliki cita rasa
manis dan legit.Bahan utama untuk membuat makanan khas yang satu ini
adalah tepung beras dan gula aren yang dicampur dan kemudian
dibungkus dengan daun pisang. Setelah matang, Kue Paso akan disajikan
dengan tambahan santan kental di atasnya.
BAB III
15
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah Asal Usul dan Peradaban Suku Mandar Sulawesi Barat.
Mandar merupakan salah satu etnis suku yang mendiami provinsi Sulawesi
Barat. Sebelum terjadi pemekaran suku Mandar masuk dalam wilayah
Sulawesi Selatan bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja.
Walaupun telah mekar menjadi provinsi sendiri, secara historis dan kultural
Mandar tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi
Selatan.
Pertemuan budaya Mandar dengan ajaran Islam melahirkan budaya-
budaya yang berkembang menjadi budaya Islam dalam masyarakat Mandar.
Salah satu budaya kearifan lokal yang ada di Mandar yaitu Sayyang Pattu’du.
Pada awal perkembangannya bagi masyarakat Mandar, budaya sayyang
pattu’du dan khatam al-Qur’an memiliki pertalian yang sangat erat antara
yang satu dengan yang lainnya.
Rumah adat boyang terdiri menjadi dua jenis yaitu boyang adaq dan
boyang beasa. Rumah adat yang terdapat di Sulawesi Barat menggambarkan
bagaimana warna-warninya kebudayaan Indonesia yang tidak terbatas,
dimana setiap daerah memiliki jati diri yang sama-sama saling melengkapi
satu dengan yang lainnya. Keanekaragaman ini juga menjadi simbol kesatuan
dan perwujudan dari Bhinneka Tunggal Ika.
16
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: https://adat-tradisional.blogspot.com/2016/10/rumah-adat-sulawesi-
barat-rumah-boyang.html
17