Anda di halaman 1dari 4

1.

Suku Mursi, Ethiopia

Mereka memiliki tradisi kecantikan dengan memakai piringan dari tanah liat
yang didekorasi warna-warni di bagian bibir bawah. Piringan tersebut diberi
nama dengan istilah 'dhebi', menjadikannya sebagai karateristik spesial bagi
perempuan Mursi.
belakang tradisi memasang piring di bibir ini, sebenarnya, suku Mursi bukanlah
satu-satunya suku yang mengaplikasikannya pada kehidupan mereka sehari-
hari. Para arkeolog pernah menemukan bukti bahwa pemasangan piring di bibir
ini ditemukan juga di wilayah seperti Sudan (tahun 8700 sebelum masehi),
bahkan hingga negara-negara di wilayah Amerika Selatan (tahun 1500 sebelum
masehi).
Faktanya, masih belum jelas apa 'teori' dan latar belakang sebenarnya di balik
tradisi kecantikan ini. Ada yang bilang, bahwa laki-laki Mursi ingin
'melindungi' para perempuan dengan cara membuat mereka tampak kurang
menawan mengingat ratusan hingga ribuan tahun lalu, para perempuan di
Afrika diperjual-belikan untuk menjadi budak. Sehingga, hal tersebut bisa
membuat mereka terbebas dari saudagar budak. Entah benar atau tidak, tak
dapat dipungkiri, tradisi ini masih berlanjut dan bisa ditemukan hingga hari ini.
Namun pernyataan tersebut telah dibantah. Pelat bibir yang terpasang pada
penduduk wanita Suku Mursi memiliki nilai simbolis.
Bahkan, wanita yang tidak memakai pelat bibir akan dimarahi dan dianggap
malas. Kemungkinan, hal tersebut menyebabkan mahar yang dibayarkan
menjadi lebih sedikit.

Proses untuk menggunakan piring di bibir ini pun harus melalui tahapan yang
menyakitkan dan menyiksa. Menurut situs Mursi Online, saat seorang gadis
sudah berusia 15 atau 16 tahun, bibir bagian bawah mereka akan digunting. Di
beberapa kasus, bahkan mereka harus menanggalkan dua hingga empat gigi
bagian bawah untuk bisa mendapatkan bentuk yang maksimal. Proses
pengguntingan tersebut biasanya dilakukan oleh ibu mereka, atau perempuan
dewasa lainnya yang mereka percaya.
Luka dari proses pengguntingan tersebut akan disumbat dengan potongan kayu
sampai sembuh dan kering. Biasanya, luka tersebut akan pulih dalam waktu tiga
bulan lamanya.
Meski demikian, setiap gadis berhak menentukan seberapa panjang mereka
ingin membiarkan bibir bawah mereka untuk 'melar' ke bawah. Jika ingin melar
dan lebar, mereka akan terus menyumbat dengan pipihan kayu yang semakin
besar dari bulan ke bulan. Proses tersebut dilakukan hingga mereka bisa
menaruh piringan besar di bagian bibir bawah.
Dikutip dari situs The New Times, piringan tanah liat ini membuat mereka
merasa lebih cantik. "Lihat aku sekarang! Tanpa piring tanah liatku, aku terlihat
menakutkan. Tidak ada yang memperhatikanku. Namun kamu lihat, aku akan
memakai piringan ini sekarang, dan aku menjadi perempuan paling cantik di
dunia!" ungkap salah satu perempuan Mursi kepada seorang reporter yang
berkunjung ke desa mereka.
Selain ornamen piringan tanah liat di bibir, perempuan Mursi juga mengecat
wajah dan tubuh mereka. Tak jarang, mereka mengenakan berbagai dekorasi,
seperti manik-manik, tanduk hewan, kain warna-warni, dan ornamen lainnya.
Namun tradisi ini mulai ditinggalkan oleh kaum muda. Karena tidak ada unsur
paksaan oleh pria bagi perempuan Mursi yang ingin atau tidak ingin
melakukannya. Faktanya, banyak juga perempuan yang menikah tanpa
memotong dan memakai piringan tanah liat tersebut. Namun, karena tekanan
sosial dan keinginan untuk 'menyatu' dengan tradisi, banyak pula perempuan
Mursi dewasa yang baru memotong bibir mereka setelah memiliki satu atau dua
anak.
Tradisi yang menjadi ladang bisnis
2. Suku Karen, Thailand

Standar cantik bagi suku Karen ialah dari leher mereka. Setiap wanita di sana
diharuskan memakai perhiasan berbentuk lubang memanjang yang dilingkarkan
di leher mereka. Suku Karen beranggapan, semakin panjang leher wanita, maka
semakin kelihatan cantik. Jika bertambah usia maka jumlah kuningan di
lehernya pun juga akan bertambah. Wanita Suku Karen juga tak boleh melepas
tumpukan kawat yang mereka pakai meski sedang melakukan aktivitas. Tak
hanya leher saja, bahkan kaki dan tangan juga mereka pasang kawat kuningan
tersebut. Kalung besi ini dilepas ketika menikah, melahirkan dan meninggal
dunia. Atau ketika akan dibersihkan.
Kalung besi ini juga digunakan untuk menjaga mereka agar terhindar dari
serangan binatang buas. Dahulu, Suku Karen hidup di pedalaman sehingga tak
heran jika mereka sewaktu-waktu bisa bertemu dengan hewan-hewan buas.
Suku Karen bukanlah suku asli Thailand, melainkan berasal dari dataran tinggi
Tibet. Kemudian mereka pindah ke Myanmar, tepatnya di Karen State yang
berbatasan langsung dengan Thailand.
Beberapa etnis pindah ke Thailand karena bentrok dengan pemerintah setempat.
3. Suku Lahui, Vietnam

Tradisi menghitamkan gigi oleh wanita suku Lu ini sudah berlangsung sejak
ratusan tahun silam. Tanaman perdu bernama Pothos Vine atau bisa juga
dibilang sejenis sirihlah yang mereka gunakan sebagai bahan alami penghitam
gigi. Namun ada pula sumber yang menyebut jika mereka mengunyah getah
pohon dan sabut kelapa sehingga deretan giginya berwarna hitam. Apapun itu,
yang jelas mereka menggunakan apa yang tersedia di alam untuk menunjang
penampilan dan demi mendapat predikat kecantikan. Tradisi mengecat gigi
tersebut bermula dari kepercayaan suku Lahui bahwa yang memiliki gigi
berwarna putih hanya hewan liar dan setan. Oleh karena itu, menghitamkan gigi
adalah suatu jaminan supaya nggak dikira roh jahat oleh para warga suku.
Mereka juga menganggap wanita yang bergigi hitam lebih terlihat cantik dan
menawan. Di satu sisi, apa yang mereka lakukan untuk menghitamkan gigi
ternyata memberi dampak baik. Gigi dan gusi akan menjadi lebih kuat
Hingga kini, kebanyak.an tinggal generasi wanita yang tua yang masih
menghitamkan gigi. Para anak-anak mudanya kebanyakan pindah ke kota dan
menemukan arti kecantikan sendiri.
Suku Apatani
Sebuah suku di India punya tradisi yang sangat unik. Suku ini punya tradisi
sumbat hidung. Hal ini dilakukan agar mereka tidak lagi menarik.
Latar belakang dari tradisi ini bermula dari kecantikan wanita Apatani yang
terkenal. Saking cantiknya, wanita Apatani disebut yang paling cantik di seluruh
India.
Namun kecantikan ini berbuah malapetaka. Wanita-wanita Apatani sering kali
diculik oleh suku tetangga untuk dijadikan istri. Untuk melindungi seluruh
wanita, leluhur suku Apatani memulai tradisi yang bertujuan agar wajah wanita
jadi tidak menarik. Leluhur mulai tato wajah wanita dari ujung dahi hingga
dagu dan melakukan yaping hullo. Yaping hullo adalah gumpalan tinta hitam
yang dicampur dengan lemak babi dan butiran halus arang. Karena ini lubang
hidung wanita Apatani jadi membesar. Hingga pada tahun 1970, praktik ini
mulai dilarang oleh pemerintah India.

Anda mungkin juga menyukai