Anda di halaman 1dari 151

BAB I

ISI

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan. Mengapa demikian? karena


Indonesia memiliki banyak sekali pulau yang masing-masing pulau tersebut
memiliki suku bangsa yang memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas tersebut
menghasilkan keanekaragaman budaya, sehingga Indonesia dikenal dengan negara
yang majemuk karena keanekaragaman budaya tersebut.

Berbicara mengenai budaya, sebenarnya apakah yang dimaksud dengan


budaya tersebut? budaya atau kebudayn berasal dari bahasa sansekerta Buddayah,
yang merupakan bentuk jamak dari Buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan
demikian kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Adapun ahli
antropologi yang merumuskan tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah
adalah Taylor, yang menulis dalam bukunya yang berjudul “Primitive Culture”
bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung adat istiadat. Ilmlu pengetahuan kesenian, moral, hukum, kepercayaan,
kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. (Ranjaher.2006)

Terciptanya suatu kebudayaan dilatar belakangi oleh kegiatan nenek


moyang kita pada zaman dahulu dan menjadi adat kebiasaan. Adat kebiasaan
tersebut memiliki arti tersendiri bagi masing-masing daerah.

Ada banyak sekali kebudayaan Indonesia. seperti tari, rumah adat, dll. tapi
sayangnya banyak kebudyaan tersebut terancam punah dan digantikan oleh
kebudayaan dari luar. Terutama dari negara-negara bagian barat, yang masuk ke
Indonesia tanpa bisa dicegah dan berbenturan dengan budaya Indonesia.

1
Berbaurnya budaya asli Indnesia dan budaya luar disebut asimilasi budaya,
dengan mesuknya budaya asing ke Indonesia, gaya hidup masyarakat Indonesia pun
berubah. yang pada awalnya masyarakat Indonesia hidup sebagai masyarakat
tradisional kini masyarakat Indonesia hidup sebagai masyarakan modern.

Masyarakat modern sediri adalah masyarakat yang berpikiran jauh ke


depan, tidak lagi percaya pada hal-hal mistis dan gaib, mengenal kecanggihan
teknologi sehingga mudah sekali memperoleh informasi kapan saja dan dimana saja
mereka berada.

Mengapa masyarakat Indonesia mudah menerima budaya baru yang datang


ke Indonesia ? karena menurut sebagian orang, budaya luar, terutama dari barat
yang masuk ke Indonesia merupakan suatu bentuk modernisasi. maka mereka
dengan senang hati menerimanya. mereka bangga jika disebut sebagai orang-orang
modern. Budaya modern tersebut juga dinilai praktis dan sesuai dengan
perkembangn zaman.

Tapi bukan berarti kebudayaan Indonesia itu ketinggalan zaman, karena


ternyata justru banyak sekali turis-turis dari mancanegara yang belajar tentang
kebudayaan Indonesia. Bahkan di beberapa negara-negara lain ada sekolah yang
khusus mengajarkan kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Sungguh pencapaian
yang sangat membanggakan. Tapi jika kita melihat ke dalam negri, hal yang
sebaliknya terjadi. sangat miris sekali. Disaat warga negara asing dengan giatnya
mempelajari budaya Indonesia, kita sebagai pemilik budaya tersebut malah
perlahan-lahan mulai meninggalannya.

Masyarakat Indonesia yang mulai modern tersebut lambat laun melupakan


budaya asli Indonesia, tidak lagi peduli dengan budaya asli dari negaranya sendiri.
seperti contohnya anak muda pada zaman sekarang lebih memilih bergaul di
tempat-tempat modern, seperti mall, caffe, club malam, dan lain sebagainya. contoh
nyata lainnya yaitu anak kecil pada zaman sekarang lebih memilih bermain dengan
gadget canggihnya dari pada memainkan permainan tradisional, seperti petak
umpet, gasing bambu, loncat tali dan sebagainya. Dan yang lebih parah lagi

2
sebagian diantara mereka tidak mengetahui ataupun mengenal budaya dari
Indonesia. Karena dalam kehidupan mereka sehari-hari sudah dibiasakan menjalani
hidup modern.

Sejak kecil anak-anak sudah disekolahkan di sekolah berstandar


internasional, berbicara sehari-hari menggunakan bahasa Inggris. Tapi mereka
sama sekali tidak diajari bahasa daerah-daerah di Indonesia atau bahkan belajar
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka juga tidak sama sekali
diperkenalkan dengan budaya Indonesia. Secara tidak langsung, orang tua mereka
mengajarkan untuk tidak peduli dengan budaya-budaya Indonesia.

Akibatnya banyak sekali hal negatif yang ditimbulkan. Diantaranya banyak


sekali kebudayaan asli Indonesia yang diklaim oleh negara lain. Seperti tari reog
yang di klaim oleh negara Malaysia, batik, tari pendet, dan lain-lain. Kejadian
seperti itu dilatar belakangi oleh banyak hal. Diantaranya tidak ada lagi kepedulian
masyarakat terhadap budaya Indonesia, kurangnya kesadaran masyarakat untuk
menjaga kelestarian budaya sebagai warisan budaya dan kurangnya pembelajaran
budaya. Budaya-budaya Indonesia kebanyakan tidak memiliki hak cipta yang
dipantenkan. Sehingga mempermudah negara lain untuk mengklaim budaya-
budaya tersebut.

Untuk itu kita sebagai generasi muda hendakya tetap mempertahankan


budaya negara kita. Kritis terhadap budaya-budaya yang diwariskan oleh leluhur
kita.

3
B. Rumusan Masalah
1. Tradisi atau budaya ekstrim yang terdapat di Indonesia
2. Penyebab budaya-budaya atau tadisi-tradisi di Indonesia kini mulai jarang
dijumpai

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tradisi atau budaya ekstrim yang ada di Indonesia
2. Untuk mengetahui penyebab budaya atau tradisi Indonesia menjadi semakin
jarang dijumpai

D. Manfaat Penelitian

1. Dalam penulisan ini diharapkan dapat meningkatkan rasa nasionalisme serta


diharapkan dapat mempertahankan kelestarian budaya dan tradisi Indonesia.

2. Manfaat secara praktis dalam penulisan ini adalah dapat menambah


pengetahuan dan wawasan serta pemahaman tentang budaya-budaya
Indonesia terlebih pada budaya-budaya ekstrimnya.

4
BAB II

ISI

KEBUDAYAAN EKSTRIM INDONESIA YANG HAMPIR


PUNAH

A. TRADISI-TRADISI EKSTRIM DI INDONESIA

1. Tradisi tato (suku daya, kalimantan)

gambar 2.1 Proses pentatoan tubuh

Tato atau rajah tubuh yang dulu asosiasinya selalu dikaitkan dengan dunia
preman kini mulai digemari oleh berbagai kalangan baik itu laki-laki maupun
perempuan. Tengok saja misalnya artis Tora Sudiro yang menato hampir sekujur
badannya. Maka asosiasi tato yang semula begitu kental dengan dunia premanisme
pun sekarang berubah menjadi sebuah karya seni tubuh yang indah.

Tetapi tahukah anda bahwa di kalangan suku Dayak, tato memiliki makna
tersendiri yang sangat jauh dari kesan jok jagoan, atau sekedar gaya-gayaan apalagi
sekedar untuk hiasan tubuh? Tato yang dibuat secara tradisional menggunakan duri

5
dari pohon jeruk (seiring perkembangan zaman, sekarang menggunakan beberapa
buah jarum sekaligus yang dikaitkan pada sebilah kayu) dengan tinta berupa jelaga
yang di campur garam ini bagi masyarakat suku Dayak merupakan bagian dari
tradisi, religi, bahkan untuk mencirikan tinggi rendahnya status sosial seseorang
dan bisa pula sebagai bentuk penghormatan suku terhadap kemampuan seseorang.

Meskipun setiap sub suku Dayak memiliki aturan dan motif yang berbeda-
beda satu sama lain tapi tujuan pembuatan tato sendiri sebenarnya memiliki
kesamaan secara religi yaitu berfungsi sebagai obor atau penerangan dalam
perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian. Jadi, semakin
banyak tato yang terdapat di tubuh seseorang maka semakin teranglah jalan menuju
alam keabadian itu.

Walaupun begitu, bukan berarti setiap orang bisa membuat tato semaunya
di tubuh mereka karena bagi masyarakat Dayak tato tidak di bisa buat sembarangan.
Ada aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi sebelum seseorang membuat tato di
tubuhnya, seperti pilihan motif tatonya, dan juga penempatan tato dibagian tubuh.
Orang yang akan di tato tidak bisa asal memilih motif yang diinginkannya maupun
bagian tubuh yang mana yang ingin ia tato karena sebelumnya harus terlebih dahulu
tunduk pada aturan-aturan adat. Setiap sub suku di Dayak memiliki aturan-aturan
tersendiri mengenai tato. Bahkan ada pula sub suku Dayak yang tak memiliki tradisi
tato sama sekali.

Berikut uraian secara singkat beberapa motif yang biasa di pakai oleh sub
suku Dayak untuk tato mereka berikut hal apa saja yang harus dilakukan orang yang
bersangkutan sebelum mendapat motif tato tersebut.

a. Dayak Kenyah dan Dayak Kayan (Kalimantan Timur)

Bagi kedua sub suku ini banyaknya tato yang ada di tubuh mereka adalah
berbanding lurus dengan seberapa jauh dan seringnya mereka mengembara. Dan
karena setiap kampung memiliki motif tato yang beragam maka bila banyaknya
motif ragam tato yang menempel di tubuh mereka itu artinya yang bersangkutan

6
telah mengembara cukup jauh. Pengembaraan yang dilakukan oleh suku ini
biasanya dilakukan dengan berjalan kaki dan dalam waktu yang bisa berbulan-
bulan karena mengingat jauhnya jarak antar kampung yang ada di wilayah
Kalimantan. Sedangkan di kalangan masyarakat dayak Kenyah, motif yang lazim
untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang yakni burung endemik
Kalimantan yang dikeramatkan.

Pada suku Kayan tidak hanya laki-laki yang bisa memiliki tato tapi
perempuan pun lazim memilikinya di tubuh mereka. Tapi berbeda dengan laki-laki
yang biasanya harus mengembara terlebih dahulu dan tato adalah sebagai bentuk
penghargaan atas apa yang telah dilakukannya, maka pada tubuh perempuan
(Biasanya di kaki, paha, atau tangan) suku Dayak Kayan tato ini lebih bermotif
religius, ada tiga macam tato yang biasanya disandang perempuan suku Kayan,
antara lain tedak kassa, yakni meliputi seluruh kaki dan dipakai setelah dewasa.
Tedak usuu, tato yang dibuat pada seluruh tangan dan tedak hapii pada seluruh
paha.

gambar 2.2 Proses pentatoan wanita dayak

Sementara di suku Dayak Kenyah, pembuatan tato pada perempuan dimulai


pada umur 16 tahun atau setelah haid pertama. Untuk pembuatan tato bagi
perempuan, dilakukan dengan upacara adat disebuah rumah khusus. Selama
pembuatan tato, semua pria tidak boleh keluar rumah. Selain itu seluruh keluarga

7
juga diwajibkan menjalani berbagai pantangan untuk menghindari bencana bagi
wanita yang sedang di tato maupun keluarganya.

Bagi perempuan Dayak memiliki tato dibagian paha status sosialnya sangat
tinggi dan biasanya dilengkapi gelang di bagian bawah betis. Tato sangat jarang
ditemukan di bagian lutut. Meski demikian ada juga tato di bagia lutut pada lelaki
dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir pembuatan tato dibadan.
Tato yang dibuat diatas lutut dan melingkar hingga ke betis menyerupai ular,
sebenarnya anjing jadi jadian atau disebut tuang buvong asu.

b. Dayak Iban

Adapun bagi Dayak Iban, kepala suku beserta keturunanya ditato dengan
motif sesuatu yang hidup di angkasa. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato
untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan sangat detail dibandingkan tato
untuk golongan menengah (panyen).

gambar 2.3 Proses pentatoan wajah

Disamping ketiga sub suku Dayak di atas sebenarnya masih ada motif tato
lainnya yang antara lain motif tato yang berkaitan dengan kebiasaan mengayau
(Memenggal kepala) dalam satu peperangan. Tapi karena kebiasaan mengayau ini

8
sudah tidak lagi dilakukan maka motif-motif seperti ini hampir tak pernah lagi di
pakai. Dan atau tradisi tato bagi suku Dayak yang bermukim di perbatasan
Kalimantan-Serawak, mereka menato jari-jari tangan mereka sebagai ciri bahwa
suku tersebut ahli dalam hal pengobatan. Maka jika anda melihat banyak tato di
sekitar tangan mereka maka itu bisa dipastikan bahwa yang bersangkutan sangat
ahli dalam hal pengobatan.

2. Tradisi memanjangkan telinga (suku dayak, kalimantan)

gambar 2.4 wanita bertelinga panjang

Tradisi memanjangkan kuping telinga menjadi salah satu keunikan budaya


di Kalimantan. Meski sebenarnya tidak semua suku melakukannya, tapi budaya ini
sudah terlanjur melekat dengan masyarakat dayak secara umum. Namun sayangnya
dari waktu ke waktu, tradisi ini semakin menghilang, dan saat ini hanya tinggal
sedikit orang Dayak yang masih memiliki cuping telinga panjang, itu pun umumnya
generasi tua.

Salah satunya di Kampung Bena Baru yang dihuni sekitar 700 jiwa
penduduk. Kampung Bena Baru adalah salah satu kampung pedalaman suku Dayak
Kenyah yang berada di Sungai Kelay, Kecamatan Sambaliung. Kehidupan

9
masyarakat di tempat ini masih berjalan berdampingan dengan tradisi dan kultur
lokal, lengkap dengan upacara adat dan tari-tarian khasnya. Sebagian peralatan
kerja dan rumah tangga merupakan hasil buatan tangan sendiri. Tapi bukan berarti
penduduk kampung ini merasa asing terhadap perkembangan teknologi seperti
televisi, telepon seluler, dan alat-alat elektronik lainnya. Kampung yang baru
dibuka pada tahun 1980-an ini memiliki sekitar 20 orang nenek yang memiliki
telinga cuping panjang.

Daun telinga cuping panjang tidak hanya diperuntukkan bagi wanita, tetapi
juga untuk laki-laki. Proses pemanjangan cuping telinga mulai dilakukan sejak
bayi. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tingkatan sosial seseorang dalam
masyarakat Dayak. Bagi suku Dayak Kayan, misalnya telinga cuping panjang
menunjukkan kalau orang tersebut berasal dari kalangan bangsawan. Sementara
bagi perempuan, telinga cuping panjang menunjukkan apakah dia seorang
bangsawan atau budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.

Di kalangan masyarakat Dayak Kayan, pemanjangan cuping daun telinga


ini biasanya menggunakan pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau
berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus
memanjang hingga beberapa sentimeter.

Di desa-desa yang berada di hulu Sungai Mahakam, telinga cuping panjang


digunakan sebagai identitas yang menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir,
ujung telinganya diberi manik-manik yang cukup berat. Jumlah manik-manik yang
menempel di telinganya akan bertambah satu untuk setiap tahun, tetapi ada juga
anggapan yang mengatakan kalau tujuan pembuatan telinga panjang bukanlah
untuk menunjukkan status kebangsawanan, tetapi justru untuk melatih kesabaran.
Jika dipakai setiap hari, kesabaran dan kesanggupan menahan derita semakin kuat.

Sementara bagi suku Dayak Kenyah, antara laki-laki dan perempuan


memiliki aturan panjang cuping telinga yang berbeda. Kaum laki-laki tidak boleh
memanjangkan cuping telinganya sampai melebihi bahunya, sedangkan perempuan
boleh memanjangkannya hingga sebatas dada. Proses memanjangkan cuping daun

10
telinga ini diawali dengan penindikan daun telinga sejak masih berumur satu tahun.
Setiap tahun, satu buah anting atau subang perak digantungkan di telinga mereka.
Gaya anting atau subang perak yang digunakan pun berbeda-beda, yang akan
menunjukkan perbedaan status dan jenis kelamin. Gaya anting kaum bangsawan
tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa.

3. Tradisi kuda lumping (jawa)

gambar 2.5 Penonton yang ikut kesurupan gambar 2.6 pertunjukan kuda lumping

Dalam setiap pagelarannya, tari kuda lumping ini menghadirkan 4 fragmen


tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri. Pada
fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai
6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan
menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat
mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari
fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran
menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak
sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para
penari lainnya.

Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan,


dalam setiap pagelaran selalu hadir para warok, yaitu orang yang memiliki

11
kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba
hitam bergaris merah dengan kumis tebal. Para warok ini akan memberikan
penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.

Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan


tari senterewe. Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai,
enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup
dari seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.

Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian
tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda.
Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu atau bahan lainnya yang di
anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda, dengan dihiasi rambut tiruan dari tali
plastik atau sejenisnya yang di gelung atau di kepang. Anyaman kuda ini dihias
dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya
menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda
lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis,
seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut.
Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh
kaum Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di beberapa daerah di luar
Indonesia seperti di Malaysia ,Suriname, Hongkong, Jepang dan Amerika.

Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda
tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau bahan lainnya dengan dihiasi rambut
tiruan dari tali plastik atau sejenisnya yang di gelung atau di kepang, sehingga pada
masyarakat jawa sering disebut sebagai jaran kepang. Tidak satupun catatan sejarah
mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya.

Konon, tari kuda lumping adalah tari kesurupan. Ada pula versi yang
menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah seorang pasukan
pemuda cantik bergelar Jathil penunggang kuda putih berambut emas, berekor
emas, serta memiliki sayap emas yang membantu pertempuran kerajaan

12
bantarangin melawan pasukan penunggang babi hutan dari kerajaan lodaya pada
serial legenda reyog abad ke 8.

Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping
merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda
atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif,
melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di
tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi


yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi
mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas
pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan
supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa,
dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan
Belanda.

Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah,


seperti jamban, kolong jembatan, rel kereta, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini
biasanya ditampilkan pada ajang-ajang tertentu, seperti menyambut tamu
kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang
Maha Kuasa. Dalam pementasanya, tari kuda lumping menggunakan
kaca,beling,batu,dan jimat. Para penari kuda lumping sangat gila.

Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda


lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran
dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk
mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan
di lapangan terbuka.

13
4. Tradisi fahombo (pulau nias, sumatra utara)

gambar 2.7 orang yang melaksanakan tradisi fahombo

Sedari 7 tahun anak lelaki di Pulau Nias berlatih melompati tali yang terus
meninggi takarannya seiring usia mereka yang bertambah. Bila saatnya tiba maka
mereka akan melompati tumpukan batu berbentuk seperti prisma terpotong setinggi
2 meter. Ini juga sekaligus menjadi penakar keberanian dan kedewasaan mereka
sebagai keturunan pejuang Nias.

Tradisi lompat batu di Pulau Nias, Sumatera Utara atau disebut


sebagai hombo batu atau fahombo telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi
ini lestari bersama budaya megalit di pulau seluas 5.625 km² yang dikelilingi
Samudera Hindia dan berpenduduk 700.000 jiwa itu.

Tradisi fahombo diwariskan turun-termurun di setiap keluarga dari ayah


kepada anak lelakinya. Akan tetapi, tidak semua pemuda Nias sanggup
melakukannya meskipun sudah berlatih sedari kecil. Masyarakat Nias percaya
bahwa selain latihan, ada unsur magis dari roh leluhur dimana seseorang dapat
berhasil melompati batu dengan sempurna.

14
Lompat batu di Pulau Nias awalnya merupakan tradisi yang lahir dari
kebiasaan berperang antar desa suku-suku di Pulau Nias. Masyarakat Nias memiliki
karakter keras dan kuat diwarisi dari budaya pejuang perang. Dahulu suku-suku di
pulau ini sering berperang karena terprovokasi oleh rasa dendam, perbatasan tanah,
atau masalah perbudakan. Masing-masing desa kemudian membentengi
wilayahnya dengan batu atau bambu setinggi 2 meter. Oleh karena itu, tradisi
lompat batu pun lahir dan dilakukan sebagai sebuah persiapan sebelum berperang.
Saat itu, desa-desa di Pulau Nias yang dipimpin para bangsawan dari
strata balugu akan menentukan pantas tidaknya seorang pria Nias menjadi prajurit
untuk berperang. Selain memilki fisik yang kuat, menguasai bela diri dan ilmu-ilmu
hitam, mereka juga harus dapat melompati sebuah batu bersusun setinggi 2 meter
tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai tes akhir.

Kini tradisi lompat batu bukan untuk persiapan perang antarsuku atau
antardesa tetapi sebagai ritual dan simbol budaya orang Nias. Pemuda Nias yang
berhasil melakukan tradisi ini akan dianggap dewasa dan matang secara fisik
sehingga dapat menikah. Kadang orang yang berhasil melakukan tradisi ini juga
akan dianggap menjadi pembela desanya jika terjadi konflik.

Atraksi hombo batu tidak hanya memberikan kebanggaan bagi seorang


pemuda Nias tetapi juga untuk keluarga mereka. Keluarga yang anaknya telah
berhasil dalam hombo batu maka akan mengadakan pesta dengan menyembelih
beberapa ekor ternak.

15
5. Tradisi ujungan(bayumas, jawa tengah)

gambar 2.8 Peserta yang mengikuti ujungan

Dilakukan oleh 2 orang laki-laki dewasa, menggunakan sebilah rotan


sebagai alat pemukul, dan dipimpin oleh seorang Wlandang (wasit), ritual ini
biasanya digelar saat musim kemarau panjang. Musim dimana para petani sangat
membutuhkan air untuk mengairi sawah, memberi minum binatang ternak (sapi,
kerbau, kambing), dan lain sebagainya. Ujungan adalah upacara tradisional yang
lahir, hidup, dan masih dilakukan oleh beberapa masyarakat adat di
Indonesia sampai hari ini.

a. Mitos

Konon, untuk mempercepat datangnya hujan, pemain Ujungan pun harus


menghujani lawannya dengan cambukan rotan hingga mengeluarkan darah.
Semakin banyak darah yang keluar akibat pukulan, makin cepat pula hujan akan
turun. Tradisi yang diselenggarakan pada mangsa kapat (keempat) dan kamo
(kelima) di musim kemarau ini melibatkan laki-laki dewasa yang memiliki
kemampuan menahan rasa sakit akibat pukulan rotan maupun menahan sakit saat
terjadi benturan dengan lawan sebagai peserta.

Seiring kemajuan zaman, tradisi Ujungan kini hanya berkembang sebagai


seni pertunjukan hiburan biasa. Walaupun demikian, ketentuan-ketentuan yang

16
telah ada dalam permainan Ujungan masih tetap mengacu pada Ujungan zaman
awal munculnya tradisi ini, baik rotan yang dipakai sebagai alat pukul maupun
Wlandang pertunjukan.

b. Prasyaratan

Rotan yang dipakai harus memiliki tingkat kelenturan yang cukup, dengan
panjang sekitar 40.125 cm dan diameter sekitar 1,5 cm. Ketentuan rotan yang
dipersyaratkan seperti ini bertujuan untuk mengurangi rasa pedih bila disabetkan ke
tubuh. Seorang Wlandang harus memiliki keterampilan ilmu beladiri yang tinggi,
hal ini dimaksudkan agar apabila suatu saat salah satu pemain Ujungan tidak puas
dengan hasil keputusan wasit dan mencoba untuk melawan wasit, maka wasit wajib
menerima tantangan itu.

17
6. Tari Sintren (cirebon, jawa barat)

gambar 2.9 Penari sintren

Salah satu tradisi lama rakyat pesisiran Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat,
tepatnya di Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan
langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri. Sintren dalam perkembangannya
kini, paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara
kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan orang gedean. Berdasarkan
keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi cirebon, Sintren
mulai dikenal pada awal tahun 1940-an, nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari
mana, namun katanya sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi
staring dalam pertunjukan ini.
Sintren adalah kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di
Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara
lain
di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas,

18
dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren
dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta
kasih Sulasih dengan Sulandono.

a. Sejarah tari sintren


Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Baurekso
hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih
dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut
tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan
Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya
masih terus berlangsung melalui alam gaib.

Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh


bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa
dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di
antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan
pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya,
dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam
keadaan suci (perawan). sintren juga mempunyai keunikan tersendiri yaitu terlihat
dari panggung alat-alat musiknya yang terbuat dari tembikar atau gembyung dan
kipas dari bambu yg ketika ditabuh degan cara tertentu menimbulkan suara yang
khas.

b. Bentuk pertunjukan

gambar 2.10 Pertunjukan tari sintren

19
Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang
dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai
hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor
(lawak).

Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain
dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar
untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang,
maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah
dan mempesona.

Kesenian Sintren terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan
beberapa gamelan seperti buyung,sebuah alat musik pukul yang menyerupai
gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong,
dan kecrek. Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang
dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya begini:

"Tambak tambak pawon

Isie dandang kukusan

Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul".

Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-


benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah
banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya,

"Kembang trate

Dituku disebrang kana

Kartini dirante

Kang rante aran mang rana"

Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia.


Konon menurut Ny. Juju. Seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren
dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang
pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang

20
dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih perawan,” katanya
menegaskan.

Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki,
sehingga secara syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut
dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan)
yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan
terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya
membaca mantra dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-
ulang nembang :

"Gulung gulung kasa

Ana sintren masih turu

Wong nontone buru-buru

Ana sintren masih baru"

Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih


dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah berganti
dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk
menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca mata hitam. Sintren
kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesak-desakan
mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai
tubuhnya, maka Sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kembali dan menari
setelah diberi jampi-jampi oleh pawang. Secara monoton sintren terus menari dan
penonton pun beruhasa melempar dengan uang logam dengan harapan Sintren akan
pingsan. Disinilah letak inti dari seni sintren, tidak tahu apakah itu hanya adegan
semata atau memang benar-benar mengandung unsur magis.

Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus


dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari
apakah pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar
panjang kekayaan khasanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.

21
7. Tradisi ngurek (bali)

a. Pengertian Ngurek

gambar 2.11 Atraksi kebal tusukan keris

Tradisi Ngurek atau Ngunying hingga kini masih dilestarikan oleh


masyarakat Bali. Tradisi tersebut ada di sejumlah daerah di Bali. Tradisi ini
umumnya berkaitan erat dengan ritual keagamaan. Bahkan, di sejumlah desa adat
di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan.

Tradisi Ngurek di Bali merupakan wujud bakti seseorang kepada Sang


Hyang Widhi Wasa. Atraksi menusuk diri dengan keris ini berlangsung ketika para
pelaku berada dalam keadaan kerauhan (trance). Ini sebuah keunikan sekaligus
misteri yang sulit dijelaskan, namun amat biasa bagi orang Bali.

Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek
dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan
keris,tombak,atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerauhan. Karena Ngurek
dilakukan dalam kondisi kerauhan, maka roh lain yang memasuki tubuh akan
member kekuatan, sehingga menjadi kebal.

22
Tradisi Ngurek biasa dilakukan di luar areal pura utama. Sebelum Ngurek
dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta orang yang biasa Ngurek (juru urek)
yang juga biasa disebut dengan ‘pepatih’ keluar dari kompleks pura utama dan
mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih
mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi dan keris pun langsung ditancapkan ke
bagian tubuhnya tanpa terluka sedikitpun. Ngurek sendiri memiliki gaya masing-
masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuhnya dan ada
pula yang bersandar di pelinggih kemudian menancapakn keris ke tubuhnya sendiri.
Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke areal pura utama.

Menurut sejarahnya, tradisi Ngurek bersumber dari ritus keagamaan di Bali.


Biasanya dilakukan saat upacara Dewa Yadnya yang disebut Ngeramen di pura,
sanggah (merajan) dan paibon. Prosesi sakralnya berbeda-beda antara daerah satu
dengan lainnya.

Tradisi Ngurek tidak hanya dilakukan di Bali, tapi juga terdapat di daerah
lain. Misalnya di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, kebiasaan ini dilakukan
oleh mereka yang disebut juru doa, mirip dengan balian atau dukun. Para juru doa
ini diundang untuk memimpin hajatan. Manakala ritual berlangsung, juru doa akan
mengalami kerauhan dan langsung mencabut keris kecil yang terselip di
pinggangnya kemudian menusuk telapak tangannya sendiri, berlanjut menikam
dada dan perutnya. Fenomena sejenis juga dapat disaksikan dalam kesenian
tradisional suku Jambi yang menampilkan tarian berkolaborasi dengan budaya
magis. Pada puncak tarian si penari wanita akan menusukkan dua pedang yang tadi
dipakai menari ke tubuhnya sendiri dalam keadaan trance.

Pada masyarakat Hindu India, khususnya penyembah Durga Ma dalam


perayaan Tiruwila juga biasa menampilkan atraksi serupa. Hanya saja mereka
benar-benar menusuk bagian anggota tubuhnya hingga tembus dengan benda-benda
tajam. Adegan ini sebenarnya merupakan satu aktivitas ritual bagi pemuja sakti,
dengan menghadirkan kekuatan supranatural, roh-roh gaib untuk membantu atraksi,
sehingga tidak sampai membahayakan nyawa mereka.

23
Kondisi kerauhan (trance) bisa diupayakan, namun sulit diduga mengenai
waktu maupun orang yang mungkin akan kerauhan. Orang yang disiapkan untuk
kerauhan bisa jadi tidak mengalami apa-apa. Sebaliknya justru pada partisipan
lainnya yang mengalami kerauhan. Trance dalam Ngurek biasanya terjadi atau
diupayakan dengan prosesi ritual khusus. Untuk mencapai klimaks kerauhan,
mereka harus melakukan serangkaian ritual. Tahap-tahap itu secara garis besar
dapat dibagi tiga yakni Nusdus, Masolah, Ngaluwur. Nusdus adalah merangsang
para pelaku ngurek dengan asap asap yang beraroma harum menyengat. Masolah
merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi
gamelan. Sedangkan Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati
dirinya.

Dari fenomena Ngurek yang berkembang saat ini dan membandingkannya


dengan tradisi serupa di sejumlah ritual Hindu di tempat lain, atau pada keyakinan
agama lain di suatu daerah, maka Ngurek merupakan perpaduan antara dua hal.

- Pertama, Tradisi ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali Purba dari


zaman animism-dinamisme, dimana saat upacara mengundang roh leluhur
dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang
yang telah ditunjuk. Bagi masyarakat animisme-dinamisme, kerauhan yang
diikuti atraksi Ngurek dipercaya sebagai sebuah tanda, bahwa roh-roh yang
diundang telah hadir di sekitar mereka.
- Kedua, Tradisi Ngurek bagi masyarakat Hindu Bali di beberapa daerah
memiliki fungsi mirip dengan kepercayaan animisme, tetapi bedanya tidak
dalam rangka mengundang roh leluhur, namun mengundang Ida Bhatara
dan para Rencang-Nya untuk berkenan menerima persembahan ritual saat
upacara piodalan. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerauhan dan mulai
ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara
sudah tedun dan berkenan katuran piodalan. Dengan turunnya Ida Bhatara
ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual piodalan ini
kian mantap dengan semangat bhaktinya.

24
b. Makna Ngurek

Ngurek merupakan bagian dari yadnya atau pengorbanan yang tulus ikhlas
seorang hamba kepada Tuhannya. Hampir semua agama memiliki cara tersendiri
dalam melakukan pengorbanan diri sebagai tanda bhakti kepada Tuhan. Seperti
misalnya ketentuan selibat (membujang) dalam ajaran agama Kristen, kewajiban
berpuasa atau tidak makan dan minum dalam agama Islam, meditasi dan ajaran
vegetarian dalam agama Budha, kemudian dalam Hindu sendiri banyak jenis ajaran
pengorbanan diri, mulai dari puasa, yoga, brhmachari, ngurek, dan sebagainya.

Dalam sebuah ritual upacara di Bali, selain dengan mempersembahkan


berbagai bentuk bebantenan, ada juga komponen persembahan lain, seperti
misalnya tarian, music atau gamelan, kidung, dan beragam bentuk persembahan
lainnya. Ngurek sendiri merupakan persembahan dalam bentuk tari-tarian yang
intinya adalah mengorbankan diri dengan cara kerelaan ditikam (disakiti) untuk
menunjukkan kepatuhan pada Sang Maha Pencipta. Dalam atraksi Ngurek inilah
setiap peserta mengekspresikan dirinya, secara simbolik ingin mengorbankan
dirinya kepada dewa yang dipujanya. Menusuk badan sendiri jelas menimbulkan
rasa sakit secara alamiah. Namun, secara umum cara penyiksaan badan sebagai
wujud kecintaan kepada yang dipuja hamper menjadi pola umum dalam setiap
sistem kepercayaan, hanya saja bentuknya yang berbeda-beda.

Dalam agama Hindu ada upacara potong rambut atau juga potong gigi
(metatah) sebagai bentuk riil mengorbankan diri. Dalam sistem kepercayaan sebuah
suku di Papua bahkan ada mengorbankan diri dengan memotong salah satu jari
tangan bila ada keluarganya yang meninggal. Disamping itu ada juga pengikut
agama Islam Syiah di Iran dan Irak yang memperingati hari besarnya dengan
melukai diri hingga berdarah. Hal yang mirip dengan pengikut Kristen di Filipina
Selatan yang merayakan Natal dengan cara memukul-mukul bagian badannya
dengan rantai besi. Komunitas Hindu di Malaysia juga punya upacara bernama Tai

25
Pusam, ditandai dengan menusukkan tombak atau jarum ke berbagai bagian
tubuhnya hingga darah menetes ke bumi.

Di desa Tenganan, Karangasem, Bali ada tradisi perang pandan atau lebih
dikenal dengan mageret pandan yang merupakan ritual menek truna (meningkat
dewasa bagi kaum pria). Mereka yang telah berani ambil bagian dalam upacara
mageret pandan sudah sah dianggap dewasa secara adat. Dengan menggenggam
daun pandan yang berduri dan tameng yang terbuat dari rotan, mereka mulai
berperang dengan cara menancapkan daun pandan ke tubuh lawan lalu menariknya
hingga menimbulkan luka dan darah mengucur dari tubuh. Jelas, ritual ini berada
dalam bingkai magis, suatu persembahan yang tidak terhenti pada pembuktian pada
kelompok tertentu, tetapi juga kepada kekuatan-kekuatan supranatural.
Mengucurkan darah dalam perang pandan adalah salah satu persembahan
pengorbanan diri kepada Tuhan.

Dalam perkembangan selanjutnya, suatu cara pengorbanan tidak hanya


meliputi pengorbanan diri sendiri, tetapi memakai media lain dengan cara
menyembelih binatang, mempersembahkan darahnya dalam upacara caru. Hewan
yang biasa dipakai seperti ayam, itik, anjing belang bungkem, kerbau, dan lain
sebagainya.

Ajaran agama Islam juga mengajarkan umatnya untuk memotong hewan


kurban seperti kambing, sapi, dan kerbau pada saat hari raya Idul Adha. Perintah
berkurban ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada nabi Ibrahim yang telah
merelakan putranya untuk disembelih demi membuktikan kecintaannya terhadap
Tuhannya. Karena kesediaannya berkorban itulah kemudian nabi Ibrahim diangkat
derajatnya lebih tinggi dan dijadikan contoh oleh umat selanjutnya sampai
sekarang.

Kendati secara praktek pengorbanan kepada dewa-dewa sudah digantikan


dengan hewan tertentu, namun dalam seremonial upacara, simbol pengorbanan diri
ini masih dilakukan. Salah satu simbol tersebut adalah Ngurek, sebagai bentuk
menumpahkan darah sendiri ke bumi. Meskipun tanpa cucuran darah yang menetes

26
dari tubuh pengurek bukanlah halangan untuk meluapkan kerinduan kepada dewa
yang disembahnya. Suasana kerauhan (trance) menjadikan bathin berekspresi
dengan leluasa dan jati diri pribadi melakukan kepasrahan total pada Sang Maha
Pencipta.

c. Jenis - Jenis Ngurek

Dari pelaksanaan Ngurek di berbagai tempat di Bali, maka ngurek dapat


dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:

- Ngurek yang termetodiskan atau terpola

Ritual ngurek jenis ini dilakukan dan berlangsung secara teratur dan
terkendali, karena menjadi satu rangkaian dengan pelaksanaan upacara piodalan.
Umumnya Ngurek dilakukan oleh para pepatih dengan menggunakan keris,
tombak, dan alat lainnya.

Ngurek merupakan perwujudan bhakti atau keikhlasan seseorang dan


sebagai tanda Tedunnya iring-iringan Ida Bhatara menyaksikan jalannya ritual
upacara.

- Ngurek yang tak termetodiskan

Ngurek yang tidak harus dilaksanakan pada saat ritual keagamaan. Dalam
hal ini Ngurek akan dilakukan sesuai kebutuhan sebagai bukti bahwa dasaran itu
benar-benar kerauhan sambil memberikan pesan-pesan niskala saat berlangsungnya
piodalan, biasanya berkaitan dengan pelaksanaan upacara, apakah sudah diterima
atau masi ada suatu yang kurang dari persembahan yang dilakukan. Pada situasi ini
mereka yang Ngurek bisa pemangku, dasaran pepatih, penyungsung pura, anggota
karma desa, pragina gamelan, tokoh masyarakat, orang dewasa atau anak-anak, laki
atau perempuan. Namun mereka melakukan Ngurek tetap dalam kondisi kerauhan.
Kendati keris tajam dihujamkan ke tubuh berkali-kali, tak menyebabkan setetes
darah pun mengucur.

27
- Ngurek untuk pertunjukan

Seiring perkembangan dunia pariwisata, selain untuk kebutuhan upacara


keagamaan, berkembang juga Ngurek untuk kepentingan hiburan yang dikenal
dengan sebutan Barong and Keris Dance. Pertunjukan ini mementaskan seni Arja
dengan lakon Calonarang yang menceritakan kisah pertempuran Ni Calonarang
(Ratu Natengdirah) dengan Patih Maling Maguna yang dihiasi pertunjukan
menikam-nikam sang Rangda sebagai jelmaan Calonarang.

Para penari semata-mata memberikan atraksi hiburan kepada penonton.


Mereka membekali diri dengan jimat kekebalan atau mengatur dengan teknik
tertentu supaya terkesan kerauhan sungguhan. Bagi wisatawan asing yang tidak
mengerti, apayang dilakukan oleh penari itu dianggap Ngurek sungguhan. Padahal
itu hanya dilakukan dengan menggunakan teknik dan peralatan tertentu sehingga
kelihatan serius.

- Gerakan Ngurek

Sebelum prosesi Ngurek dimulai, Pemangku Pengenter akan menghaturkan


tetabuhan untuk mohon ijin serta keselamatan kehadapan Ida Bhatara. Untuk
pepatih pemula perlu didampingi oleh pepatih senior, karena pada saat mulai
kerauhan dia bisa lepas kontrol, sehingga gerakannya jadi tidak karuan. Namun
semakin berpengalaman maka ia akan mampu menguasai energi tersebut dan
Ngurek menjadi lebih aman.

Apabila Ngurek itu dilakukan dengan tulus dan tidak dibuat-buat, maka
gerakan-gerakan yang dimunculkan oleh kekuatan iringan Ida Bhatara akan terjadi
dengan hebatnya. Akan tetapi bila ada yang ngurek tidak murni karena kerauhan,
maka mereka akan bergerak sesuai kehendak hatinya dan ini bisa membahayan
dirinya sendiri.

28
Gerakan saat Ngurek dan kerauhan sangat ditentukan oleh iringan yang
ngelinggihin orang tersebut. Jika yang ngelinggihin itu berkarakter ganas, walaupun
pepatih itu usianya sudah tua, tetap saja akan menampilkan gerakan yang beringas.

Pada umumnya gerakan saat Ngurek dipengaruhi juga oleh pribadi pepatih
yang kerauhan itu dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab, biasanya iringan Ida
Bhatara akan mencari wadah yang mendekati karakternya. Yang berkarakter ganas
akan memasuki manusia yang memiliki pribadi serupa, demikian pula iringan yang
berkarakter kalem akan mencari orang kalem juga.

Ngurek dalam sebuah ritual mempunyai gerakan tersendiri sesuai dengan


iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin. Ada yang berdiri sambil menancapkan keris
ke bagian tubuhnya,ada juga yang bersandar di pelinggih kemudian menikamkan
keris ke tubuhnya. Biasanya mereka menggunakan sebilah keris,tetapi ada pula
yang menggunakan dua buah keris sekaligus. Ada yang bertingkah sambil merayap,
berlari mengelilingi bebantenan, ada juga yang melompat-lompat sambil tertawa-
tawa.

29
d. Menangani Orang Ngurek

gambar 2.12 Atraksi ngurek

Penanganan terhadap orang Ngurek meliputi menjaga, mengawasi, dan bila


perlu membantu memegang para pepatih yang sedang Ngurek agar jangan terjatuh
atau bergerak berlebihan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menangani orang Ngurek,
diantaranya adalah senioritas para pepatih, gerakan yang ditimbulkan saat Ngurek,
iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin, kondisi lokasi, dan jenis upacara pada saat
Ngurek dilakukan. Jika seorang pepatih sudah senior dan ngaturang ayah dengan
tulus ikhlas, maka dia tidak perlu dijaga dan diawasi, karena dia sudah dapat
mengontrol segala gerakannya. Namun, bagi para pepatih pemula sangat perlu
penjagaan dan pengawasan, karena biasanya dia belum bisa mengontrol dirinya,
sehingga gerakannya jadi tak terarah, berlebihan, malah bisa membahayakan diri
sendiri maupun orang lain.

Menangani orang ngurek bagi pepatih yang sudah senior tidak ada masalah
walaupun dengan gerakan apapun, biarkan mereka berkreasi dan setelah tiba
waktunya, dia akan selesai dengan sendirinya. Kalau sudah selesai (nyineb)
kemudian dihaturkan arak berem, lalu diperciki wangsuhpada Ida Bhatara.

30
Pepatih yang pada saat ngurek menimbulkan banyak gerakan yang
membahayakan seperti sering memindahkan ujung keris dari dada, perut, pinggang,
kepala, kelopak mata, pipi, dahi, dan bagian tubuh lainnya biasanya diberi kata-kata
peringatan oleh pepatih yang lebih senior atau oleh pemangku. Bila ada pepatih
yang bergerak berguling terlalu jauh dan merusak perlengkapan upacara maka
biasanya akan ditahan dengan kaki agar dia berhenti berguling.

Iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin pepatih jenisnya bermacam-macam


dan hal tersebut akan menimbulkan berbagai bentuk gerakan yang sesuai dengan
karakter roh yang memasukinya. Setiap gerakan ini jika dimunculkan secara murni
oleh para pepatih, maka akan memperlihatkan suatu gerakan yang indah karena
sesuai dengan gerakan ancangan Ida Bhatara yang sedang ngelinggihin. Gerakan
yang bersifat murni akan muncul bila Ngurek dilaksanakan dengan tulus ikhlas dan
tidak ada maksud untuk pamer kekebalan dan tidak menambah-nambah gerakan
buatan sendiri diluar kehendak roh yang merasuki tubuh.

Lokasi ritual juga mempengaruhi keberadaan pepatih yang sedang Ngurek


dan akan berpengaruh juga pada cara penanganannya. Misalnya pada lokasi yang
sempit akan memerlukan kemampuan khusus dari para pepatih dan pemangku agar
pada saat berdesak-desakan tidak sampai menimbulkan kecelakaan. Begitu juga
jika pepatih yang ngaturang ayah jumlahnya cukup banyak diperlukan pengaturan
yang bagus agar tidak terjadi saling tabrak antara satu dengan lainnya. Suasana dan
kondisi yang kondusif sangat perlu diciptakan, disamping itu juga para petugas
pendukung harus tahu dan paham betul dengan tugasnya masing-masing, mampu
berkoordinasi dengan baik, sehingga proses Ngurek dapat berjalan dengan lancar.

Tingkatan atau jenis upacara juga perlu diperhatikan dalam menangani


pepatih yang Ngurek. Jika upacaranya tergolong kecil maka jumlah pengurek juga
sedikit dengan aura magis yang tidak terlalu kuat, sehingga cara penanganannya
juga cukup sederhana. Sebaliknya, jika tingkatan upacaranya tergolong besar,
pepatih yang hadir biasanya juga berjumlah banyak, dengan aura magis yang cukup
kuat, sehingga penanganannya juga lebih khusus seperti dilengkapi dengan
pemotongan beberapa binatang seperti ayam, bebek, dan babi.

31
e. Kecelakaan

“Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan jatuh juga”, begitulah


bunyi salah satu peribahasa, yang artinya walau kita sudah mahir melakukan
sesuatu tapi suatu saat pasti akan menemukan kegagalan. Begitu juga pada ritual
Ngurek, walaupun sudah dipersiapkan dengan matang mungkin saja terjadi
kecelakaan, seperti saat Ngurek ada pepatih yang terluka oleh keris yang
dipakainya. Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan saat
Ngurek, diantaranya adalah :

- Pertama, pepatih yang akan ngaturang ayah belum mencapai kerasukan


total, tetapi karena peserta yang lain sudah kerasukan dan mulai melakukan
Ngurek, maka dia ikut Ngurek dalam kondisi kerasukan yang belum
sempurna, hal ini dapat mengakibatkan kecelakaan yang berakibat fatal bagi
dirinya sendiri.
- Kedua, perasaan ragu dan tidak ikhlas saat ngaturang ayah, akibat
permasalahan pribadi dari seorang pepatih akan mempengaruhi kondisi
kejiwaan dan emosinya. Hal ini akan menyebabkan ancangan Ida Bhatara
yang ngelinggihin tidak dapat masuk dengan sempurna, kekebalan tubuh
pada saat Ngurek jadi tidak sempurna, maka kemungkinan terluka saat
Ngurek bisa terjadi.
- Ketiga, badan pepatih dalam keadaan leteh atau kotor dapat menyebabkan
kecelakaan saat Ngurek. Leteh ini bisa diakibatkan karena melanggar
pantangan sebagai pepatih. Salah satu contohnya adalah tidak datang ke
tempat-tempat mesum, tidak berselingkuh, tidak makan atau minum yang
terlarang, dan lain sebagainya. Hal itu jika dilanggar akan menyebabkan
badan menjadi leteh atau kotor. Pada saat kerauhan, ancangan Ida Bhatara
dengan energi supranaturalnya masuk ke tubuh pepatih. Namun, karena
dalam kondisi kotor, maka tubuhnya tidak sanggup menampung energi yang
masuk, sehingga tubuh tidak akan menampakkan kekebalannya.

32
- Keempat, kesombongan seorang pepatih dapat mengakibatkan kecelakaan.
Misalnya, karena dalam kesehariannya biasa menggunakan jimat atau ilmu
kekebalan, maka dia merasa yakin dan sesumbar tidak akan tembus senjata
saat ditikam. Karena terlalu yakin dengan kekebalan dirinya sendiri
mengakibatkan energi dari roh tidak bisa masuk dengan sempurna, akhirnya
kekebalan yang dibangga-banggakan tidak bisa berfungsi, dan kecelakaan
pun tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, pada saat Ngurek atau Ngunying
harus didasari dengan sikap pasrah, tulus ikhlas, percaya kepada Ida
Bhatara, sehingga jimat dan ilmu kekebalan buatan manusia tidak
diperlukan lagi.
- Kelima, kecelakaan dapat terjadi karena salah teknik. Bagi pepatih pemula
yang merasa dirinya tidak dalam kondisi bagus atau kerauhannya tidak
sempurna, cara Ngurek yang aman adalah dengan menekankan ujung keris
pada satu titik saja pada bagian tubuh. Namun, untuk pepatih senior yang
sudah percaya diri akan kerauhan total, maka bisa saja menusukkan keris ke
bagian tubuh yang mana saja tanpa perlu takut terluka.
- Keenam, kecelakaan juga bisa terjadi akibat kurang lengkapnya sarana
upacara. Meskipun para pepatih sudah memenuhi semua persyaratan yang
ditentukan, namun kecelakaan saat Ngurek bisa saja terjadi sebagai
peringatan kalau ada upakara yang belum lengkap. Biasanya kecelakaan
seperti ini bermakana teguran, dan luka yang terjadi juga tidak terlalu serius,
hanya sebatas luka ringan saja.

f. Pencegahan

Seperti dalam pembahasan sebelumnya, kecelakaan dalam ritual Ngurek


dapat disebabkan oleh beberapa hal. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan saat
Ngurek itu, maka penyebabnya perlu ditanggulangi atau dicari jalan keluarnya
terlebih dahulu. Setelah kita mengenali penyebab terjadinya kecelakaan saat
Ngurek, maka untuk mencegahnya bisa dilakukan dengan lebih mudah asalkan ada

33
kemauan, serta dilakukan dengan tulus ikhlas. Diantaranya yang dapat dilakukan
untuk mencegah kecelakaan Ngurek adalah :

- Pertama, untuk mencegah terjadinya luka yang diakibatkan oleh pepatih


yang belum siap atau belum kerauhan total,sudah seharusnya para pepatih
yang akan Ngurek tersebut mempersiapkan dirinya sejak awal untuk total
ngaturang ayah selama upacara berlangsung. Lakukan semua dengan pasrah
dan selalu memanjatkan doa kepada Ida Bhatara sesuhunan setiap akan
memulai Ngurek. Hal ini sebagai tanda bahwa setiap tahapan-tahapan
upacara harus diikuti sepenuh hati dan selalu ada dalam keadaan siap dan
waspada. Begitu juga jika akan Ngurek sudah semestinya setiap pepatih
mempersiapkan jiwa dan raganya untuk ngaturang ayah.
- Kedua, bila ketika akan Ngurek ada perasaan ragu-ragu dan tidak tulus,
maka daripada menimbulkan dampak buruk lebih baik tidak usah ngaturang
ayah bila kondisi tidak mendukung. Kalau sudah ke pura hendaknya kita
satukan pikiran agar focus pada Ida Bhatara. Itulah sebabnya kenapa hampir
seluruh pintu masuk ke utama mandala berbentuk Candi Kurung, bukan
Candi Bentar, yang bermakna rwa bhineda dalam pikiran sudah bersatu
padu menuju satu tempat ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
- Ketiga, Untuk mencegah agar badan pepatih tidak leteh atau kotor, maka
setiap pepatih harus rajin membersihkan diri, baik secara sekala maupun
secara niskala. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan panglukatan
yaitu mandi dengan dilengkapi dengan sarana upakara. Disamping itu untuk
menjaga kesucian diri, maka perlu dihindari tempat-tempat yang dilarang
oleh ajaran agama, seperti diskotik, kafe remang-remang, tempat prostitusi,
tempat judi, dan lain-lainnya. Juga perlu dihindari pikiran serta ucapan yang
bersifat negatif, yang bisa merusak jiwa.
- Keempat, seorang pepatih harus bersifat rendah hati, tidak boleh sombong
dalam menunjukkan kekuatan dan kekebalan, karena Ngurek merupakan
serangkaian ritual upacara keagamaan, yang tidak boleh disamakan dengan
Ngurek yang hanya bersifat hiburan semata. Jadi seorang pepatih yang
melakukan atraksi Ngurek bukanlah untuk memperlihatkan kebolehannya

34
memainkan keris dan senjata tajam lainnya, akan tetapi proses Ngurek itu
harus dilakukan dengan tujuan pengorbanan dan menyerahkan diri kepada
Tuhan.
- Kelima, mengenai teknik Ngurek, masing-masing pepatih punya gaya
sendiri-sendiri. Asalkan dia mau memasrahkan dirinya saat Ngurek, maka
akan mudah mengalami kerauhan sempurna, sehingga saat demikian roh
yang memasuki tubuh akan memberikan kekuatan lebih dan walau ke
bagian tubuh mana saja keri ditusukkan tidak akan menimbulkan luka.
- Keenam, untuk menghindari kekurangan upakara, maka perlu pedoman
untuk masing-masing pura, berupa buku yang memuat segala sesuatu
tentang ketentuan di setiap pura, baik mengenai upakara maupun upacara
serta tata cara pelaksanaannya. Dengan adanya panduan seperti itu maka
diharapkan tidak ada sarana dan kelengkapan upacara yang dilupakan.

8. Tradisi mengeret Pandan (Bali)

a. Proses terjadinya megaret pandan

Di Desa Adat Tenganan, Bali, terdapat suatu tradisi masyarakat yang unik
yaitu tradisi “Perang pandan” atau “Magaret Pandan” dan dalam bahasa Bali
disebut dengan “Mekare-kare”. menurut Kepala Desa Tenganan, I
Putu(http://gennuss.blogspot.com/2014/01/setetes-darah-dalam-megaret-
pandan.html )mengatakan:

”dinamakan megaret pandan karena dalamperang tersebut digunakan daun pandan


yang berduri agar mudah melukai lawan main”.

35
gambar 2.13 Pelakanaan mengaret

Tradisi ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada sasih kalima (bulan
kelima pada kalender Bali) dan merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yaitu
upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.Sasih Kalima yang berlangsung
adalah antara bulan Mei sampai Juni. Terkadang waktu pelaksanaan juga
ditentukan oleh karma desa, namun tetap mengacu pada kalender adat Bali.Megaret
pandan biasanya dilaksanakan pada siang hari, sekitar pukul 14:00. Sebelum
megaret pandan dimulai, masyarakat menabuh gamelan di bale pertemuan. Bale
pertemuan, sebagai tanda sudah dimulainya megaret pandan. Panggung untuk
tempat bermainnya megaret pandan benar-benar seperti ring tinju. Bedanya
panggung megaret pandan itu tanpa tali pengaman yang mengelilingi, tetapi
pengamannya adalah para pemedek (orang yang ikut upacara) itu sendiri. Sebelum
megaret pandan dimulai, ada upacara minum tuak dulu. Tuak di bambu dituangkan
kedau pisang yang berfungsi seperti seperti gelas. Peserta perang saling
menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain semua lalu dikumpulkan pada satu
orang yang kemudian membuang tuak itu ke samping panggung hingga bau tuak
tercium sangat kuat.

Megaret pandan dilaksanakan di tempat yang lapang karena tentunya akan


diikuti oleh banyak warga dan juga akan disaksikan oleh masyarakat, baik warga
local, maupun turis domestik dan turis asing. Sebelum melaksanakan megaret

36
pandan, terdapat upacara atau ritual yang harus dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu
para peserta megaret pandan harus mengelilingi desa sebagai wujud permohonan
perlindungan dan keselamatan agar pelaksanaan megaret pandan dapat berlangsung
dengan lancar.Selain itu, juga dilakukan tari abuang yang ditarikan oleh para
peserta megaret pandan.

Secara teknis, megaret pandan dilaksanakan oleh dua orang pemuda yang
bertindak sebagai lawan layaknya pertandingan karate yang juga terdapat wasit
untuk memimpin jalannya perang.Megaret pandan juga dilaksanakan dengan
diiringi gamelan khas Bali.

Pelaku megaret pandan harus laki-laki, karena memang belum pernah ada
peserta perempuan dalam pelaksanaan megaret pandan. Pelaku megaret pandan
juga tidak ditentukan batasan usia dan jumlahnya, karena syaratnya adalah berani
terkena duri daun pandan. Biasanya anak-anak kecil juga bisa mengikuti tradisi
tersebut apabila ada lawan yang seimbang. Anak-anak yang mengikuti tradisi
megaret pandan biasanya mulai dari usia delapan atau sepuluh tahun. Pelaku
megaret pandan juga tidaklah harus warga asli desa Tenganan.Warga di luar desa,
bahkan turis asing juga bisa menjadi pelaku megaret pandan.

37
b. Pelaksanaan megaret pandan

gambar 2.14 Turis yang ikut berpartisipsi

Syarat khusus pelaksanaan megaret pandan adalah harus mengenakan


pakaian adat pemuda Bali “Kamben” dengan bertelanjang dada. Alat utama dalam
tradisi ini adalah Tameng / perisai yang biasanya terbuat dari bambu atau rotan dan
daun pandan.Daun pandan tersebut terdiri dari dua puluh lembar daun yang diikat
dengan panjang sekitar 30 cm. Daun pandan digunakan layaknya pedang.

Pemain memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih


dahulu. Mereka berpelukan, saling memukul punggung lawan dengan daun pandan
lalu menggeretnya, sehingga ritual ini disebut Megeret Pandan. Megaret pandan
memang kegiatan maskulin, macho pesertanya hanya laki-laki. Perempuan hanya
menjadi penyaksi ketika perang berlangsung. Namun begitu perang selesai,
para perempuan sigap memberikan obat.

Bagian tubuh yang tidak boleh dikenai adalah bagian kepala dan alat
vital.Pelaksanaan perang dianggap selesai ketika salah satu dari pemuda ada yang
melambaikan tangan sebagai tanda menyerah atau setelah salah satu peserta sudah
menyerah atau dirasa sudah cukup oleh pemimpin pertandingan.Dalam megaret
pandan tidak ada istilah menang ataupun kalah, karena merupakan salah satu dari
pelaksanaan tradisi perang layaknya pertandingan persahabatan.Karena tajamnya
duri-duri daun pandan, maka akan terjadi luka goresan pada tubuh pelaku megaret

38
pandan. Para pelaku perang yang terluka diobati secara tradisional dengan
menggunakan “Boreh Rempah” yang terbuat dari kunyit, lengkuas dan cuka yang
dibuat oleh “Dahe” (Perempuan pembuat Boreh Rempah) dan memang
menimbulkan rasa perih pada bagian yang terluka. Namun, para pemuda pelaku
perang mayoritas juga bisa membuat obat tersebut.

Menurut I Nyoman Patra Gunawan (http://gennuss.blogspot.com/2014/01/setetes-


darah-dalam-megaret-pandan.html):

“ada obat tradisional yang di buat oleh masyarakat Tenganan. Obat tersebut terbuat
dari kunyit dan sedikit cuka, tidak sampai dua minggu luka itu dapat
sembuh.Karena obatanya sangat mujarab”.

Selesai perang, punggung dan pundak peserta memang penuh bercak darah
yang mengalir akibat geretan daun pandan. Masyarakat menganggap bahwa jika
mereka sudah mengeluarkan darah mereka merasa sudah melakukan bakti kepada
leluhur, mereka menghormati dewa Indera dan berbakti kepada tradisinya.Menurut
mereka, darah yang menetes ke tanah berfungsi sebagai penyeimbang alam. Daun
pandan digunakan dalam megaret pandan karena daun pandan berduri tetapi tidak
menimbulkan infeksi.

Selain mengingatkan kepada dewa Indera, tradisi ini juga untuk


mengingatkan bahwa desa Tenganan merupakan suatu desa yang memiliki benteng,
sehingga dianggap perlu dilengkapi dengan kekuatan atau pertahanan
prajurit.nyembuhan dengan “Boreh Rempah’ adalah sekitar dua sampai tiga hari.
Setelah pelaksanaan perang dan pengobatan seketika di lapangan, para pelaku
perang melakukan upacara penutupan dengan makan “jajan” bersama. Kemudian
pada hari setelah perang dilaksanakan upacara pemotongan babi dengan syarat
beratnya adalah 100 kg.

39
c. Fungsi megaret pandan

- Fungsi sebagai penghormatan kepada Dewa Indera

Megaret pandan yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat Desa Aga
Tenganan antara lain befungsi sebagai, kepercayaan warga Tenganan agak berbeda
dengan warga Bali pada umumnya. Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan
Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi.Namun bagi
warga Tenganan Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa.Dewa Indra adalah
dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada
wong peneges, leluhur desa Tenganan.

Salah satu warga desa Tenganan (http://gennuss.blogspot.com/2014/01/setetes-


darah-dalam-megaret-pandan.html) Mengatakan:

“Semua masyarakat tetap menerima warisan-warisan dari leluhur. Tak ada


masyarakat yang tidak menerima. Megaret pandan merupakan tanda setia pada
yang Maha Kuasa dan untuk menghormati dewa perang yaitu dewa Indra dengan
cara mengeluarkan darah pada saat perang berlangsung”.
Perang ini adalah bagian dari upacara agama, karena fungsi perang ini juga
sebagai persembahan kepada dewa indra. Megaret pandan di katagorikan sebagai
Tari wali/ tari sakral yang hanya bisa di pentaskan dan diadakan pada saat yang
sudah di tentukan, jadi tidak boleh digeser dan ditambah. Kemudian megaret
pandan merupakan salah satu rangkaiaan tari persembahan, khususnya kepada
dewa indra juga terhadap ida sang widhiwasa.

secara umum mengapa dewa indra yang dijadikan sebagai dewa tertinggi,
karena upacara di tenganan ini menganut agama hindu aliran indra dan sudah di
ketahui bahwa dewa indra sebagai dewa kemakmuran juga di kenal sebagai dewa
perang. Megaret pandan juga bersifat seperti perang yang lainnya yaitu bagaimana
caranya untuk mengenai musuhnya, dalam arti tidak ada kalah menang di jauh kan
dari rasa dendam dan yang terpenting intinya megaret pandan ini secara jelas untuk
melengkapi upacara.

40
Fungsi pandan, jika satu durinya patah tidak menyebabkan luka kalau
durinya sampai tertanam dan jika tidak di obati pun tidak akan infeksi. Untuk
mempercepat proses pengeringan diobati dengan campuran lengkuas,air cuka
sedikit dan kunyit sehingga mempercepat penyembuhan luka tersebut. Saat terkena
duri rasa sakit memang belum terasa akan tetapi saat diberi obat akan terasa sedikit
perih namun rasa perih tersebut tidak berlangsung lama.

Sebenarnya pemaknaannya tidak hanya sekedar meneteskan darah saja


namun lebih dari itu,seperti yang telah disebutkan di atas bahwa makna ritual
perang ini adalah pertama wujud bakti pada dewa indra, yang kedua agar para
pemuda di desa tenganan belajar introspeksi diri, dimana musuh kita itu bukan
hanya berasal dari luar diri, namun terkadang musuh kita itu muncul dari dalam diri
sendiri, bagaimana para pemuda atau peserta megaret pandan itu menunjukkan
seninya mengeluarkan emosi. Makna selanjutnya adalah sebagai persembahan
keseimbangan kepada bumi.

- Sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara dunia natural dengan


supernatural.

Pemain megaret pandan biasanya terluka hingga meneteskan darah mereka


ke tanah. Mereka menganggaps bahwa darah yang menetes tersebut sebagai
penyeimbang alam, artinya mereka (masyarakat desa aga Tenganan) masih
mempercayai hal-hal gaib seperti roh halu, dewa-dewa dan kekuatan magic. Yang
meneteskan tersebut dipercayai sebagai simbol persembahan untuk roh halus dan
dewa yang ada di alam supranatural.

Menurut mereka hubungan keserasian antara alam nyata dan alam gaib itu
harus dijaga, dan masyarakat Aga Tenganan berusaha untuk menciptakan hubungan
atau suasana harmonis antara manusia (masyarakat desa Tenganan) dengan roh
halus yang ada disana.

41
- Sebagai Arena untuk mempertunjukkan kesejahteraan dan keperwiraan.

Megaret pandan biasanya dilakukan oleh para laki-laki, karena megaret


pandan itu menggambarkan kekuatan dan kejantanan,m aka seyogyanyamemang
laki-laki lah yang memainkanya. Megaret pandan yang membutuhkan kekuatan
fisit memang sudah identik dengan laki-laki. Biasanya para lelaki sangat
antusiasuntuk mengikutinya disebabkan kekuatan seseorang lebih terlihat dengan
mengikuti tradisi megaret pandan ini. Mereka bisa saling unjuk kejantanan mereka
sebagai seorang laki-laki yang mampu melindungi perempuan dan keluarga dengan
kekuatan fisiknya dan juga ketangkasannya dalam melawan apa yang menjadi
tantangan bagi diri dan orang-orang disekitarnya, sehingga tidak ada wanita yang
memainkan megaret pandan. Karena wanita cenderung takut perang dan megaret
pandan memang hanya identik dimainkan oleh laki-laki sebagai simbol kejantanan
dan keperwiraan mereka, jadi masyarakat menganggap wanita tidak pantas untuk
memainkan megaret pandan.

- Sebagai pariwisata untuk menarik pengunjung.

Tidak terlepas dari beberapa fungsi megaret pandan sebagai suatu ritual yag
sakral dalam keagamaan, tetapi megaret pandan juga memiliki fungsi yang
mungkin tidak hubungannya dengan pemujaan atau persembahan kepada dewa
indera. Yaitu berfungsi sebagai menarik minat wisatawan yang justru mendukung
kelangsungan megaret pandan tersebut. Hampir setiap harinya banyak wisatawan
lokal maupun asing yang berdatangan ke desa Tenganan meskipun megaret pandan
dilaksanankan satu tahu sekali. Peserta megaret pandan pun yang dulunya hanya
dilakukan oleh masyarakat Tenganan sendiri, tetapi sekarang orang dari luar
Tenganan maupun asing dapat menjadi peserta. Dan itu salah satu cara masyarakat
Tenganan untuk memepekenalkan megaret pandan kepada orang asing.

Keberlangsungan tersebut kini malah membawa dampak untuk


perekonomian masyarakat desa Tenganan itu sendiri. Masyarakat dalam

42
kesempatan ini mempunyai usaha untuk memajukan perekonomian mereka,
misalkan saja kerajinan membuat pernak-pernik khas Tenganan seperti.

d. Eksistensi Megaret pandan

Masyarakat dalam menyikapi perkembangan zaman sangat tertutup dengan


perubahan tersebut.Masyarakat tetap memegang teguh dan mempertahankan
budaya seperti aslinya karena masyarakat menganggap bahwa budaya tersebut
merupakan warisan dari leluhur dan mereka tidak berani merubah dalam artian
tidak berani mengurangi maupun menambahkan sesuatu sekecil apapun dari
budaya-budaya yang mereka punya.

Hingga saat ini pun tradisi megaret pandan selalu diterima oleh masyarakat
desa Tenganan secara langsung.Masyarakat sangat antusias ketika acara tersebut
berlangsung.Tak ada masyarakat yang tidak menerima terhadap tradisi kebudayaan
tersebut.Masyarakat Tenganan justru sangat bangga dengan kebudayaan-
kebudayaan yang ada di dalam desanya karena kebudayaan mereka menyenangkan,
unik dan hanya ada dalam desa tersebut di daerah Bali, terutama megaret pandan
itu sendiri. Karena dengan melestarikan kebudayaan tersebut, berarti mereka setia
pada Tuhan Yang Maha Esa karena meniru apa yang dilakukan oleh Dewa Indra
sebagai dewa perang, juga untuk menghormati Dewa Indra dan mengikuti jalannya
dewa Indra ke tempat ia berada. Dewa Indra juga merupakan simbol ibu
pertiwi.Megaret pandan merupakan kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan
lainnya, dan mereka sangat menjunjung tinggi kebudayaan dari leluhur mereka itu.
Bahkan dipercayai apabila ada warga yang menentang kebudayaan tersebut
seseorang itu akan mudah terkena musibah. Namun tidak ada hukuman langsung
dari pihak adat, yang mereka yakini adalah adanya hukuman dari roh-roh yang
dipercaya oleh masyarakat Tenganan.

Hingga saat ini, megaret pandan berusaha untuk dijaga kelestarianya oleh
masyarakat desa Aga Tenganan. Megaret pandan yang dimainkan di tanah lapang
maupun dibale yang tingginya 1 meter ini telah menarik perhatian masyarakat desa

43
Tenganan dan tidak sedikit pula berhasil menarik perhatian para turis mancanegara.
Hingga pada kehidupan sehari-hari, anak-anak desa Tenganan sudah terbiasa
bermain Megaret pandan (hanya sekedar untuk bermain). Menurut salah seorang
desa Tenganan. Hal itu juga sebagai latihan mempersiapkan dirinya agar terbiasa
dan bisa memainkan megaret pandan kelak pada saatnya dewasa. Masyarakat desa
Tengana terbuka mengajarkan megaret pandan kepada siapapun, tidak ada latihan
khusus bagi anak-anak, namun anak-anaklah yang berinisiatif sendiri untuk
memainkan atau meniru bermain megaret pandan. Turis wisatawanpun
diperbolehkan untuk memainkan megaret pandan dengan syarat memakai pakaian
adat Tenganan.

Salah satu warga desa Tenganan, I Nyoman Parta Gunawan

(http://gennuss.blogspot.com/2014/01/setetes-darah-dalam-megaret-pandan.html)
mengatakan:

“Tidak ada perubahan sama sekali dalam tata cara, pakaian, dan waktunya.
Karena masyarakat tidak berani merubah-rubah apa yang telah di wariskan oleh
para leluhur kepada kita. Kita sangat menghormati apa yang telah di berikan oleh
para leluhur. Sehingga tidak ada perubahan hingga saat ini.Tak ada penambahan
dan pengurangan dalam Megaret pandan ini”.
Pada kenyataannya saat ini memang tidak ada perubahan secara teknis
dalam pelaksanaan megaret pandan, tetapi megaret pandan yang semula sakral pun
menjadi profan, orang luar tidak hanya menonton, namun mereka pun boleh ikut
bertarung dan berpartisipasi dalam megaret pandan. Saat ini megaret pandan
menjadi penarik Pariwisata dan berpengaruh dalam pemasok perekonomian
masyarakat desa Tenangan.

44
9. Tradisi adu kepala (bima)

gambar 2.15 saling mengaadu kekuatan kepala

Belum ada pihak yang mengetahui secara pasti kapan atraksi kesenian
seperti ini mulai ada di Bima. Karena Atraksi Ntumbu ini hanya ditemkukan di desa
Nori kecamatan Wawo,namun beberapa sejarahwan dan budayawan berpendapat
bahwa atraksi ini telah ada pada zaman kesultanan Bima pada abat ke 17. Hampir
90 porsen atraksi kesenian tradisional Bima didominasi oleh atraksi ketangkasan
yang menggambarkan semangat patriotisme dan kepahawanan. Hal itu dibuktikan
dengan penggunaan alat-alat ktangkasan dan perlengkapan perang seperti parang,
tombak, keris dan lain-lain dalam setiap atraksi.

Bagi warga Bima, Nusa Tenggara Barat, musim panen adalah saat yang
membahagiakan. Oleh mereka perayaan musim panen ini dilakukan dengan sebuah
tradisi unik yang disebut entubu. Entubu adalah tradisi adu kepala manusia. Tradisi
entubu atau adu kepala ini merupakan tradisi kas peninggalan nenek moyang warga
Bima di Pulau Sumbawa. Tradisi ini hanya ada di daerah dataran tinggi Kecamatan
Wawo dan hanya bisa dilakoni oleh orang-orang tertentu yang sebelumnya sudah
dibekali kesaktian atau dari keturunan prajurit Kesultanan Bima.

Tidak mengherankan memang jika para pelakunya tergolong orang kuat dan
nekad. Tanpa rasa sakit mereka mengadu kepala satu dengan lainnya. Dalam ritual
entubu ini para pengadu yang jumlahnya empat sampai enam orang diiringi oleh

45
musik kas warga Bima dan seorang penyanyi hikayat perempuan yang dengan suara
kasnya membacakan mantra-mantra.

Sebelum melakukan ritual entubu, para pengadu yang dipimpin oleh


seorang dalang atau pemuka terlebih dulu dibekali kesaktian oleh sang dalang.
Layaknya orang kesurupan mereka yang sudah dibekali ilmu ini langsung menari-
nari menantang lawannya untuk beradu kepala.

10.Tradsi ma’nene (toraja)

Ma Nene adalah salah satu kegiatan ritual adat di Toraja, khususnya di


Baruppu, Rinding Allo Toraja Utara. UpacaraMa Nenek dimaksudkan untuk
mengganti pakaian Almarhum, sebagai perwujudan dari rasa cinta keluarga yang
masih hidup.Tradisi unik sekaligus mengerikan ini di lakukan setiap 3 tahun sekali

gambar 2.16 Pemasangan baju para mayat gambar 2.17 mengganti baju mayat
dengan baju baru

pada bulan agustus, dimana pada bulan tersebut masyarakat di sana sedang
mengalami masa panen.

46
Ritual ini tidak boleh di lakukan sebelum masa panen karena menurut
kepercayaan mereka hal ini akan mebuat sawah-sawah dan ladang yang mereka
miliki akan mengalami kerusakan karena di serang oleh hama seperti tikus dan ulat
dengan secara tiba-tiba sehingga menyebabkan kerugian bagi masyarakat di sana.

Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara perlahan,
mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang tinggal tulang-
belulang) dan mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah dengan yang
baru.Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap
menjadi bagian keluarga besar. Ritual Ma Nene oleh masyarakat Baruppu dianggap
sebagai wujud kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah
meninggal dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari
gangguan jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.

Sejarah ritual Ma’nene ini sendiri berawal ketika seseorang pemburu


bernama pong rumsek memasuki sebuah hutan di pegununggan Balla, di sana dia
menemukan sebuah jasad manusia yang telah meninggal dalam keadaan yang
cukup memprihatinkan. Oleh Pong, jasad itu dibawanya dan dikenakan pakaian
yang layak untuk dikuburkan di tempat aman.

Menurut pong, semenjak dia melakukan hal tersebut tanaman pertanian


milikinya panen lebih cepat dari waktu biasanya. Bukan itu saja sewaktu berburu
di hutan pemuda tersebut sering bertemu dengan arwah yang di rawatnya dan kerap
membantu pong dalam berburu sehingga dia selalu mendapatkan buruanya dengan
mudah. Hal ini membuat pong beranggapan bahwa jasad orang yang telah
meninggalpun perlu di rawat dan di hormati, meskipun jasad tersebut sudah tidak
berbentuk lagi. Mulai sejak itu Pong memberi amanah untuk penduduk Baruppu
untuk melestarikan tradisi unik ini, dan terbukti hingga saat ini tradisi tersebut tetap
berjalan.

Prosesi Ma'nene itu sendiri diawali dengan mengunjungi lokasi tempat


dimakamkan para leluhur masyarakat setempat yakni di pekuburan Patane di

47
Lembang Paton, Kecamatan Sariale, ibu kota Kabupaten Toraja Utara. Para mayat
leluhur mereka disimpan di dalam peti yang telah diberi pengawet.

Sebelum dibuka dan di angkat dari peti, para tetua yang biasa dikenal
dengan nama Ne' Tomina Lumba, membacakan doa dalam bahasa Toraja Kuno.
Setelah itu, mayat tersebut diangkat dan mulai dibersihkan dari atas kepala hingga
ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat
tersebut dipakaikan baju yang baru dan kemudian kembali dibaringkan di dalam
peti tadi.

Selama prosesi tersebut, sebagian kaum lelaki membentuk lingkaran


menyanyikan lagu dan tarian yang melambangkan kesedihan. Lagu dan gerak tarian
tersebut guna untuk menyemangati para keluarga yang ditinggalkan

11. Tradisi mesbes bangke (bali)

gambar 2.18 orang yang berlomba mencabik mayat

Tradisi yang cukup ekstrem dan seram masih berlaku di salah satu desa
Tampaksiring, Gianyar. Bagi masyarakat awam yang tak mengetahui dan baru
melihat akan merasakan kepiluan bila melihat tradisi mencambik mayat (Mebes
bangke) yang dilakukan oleh warga di desa Tampaksiring.

48
“Mayat yang tengah digarap (istilah proses pencabikan) itu dicabik‐cabik oleh
warga menggunakan gigi, ada juga pakai tangan. setelah tiba di sungai dekat
kuburan,pencabik melepaskan mayat dari joli untuk dipermainkan dibawa
kesana-kesini. Setelah capek, barulah mayat dikremasi," ujar Kelian Dinas dan
Adat Banjar Buruan I Ketut Darta
(http://nyamenusanet.blogspot.com/2015/02/pro-dan-kontra-tradisi-mesbes-
bangke.html), usai tradisi ngarap mayat di banjarnya seperti dikutip
tribunnews.com, Minggu (30/11) lalu.

Kelian Dinas dan Adat Banjar Buruan, Desa Tampaksiring, Gianyar


(http://nyamenusanet.blogspot.com/2015/02/pro-dan-kontra-tradisi-mesbes-
bangke.html)ini mengungkapkan,pelaksanaan tradisi tersebut dilakukan setiap
ada warga yang menghelat ritual ngaben secara personal.

"Di sini ada sistem ngaben kolektif dan ngaben pribadi. Bisa saja orang yang
meninggal itu dikubur. Tapi itu juga harus sesuai dengan hari baik. kalau tidak ada
hari baik untuk mengubur mayat, maka harus ngaben langsung atau ngaben
pribadi
Saat ngaben pribadi inilah, tradisi ngarap dijalankan," jelasnya.
Ketut Darta menjelaskan, tidak ada sastra tertulis yang menyebutkan
tentan keberadaan tradisi ini. Menurut penuturan para tetua di Banjar Buruan,
tradisi ini muncul karena pada zama dahulu sebelum ada formalin, setiap mayat
baunya sangat menyengat sehingga warga tidak bisa membawa ke kuburan. Dengan
Dengan kodisi tersebut, muncul ide untuk melupakan bau busuk, krama
mengarak sambil mempermainkan mayat itu.
"Agar tidak ngadek (mencium) bau busuk saat mengarak, makanya ngarap
(mempermainkan mayat)," ucap pensiunan guru SDN 4 Tampaksiring itu.
Kelian yang menjabat sejak tahun 2009 ini menuturkan, saat ngarap
warga tidakmemanandang stratifikasi sosial. Apabila mereka menggunakan si
stem ngaben personal untuk upacara Pitra Yadnya, tetap akan diperlakukan sama.
"Tapi kalau pemangku atau sulinggih, kami pergunakan suatu taktik supaya
warga tidak ngarap. taktiknya adalah menggelar ritual mekingsan ring gni.
kalau tidak begitu bisa runyam masalahnya," katanya.

49
Dartha menyebut, yang boleh ikut dalam tradisi ngarak ini hanya warga setempat.
Bila ada warga luar yang ikut, akibatnya fatal, secara tidak sadar massa akan
mengeroyok orang itu. sebelumnya,tahun 1980an, tradisi ngarak ini, mayat sampai
dikeluarkan dari kaputnya.
Namun, kini tradisi ngarak sudah sedikit tidak terlau ekstrem. Untuk
mengantisipasi hal itu lagi, pihak keluarga dan prajuru banjar melapisi mayat
dengan banyak pembungkus. Di antaranya, tikar, kain, diikat rantai lebar 5 cm, dan
dikaput lagi pakai tikar, kain dan diikat lagi menggunakan rantai 3 cm.

"Pengaputan ini juga untuk menghindarkan warga dari penyakit. Siapa tahu
sewaktu masih hidup, mayat itu punya penyakit menular," kata Dartha
(http://nyamenusanet.blogspot.com/2015/02/pro-dan-kontra-tradisi-mesbes-
bangke.html) Pro dan kontra pun bermunculan.

50
12. Tradisi debus (banten)

gambar 2.19 Salah satu atraksi debus

a. Pengertian Debus
Permainan debus merupakan bentuk kesenian yang dikombinasikan dengan
seni tari, seni suara dan seni kebatinan yang bernuansa magis. Kesenian debus
biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap upacara adat, atau untuk hiburan
masyarakat. Pertunjukan ini dimulai dengan pembukaan (gembung), yaitu
pembacaan sholawat atau lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad, dzikir
kepada Allah, diiringi instrumen tabuh selama tiga puluh menit. Acara selanjutnya
adalah beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara keras, melengking,
bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhan. Bersamaan dengan beluk, atraksi
kekebalan tubuh didemonstrasikan sesuai dengan keinginan pemainnya seperti
menusuk perut dengan gada, tombak atau senjata almadad tanpa luka, mengiris
anggota tubuh dengan pisau atau golok, makan api memasukkan jarum kawat ke
dalam lidah, kulit pipi dan anggota tubuh lainnya sampai tebus tanpa mengeluarkan
darah; mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tapi dapat
disembuhkan seketika itu juga hanya dengan mengusapnya, menyiram tubuh

51
dengan air keras sampai pakaian yang dikenakan hancur lumat namun kulitnya tetap
utuh. Selain itu, juga ada atraksi menggoreng kerupuk atau telur di atas kepala,
membakar tubuh dengan api, menaiki atau menduduki tangga yang disusun dari
golok yang sangat tajam, serta bergulingan di atas tumpukan kaca atau beling.
Atraksi diakhiri dengan gemrung, yaitu permainan alat-alat musik tetabuhan.

b. Sejarah Kesenian Debus

Debus merupakan kesenian asli masyarakat Banten yang diciptakan pada


abad ke-16, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin
(1532-1570), dalam rangka penyebaran agama Islam. Agama Islam diperkenalkan
ke Banten oleh Sunan Gunung Jati, salah satu pendiri Kesultanan Cirebon, pada
tahun 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan penaklukan Sunda
Kelapa. Kemudian, ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para
pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Apalagi, di masa pemerintahannya
tengah terjadi ketegangan dengan kaum pendatang dari Eropa, terutama para
pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC. Kedatangan kaum kolonialis ini di
satu sisi membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi
lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata, yaitu terjadinya percampuran
akidah dengan tradisi pra-Islam. Hal ini yang terdapat pada kesenian debus.
Debus atau Almadad diajarkan oleh seorang ulama yang banyak
mengguankan ilmu Hikayat (ilmu Tarekat Qodariah), ada persamaan Debus di
daerah Banten dengan debus yang tumbuh di daerah Aceh dengan sebutan Deboah.
Kemunginan besar asal kata debus juga dari kata Deboah. Syech Almadad dari
Aceh banyak mengajarkan ilmu Hikayat (tarekat) sehingga ilmu ini banyak tersebar
di daerah Banten. Pada abad ke 16 – 17 M. Debus berkembang dikalangan laskar
Banten. Kadang – kadang Sultan Abul Fathi Abdul Satah turut memimpin debus di
kalangan prajurit Banten. Mereka dipimpin oleh beliau melakukan perang-
perangan dengan menggunakan alat yang tajam dan runcing, seperti tombak dan

52
pedang, dengan keyakinan yang kuat mereka percaya tidak ada suatu benda tajam
apapun yang dapat melukai kulitnya kalau tidak dikehendaki oleh Allah SWT,
kemudian permainan ini teresap pada masyarakat sehingga terciptanya kesenian
debus samapai sekarang.

c. Nilai Budaya

Permainan Debus yang dilakukan oleh masyarakat banten, jika dicermati


secara mendalam didalamnya terkandung nilai yang dapat dijadikan sebagai
acuan dalam kehidupan bersama. Nilai itu adalah nilai religius. Nilai religius
tercermin dalam do’a yang dipanjatkan oleh para pemain. Do’a tersebut bertujuan
agar para pemain selalu di lindungi dan selalu mendapatkan keselamatan dari Allah
SWT selama menyelenggarakan permainan Debus.

d. Perbandingan Manfaat dan Pandangan Debus dari Zaman ke Zaman

Dilihat dari sejarahnya, pada zaman penjajahan Belanda debus digunakan


sebagai alat untuk melawan para penjajah, khususnya di wilayah Banten. Pada era
globalisasi ini kesenian debus banyak digunakan sebagai pelengkap hiburan pada
acara seren taun. Artinya, ada suatu perubahan fungsi dari kesenian debus sesuai
dengan perkembangan zaman.

Sejarah lain mengatakan bahwa kesenian debus muncul karena adanya


keinginan Nyi Pohaci (dewi Sri) untuk di “Reremokeun” atau di pesta kan oleh
kesenian yang sederhana. Berikut ini kutipan dari Apih Adeng
(http://wisnunatural.blogspot.com/2012/04/laporan-penelitian-kesenian-
debus.html) sebagai narasumber:

“Pedah Nyi Pohaci hayang di reremokeun ku kasenian anu teu nyusahkeun, nyaeta
anu dijieuna tina awi. Nu ka hiji, hayang di tanggeuy ku rengkong, ka dua hayang
digiring ku angklung, tilu hayang di pirig ku suling, opat hayang di rame-rame ku
calung, ka lima ku celempung, oge teu kaliwat haying dipapag ku kasenian Debus”

53
Kutipan di atas merupakan mitos yang ada di desa Cisungsang, sehingga
semua kesenian itu merupakan satu paket pertunjukan yang selalu ditampilkan pada
saat seren taun desa Cisungsang. Dari itu semua, pada zaman sekarang banyak
orang yang berasumsi bahwa orang yang bermain debus identik dengan hal-hal gaib
ketika orang itu melihat dengan kacamata fisik (luar). Tapi ketika kita lihat pada
kacamata sejarahnya, seperti yang tertulis pada pembahasan sebelumnya, pemain
debus memanjatkan do’a-do’a kepada Tuhan dan melakukan puasa serta proses-
proses lainnya yang memang tidak ada hubungannya dengan ilmu hitam (black
magic).

13. Tradisi mengayau (kalimantan)

gambar 2.20 Kumpulan kepala yang gambar 2.21 pria yang pernah
menjadi tumbal mengayau

a. Asal-usul Secara umum

Mengayau berarti mencari musuh atau mencari kepala musuh. Dalam


Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005 halaman 519,
disebutkan bahwa mengayau berasal dari kata kayau yang berarti membunuh orang
untuk diambil kepalanya. Dalam kajian kebudayaan, mengayau dikenal sebagai
sebuah upacara adat suku Dayak di pulau Kalimantan (Borneo) (Yekti Maunati,

54
2006). Mengayau memiliki banyak tujuan seperti menunjukkan keberanian,
mempertahankan dan memperluas wilayah, melindungi warga suku, persembahan
kepada dewa, dan salah satu cara untuk bertahan hidup. Sementara itu.
menurut JU Lontaan (1975: 533535)
(http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2586/mengayau-upacara-keberanian-
laki-laki-dayak-iban-kalimantan-barat) “mengayau memiliki beberapa tujuan,
yaitu melindungi pertanian, untuk mendapatkan daya rohaniah, balas dendam, dan
daya tahan berdirinya suatu bangunan.”

Mengayau dilakukan dengan menggunakan mandau (senjata khas suku


Dayak) dan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal itu disebabkan karena laki--
laki dianggap sebagai pelindung suku dan keluarga. Akibat dari tradisi ini, banyak
ditemukan para perempuan Dayak yang menjadi janda karena suami mereka mati.
Tradisi pemenggalan kepala musuh ini berkaitan erat dengan pola hidup suku
Dayak yang masih mengandalkan dan membanggakan suku mereka. Sehubungan
dengan ini, Alfred Russel Wallace (1986) mengartikan tradisi mengayau sebagai a
custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe.
Tradisi ini terus berlangsung lama hingga akhirnya mulai berkurang ketika
agama Kristen masuk ke Kalimantan. Saat ini upacara adat mengayau hanya digelar
untuk merayakan pesat adat. Adapun sebagai pengganti kepala manusia panitia
menggunakan kepala babi walaupun tradisi ini akrab dengan suku Dayak, namun
satu hal yang harus dimengerti adalah bahwa tidak semua suku Dayak
mempraktekkan tradisi ini. Hal ini disebabkan oleh varian tradisi di antara Suku
Dayak itu sendiri.
Salah satu sub suku Dayak yang masih mempraktekkan tradisi mengayau
ini adalah suku Dayak Iban yang tinggal di Kalimantan Barat. Mayoritas suku
Dayak Iban hidup tersebar di wilayah Kabupaten Sambas Kabupaten
Sanggau/Malenggang dan sekitarnya, Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah,
Hulu), Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunei
Darusalam. Penting untuk dipahami kembali bahwa tidak semua Suku Dayak Iban
melakukan tradisi ini. Hal ini dikarenakan suku Dayak Iban terdiri dari subsub suku

55
yang beragam seperti sub suku Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur,
Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya (Tjilik Riwut,
2003). Adapun suku Dayak Iban yang masih mempraktekkan tradisi ini adalah
mereka yang tinggal di Kabupaten Kapuas Hulu.
Pada suku Dayak Iban, tradisi mengayau konon pertama kali diturunkan
oleh seorang leluhur mereka yang bernama Urang Libau Lendau Dibiau Takang
Isang. Berkat keberanian dan kegagahannya padanya disematkan gelar Keling
Gerasi Nading Bujang Berani Kempang. Keling berarti orang yang gagah berani.
Menurut bahasa Dayak Iban kayau artinya musuh. Dalam konteks ini ngayau
mempunyai makna turun berperang dengan tujuan untuk mempertahankan
kekuasaan dengan cara memenggal kepala manusia. Dalam konteks suku zaman
dahulu, banyaknya kepala musuh yang dibawa pulang merupakan bukti bahwa
kekuasaan mereka semakin bertambah luas. Namun, dalam konteks pribadi,
semakin banyak kepala musuh yang diperoleh seseorang, maka semakin kuat dan
perkasa orang tersebut.
Suku Dayak Iban juga memaknai Ngayau sebagai kegiatan berburu kepala
yang dilakukan secara berkelompok. Mereka menyebut aktivitas ini dengan "kayau
banyak". Adapun orang yang berhasil memperoleh kepala dianggap sebagai
pahlawan perang dan mendapat gelar "Bujang Berani". Bagi leluhur Dayak Iban
pada zaman dahulu, budaya mengayau atau pemenggalan kepala sebenarnya tidak
hanya terbatas pada kepala musuh saja, akan tetapi juga berlaku pada keluarga yang
akan dikorbankan sebagai persembahan kepada dewa yang mereka yakini.
Berdasarkan data di atas, sebenarnya bagi suku Dayak Iban, ngayau adalah
upacara adat yang dilakukan secara khusus dan tidak sembarang orang dapat
mengayau karena terdapat aturan yang harus ditaati. Pengayauan sesungguhnya
adalah hukuman yang sangat berat bagi pemenang kayau karena suatu ketika
dirinya akan dikayau oleh orang lain.
Mengayau juga tidak dibolehkan terjadi di sembarang tempat akan tetapi
harus sesuai dengan tempat yang telah ditentukan dan sudah diberitahukan terlebih
dahulu oleh ketua adat. Apabila didapati orang mengayau di sembarang tempat,

56
maka dia dianggap bukan pengayau yang baik. Untuk itu, mengayau memiliki sarat
dan ketentuan yang cukup rumit.

b. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Zaman dahulu, ketika tradisi mengayau masih sering dilakukan, upacara


mengayau selalu dilakukan ketika akan berangkat mengayau ke medan kayau.
Namun, saat ini, ketika tradisi mengayau sudah jarang dilakukan, maka upacara
mengayau hanya dilaksanakan pada saatsaat tertentu, seperti saat gelar budaya
Dayak atau musim panen.
Upacara adat mengayau ini dimulai sejak seminggu sebelum upacara inti
digelar. Waktu seminggu diperlukan untuk mempersiapkan segala sesuatu seperti
peralatan dan sesaji yang akan dipakai untuk acara inti. Peralatan dan sesaji sangat
penting disiapkan jauhjauh hari. Hal ini disebabkan jika peralatan dan sesaji tidak
lengkap maka sakralitas upacara akan terpengaruh bahkan berujung pada kekalahan
perang.
Adapun tempat pelaksanan upacara adat mengayau dipusatkan di rumah
adat betang, yaitu rumah adat suku Dayak. Rumah adat ini memang dikhususkan
untuk menyelenggarakan segala upacara adat termasuk upacara adat mengayau.
Rumah betang dianggap sakral, untuk itu tidak sembarangan orang boleh masuk
kecuali atas izin dari ketua adat atau menjadi peserta upacara seperti dalam upacara
adat mengayau.

c. Pemimpin dan Peserta Upacara


Upacara adat mengayau dipimpin oleh kepala kampung dan kepala adat
Suku Dayak Iban. Keduanya terus memimpin sebelum, saat upacara berlangsung
hingga penutupan upacara. Segala peralatan dan bahanbahan sesaji disiapkan satu
minggu sebelum upacara dilaksanakan. Saat upacara berlangsung, prosesi upacara
dilaksanakan di rumah betang dengan dihadiri oleh peserta upacara dan disaksikan

57
oleh seluruh warga suku Dayak Iban. Saat penutupan, para pengayau pulang dari
medan perang.
Upacara adat mengayau diikuti oleh para pengayau yang akan maju perang
dan warga suku Dayak Iban baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Para
pengayau dan beberapa warga baik kaum perempuan maupun lakilaki menjadi
peserta aktif saat persiapan, saat upacara berlangsung, dan saat penutupan. Kaum
perempuan bertugas menyiapkan sesaji, menghidangkan sesaji, menyerahkannya
kepada kepala kampung atau kepala adat, serta menemani para pengayau menari.
Sementara itu, kaum lelaki bertugas menghias rumah betang, menyiapkan alat-alat
perang, serta peralatan dan bahan yang dibutuhkan.

d. Peralatan dan Bahan


Peralatan dan bahan yang dibutuhkan dalam upacara mengayau ini meliputi
peralatan yang harus ada dan peralatan pelengkap. Beberapa peralatan tersebut
seperti tombak, mandau dan perisai, biasanya sudah tersedia bahkan ditempatkan
pada tempat khusus dan tidak boleh sembarang orang memegangnya karena
dianggap sakral. Adapun peralatan yang harus ada dalam upacara ini antara lain:
- sangkok atau tombak
- terabi atau perisai
- mandau
Alat yang menjadi pelengkap meliputi:
- tersang atau ancak yang terbuat dari bambu untuk menyimpan sesaji
- selembar bendera lima warna, yaitu merah (melambangkan sifat berani),
hijau (melambangkan kesuburan), kuning (melambangkan ketulusan),
hitam (melambangkan perlindungan dari orang yang bermaksud jahat), dan
putih (melambangkan hati dan pikiran yang suci dan jernih).
- grumung atau gong kecil
- tawak atau gong besar
- gendang
- bebendai atau gong sedang

58
Selain alatalat di atas, dalam upacara ngayau biasanya juga disiapkan pedara
(sesaji) berupa:
- tujuh piring pulut (ketan)
- tujuh piring tempe (pulut yang dicampur dengan beras)
- tujuh piring rendai (terbuat dari beras ketan yang disangrai)
- tujuh butir telur ayam matang
- sirih, sedek (gambir), rokok, kapur pinang, buah pinang dan tembakau yang
ditempatkan dalam satu piring sendiri
- tujuh buah ketupat yang diikat
- tujuh jalong cubit, yaitu seikat benang yang diikatkan pada ketupat
- sepiring utai bekaki, yaitu tepung pulut dicampur dengan tepung beras
- dua ekor babi (jantan atau betina)
- tiga ekor ayam jantan
- tengkorak manusia sebagai simbol manusia
- sebuah kelapa tua sebagai simbol kepala manusia
- minuman tuak
Seluruh alat dan bahan di atas sangat mudah diperoleh di lingkungan sekitar
hutan Kalimantan Barat karena hampir semuanya berasal dari alam. Bahanbahan
tersebut bahkan sudah akrab dalam kehidupan seharihari suku Dayak Iban.

e. Proses Pelaksanaan
Upacara mengayau secara umum berisi tiga tahap, yaitu tahap persiapan,
pelaksanaan upacara, dan penutup. Ketiga tahap tersebut dilakukan oleh seluruh
peserta upacara dengan instruksi dari kepala kampung dan ketua adat.

f. Persiapan
Persiapan upacara mengayau diisi dengan aktivitas mempersiapkan seluruh
peralatan dan bahanbahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara. Aktivitas
ini dilakukan oleh panitia yang berasal dari warga suku Dayak Iban berdasarkan

59
arahan dari ketua adat. Instruksi harus terus diberikan agar peralatan dan bahan
tidak ada yang terlupa sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar dan sakral.
Persiapan dimulai satu minggu sebelum upacara mengayau di gelar. Pada saat
itu, para wanita melakukan engkira, yaitu membuat pedara (sesaji). Sementara itu,
kaum lakilaki mempersiapkan segala sesuatu seperti menyiapkan peralatan perang,
menyiapkan pengaroh (jimat) dan mencari laukpauk untuk perbekalan selama
mengayau. Setelah semua persiapan dirasakan cukup, selanjutnya dimulai
pelaksanaan upacara.

g. Pelaksanaan
Pelaksanaan upacara adat mengayau secara umum terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu mengantarkan pedara atau sesaji, turun ngayau, dan memasuki rumah betang.
- Mengantarkan pedara atau sesaji.
Upacara adat mengayau dimulai dengan mengantar pedara atau mengantar sesaji
ke rumah betang (rumah adat Suku Dayak) sebagai tempat upacara. Sejenak
kemudian, para pengayau datang dan duduk secara berderet. Setelah mereka duduk
dengan rapi, lalu dihidangkan tujuh piring pedara yang telah disiapkan sebelumnya
oleh dua orang perempuan. Tujuh piring konon melambangkan tujuh lapisan langit.
Setelah semua pengayau menghadapi sesaji, ketua adat mulai membaca
mantra sambil mengibasngibaskan seekor ayam di atas kepala pengayau sebanyak
tiga kali. Selanjutnya, kepala kampung meminta ketua adat untuk membacakan
mantra atau jampijampi kepada sesaji yang ada. Seusai membaca mantra, ketua
adat menuangkan air tuak ke tanah sebanyak tujuh kali untuk memanggil roh nenek
moyang agar melindungi dan membantu pengayau dalam perang.
Setelah itu, ketua adat menumpahkan tuak sebanyak tiga kali ke tanah
untuk mengundang dewadewa agar hadir di rumah betang. Kemudian, ketua adat
meminum tuak. Hal ini dilakukan agar supaya rohroh nenek moyang yang sudah
berada di rumah betang ikut menikmati sesaji yang dipersembahkan. Sesaji yang
pertama kali makan adalah pulut. Pulut dianggap sebagai lambang perekat
kebersamaaan atau kekompakan pasukan dalam perang kelak. Ketua adat dan
kepala kampung selanjutnya menikmati hidangan diikuti oleh para pengayau dan

60
para tamu lainnya. Mereka bersamasama meminum tuak. Tuak dianggap memiliki
pengaruh terhadap tubuh sehingga tubuh menjadi panas.
Dengan demikian, kelak ketika perang berlangsung, pengayau akan
bersemangat. Kepala kampung kemudian mengambil tempe, lalu menaburkan padi
ke atas kepala pengayau. Hal ini merupakan lambang bahwa suku Dayak Iban
mempunyai hati nurani yang jujur dan luhur laksana padi.
Ketua adat kemudian mengambil sirih, rokok, daun apok, serta
perlengkapan sesaji yang lain, masingmasing lima batang, untuk untuk diletakkan
dalam piring. Bahanbahan tersebut lalu ditaruh di ancak (tempat sesaji), kemudian
didirikan di tiang bagian tengah rumah betang (tiang ranyai). Sesaji ini
dimaksudkan agar para dewa hadir di rumah betang. Setelah usai proses mengantar
pedara (sesaji), proses selanjutnya adalah turun ngayau.

- Turun Ngayau.
Bagian ini diawali dengan pembacaan mantra ketua adat yang ditujukan
pada peralatan perang agar diberkati oleh roh ketuaketua adat yang telah lebih
dahulu meninggal. Kemudian, ketua adat memotong ayam. Pemotongan ini
dilakukan di atas tangga rumah betang. Darah ayam diambil dan dioleskan pada
kaki dan dahi para pengayau yang akan berperang agar diberkati. Setelah itu bulu
ayam dicabut dan dioleskan di dahi para peserta yang lain agar tidak diganggu oleh
roh-roh jahat.
Setelah itu, para pengayau mengambil peralatan perang mereka yang
diselipkan dipinggang. Lalu, para pengayau itu menuruni tangga rumah betang
sambil membawa satu ekor babi dengan maksud agar para dewa di kahyangan ikut
bersama dan membantu dalam perang.
Selanjutnya, para pengayau mengatur strategi supaya dapat memotong
kepala musuh dengan cepat dan tepat walaupun jaraknya jauh. Setelah itu,
dibayangkan telah terjadi peperangan di mana musuh akhirnya kalah dan dipotong
kepalanya, yang dilambangkan dengan kelapa tua atau tengkorak manusia. Setelah
berhasil memotong kepala musuh, para pengayau meluapkan kegembiraannya
dengan menarinari, lalu kembali ke rumah betang. Para pengayau kemudian

61
meletakkan kepala musuh yang berhasil dipotong selama perang itu di depan
tangga rumah betang sambil bercengkerama antarsesama pengayau dan
mengisahkan pengalaman mereka selama perang.
Sejenak kemudian, dua orang perempuan dan seorang pawang menuruni
tangga rumah betang untuk mengantar sesaji sebagai simbol pemberkatan terhadap
hasil perang. Selanjutnya, tuan rumah mengibaskan seekor ayam dan memilih
orangorang yang akan membuat sesaji. Sesaji tersebut akan dipersembahkan
kepada dewa yang dianggap telah membantu perang. Sesaji diletakkan di depan
tangga menuju rumah betang. Sesaji dibiarkan di tempat tersebut selama tiga hari
tanpa boleh dipindah. Jika dipindah, maka hal itu diyakini akan mendatangkan
musibah. Setelah bagian ini selesai dilaksanakan, proses upacara memasuki bagian
ketiga, yaitu memasuki rumah betang.

- Memasuki rumah betang.


Bagian ini dimulai dengan membunyikan alatalat musik tradisional Dayak
Iban. Bunyi tersebut merupakan tanda bahwa para pengayau dibolehkan masuk ke
rumah betang. Sebelum memasuki rumah betang, terlebih dahulu ketua adat
membacakan mantra sambil mengibasngibaskan ayam di atas kepala para
pengayau. Ketua adat juga mencabut bulu ayam dan memotong ayam tersebut lalu
mengoleskan darah ayam di dahi para pengayau, setelah itu barulah para pengayau
dipersilakan menaiki tangga rumah betang. Ketika sampai di tangga paling atas,
para pengayau disiram dengan tuak, lalu ketua adat memberikan minuman tuak
tersebut kepada para pengayau dengan maksud memberikan semangat kepada para
pengayau yang telah berhasil memotong kepala musuh.
Di dalam rumah betang, kepala kampung sudah menyiapkan sesaji. Ketika
para pengayau sudah memasuki rumah betang, ketua adat kembali mengibaskan
seekor ayam di atas kepala pengayau dan memotong ayam tersebut, lalu darahnya
dioleskan ke kepala musuh yang disimbolkan dengan tengkorak manusia dan buah
kelapa. Ketua adat juga mencabut bulu ayam lalu dioleskan di dahi para pengayau.
Setelah selesai, sebuah sesaji digantungkan pada salah satu tiang rumah betang,
yaitu di tiang ranyai. Setelah semua pengayau memasuki rumah dan menjalani

62
prosesi upacara di dalam rumah betang, upacara kemudian ditutup dengan tarian
kemenangan.

- Penutup
Menurut anggapan suku Dayak Iban, membawa pulang banyak kepala
musuh adalah sebuah kebanggaan dan keberhasilan yang layak dirayakan dengan
gembira. Untuk itu, upacara adat mengayau ditutup dengan prosesi tarian. Para
pengayau, sambil membawa kepala musuh yang disimbolkan dengan kelapa
menari mengelilingi tiang ranyai diikuti oleh kaum perempuan. Tarian ini dianggap
sebagai ungkapan syukur kepada dewa yang telah membantu perang. Tidak cukup
hanya di dalam rumah betang, selanjutnya menari dilakukan dengan mengelilingi
rumah betang sesuai instruksi ketua adat.

h. Do’a-do’a
Dalam upacara adat mengayau doa dilantunkan oleh ketua adat. Doa yang
dilantunkan berupa mantra yang ditujukan pada tiga pihak, yaitu pertama kepada
pengayau. Kedua pada senjata pengayau, dan ketiga kepada peserta yang ikut hadir
dalam upacara adat.
Mantra yang dibaca untuk para pengayau berupa mantra permohonan
kepada dewa agar pengayau diberikan semangat, kekuatan, dan keberanian
melawan musuh. Mantra ini dilantunkan ketika pengayau akan berangkat
mengayau. Mantra yang dilantunkan untuk senjata pengayau berupa mantra agar
senjata tersebut dapat bergerak cepat dan tepat mengenai sasaran, yaitu kepala
musuh. Konon, bahkan senjata pengayau dapat bergerak sendiri (terbang) mencari
kepala musuh. Ajaibnya, senjata tersebut dapat membedakan mana kepala musuh
dan mana kepala suku Dayak Iban. Mantra terakhir ditujukan untuk peserta yang
ikut upacara, yaitu berupa mantra agar peserta tersebut tidak diganggu oleh rohroh
jahat selama mengikuti upacara tersebut. Mantra ini juga sangat penting untuk
melindungi peserta selama perang berlangsung.

63
i. Pantangan atau Larangan
Dalam upacara adat mengayau, terdapat beberapa pantangan dan larangan,
baik bagi pengayau sendiri maupun peserta upacara lainnya. Pantangan dan
larangan tersebut antara lain:
- pengayau harus bersih hatinya dan dilarang berbuat buruk di masyarakat.
Hal ini penting agar ia selalu mendapat lindungan dari dewa
- pengayau harus tetap dalam kelompok dan tidak boleh berpencar, apabila
hal ini dilanggar, maka mereka akan mengalami kekalahan dalam perang.
seluruh warga dilarang mengambil sesaji yang diletakkan di rumah betang,
jika hal ini dilanggar, maka mereka akan tertimpa musibah berupa kalah
perang atau gagal panen

j. Nilai-nilai
Sebagai sebuah upacara adat dengan beragam tujuan, upacara adat
mengayau juga mengandung berbagai macam nilai dalam kehidupan masyarakat
suku Dayak Iban. Nilai-nilai tersebut mungkin tidak disadari secara rasional oleh
masyarakat suku Dayak Iban. Akan tetapi, jika melihat begitu kuatnya tradisi ini,
tampaknya nilai-nilai tersebut sudah menyatu dalam diri masyarakat suku Dayak
Iban. Mengayau sudah menjadi keyakinan Suku Dayak Iban dan bukan lagi hanya
sekedar upacara adat. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara adat mengayau
tersebut antara lain sebagai berikut.
- Nilai sakral. Nilai ini terwujud dalam berbagai mantra yang dilantunkan
oleh kepala adat, berbagai peralatan perang yang disimpan khusus, dan
persiapan yang dilakukan seminggu sebelum upacara digelar. Indikasi ini
tentu saja beralasan karena jika tidak dianggap sakral, maka upacara hanya
dipersiapkan sambil lalu saja. Selain itu, nilai ini juga terwujud dalam salah
satu tujuan mengayau itu sendiri, yaitu mempertahankan kekuasaan dan
wilayah serta melindungi warga. Kedua tujuan ini berkait erat dengan
nyawa manusia dan tentu saja nyawa manusia dianggap sakral karena
dengan hilangnya nyawa manusia berarti kehidupan juga hilang. Maka dari

64
itu, mengayau pada satu sisi, sebenarnya dapat diartikan sebagai upacara
dalam rangka menghargai kehidupan.

- Nilai keberanian. Nilai ini tercermin pada semangat para pengayau ketika
berangkat menuju medan perang. Para pengayau begitu bersemangat ingin
memenggal kepala musuh. Semangat keberanian itu semakin bertambah
akibat efek sensasi dari tuak yang diminum setelah diberi mantra oleh ketua
adat. Selain itu, nilai ini juga terwujud dalam gelar yang diberikan bagi
pengayau yang banyak memenggal kepala musuh. Semakin banyak
pengayau memenggal kepala musuh, maka semakin dianggap berani dirinya
di mata masyarakat.

- Nilai kebanggaan. Nilai ini terwujud dalam tarian yang dilakukan oleh
para pengayau seusai mereka pulang dari medan perang. Dengan menenteng
kepala musuh yang berhasil dipenggal, para pengayau menari diiringi oleh
musik dan para perempuan di dalam rumah betang dan dilanjutkan dengan
mengelilingi rumah betang. Tarian ini dianggap sebagai simbol kebanggaan
karena mereka telah mengalahkan musuh. Dalam situasi ini, menari seakan
menjadi sebuah katarsis bagi para pengayau karena sebelumnya mereka
berada dalam kondisi ketakutan dan kekhawatiran. Mereka takut jikalau
mengalami kekalahan dan akhirnya mati dan dipenggal kepalanya oleh
musuh. Menari juga menjadi katarsis masyarakat karena sebelumnya
mereka berada dalam ketakutan akan kehilangan suami atau anakanak
mereka. Kematian dalam konteks ini menjadi sebuah kondisi yang
mencekam karena disadari secara langsung dan dalam kondisi yang
mengerikan.

- Nilai kekuasaan. Nilai ini tercermin dalam anggapan suku Dayak Iban
bahwa ketika para pengayau banyak membawa pulang kepala musuh berarti
wilayah kekuasaan mereka bertambah luas. Anggapan ini tentu saja tidak
berlebihan karena memang jikalau musuh dapat ditaklukkan konon setelah

65
itu, musuh akan menjadi pengikut suku yang memenangkan perang
(menjadi tawanan). Dalam konteks ini, kekuasaan menjadi tujuan material
yang menggiurkan dan membanggakan bagi suku.

- Nilai tanggung jawab sosial. Penting untuk dipahami bahwa salah satu
tujuan mengayau adalah sebagai perwujudan tanggung jawab sosial ketua
adat dalam melindungi warganya. Mengayau merupakan sebuah tradisi
memotong kepala musuh yang dilakukan ketika jiwa warga dan stabilitas
keamanan warga suku terancam. Kepala kampung dan ketua adat tentu
harus berusaha melindungi warganya. Dalam kondisi ini, mengayau
dianggap sebagai jalan keluar yang sesuai kala itu untuk melindungi warga
suku yang terancam jiwanya. Terpotongnya kepala musuh dianggap sebagai
terpotongnya peluang pihak musuh untuk membunuh warga suku
pemotong. Padahal, tidaklah demikian adanya. Sebenarnya tradisi
mengayau akan melahirkan sebuah tradisi pembunuhan yang tiada berakhir
karena konon salah satu tujuan mengayau adalah membalas dendam.
Terlepas dari efek tersebut di atas, mengayau merupakan cara bertahan,
melawan dan membela diri ketika diri dan masyarakat terancam jiwanya.

- Nilai pendidikan dan penyadaran. Nilai ini tercermin dari tujuan


diadakannya upacara adat mengayau sekarang ini. Seperti diketahui,
sekarang upacara ini ditujukan untuk beberapa hal, antara lain: untuk
mengikis pemahaman negatif orang di luar suku Dayak tentang tradisi
mengayau yang dianggap sebagai tradisi buruk (baca: kanibal atau primitif)
orang Dayak khususnya Dayak Iban, untuk memahami makna dari tradisi
mengayau yang sesungguhnya, yakni bukan hanya sekadar memotong
kepala musuh akan tetapi lebih kepada tanggung jawab sosial dan sakral,
untuk memahamkan kepada generasi penerus tentang efek negatif dari
tradisi mengayau yang tidak sesuai aturan. Salah satu efek negatifnya adalah
munculnya konflik dan banyaknya janda.

66
k. Penutup

Sebagai sebuah upacara adat yang bertujuan untuk mencari makna dan
mengambil sisi baiknya, seperti keberanian, kebanggan, kekuatan, semangat, dan
tanggung jawab sosial, upacara adat mengayau penting untuk diapresiasi. Akan
tetapi, sebagai sebuah tradisi yang juga mempunyai sisi negatif, dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah modern dan berlandaskan Undang-
undang Dasar 45, maka tradisi mengayau harus ditinggalkan karena hal itu
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun demikian, terlepas dari
sisi negatif tradisi mengayau tersebut, satu hal yang sangat penting untuk dipahami
adalah bahwa Suku Dayak adalah suku yang cinta damai dan bukan suku yang
primitif seperti masih banyak dibanyangkan oleh orang luar dayak selama ini .
Yusuf Efendi (bdy/20/0310).

14.Tradisi pasola (sumba barat, nusa tenggara timur)

gambar 2.22 pelaksanaan tradisi pasola gambar 2.23 para peserta yang saling
melempar lembing

67
a. Asal kata

Secara etimologis, pasola berasal dari kata sola atau hola yang berarti
lembing atau tombak. Kemudian kata dasar sola atau hola mendapat
awalan pa yang berarti saling. Jadi kata pasola dapat diartikan sebagai saling
menombak atau menyerang dengan lembing. Dan secara
terminoligis, pasola berarti permainan ketangkasan melemparkan lembing atau
tombak [tumpul] dari atas kuda ke arah “lawan” dalam rangkaian upacara tradisonal
suku Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu.

Tradisi pasola diadakan di empat lokasi berbeda di kabupaten Sumba Barat


secara bergiliran. Keempat tempat tersebut adalah kampung Kodi, Lamboya,
Wonokaka, dan Gaura. Waktu pelaksanaannya jatuh pada sekitar bulan Februari
hingga Maret setiap tahunnya, tergantung dari penaggalan tradisonal Sumba.

b. Sejarah

Menurut cerita rakyat Sumba yang berkembang secara turun


temurun, Tradisi Pasola berawal dari kisah seorang janda cantik bernama Rabu
Kaba di Kampung Waiwuang yang mempunyai seorang suami bernama Umbu
Dulla, salah satu pemimpin di kampung Waiwuang.

Pada suatu hari, Umbu Dulla pamit kepada isterinya untuk pergi melaut
bersama dua orang pemimpin adat lainnya yaitu Ngongo Tau Masusu dan Yagi
Waikareri. Namun dalam perjalanan, mereka bertiga berubah pikiran dan akhirnya
memutuskan untuk pergi ke selatan pantai Sumba untuk bercocok tanam padi. Oleh
karena itu, mereka tidak pulang dalam waktu lama sehingga rakyat mereka
menganggap mereka telah meninggal di laut. Rakyat pun mengadakan upacara
perkabungan. Dalam keadaan yang demikian itulah, janda cantik dari almarhum
Umbu Dula, Rabu Kaba terlibat asmara dengan Teda Gaiparona, seorang laki-laki
dari Kampung Kodi.

68
Teda Gaiparona bermaksud mempersunting Rabu Kaba namun ditentang
oleh keluarga kedua belah pihak sehingga merkea kawin lari. Beberapa waktu
berselang, Umbu Dula kembali ke rumah bersama kedua pemimpin lainnya.
Alangkah terkejutnya Umbu Dulla mendapatin isterinya telah dipersunting oleh
orang lain. Dia berusaha mengajak isterinya pulang namun menolak karena sudah
terlanjur cinta dengan Teda Gaiparano.

Untuk memuluskan perkawinan mereka, Teda Gaipora mengganti kepada


Umbu Dulla sejumlah belis [semacam mahar] yang dulu dibayarkan kepada Rabu
Kaba berupa kuda, sapi, kerbau, dan barang-barang berharga lainnya. Setelah
seluruh belis dilunasi, barulah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dan Teda
Gaiparona dapat dilangsungkan. Pada akhir pesta pernikahan, Umbu Dulla meinta
warga Waiwuang untuk mengadakan pesta penagkapan nyale [caicing laut] dengan
melaksanakan tradisi pasola untuk melupakan kesedihannya yang talah kehilangan
isteri.

c. Prosesi Upacara

Upacara pasola selalu diawali dengan serangkaian prosesi adat


penangkapan nyalesebagai wujud rasa syukur terhadap anugerah Tuhan yang
melimpah seperti suksesnya panen. Nyale adalah bahasa setempat untuk cacing laut
yang apabila muncul dalam jumlah banyak di tepi pantai, maka ini merupakan
pertanda baik buat masyarakat setempat. Kemunculan nyale merupakan lambang
kemakmuran bagi masyarakat Sumba dan sekitarnya. Upacara penangkapan nyale
dilaksanakan pada malam bulan pernama dan dipimpin oleh Para Rato , pemuka
adat Sumba.

Setelah upacara penangkapan nyale sukses yang ditandai dengan banyaknya


hasil tangkapan yang kemudian “disidangkan” di hadapan Majlis Para Rato, maka
setelah itulah upacara pasola dapat dilaksanakan. Pasola dilaksanakan di lapangan
yang luas sebagai “medan pertempuran” dan disaksikan oleh seluruh warga dan
wisatawan baik lokal maupun internasional.

69
Setiap kelompok yang terlibat dalam pasola terdiri dari sekitari 100 orang
pemuda bersenjatakan sola [tombak] yang terbuat dari kayu berujung tumpul dan
berdiameter kira-kira 1,5 cm. Kedua keompok pemuda tersebut saling berhadapa-
hadapan dan saling menyerang layaknya sebuah peperangan sungguhan antara dua
kelompok kesatria Sumba. Dalam pelaksanaannya, tradisi pasola tidak jarang
memakan korban jiwa. Dalam kepercayaan Marapu, korban yang terjatuh
merupakn orang yang mendaoatkan hukuman dari para Dewa karena telah
melakukan dosa dan kesalahan dan darah yang tercucur dianggap dapat
menandakan kesuburan tanah dan tanaman pada musim tanam mendatang.

15. Tradisi potong jari (suku dani, papua)

gambar 2.24 wanita yang telah melaksanakan potong jari

Begitu banyak cara untuk menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita
ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk
mengembalikan kembali perasaan sakit kehilangan. Namun berbeda dengan Suku
Dani di Papua, mereka mempunyai tradisi yang cukup aneh. Apabila ada salah satu
anggota keluarga yang meninggal, tidak hanya dengan menangis, mereka juga
memotong jarinya.

70
Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan
anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus
kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah, keluarga memiliki
peranan yang sangat penting. Bagi masyarakat Balim Jayawijaya kebersamaan
dalam sebuah keluarga memiliki nilai-nilai tersendiri.

Bukan hanya suku dani saja yang melakukan hal tersebut. Di luar negeri,
gang yakuza akan memotong salah satu jari anggotanya bila mereka gagal
menjalankan misi.

Mengapa harus memotong jari?

Bagi Suku Dani, jari bisa diartikan sebagai simbol kerukunan, kebersatuan,
dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Walaupun dalam
penamaan jari yang ada di tangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan
keluarga yaitu ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbedaan setiap bentuk dan
panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk
meringankan semua beban pekerjaan manusia. Jari saling bekerjasama membangun
sebuah kekuatan sehingga tangan kita bisa berfungsi dengan sempurna. Kehilangan
salah satu ruasnya saja, bisa mengakibatkan tidak maksimalnya tangan kita bekerja.
Jadi jika salah satu bagiannya menghilang, maka hilanglah komponen kebersamaan
dan berkuranglah kekuatan.

Alasan lainya adalah "Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik" atau


pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai (rumah),
satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya.
Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua.
Kesedihan mendalam dan luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga,
baru akan sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi.
Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan Papua memotong jari saat ada
keluarga yang meninggal dunia.

71
Tradisi Potong Jari di Papua sendiri dilakukan dengan berbagai banyak cara,
mulai dari menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak atau parang. Ada juga
yang melakukannya dengan menggigit ruas jarinya hingga putus, mengikatnya
dengan seutas tali sehingga aliran darahnya terhenti dan ruas jari menjadi mati,
kemudian baru dilakukan pemotongan jari

16. Tradisi pengasingan wanita Hamil (suku naulu, maluku)

gambar 2.25 gubuk tempat pengasinagan

Jauh dari dunia pendidikan dipadu dengan kentalnya aturan adat yang
memikat, ternyata makin lengkap dan menambah panjang kehidupan yang serba
gelap bagi suku terasing Naulu. Leluhur dari suku ini bukan saja mewariskan tradisi
memenggal kepala manusia sebagai persembahan. Tradisi lainnya juga
mengasingkan kaum hawa, yang telah hamil dan mendekat waktu melahirkan
momongan.

Biasanya di setiap pemukiman masyarakat suku ini baik yang telah


dimukimkan pihak pemerintah maupun yayasan pembinaan masyarakat terasing
bahkan yang masih hidup mengembara di pedalaman Pulau Seram, kaum lelakinya
membangun gubuk-gubuk kecil yang disebut gubuk pamali atau dalam bahasa suku
ini disebut tikusune.

72
Gubuk –gubuk ini dibangun sebagai tempat berlindung sementara yang
aman bagi kaum wanita saat mereka menjalani masa haid maupun melahirkan.
Gubuk pamali sebagai tempat mengasingkan diri sementara itu berukuran 2×2
meter berdinding dan beratap daun sagu dilengkapi sebuah tempat tidur yang
disebut tapalang berukuran 1×2 meter.

Suku adat Naulu maupun suku terasing lainnya seperti Hoaulu dan
Yalahatan di Pulau Seram, tikusune yang dibangun tidak boleh ditengok atau
dimasuki kaum pria saat kaum wanita menjalani masa datang bulan maupun
melahirkan.

“Mereka hanya bisa ditengok oleh kaum hawa untuk memberikan makanan dan
keperluan lainnya maupun pelayanan saat melahirkan oleh dukun beranak,” kata
tua adat setempat Touisa Matoke
(http://www.anehdidunia.com/2013/12/kontroversi-tradisi-suku-naulu-
maluku.html)

Kaum wanita yang mulai merasa tanda-tanda datangnya haid harus segera
meninggalkan rumahnya untuk memasuki gubuk pamali yang telah disiapkan dan
tinggal di gubuk tersebut hingga masa haidnya selesai baru diperkenankan kembali
ke rumah. Di perkampungan suku Naulu yang telah dibina Depsos maupun pihak
yayasan di Seram bagian selatan terutama di pemukiman Rohua, Bonara dan
Simaoluw, tradisi mengasingkan diri di gubuk pamali ini masih tetap
dipertahankan.

Khusus bagi kaum wanita yang hendak melahirkan biasanya diantar


keluarga ke gubuk Pamali tersebut, kemudian saat persalinan ditolong dukun
beranak, sedangkan pusar bayi dipotong dengan sembilu (kulit bambu yang cukup
tajam). Anehnya, penggunaan sembilu yang beresiko itu dapat diatasi oleh dukun
beranak. Perawatan sang ibu yang baru melahirkan termasuk pengobatan pusar bayi
umumnya dilakukan dengan menggunakan bahan ramuan tradisional.

Usai masa melahirkan dan perawatan di gubuk pamali, sekitar dua minggu
sang ibu bersama anaknya sudah bisa keluar gubuk untuk mandi di kali, sedangkan

73
pihak keluarga dan sang dukun (biang) harus berpuasa selama sehari sebelum
menerima sang istri dan buah hati saat kembali pulang ke rumah.

Saat kembali ke rumah mereka diterima secara adat dalam suasana sukacita
dengan sajian makanan yang disiapkan dari pihak keluarga perempuan untuk
disantap bersama warga suku setempat. Beberapa hari kemudian pihak keluarga
lelaki juga melakukan hal serupa sebagai jamuan balasan kepada pihak keluarga
perempuan bersama masyarakat setempat untuk dinikmati bersama sebagai
ungkapan syukur.

Sejauh ini tidak ada yang melanggar tradisi adat tersebut. Sanksi bagi
pelanggarnya akan dikucilkan dari masyarakat adat setempat dan juga dikenakan
denda berupa pembayaran piring tua dan kain berang (merah) bagi kaum
perempuan. Kepatuhan masyarakat terasing Naulu, Hoaulu, Yalahatan serta
kelompok masyarakat terasing lainnya di pulau Seram kepada adat yang diwariskan
tidak bisa dipisahkan dengan adat istiadat dan budaya suku Alifuru yang mendiami
pulau Seram.

74
17. Tradisi laisan

gambar 2.26 Atraksi laisan

Kesenian Lais diambil dari nama seseorang yang sangat terampil dalam
memanjat pohon kelapa yang bernama Laisan, yang sehari-hari dipanggil Pak Lais.
Lais ini sudah dikenal sejak zaman Penjajahan Belanda. Tempatnya di Kampung
Nangka Pait, Kecamatan Sukawening. Atraksi yang ditontonkan mula-mula pelais
memanjat bambu lalu pindah ke tambang sambil menari-nari dan berputar di udara
tanpa menggunakan sabuk pengaman.

Kesenian lais merupakan kesenian tradisional yang memperlihatkan


ketangkasan pemainnya. Kesenian ini mirip akrobat yang ditampilkan dalam acara
sirkus. Orang yang mengaksikan bisa dibuat berdebar-debar karena pemain lais
membuat penonton terpesona. Cara Pak Lais memanjat kelapa sangat berbeda
dengan yang dilakukan kebanyakan orang. la cukup memanjat sekali saja untuk
mengambil kelapa di beberapa pohon.

Caranya, setelah memanjat clan mengambil kelapa dari satu pohon, ia tidak
langsung turun. Tetapi ia akan mencari pohon terdekat clan menjangkau pelepahnya
untuk kemudian bergelayun pindah ke pohon lain. Demikianlah seterusnya. la akan

75
berpindah-pindah dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya dengan cara
bergelayun melalui pelepahnya.

Karena keahliannya itu, la sering dipanggil untuk diminta memetik kelepa


oleh orang-orang sekampung. Caranya yang unik dalam memetik kelapa akhirnya
sering menjadi tontonan masyarakat. Jika ia diminta memetik kelapa, orang suka
berbondong-bondong menontonnya, terutama anak-anak. Terkadang, orang yang
menonton tidak hanyak bersorak sorai, tetapi membunyikan berbagai tabuhan
sambil menari-nari.

Atas inisiatif beberapa tokoh masyarakat, ketangkasan Pa Lais kemudian


dimodifikasi dalam bentuk lain dan ditampilkan dalam berbagai acara hiburan.
Sebagai pengganti pohon kelapa, dipancangkanlah dua batang bambu setinggi ± 12
– 13 meter, dengan jarakrenggang sekitar 6 meter. Pada ujung kedua batang bambu
An dipasang tali atau tambang besar untuk Pak Lais mempertontonkan
ketangkasannya. Sementara untuk menyemarakan acara tersebut, disajikan
berbagai tabuhan seperti dogdog, terompet, kendang, dan kempul. Selain itu,
ditampilkan pula seorang pelawak yang berdialog langsung

Terkadang tampak seperti sedang bermalas-malasan tidur diatas tambang,


kemudian bergerak akrobatik seperti dalam acara sirkus dengan berputar berkali-
kali pada tambang, kemudian melucuti sabuk dan jaket yang dikenakannya saat
bergantung terbalik pada tali.

Tak urung pemain Lais pun akan membuat gerakan seperti pegangannya
terlepas dari tali dan akan jatuh, yang membuat para penonton berteriak dan
menahan nafas. Namun tiba-tiba dengan sigap pemain Lais menyangkutkan kedua
lengannya pada tambang dan dengan santai tidur-tiduran kembali di atas tali.

Sungguh suatu atraksi yang mendebarkan dan membuat para penonton


menggelengkan kepala maupun bersorak kagum karena pemain Lais tidak
dilengkapi dengan alat pengaman apapun dan mampu bertahan di atas tali tersebut

76
selama belasan menit. Setelah atraksi selesai, Pemain Lais akan merayap menuju
bambu dan turun dengan posisi terbalik, yaitu dengan kepala di bawah ia kemudian
merosot turun hingga ke tanah.

18. Tradisi omed-omedan (bali)

gambar 2.27 Pelaksanaan omed-omedan

Tradisi “Omed-omedan” atau juga disebut “Med-medan” rutin digelar


setiap tahun, sehari setelah hari raya Nyepi atau yang disebut sebagai hari Ngembak
Geni. Konon, acara ini sudah diwariskan sejak tahun 1900-an dan hanya bisa
ditemukan di Banjar Kaja Sesetan. Warga setempat meyakini, bila acara ini tak
diselenggarakan, dalam satu tahun mendatang berkah Sang Dewata sulit diharapkan
dan berbagai peristiwa buruk akan datang menimpa. Pernah pada 1970-an
ditiadakan, tiba-tiba di pelataran Pura terjadi perkelahian dua ekor babi. Mereka
terluka dan berdarah-darah, lalu menghilang begitu saja. Peristiwa itu dianggap
sebagai pertanda buruk bagi semua warga Banjar.

77
a. Sejarah omed-omedan

Wayan Sunarya tokoh masyarakat di Banjar Kaja Sesetan menceritakan,


tradisi omed-omedan itu merupakan tradisi leluhur yang sudah dilakukan sejak
zaman penjajahan Belanda. Awalnya ritual ciuman massal itu dilakukan di Puri
Oka. Puri Oka merupakan sebuah kerajaan kecil pada zaman penjajahan Belanda.

Ceritanya, pada suatu saat konon raja Puri Oka mengalami sakit keras. Sang
raja sudah mencoba berobat ke berbagai tabib tapi tak kunjung sembuh. Sehari
setelah Hari Raya Nyepi (saat Ngembak Geni), masyarakat Puri Oka menggelar
permainan omed-omedan. Saking antusiasnya, suasana jadi gaduh akibat acara
saling rangkul para muda-mudi. Raja Puri Oka yang saat itu sedang sakit pun marah
besar karena keriuhan dan keributan yang diakibatkan oleh suara Muda-Mudi yang
mengikuti acara Omed-Omedan tersebut. Dengan berjalan terhuyung-huyung raja
keluar dan melihat warganya yang sedang rangkul-rangkulan. Anehnya,
ketika melihat adegan yang panas itu, tiba-tiba raja tak lagi merasakan sakitnya.
Ajaibnya lagi raja kembali sehat seperti sediakala.

Raja lalu mengeluarkan titah agar omed-omedan harus dilaksanakan tiap


tahun sekali, yaitu sehari setelah Hari Raya Nyepi (pada saat Ngembak Geni).
Namun pemerintah Belanda yang waktu itu menjajah gerah dengan upacara itu.
Belanda pun melarang ritual permainan muda-mudi tersebut. Warga akhirnya tidak
menggelar omed-omedan. Namun, setelah omed-omedan tidak dilaksanakan lagi,
tiba-tiba ada 2 ekor babi besar berkelahi di tempat omed-omedan biasa digelar.
“Akhirnya raja dan rakyat meminta petunjuk kepada leluhur. Setelah itu omed-
omedan dilaksanakan kembali sehari setelah Hari Raya Nyepi”, kata Wayan
Sunarya.

78
b. Runtutan omed-omedan

gambar 2.28 Persembahyangan sebelum omed-omedan

Sebelum memulai tradisi unik ini para peserta omed-omedan yang


seluruhnya adalah pemuda dan pemudi melakukan persembahyangan dan doa
bersama di pura Banjar yang dipimpin oleh pemangku setempat. Usai berdoa,
barulah para peserta membaur ketengah arena disaksikan ribuan warga yang hadir
dalam tradisi setahun sekali ini. Sebelum dimulai, peserta dibagi dua kelompok
sesuai dengan jenis kelamin dan posisi berlawanan.

Selanjutnya, salah satu dari kedua kelompok pemuda dan pemudi kemudian
diarak bergiliran untuk saling berpelukan dan berciuman. Dalam tradisi ini kedua
peserta yang diarak ini tidak boleh memilih pasangan yang diciumnya. Aksi
berpelukan dan berciuman ini akan dipisahkan setelah para peserta mendapat
guyuran air dari panitia.

Bagi para peserta, meski mengaku risih karena berciuman ditempat ramai,
namun hal ini dilakukan karena merupakan salah satu tradisi leluhur, sekaligus
sebagai hiburan pasca melaksanakan tapa brata penyepian.

Sementara bagi sesepuh desa sendiri selain sebagia salah satu penghormatan
terhadap leluhur, tradisi omed-omedan juga sebagai ajang membina hubungan antar
sesama warga Banjar tersebut.

79
c. omed-omedan difestivalkan

Omed-omedan niscaya bukan tradisi baru usai perayaan Hari Raya Nyepi
Tradisi yang sudah berurat akar dalam kehidupan warga Banjar Kaja, Sesetan,
Denpasar, itu tampil dengan wajah baru. Omed-omedan tidak lagi diperagakan
melalui adegan komunitas anak muda berlainan jenis yang saling berciuman
semata. Tradisi ini didongkrak derajat popularitasnya menjadi sebuah festival.

gambar 2.29 saling tarik menarik omed-omedan

Tradisi ini telah berlangsung ratusan tahun. Omed-omedan dihelat tiap


tahun baru saka mulai pukul 15:00 di aula Bale Banjar Kaja. Acaranya dimulai
dengan untaian kata prajuru banjar yang diikuti persembahyangan bersama. Lalu,
ada dharma santhi atau masima karma serta pentas tarian Bali. Kemudian digelar
acara puncaknya berupa omed-omedan di depan bale banjar. Anggapan yang
melukiskan tradisi ini sebagai kesempatan kaum muda untuk berciuman di depan
masyarakat umum. Tradisi ini hanya merupakan luapan kebahagiaan muda-mudi
saat merayakan omed-omedan pada hari ngembak geni. Tradisi langka ini telah
dilakoni secara turun-temurun warga masyarakt Banjar Kaja. Warganya
merefleksikan tradisi ini sebagai sebuah tradisi yang mengandung nilai religiusitas,
persatuan dan kesatuan, etika, dan estetika. Oleh karena itu, tradisi ini meruapakn
warisan adiluhung leluluhur yang akan tetap dilestarikan,Para tokoh dan warga
Banjar Kaja pun mulai berusaha mendongkrak citra tradisi ini. Kemasan

80
perlehatannya tidak lagi dilakukan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tradisi ini
dijadikan sebuah festival.

Komunitas teruna-teruni banjarnya menjadi tulang punggung kerja adat


ini.kegiatan tradisi omed-omedan ini memang dipercayakan manajemen
pelaksanaannya kepada kalangan teruna-teruni. Kalangan anak muda banjar ini
diberikan tanggung jawab untuk mengemasnya menjadi sebuah perhelatan yang
makin menarik, tetapi tidak menghilangkan kekhasan dan spiritnya.Kemasan
festival dalam menggelar tradisi omed-omedan tahun ini pun dupayakan agar tetap
berada dalam ciri khasnya itu.Sebagai sebuah festival, tradisi itu dilengkapi
pelaksanaannya dnegan pembukaan pasar rakyat. Pasar rakyat ini memamerkan
karya home industry warga Banjar Kaja,makanan khas tradisional Bali, termasuk
beragam produk lainnya.Upaya Pemerintah Kota Denpasar untuk menjadikan
tradisi ini sebagai salah satu ikon Kota Denpasar direspons positif. Namun,
manajemen tradisi ini akan terus dibenahi.

81
19. Tradisi ngaben (bali)

gambar 2.30 pembakaran mayat

a. Pengertian

Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat,


kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang
tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya
artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan)
menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan
upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian
diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben. Ngaben atau meyanin dalam istilah
baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun
belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara
(Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada suku dayak, di
kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan
tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.

Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di
pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan
kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang berfungsi
untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan jasmaninya
dan mengantarkan atma ke alam pitara. Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi
halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi
atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk

82
menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan
kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.

Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya


disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan
pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah
setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang
berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.

Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan
pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Dengan demikian
kata Ngaben berarti “menuju api”. Adapun yang dimaksud api di sini adalah
Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati melalui upacara ritual Ngaben akan
menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi
dalam Mencipta (utpeti). Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam
upacara Ngaben yaitu Api Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk
membakar jasad atau pengawak sang mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal
dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput karya yang membakar kekotoran
yang melekati sang roh. Proses ini disebut “mralina”.

Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi
nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul dari
sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa
agar turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin
karena api praline dipandang lebih mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan
di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan
api, melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut
“bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa
mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan
Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.

Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang
kehadiran api sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat

83
proses peleburan sthula sarira (badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha
untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses
percepatan pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan
mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di alam Swahloka
(Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan untuk disembah.
Tentunya setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan dari
“Ngaben”.

b. Landasan Filosofis

Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama
Hindu manusia ituterdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan
Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena
nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan
halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah,
Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau
Sanghyang Atma (Roh). Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur
panca mahabhuta yaitu prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur
tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-
bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah
api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang
Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut,
kuku.

Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah sebagai berikut :
sari-sari Panca Maha Bhuta yang terdapat pada berbagai jenis makanan terdiri dari
enam rasa yang disebut sad rasa yaitu Madhura (manis), Amla (asam), Tikta (pahit),
Kothuka (pedas) , kyasa (sepet) dan lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan dan
diminum oleh manusia, dimana didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga,
ia menjadi kama. Kama bang (Ovum / sel telur) dan kama putih (sperma). Dalam
pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui pengentalan

84
menjadilah ia janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom, darah lamas (kakere)
dan ari-ari. Percampuran kedua kama ini dapat menjadi janin, bilamana atma masuk
atau turun kedalamnya. Konon atma ini masuk kedalam unsur kama yang
bercampur ini, ketika ibu dan bapak dalam keadaan lupa, dalam asyiknya
menikmati rasa.

Disamping Panca Maha Bhuta yang kemudian berubah menjadi janin ikut
juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha Bhuta itu. Panca Tan
Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma Sarira, yakni
Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yaitu disebut Tri
Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia.
Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan dan ahamkara
adalah alam keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira. Alam transparan
ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan atas
pengendali Citta tadi. Bekas-bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si Atma
(roh) yang akan pergi ke alam pitra.

Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atma akan pergi
meninggalkan badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas
kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan
sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini
merupakan penderitaan bagi Atma (roh). Untuk tidak terlalu lama atma terhalang
perginya, perlu badan kasarnya di upacarakan untuk mempercepat proses
kembalinya kepada sumbernya dialam yakni Panca Maha Bhuta. Demikian juga
bagi sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan
keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben. Kalau
upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan
kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil, dan Atmanya
akan mendaptkan Neraka, seperti dijelaskan :

“Yan wwang mati mapendhem ring prathiwi salawasnya tan kinenan widhi-
widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro haro gering mrana ring rat,
etemahan gadgad”

85
Artinya “kalau orang mati ditanam pada tanah, selamnya tidak diupacarakan
diaben, sungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit mrana di dunia,
menjadi gadgad (tubuhnya)….” (lontar Tatwa Loka Kertti, lampiran 5a).

Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut
Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah :

- Ketuhanan / Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta


beserta isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir
kembalinya semua ciptaan itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan
secara singkat dengan kalimat Sang Sangkan Paraning Dumadi artinya
beliau sebagai asal dan kembalinya alam semesta beserta semua isinya.
Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut dilakukan dengan
tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan manusia ke
asalnya. Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu Moksartham
Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi agama
Hindu adalah mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai
proses menyatunya Atma dengan Brahman atau dengan istilah Atman
Brahman Aikyam, konsep Agama Hindu adalah untuk kembali menyatu
dengan sang pencipta (Brahman / Tuhan), dimana Tuhan merupakan asal
semua kehidupan.
- Atman (roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan
manusia. Ia yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma
merupakan setetes kecil (atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba
waktunya, ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci, atma perlu
disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.
- Karma : Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas
dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap
kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha karma) berpahala baik pula.
Kerja yang buruk (Asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala
karma ini akan menjadi beban atma akan kembali keasalnya. Lebih-lebih
buah karma yang buruk. Ia merupakan beban atma yang akan

86
menghempaskan ke alam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia perlu
berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi ia mampu membebaskan
dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan prasarana orang lain. Tapi bagi
manusia biasa, ia memerlukan pertolongan. Hal-hal inilah yang
menyebabkan perlunya upacara Ngaben itu, yang salah satu aspeknya akan
menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.
- Samsara : artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini.
Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya
menjadi manusia. Adalah sangat menderita kalau lahir menjadi binatang.
Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu
tujuannya adalah untuk melepaskan atma untuk dapat kembali ke asalnya.
Hal ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan
lainnya seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.
- Moksa : artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan
harapan semua manusia. Dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi
tercapainya moksa itu, atma harus disucikan. Dosa-dosanya harus
dibebaskan. Keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian
terakhir Ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah menjadi konsep
dasar upacara ngaben, memukur dan terakhir Ngalinggihang Dewa Hyang
pada sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti Atma
bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai
Moksa (kendatipun ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).

c. Unsur metafisika dalam ngaben

Setiap filsuf atau aliran dalam memahami prinsip pertama menggunakan


cara-cara yang berbeda, oleh karena itu dalam pemikiran filsafat kita menemukan
beberapa mode pendekatan, dari yang tradisional sampai yang paling kontemporer.
Pendekatan itu berkembang dari model pemikiran kosmosentris, theosentris,
antroposentris, logosentris, dan ke gramatologisentris. Masing-masing memiliki
watak, titik pijak, perspektif, dan orientasi yang berbeda. Telah ditetapkan bahwa

87
dalam upacara ngaben dianggap sebagai “simbolis pengantar atma (jiwa) ke alam
pitra (baka)”. Proses pengantaran atma ke alam pitra merupakan prinsip utama yang
lalu dituangkan melalui symbol berupa upacara yang disebut Ngaben. Oleh karena
itu “proses pengantaran atma (jiwa) ke alam pitra (baka)” tersebut merupakan
prinsip pertama dalam ontologi upacara ngaben.

d. Jenis – jenis naben sederhana


- Mendhem Sawa

Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa


ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan
berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang
bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin
saja alasan ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang filosofis
adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur
prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan
agar mereka dapat mencium bunda prthiwi.

Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus
segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara
maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi
penghuluning Setra (Dewi Durga).

- Ngaben Mitra Yajna

Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban
suci. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada
Lontar Yama Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti.
Ngaben itu menurut ucap lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara
Yama. Dalam warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk
membedakan dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama

88
Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut
ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan
dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).

- Pranawa

Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang


mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah
dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin.
Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati.
Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian.
Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti
amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan
ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.

- Pranawa Bhuanakosa

Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu.


Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun
pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan
Bhuanakosa Prana Wa.

- Swasta

Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya
(mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah
kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben
jenis swasta. Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang
yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler
sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara,
ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga
hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang
meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara
pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem

89
yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura
Dalem.

- Ngaben Sarat

Ngaben Sarat adalah Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang


penuh sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara ngaben sarat ini
memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala
sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan baik terhadap sawa yang baru meninggal
maupun terhadap sawa yang telah dipendem. Ngaben sarat terhadap sawa yang baru
meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan ngaben sarat terhadap sawa yang
pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik sawa prateka maupun sawa
wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang
lainnya yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu
yang panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah
terhadap kedua jenis ngaben ini disebut Ngaben Sarat.

Jenis-jenis Ngaben Sarat :

Jenis-jenis Ngaben Sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu
Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.

 Bilamana sawa yang diupakarakan itu baru meninggal disebut Sawa


Prateka. Sawa Prateka adalah jenis ngaben untuk sawa (mayat) yang baru
meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan. Bila disimpulkan
yaitu begitu atma atau urip meninggalkan badan, sawanya lalu diupacarakan
di rumah seperti dimandikan, diperciki tirta pemanah, dihidangkan saji
tarpana, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada
badannya terdahulu. Jadi di rumah betul sawanya yang diupakarakan. Inilah
yang disebut Sawa Prateka.
 Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah dikubur (di pendhem) lalu di
aben disebut Sawa Wedhana. Sawa Wedhana adalah jenis ngaben yang
dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan upacara penguburan

90
(ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam di Setra namanya makingsan,
dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan
setra. Demikian prihalnya sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan
sawa itu namanya sawa Wedhana. Tiga hari menjelang pengabenan ada
upakarannya yang disebut ngulapin. Sawa yang telah pernah dipendhem
disebut tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi tawulan ini
diganti dengan pengawak, yang terbuat dari kayu cendana atau kayu
mejegau yang panjangnya satu lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari.
Cendana ini digambari orang-orangan sebagai pengganti sawa. Pengawak
ini disebut sawa karsian. Upacara ngaben jenis ini juga disebut Sawa Rsi.

e. Pembagian ngaben menurut caranya

Selain pembagian ngaben menurut jenis ngaben diatas baik ngaben


sederhana maupun ngaben sarat, adapula pembagian ngaben dilihat dari cara
pelaksanaannya yaitu :

- Ngaben Langsung

Ngaben Langsung Artinya, Upacara ini langsung dilakukan setelah orang


itu meninggal. Ini biasanya dilakukan bagi mereka yang boleh dikatakan
mampu untuk urusan ekonominya. Pada umumnya upacara ngaben dari
persiapannya membutuhkan waktu yang agak lama, minimal kira-kira 10 hari,
itupun jika “hari baik” berdasarkan hitungan kalerder Bali sudah dapat
ditentukan / dipilih. Sementara itu biasanya mayat dari orang yang meninggal
akan diawetkan terlebih dahulu, baik dengan cara pembekuan (es), atau dengan
zat kimia lainnya.

- Ngaben Massal (ngerit)

Seperti namanya ngaben masal dilakukan secara bersama-sama dengan


banyak orang. Di masing-masing desa di Bali biasanya mempunyai aturan
tersendiri untuk acara ini. Ada yang melakukan setiap 3 tahun sekali, ada juga

91
setiap 5 tahun dan mungkin ada yang lainnya. Bagi masyarakat yang kurang
mampu, ini adalah pilihan yang sangat bijaksana, karena urusan biaya, sangat
bisa diminimalkan. Biasanya mereka yang mempunyai keluarga meninggal
dunia, akan di kubur terlebih dulu. Pada saat acara ngaben masal inilah, kuburan
itu digali lagi untuk mengumpulkan sesuatu yang tersisa dari mayat tersebut.
Sisa tulang atau yang lain, akan dikumpulkan dan selanjutnya dibakar. Prosesi
upacara ngaben selanjutnya, setelah pembakaran mayat, abunya kemudian
dibuang ke laut. Dilanjutkan dengan upacara penjemputan arwah di laut
tersebut, sebelum akhirnya ditempatkan di pura keluarga masing-masing.
Disinilah biasanya seperti dijelaskan dihalaman lain tentang pura keluarga
masyarakat hindu di Bali, disamping fungsinya untuk memuja tuhan juga untuk
memuja para leluhurnya.

f. Hari baik atau dewasa ngaben

Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari
adanya pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam kecil dengan
alam besar (Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar terhadap kehidupan
manusia serta akibat dari pengaruh saling berhubungan itu betul-betul diperhatikan
oleh setiap umat Hindu dalam melakukan usaha terutama dalam melakukan upacara
yajna, dalam hal ini ngaben. Bergeraknya matahari ke utara atau keselatan dari
bulatan bumi yang sesuai dengan penglihatan manusia, seperti dapat dilihat
sepanjang tahun membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Bumi, lahir
bathin.

Bergeraknya matahari inilah yang menjadi patokan pesasihan dalam ilmu


wariga itu. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari dewasa, khususnya dewasa
ngaben sarat. Bila kita perhatikan keadaan sasih yang disebabkan pergeseran
matahari ke utara ke selatan (secara pandangan manusia) maka akan terlihatlah
bagian-bagian sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk upacara apa tepatnya, sesuai
dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.

92
20. Persembahan Kepala Manusia (suku naulu, maluku)

gambar 2.31 Tengkorak kepala para tumbal

Tradisi memanggal kepala manusia oleh Suku Naulu sudah tidak ditemukan
lagi, setelah dilarang pasca kejadian pembunuhan bermotif persembahan kepada
rumah adat suku tersebut bulan Juli tahun 2005 silam. Sedangkan tradisi
pengasingan perempuan hamil, hingga kini masih terus dilakukan, namun perlahan
juga mulai hilang.

Tradisi adat memotong kepala manusia buat persembahan, oleh masyarakat


Suku Naulu diyakini sebagai kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu
mengalahkan akal sehat dan logika manusia, karena diyakini jika tidak mendapat
kepala manusia buat persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Suku ini
sebagian kaum prianya masih menggunakan ikat kepala berwarna merah sebagai
ciri khasnya. Agama yang dianut adalah aliran kepercayaan, sebagaimana agama
para leluhurnya.

Kehidupan masyarakatnya yang suka berburu dan berladang untuk makan


itu, membuat sebagain dari suku ini masih hidup mengembara atau tidak menetap
dalam satu perkampungan besar.

93
Mereka tersebar pada lima lokasi di Pulau Seram dengan dusun masing-
masing Nuane, Bonara, Naulu Lama, Hauwalan, dan Rohua. Meski memiliki tradisi
yang cukup sadis yakni memenggal kepala manusia untuk persembahan, namun
tidak banyak masyarakat di Pulau Seram yang mengetahui tradisi tersebut.
Tradisi ini baru tercium khalayak ramai setelah terjadinya kejadian tahun 2005 lalu.
Warga di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan
penemuan dua sosok mayat manusia yang sudah terpotong-potong bagian
tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan tradisi
Suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga
Sounawe. Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat
mereka.

Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang nantinya
diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak
diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata, tidak jauh dari perkampungan suku
Naulu dari komunitas Nuane.

Akibat perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat
tertinggal di Pulau Seram ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di
Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti Sounawe, Nusy Sounawe, dan
Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim hukuman penjara
seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon
Sounawe.

Para pelaku mutilasi ini dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan secara


berencana, sebagaimana diatur dalam pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Raja
Naulu dari suku Nuane, Sahune Matoke, mengatakan tindakan yang dilakukan
warganya disebabkan karena ketidaktahuannya akan hukum formal yang berlaku di
Indonesia.

Motivasi pembunuhan dengan mengambil kepala manusia dilakukan karena


keyakinannya untuk melakukan ritual adat yang dinilai sakral.

94
“Warga saya tidak tahu kalau membunuh itu hukumannya apa,” terang
Sahune(http://kurniaone.heck.in/tradisi-aneh-dan-mengerikan-dari-suku-na.xhtml)
kala itu.

Peristiwa pengambilan kepala manusia ini bukan baru pertama kali terjadi.
Sebelumnya pada tahun 1990-an, tiga warga Naulu dari komunitas Nuane dihukum
17 tahun penjara karena melakukan hal yang sama. Saat itu korbannya dua orang
yang tengah berburu di hutan dibunuh dan diambil kepalanya untuk ritual adat
seperti yang terjadi pada Juli 2005 lalu.

Tradisi tersebut sudah terjadi sejak jaman dulu, saat sering terjadi perang
antar suku di pedalaman Pulau Seram. Dalam kondisi seperti itu siapa yang kuat
dialah yang menang. Bahkan dalam tradisi dulu, seorang raja yang ingin
mengangkat seorang menantu laki-laki, syarat yang ditetepkan harus heroik. Calon
menantu harus menunjukan kejantanannya dengan mempersembahkan kepala
manusia sebagai mas kawin.

Perkampungan Nuane yang didiami 525 keluarga atau sekitar 900 jiwa itu,
hingga kini belum tersentuh pembangunan yang memadai. Padahal tidak jauh dari
perkampungan tersebut atau sekitar dua kilometer terdapat pemukiman
transmigrasi lokal yang baru ada belasan tahun silam

95
21. Tradisi sisemba (toraja,sulawesi)

gambar 2.32 Adu kekuatan kaki

Gagal panen merupakan resiko yang wajib dihadapi jika atraksi saling
tendang tidak diselenggarakan. Kepercayaan ini diyakini oleh masyarakat Toraja,
terutama yang tinggal di Kande Api yaitu sebuah desa di Tana Toraja Utara. Para
pria warga desa Kande Api setiap tahunnya menggelar acara Sisemba atau To
Sisemba. Sisemba merupakan bagian dari ungkapan rasa syukur masyarakat
setempat kepada Tuhan atas hasil panen yang diberikan. Tradisi ini merupakan
warisan dari leluhur masyarakat Tana Toraja.

Sisemba’ "Kick Fighting" adalah salah satu keunikan dari banyaknya


keunikan Toraja. Ini adalah satu atraksi budaya Toraja yang mungkin tidak ada di
daerah lain. acara ini sangat menarik untuk disaksikan karena atraksi ini lebih mirip
dengan tauran namun sisemba ini hanya menggunakan kekuatan kaki. Atraksi ini

biasanya dilakukan pada saat selesai panen semacam acara syukuran yang
dilaksanakan dalam sebuah acara unik. Sebelum acara ini di mulai peserta dibagi
dalam 2 kelompok massal yang saling berhadapan biasanya 2 orang saling
berpasangan berpegangan tangan pesertanya mulai dari anak anak sampai orang tua
tetapi dibedakan dalam kelompok anak anak dan orang dewasa, kalau masalah
fisik,berat, tinggi disni tidak diperhitungkan yang penting punya nyali akan tetapi

96
kita harus ingat kalau ini hanya sebuah permainan daerah yang tidak menyediakan
asuransi kecelakaan .

gambar 2.33 Pelaksanaan sisemba

Ketika semua sudah siap entah siapa yang memulai duluan kedua kelompok
saling menyerang dengan tendangan keras yang mendarat di ujung kaki sampai
ujung kepala di iringi teriakan teriakan khas toraja yang membuat atraksi semakin
menarik dan seru untuk disaksikan. Peserta yang jatuh tidak boleh lagi diserang
sampai bangkit kembali dan siap untuk diserang. Meskipun ini hanya sebuah atraksi
permainan rakyat namun peserta sangat serius bahkan mereka sampai lupa mana
kawan mana lawan yang penting ada yang menjadi sasaran tendangan keras namun
mereka tetap punya batas bukan berarti di perbolehkan mencelakai lawan.
Kalaupun ada peserta yang tidak bisa mengontrol emosi dan sudah di anggap terlalu
kasar maka tokoh adat segera bertindak memisahkan atau mengeluarkan peserta itu
dari arena. Terkadang karena begitu semangatnya tak heran jika banyak peserta
yang mengalami cidera, keseleo, luka akibat kerasnya tendangan lawan namun
kembali lagi bahwa ini hanya sebuah atraksi permainan dan disini tidak ada dendam
sampai keluar arena. Ini sebuah tradisi yang harus dilestarikan bersama.

97
22. Tradisi karapan sapi (madura)

gambar 2.34 orang yang melaksanakan karapan

Bagi masyarakat Madura, karapan sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat
yang perayaannya digelar setiap tahun. Karapan sapi juga bukan hanya sebuah
tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Karapan sapi adalah sebuah prestise kebanggaan yang akan
mengangkat martabat di masyarakat.Sejarah asal mula Kerapan Sapi tidak ada yang
tahu persis, namun berdasarkan sumber lisan yang diwariskan secara turun temurun
diketahui bahwa Kerapan Sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur
yang berasal dari Pulau Sapudi, Sumenep pada abad 13. Awalnya ingin
memanfaatkan tenaga sapi sebagai pengolah sawah.

Berangkat dari ketekunan bagaimana cara membajak sapinya bekerja


,mengolah tanah persawahan, ternyata berhasil dan tanah tandus pun berubah
menjadi tanah subur.Melihat gagasan bagus dan membawa hasil positif, tentu saja
warga masyarakat desa mengikuti jejak Pangerannya. Akhirnya tanah di seluruh
Pulau Sapudi yang semula gersang, menjadi tanah subur yang bisa ditanami padi.
Hasil panenpun berlimpah ruah dan jadilah daerah yang subur makmur.

Setelah masa panen tiba sebagai ungkapan kegembiraan atas hasil panen
yang melimpah Pangeran Ketandur mempunyai inisiatif mengajak warga di
desanya untuk mengadakan balapan sapi. Area tanah sawah yang sudah dipanen

98
dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan
Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga
kelestariannya. Hanya namanya diganti lebih populer dengan “Kerapan Sapi”.

Bagi masyarakat Madura, Kerapan Sapi selain sebagai tradisi juga sebagai
pesta rakyat yang dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau
tembakau. Kerapan sebagai pesta rakyat di Madura mempunyai peran di berbagai
bidang. Misal di bidang ekonomi (kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan),
peran magis religius (misal adanya perhitungan-perhitungan tertentu bagi pemilik
sapi sebelum bertanding dan adanya mantra-mantra tertentu), bidang seni rupa (ada
pada peralatan yang mempunyai hiasan tertentu), bidang seni tari dan seni musik
saronen (selalu berubah dan berkembang).

a. Anatomi kerapan

Pengertian kata “kerapan” adalah adu sapi memakai “kaleles”. Kaleles


adalah sarana pelengkap untuk dinaiki sais/joki yang menurut istilah Madura
disebut “tukang tongko”. Sapi-sapi yang akan dipacu dipertautkan dengan
“pangonong” pada leher-lehernya sehingga menjadi pasangan yang satu.

Orang Madura memberi perbedaan antara “kerapan sapi” dan “sapi kerap”.
Kerapan sapi adalah sapi yang sedang adu pacu, dalam kaedaan bergerak, berlari
dan dinamis. Sedang sapi kerap adalah sapi untuk kerapan baik satu maupun lebih.
Ini untuk membedakan dengan sapi biasa. Ada beberapa kerapan yaitu “kerrap kei”
(kerapan kecil), “kerrap raja’’ (kerapan besar), ‘kerrap onjangan” (kerapan
undangan), “kerrap jar-ajaran” (kerapan latihan).

Kaleles sebagai sarana untuk kerapan yang dinaiki tokang tongko dari
waktu ke waktu mengalami berbagai perkembangan dan perubahan. Kaleles yang
dipakai dipilih yang ringan (agar sapi bisa berlari semaksimal mungkin), tetapi kuat
untuk dinaiki tokang tongko (joki).

Sapi kerap adalah sapi pilihan dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya berdada
air artinya kecil ke bawah, berpunggung panjang, berkuku rapat, tegar tegak serta
kokoh, berekor panjang dan gemuk. Pemeliharaan sapi kerap juga sangat berbeda

99
dengan sapi biasa. Sapi kerap sangat diperhatikan masalah makannya, kesehatannya
dan pada saat-saat tertentu diberi jamu. Sering terjadi biaya ini tidak sebanding
dengan hadiah yang diperoleh bila menang, tetapi bagi pemiliknya merupakan
kebanggaan tersendiri dan harga sapi kerap bisa sangat tinggi.

Sapi kerap ada tiga macam yaitu sapi yang “cepat panas” (hanya dengan
diolesi bedak panas dan obat-obatan cepat terangsang), sapi yang “dingin” (apabila
akan dikerap harus dicemeti berkali-kali), dan sapi “kowat kaso” (kuat lelah,
memerlukan pemanasan terlebih dahulu).

Pada waktu akan dilombakan pemilik sapi kerap harus mempersiapkan


tukang tongko (joki), “tukang tambeng” (bertugas menahan, membuka dan
melepaskan rintangan untuk berpacu), “tukang gettak” (penggertak sapi agar sapi
berlari cepat), “tukang gubra” (orang-orang yang menggertak sapi dengan bersorak
sorai di tepi lapangan), “tukang ngeba tali” (pembawa tali kendali sapi dari start
sampai finish), “tukang nyandak”(orang yang bertugas menghentikan lari sapi
setelah sampai garis finish), “tukang tonja” (orang yang bertugas menuntun sapi).

Beberapa peralatan yang penting dalam kerapan sapi yaitu kaleles dan
pangonong, “pangangguy dan rarenggan” (pakaian dan perhiasan), “rokong” (alat
untuk mengejutkan sapi agar berlari cepat). Dalam kerapan sapi tidak ketinggalan
adanya “saronen” (perangkat instrumen penggiring kerapan). Perangkatnya terdiri
dari saronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong.

b. Pesta rakyat

Umumnya sebuah pesta rakyat, penyelenggaraan Kerapan Sapi juga sangat


diminati oleh masyarakat Madura. Setiap kali penyelenggaraan Kerapan Sapi
diperkirakan masyarakat yang hadir bisa mencapai 1000-1500 orang. Dalam pesta
rakyat itu berabagai kalangan maupun masyarakat Madura berbaur menjadi satu
dalam atmosfir sportifitas dan kegembiraan.

Sisi lain yang menarik penonton dari karapan sapi adalah kesempatan untuk
memasang taruhan antarsesama penonton. Jumlah taruhannya pun bervariasi, mulai
dari yang kelas seribu rupiahan sampai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah.

100
Biasanya penonton yang berdiri disepanjang arena taruhannya kecil, tidak sampai
jutaan. Tetapi, para petaruh besar, sebagian besar duduk di podium atau hanya
melihat dari tempat kejauhan. Transaksinya dilakukan di luar arena, dan biasanya
berlangsung pada malam hari sebelum karapan sapi dimulai.

c. Adu gengsi

Pemilik sapi karapan memperoleh gengsi yang tinggi manakala mampu


memenangkan lomba tradisional tersebut. Selain itu, harga pasangan sapi
pemenang karapan langsung melambung. Mislnya, harga sapi yang memenangkan
lomba Karapan Sapi 2003 melambung menjadi Rp200 juta dari 2 tahun sebelumnya
hanya Rp40 juta.

Untuk membentuk tubuh pasangan sapi yang sehat membutuhkan biaya


hingga Rp4 juta per pasang sapi untuk makanan maupun pemeliharaan lainnya.
Maklum, sapi karapan diberikan aneka jamu dan puluhan telur ayam per hari,
terlebih-lebih menjelang diadu di arena karapan. Berdasarkan tradisi masyarakat
pemilik sapi karapan, maka hewan tersebut menjelang diterjunkan ke arena dilukai
di bagian pantatnya yakni diparut dengan paku hingga kulitnya berdarah agar dapat
berlari cepat. Bahkan luka itu diberikan sambal ataupun balsem yang dioles-oleskan
di bagian tubuh tertentu antara lain di sekitar mata.

Sehari sebelum lomba dilaksanakan, pasangan sapi dan pemilik serta


sejumlah kerabatnya menginap di tenda yang dipasang di lapangan. Tidak lupa
rombongan itu dimeriahkan oleh kelompok musik tradisional Sronen yang
mengarak pasangan sapi menjelang dipertandingkan. Bahkan jasa dukun pun
diperlukan dalam kegiatan karapan sapi. Para “penggila” Kerapan Sapi melakukan
itu semua demi sebuah gengsi atau prestise yang memang merupakan watak khas
orang Madura

101
23. Tradisi sepak bola api

gambar 2.35 permainan bola api


Sepak bola api sebetulnya tidak jauh berbeda dengan sepak bola pada
umumnya. Hanya saja, bolanya terbuat dari buah kelapa yang sudah kering,
kemudian dikuliti lapisan luarnya. Setelah itu, di rendam di minyak tanah selama
beberapa minggu. Pada saat akan dimainkan, bolanya dibakar dan dimainkan ketika
menyala.
Berbeda dengan sepak bola biasa, sepak bola api tidak hanya mengandalkan
kekuatan fisik, keberanian, kecerdikan, kepiawaian serta ketangkasan dalam
memainkan bola, melainkan harus dibekali ketangguhan psikis dan kekuatan
spiritual. Sebelum bermain, para santri harus melewati “ritual khusus” agar tahan
panas dan tidak mempan api.
Mereka harus berpuasa selama 21 hari, mengamalkan aurad-
aurad(wiridan/bacaan) tertentu, yang dibaca di waktu-waktu khusus, menghindari
makanan-makanan yang dimasak dengan api (bila al-nar), mengandung unsur
nyawa (bila al-ruh), dan biasanya diakhiri dengan “matigeni” (puasa satu hari satu
malam tanpa tidur).
Setelah melewati ”ritual” tersebut, para santri memiliki kekuatan tahan
panas dan tidak mempan api, sehingga dengan leluasa menendang, memegang,
bahkan menyundul bola api tanpa merasakan panas, gosong, apalagi terbakar.
Seolah-olah api itu sudah “ditundukkan” dan “dijinakkan” sehingga tidak lagi
berbahaya, malah dijadikan tontonan dan permainan.

102
Biasanya, sebelum pertandingan bola api dimulai, para santri mementaskan
segala permainan yang berhubungan dengan api, misalnya tongkat api, menggoreng
pisang dengan tangan telanjang, hingga “mandi petasan” (melilitkan petasan
renteng sebesar jempol kaki ke sekujur tubuh kemudian ditabuh).
Permainan-permainan tersebut seakan telah membalik ketentuan dan
keteraturan hukum alam. Api yang seharusnya panas dan membakar, tidak lagi
tunduk dan patuh pada asal kejadiannya.

24.Rumah tinggi (suku korowai, papua)

gambar 2.36 para penghuni rumah tinggi

mendiami wilayah Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua. Suku Korowai baru


ditemukan oleh misionaris Belanda pada tahun 1974. Sebelumnya, mereka benar-
benar tidak mengenal orang diluar kelompoknya. Tidak seperti suku lain yang
membangun rumah Honai sebagai tempat hunian, mereka justru tinggal di rumah
pohon.

Suku Korowai adalah salah satu suku di daratan Papua yang tidak
menggunakan koteka. Suku unik ini juga termasuk suku yang suka berpindah
tempat tinggal atau nomaden. Mereka biasanya mengambil tempat tinggal di dekat

103
sungai, dekat dengan hutan sagu, dan tidak dalam wilayah kekuasaan suku lain.
Untuk membangun rumah, mereka menggunakan bahan-bahan yang berasal dari
hutan di sekitar mereka. Namun jangan salah kira, mereka tidak pernah menebang
pohon secara sembarangan. Mereka hanya menebang pohon untuk keperluan
secukupnya. Maka tidak heran bila hutan di Papua masih terjaga kelestariannya.

Suku Korowai tinggal di rumah pohon setinggi mulai 15 hingga 50 meter.


Mereka membangun rumah di atas pohon untuk menghindari binatang buas dan
gangguan roh jahat. Suku Korowai percaya bahwa, semakin tinggi rumah mereka,
semakin jauh dari gangguan roh-roh jahat.

Suku Korowai hanya turun dari rumah untuk mencari makanan, seperti
buah-buahan dan daging. Uniknya, mereka berburu hanya sedang jika lapar. Selain
itu, mereka juga tidak pernah menebang sembarang pohon. Mereka menebang
pohon hanya untuk keperluan secukupnya. Maka tidak heran, jika sudah sejak
ratusan tahun Suku Korowai menetap di hutan Papua, namun hutannya masih lebat
dan terjaga kelestarian flora dan faunanya.

Kadang kita harus berkaca pada kehidupan Suku Korowai tentang


keseimbangan alam. Bertamu ke rumah pohon Suku Korowai, akan menambah
kekayaan pada diri Anda tentang ilmu dan kesadaran mencintai alam.

gambar 2.37 rumah tinggi

Ketika anda naik sudah berada di rumah pohon, 'lautan' hutan yang hijau
dan awan yang biru akan membuat Anda ingin lebih lama tinggal di rumah pohon.
Dari ketinggian puluhan meter di atas tanah, Anda dapat melihat dengan jelas hutan

104
Papua yang lebat dan indah. Mungkin, bisa dibilang Anda sedang melihat sebagian
'paru-paru' Indonesia.

Bahan yang digunakan untuk membuat rumah pohon berasal dari hutan dan
rawa di sekitar mereka, seperti kayu, rotan, akar dan ranting pohon. Rumah pohon
Suku Korowai sangat alamiah. Semua bahan terbuat dari alam, kerangka terbuat
dari batang kayu kecil-kecil dan lantainya dilapisi kulit kayu. Dinding dan atapnya
menggunakan kulit kayu atau anyaman daun sagu. Untuk mengikat, semua
menggunakan tali. Semua proses pembuatan rumah dilakukan dengan
menggunakan tangan. Barang logam satu-satunya yang ada adalah parang atau
kapak yang biasa mereka gunakan untuk berburu.

Pada tahun 2011, Suku Korowai pernah muncul dalam film dokumentasi
BBC Human Planet. Dalam film tersebut, suku Korowai menunjukkan bagaimana
mereka membuat rumah pohon. Bahkan salah satu usaha ambisius mereka
tunjukkan dengan membangun rumah pohon setinggi 114 meter dalam waktu 2
minggu.

gambar 2.38 ketinggian rumah

Rumah Pohon tersebut dibangun tidak hanya untuk melindungi keluarga


dari nyamuk tetapi juga dari gangguan roh jahat.Untuk membangun Rumah Pohon,
Suku Korowai menggunakan pohon beringin yang terpilih. Batang dan cabang-
cabang yang besar dijadikan tiang utama sementara ranting pohon digunakan

105
sebagai lantai. Agar lebih nyaman, lantai Rumah Pohon tersebut dilapisi sagu di
bagian atasnya.

Lantai ini dibuat cukup kuat sehingga dapat menopang penghuni rumah
yang rata-rata berisi selusin orang. Sedangkan atap dan dinding dibuat
menggunakan daun dan cabang pohon beringin tersebut yang kemudian diikat
menggunakan rotan.

gambar 2.39 Tangga rumah

Untuk naik ke Rumah Pohon, dibuatlah tangga menggunakan kayu kering.


Tangga ini bisa bergetar sebagai sistem peringatan dini alias sebagai penanda jika
ada yang sedang naik ke atas rumah. Di dunia modern ini sulit dipercayai bahwa
masih ada suku pedalaman yang terisolasi. Namun kenyataannya, walaupun hampir
punah, keberadaan mereka masih ada.

Terdapat beberapa alasan mengapa Suku Korowai membuat rumah di atas


pohon yang sangat tinggi. Alasan-asalan tersebut yaitu:

a. Menghindari gangguan binatang buas,


b. Sebagai strategi berburu, karena dari atas pohon mereka dapat dengan
leluasa mengontrol rusa dan babi hutan yang melintas di bawah
rumahnya,

106
c. Adat istiadat mereka yang telah turun temurun,
d. Faktor alam yang membuat mereka merasa lebih aman.
e. Kepercayaan mereka bahwa tinggal di atas pohon dapat terhindar dari
gangguan roh-roh jahat.

Selain mengonsumsi hewan-hewan buruan seperti burung kasuari, ular,


kadal, rusa, atau babi hutan, masyarakat Suku Korowai juga memenuhi nutrisi
mereka dengan makan larva kumbang. Masyarakat pemburu Korowai yang pada
kesehariannya hanya mengenakan pakaian dari dedaunan ini memiliki berbagai
macam bentuk senjata yang disesuaikan dengan hasil buruannya. Misalkan tombak
khusus untuk membunuh babi hutan, menebang sagu, atau untuk membunuh
manusia.

25.Tradisi ojung (bondowoso, jawa timur)

gambar 2.40 Pelaksanaan ojung

Tradisi ojung merupakan sebuah tradisi yang hingga kini masih tetap
dipertahankan warga Desa Klabang, Bondowoso yang bertujuan untuk meminta
turun hujan agar desa mereka tak mengalami kekeringan ketika musim kemarau
panjang tiba.

107
Tradisi yang pada puncaknya akan digelar sebuah pertandingan saling
memukul menggunakan rotan dengan peserta laki-laki yang berusia rata-rata antara
17 hingga 50 tahun ini dibuka dengan dengan pergelaran dua tarian yang masing-
masing bernama tarian topeng kuna dan tarian rontek singo wulung.
Asal-usul dari dua tarian diatas sendiri konon bermula dari sebuah tokoh
desa tersebut yang dianggap pahlawan pada masa lalu yakni Juk Seng karena
kegigihannya dalam mengusir penjajah. Juk Seng pada masa itu adalah seorang
demang yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh pengikut setianya bernama
Jasiman bersama murid-muridnya.
Konon pada masa itu, untuk membiayai perjuangannya melawan penjajah
Juk Seng kerap ngamen dengan menggelar pertunjukan dua tarian tersebut. Dan
karena warga tahu bahwa uang hasil dari ngamen itu akan digunakan sebagai
penunjang perjuangan maka warga pun tak segan untuk menyawer uang mereka.
Tradisi menyawer inilah yang sampai sekarang pun masih tetap dilakukan
warga ketika dua tarian ini dipentaskan, tak terkecuali ketika dua tarian tersebut
digelar pada tradisi ojung. Begitu tarian topeng kuna dan tarian rontek singo
wulung selesai digelar barulah kemudian warga menyiapkan sesaji-sesaji sambil
membakar dupa di samping mata air yang ada di desa itu. Setelah acara doa bersama
selesai barulah kemudian warga tumplek blek di samping mata air tersebut untuk
makan bersama.
Setelah semua ritual selesai digelar barulah kemudian acar inti pun
dilaksanakan yakni sebuah pertandingan saling memukul menggunakan rotan.
Ketika wasit memberi aba-aba, semua peserta pun dengan tangkas saling memukul
badan lawannya menggunakan rotan.
Panasnya sekujur tubuh akibat lecutan rotan lawan inilah yang konon akan
mendatangkan rasa iba pada sang pemilik kehidupan untuk segera menumpahkan
air hujan agar segala panasnya badan dapat terbasuh.

108
26.Tradisi mangkola holi (batak, sumatera utara)

Tradisi mangokkal holi merupakan suatu tradisi turun temurun ditengah


masyarakat batak. Semua etnis batak seperti Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan
Angkola meski dengan penamaan berbeda namun inti dan tujuan ritual dari tradisi
ini tetaplah sama, suku etnis Batak melakukannya secara besar-besaran dan tentu
menghabiskan biaya fantastis. Hal tersebut karena biasanya selain memotong
ternak, upacara prosesi adat mangokkal holi diadakan hingga beberapa hari.

gambar 2.41 Proses pengangkatan tengkorak gambar 2.42 pencucian tengkorak

Mangokkal Holi berarti mengambil tulang-belulang seseorang dari dalam


tanah atau kuburan. Dilanjutkan dengan menempatkan tulang tersebut pada sebuah
peti dan kemudian menempatkannya di tugu (bangunan yang berfungsi sebagai
tempat penyimpan tulang belulang leluhur keluarga). Penamaan upacara adat batak
ini berbeda disetiap suku etnis. Toba dan Simalungun menyebutnya "Mangokkal
Holi", Pakpak menyebutnya "Mengkurak Tulan" atau "Mengongkal Tulan", Karo
menyebutnya "Nampeken Tulan-Tulan".

Bagi masyarakat Batak Toba di Sumatra Utara, mengangkat martabat


sebuah marga adalah dengan menghormati orangtua dan para leluhur. Salah satunya
dengan melaksanakan ritual mangokal holi atau memindahkan tulang belulang
leluhur untuk dikumpulkan di satu tempat baru.

Masyarakat Batak Toba percaya bahwa kematian bukan akhir perjalanan


hidup, namun justru tahap untuk mencapai kesempurnaan. Lewat rangkaian

109
mangokkal holi ini maka akan tercapai hasangapon, atau kemuliaan sebuah marga
atau keturunan. Di sekitar Danau Toba, terdapat banyak makam atau kuburan
megah (biasa disebut Tugu) yang berlomba dibangun oleh para keturunan
almarhum atau almarhumah.

Tugu yang sudah siap dibangun, atau dikenal dengan istilah Tambak, siap
dipestakan. Pimpinan keluarga yang melakukan ongkal holi harus mengenakan
sortali, yaitu hiasan kepala yang terbuat dari emas sebagai perlambang keperkasaan
dan perlindungan terhadap seisi rumah.

Seluruh keluarga dari berbagai daerah pun telah berkumpul. Mereka bersiap
melakukan pesta mangukal holi atau eksumasi. Dari pihak hula hula atau dari pihak
keturunan perempuan datang dengan membawa beras. Keluarga pun menyambut
dengan tarian tor-tor. Setelah sesepuh dari garis keturunan ibu yang disebut hula-
hula memberi restu, makam pun dibongkar.

Biasanya kerangka yang telah dikeluarkan dibersihkan oleh adik perempuan


mendiang dengan menggunakan jeruk purut. Diyakini ketika kerangka disentuh
cahaya matahari, itulah saat terakhir mendiang berhubungan dengan dunia sebelum
dikuburkan kembali di tempat termulia bagi jiwanya yang disebut dengan tondi.

Upacara dilanjutkan dengan mengutus sekelompok orang ke hutan untuk


mencari borotan atau kayu penambat kerbau persembahan dari kayu sari marnaek
yang berasal dari pohon lalas. Setelah kayu borotan berdiri tegak, kerbau
persembahan pun digiring.

Langkahnya diamati dengan seksama. Bila dapat digiring dengan mudah,


pertanda kemakmuran bagi keluarga. Kerbau persembahan lalu disembelih sebagai
santapan bersama.

110
Gotong royong menjadi kunci utama. Dari keturunan perempuan
memberikan sumbangan berupa uang yang diletakkan dalam batang pohon untuk
selanjutnya diberikan pada pihak keturunan Laki-laki. Biaya pesta ratusan juta
rupiah pun tertutupi oleh handai taulan. Sebagai tanda ucapan syukur, prosesi
mangokkal holi dilanjutkan dengan prosesi mengarak pedang pusaka yang
dipercaya sebagai lambang perwakilan keturunan.

gambar 2.43 tugu

Pembangunan tugu di kawasan Tapanuli marak dilakukan pada dasawarsa


1955-1965 saat kesadaran membangun “bona pasogit” atau tanah kelahiran mulai
mengemuka. Bahkan di atas-atas bukit pun beberapa tugu atau tambak berdiri
kokoh menghadap ke Danau Toba. Selain di perbukitan, tugu juga banyak dijumpai
di pinggir ruas jalan provinsi menuju Danau Toba. Bahkan tak jarang, makam yang
terlihat justru kondisinya jauh lebih baik daripada rumah yang masih dihuni oleh
kerabat yang masih hidup.

111
27. Tradisi kanibalisme (suku korowai, papua)

gambar 2.44 proses pembunuhan gambar 2.45 penelitian suku korowai

Dalam situs smithsonianmag.com, Raffaele menjelaskan, meski masyarakat


Suku Korowai memiliki kebiasaan memakan daging manusia (kanibal), hal itu
ternyata tidak dilakukannya setiap saat.

“Setiap hari mereka hidup dengan mengonsumsi berbagai macam hasil alam
seperti sagu, pisang, palem, dan pakis. Mereka juga memakan daging hewan yang
biasa diburu seperti burung kasuari, ular, kadal, rusa, atau babi hutan. Warha
Korowai juga memenuhi nutrisinya dengan makan larva kumbang,” kata Raffaele
(http://simomot.com/2014/08/30/mengenal-lebih-dekat-korowai-suku-kanibal-di-
indonesia/).
Masyarakat Korowai sehari-hari hanya mengenakan pakaian dari dedaunan.
Mereka dikenal sebagai pemburu ulung, dan memiliki berbagai bentuk senjata yang
disesuaikan dengan buruannya. Untuk membunuh babi hutan, misalnya, mereka
memiliki tombak khusus yang berbeda dari tombak untuk menebang sagu, atau
bahkan untuk membunuh manusia.

Berdasarkan informasi dari Kembaren, pemandu wisata Raffaele saat itu,


masyarakat Korowai sejauh ini masih memiliki kebiasaan memakan daging
manusia. Namun ritual ini sudah jauh berkurang sejak mereka mulai mengenal
dunia luar.

Masyarakat Korowai tidak mengonsumsi daging manusia secara


sembarangan. Sebab, berdasarkan kepercayaan setempat, suku Korowai hanya
membunuh manusia yang dianggap melanggar aturan terhadap kepercayaan
mereka. Misalnya, jika seseorang diketahui sebagai tukang sihir atau disebut
khuakhua.

112
Warga yang dicurigai sebagai khuakhua akan diadili. Jika banyak bukti kuat
yang memberatkannya, dia akan segera dibunuh dan dimakan. Kembaren
mengatakan, anggota tubuh khuakhua yang mati akan dibagi-bagikan kepada
semua warga. Otaknya akan dimakan selagi hangat. Orang yang membunuh
khuakhua berhak menyimpan tengkoraknya.

Jadi, bagi masyarakat Korowai, membunuh dan memakan daging manusia


adalah bagian dari sistem peradilan pidana mereka. Setelah memakan habis tubuh
khuakhua, mereka akan memukul-mukul dinding rumah tinggi mereka dengan kayu
sambil bernyanyi semalaman.

Bagi sebagian besar orang, kanibalisme mungkin sesuatu yang tak masuk
akal dan mengerikan pada zaman modern seperti sekarang. Faktanya, hal ini masih
dijumpai di Korowai, meski dengan alasan-alasan khusus. Kembaren
menambahkan, hampir semua orang dalam Suku Korowai pernah ikut memakan
daging manusia. Jadi, bagi mereka, kanibalisme bukan sesuatu yang tabu.

28.Tradisi kematian (suku asmat, papua)

gambar 2.46 suku asmat

Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak
mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir
hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap

113
hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh
bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa
mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.

Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang
terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari
kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan
pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada
siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler
di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir
abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka
terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan
dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan
untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul
mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya.
Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit.
Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit
akan ´membawa´ salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani.

Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari


dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan
tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit
dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-
orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk
(kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-
roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian.

Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap


hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur
habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski

114
nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi
agar tidak menarik bagi orang lain.

Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman
bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak,
tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak
kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang
meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal
tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu
diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter.
Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan
perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan
seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.

Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur
jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah
laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur
dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman
umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-
semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat
menemukan kuburannya.

115
29. Tradisi passiliran ( desa kambira, toraja)

gambar 2.47 Pohon tarra

Serupa dengan wilayah di Tana Toraja lainnya, di Desa Kambira ini ada
banyak keunikan dan keindahan yang bisa dinikmati sebagai obyek wisata. Salah
satunya adalah keberadaan pohon Tarra’, yaitu sebuah pohon sangat besar karena
memiliki diameter sekitar 80 hingga 100 cm dan memiliki getah yang sangat
banyak.

Di Kambira, keberadaan Pohon Tarra ini sesuai adat telah lama


dimanfaatkan sebagai tempat penguburan bagi anak kecil ataupun bayi (baby
graves). Bayi-bayi yang dimakamkan pada pohon Tarra ini adalah bayi yang masih
belum tumbuh giginya. Tradisi penguburan bayi yang meninggal sebelum tumbuh
gigi tersebut oleh masyarakat lebih dikenal dengan istilah Passiliran.

Mengacu pemaparan yang ada, pemilihan pohon Tarra’ ini salah staunya
karena merupakan pohon yang menghasilkan getah sangat banyak, di mana getah
ini dianggap sebagai pengganti ASI (air susu ibu). Ini memberikan pemahaman
kepada kita bahwa orang Toraja hendak mengembalikan bayi ini pada rahim
ibunya.

116
Dengan mengembalikan bayi kepada rahim ibunya, maka mereka meyaqini
bahwa hal tersebut akan mampu menyelamatkan bayi-bayi yang lahir di kemudian
hari.

a. Penempatan Bayi

Untuk proses penempatan pemakaman, pohon Tarra’ akan dipahat demi


mendapatkan lubang dengan ukuran sesuai tubuh bayi. Lubang tersebut menjadi
tempat bersemayamnya jasat bayi yang diletakkan tanpa dibungkus satupun
pakaian pun kain, kemudian bekas pahatan ditutup kembali menggunakan ijuk dari
Pohon Enau.

b. Prosesi Pemakaman Bayi

Prosesi pemakaman bernama Passiliran ini hanya dilakukan oleh orang


Toraja penganut kepercayaan Aluk Todolo, yaitu kepercayaan kuno terhadap para
leluhur. Dalam kepercayaan tersebut digariskan bahwa tak semua bayi bisa
dikuburkan pada Pohon Tarra’, karena yang dimakamkan di sana hanyalah bayi
yang belum memiliki gigi susu saja. Hal itu sesuai kepercayaan mereka bahwa bayi
yang belum tumbuh gigi susu adalah bayi yang masih berada dalam keadaan suci.

c. Tingkat Menunjukkan Strata

Serupa dengan tempat pemakaman lain di Tana Toraja, penempatan


kuburan bayi di Pohon Tarra’ ini juga disesuaikan dengan strata sosial keluarga.
Semakin berposisi atas tempat penguburannya, maka hal itu menunjukkan semakin
tinggi pula derajat sosial dari keluarga sang bayi. Selain itu, sisi lubang lubang
pemakaman juga disesuaikan dengan arah tempat tinggal keluarga.

Hal yang paling unik namun nyata adalah tiadanya aroma busuk di sekitar
pohon ini meskipun ada banyak bayi meninggal di sana. Bahkan sesuai
penuturan masyarakat adat setempat, lubang kuburan ini akan menutup dengan
sendirinya pasca 20 tahun masa pemakamannya. Oleh karenanya masyarakat tak
pernah khawatir kehabisan tempat pemakaman di Pohon Tarra’ ini.

117
30. Tradisi gigi runcing (suku mentawai, sumatera)

gambar 2.48 wanita bergigi runcing

Definisi cantik bisa berbeda-beda. Jika di Afrika Barat, wanita dengan gusi
hitam dibilang cantik. Gigi runcing menjadi simbol kecantikan di beberapa suku di
Indonesia. Sebut saja suku Mentawai di Sumatera.

Suku pedalaman ini menghuni empat pulau besar di Sumatera, yakni


Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora. Mereka umumnya tinggal di
kampung-kampung yang berlokasi di dekat pinggiran sungai atau pantai. Selain
seni merajah tubuh (biasa disebut titi), suku Mentawai gemar melakukan praktik
meruncingkan gigi untuk memperindah penampilan, seperti gadis-gadis dan
khususnya bagi istri kepala desa. Tradisi pemahatan gigi yang dilakukan oleh dukun
setempat. para wanitaa diberi sesuatu untuk mematikan rasa sakit di mulutnya. Pisau
pun mengukir sudut-sudut gigi hingga mirip dengan gigi hiu. Gigi mereka diajukan
untuk mencapai bentuk yang diinginkan.

Hal ini dilakukan untuk gadis-gadis muda maupun wanita-wanita yang sudah
bersuami karena diyakini dapat membuat mereka lebih menarik dan membawa
keseimbangan dalam kehidupan mereka. Namun, ritual ini tidak kental seperti dulu
lagi. sekarang, terserah pada wanita itu untuk memutuskan apakah dia ingin giginya
dipahat atau tidak.

118
Sebagai istri dari orang terkuat di kampung, istri kepala desa diwajibkan
untuk melakukan prosedur ini. Disamping untuk mempercantik diri, tradisi
meruncingkan gigi dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara tubuh dan
jiwa. "Saya meminta istri saya untuk melakukannya dan saya yakin dia akan terlihat
lebih cantik," kata salah satu kepala desa Mentawai
(http://www.kvltmagz.com/pemahatan-gigi-suku-mentawai/dalam) dokumentasi
National Geographic.

Pilongi, istri dari kepala desa, awalnya menghindari ritual meruncingkan


gigi. Namun, demi menyenangkan suaminya, ia pun kemudian melakukannya.
Tentu ada perasaan gugup sewaktu menjalani ritual tersebut. Setelah melihat
hasilnya, Pilongi merasa puas dan serta-merta melupakan rasa sakit yang barusan
dirasakannya. Namun, seperti halnya tradisi unik lain di dunia, ritual menato dan
meruncingkan gigi kini mulai ditinggalkan oleh warga Mentawai. Pengaruh dunia
luar menjadi alasan utama terkikisnya budaya leluhur Mentawai.

31.Tradisi mepasah (desa trunyan, bali)

Desa Trunyan merupakan salah satu desa yang berada di Pulau Dewata yang
memiliki ciri khas dan keunikannya tersendiri. Desa Trunyan, Desa artinya
perkampungan, Trunyan sendiri berarti Taru dan Menyan, Taru artinya pohon dan
Menyan artinya harum, Jadi, Desa Trunyan merupakan Desa atau perkampungan
yang memiliki pohon yang berbau sangat harum.Desa Trunyan merupakan sebuah
desa kuno yang berada di tepi Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa
Trunyan terletak di sebelah timur bibir Danau Batur, letak Desa Trunyan sangat
terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, dan hanya sampai di Desa
Kedisan.

119
Dari Desa Kedisan ke Desa Trunyan, di Desa Kedisan dibangun dermaga
yang diperuntukan untuk penyebrangan menuju Desa Trunya, para wisatawan harus
menyeberang Danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam
dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung, selama menyebrang ke
Desa Trunyan, para wisatawan dapat menikmati keindahan, keasrian yang
ditawarkan Danau Batur. Selain jalan air, Desa Trunyan dapat dicapai lewat darat,
lewat jalan setapak melalui Desa Buahan dan Abang. Jika para wisatawan
melakukan perjalanan wisata ke Desa Trunyan, jika dari Denpasar berjarak sekitar
65km atau 2 jam perjalanan dengan kendaraan.

gambar 2.49 mayat diatas tanah


Desa Trunyan merupakan sebuah Desa Bali Aga dengan kehidupan
masyarakat yang unik. Kebudayaan masyarakat Desa Trunyan mencerminkan satu
pola kebudayaan petani yang konservatif. Desa Trunyan mempunyai ciri khas dan
keunikan tradisi dalam melakukan pemakaman mayat. Keunikan tradisi
pemakaman mayat di Desa Trunyan sampai saat ini masih menjadi tradisi yang
dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Desa Trunyan. Prosesi orang yang
telah meninggal di Bali pada umumnya dikubur ataupun dibakar(Ngaben). Tetapi
di Desa Trunyan tidak seperti itu, tubuh orang yang telah meninggal, melalui tahap
prosesi dan akhirnya dibungkus dengan kain kavan(kasa), dan selanjutnya ditaruh
diatas tanah di bawah Taru Menyan (pohon yang harum), kemudian disekitar mayat
diberikan anyaman dari pohon bamboo atau yang disebut ancak saji.

120
Mayat yang diletakkan diatas tanah dibawah Taru Menyan, sama sekali
tidak mengeluarkan bau sedikitpun. Jadi, para wisatawan yang ingin mengunjungi
Desa Trunyan tersebut, dan ingin melihat mayat yang berada di sekiataran Taru
Menyan, tidak perlu takut dengan bau yang menyengat yang dikeluarkan oleh
mayat, karena bau yang dikeluarkan oleh mayat tersebut sudah diserap oleh Taru
Menyan yang tumbuh besar di areal pemakaman. Desa Trunyan memang
merupakan Desa Tua di Bali, yang masih memegang teguh warisan dan tradisi
leluhur.

gambar 2.50 kuburan mepasah

Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan masyarakat Desa Trunyan


mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Desa Trunyan ada
2 macam, yaitu :

a. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan
istilah mepasah, yaitu mereka yang pada waktu meninggalnya, termasuk orang-
orang yang telah berumah tangga, oaring-orang yang masih bujangan dananak kecil
yang gigi susunya telah tanggal.
b. Dikubur atau dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal
adalah mereka yang cacat tubuhnya atau pada saat meninggal terdapat luka yang
belum sembuh. Orang-orang yang meninggal dengan tidak wajar, seperti dibunuh
atau bunuh diri dan anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal.

121
32.Tradisi peresean (suku sasak, lombok)

gambar 2.51 Pelaksanaan peresean


Salah satu Budaya tradisional yang merupakan warisan peninggalan nenek
moyang suku Sasak adalah budaya Peresean. Peresean adalah salah satu dari sekian
banyak Budaya asli suku Sasak yang ada di Pulau Lombok. Budaya Peresean ini
merupakan sebuah seni tradisional pertarungan antara dua orang petarung yang
disebut pepadu, dengan menggunakan sebuah rotan sebagai pemukul yang
disebut penjalin yang ujungnya dilapisi balutan aspal dan pecahan beling yang
ditumbuk sangat halus, dan perisai sebagai pelindung yang disebut ende yang
terbuat dari kulit sapi atau kulit kerbau. Acara adat Peresean ini telah berlangsung
secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu, dan acara ritual adat Peresean
ini biasanya digelar disaat musim kemarau tiba untuk memanggil hujan.
Tradisi atau budaya Peresean ini sangat disakralkan oleh masyarakat suku
Sasak di Pulau Lombok, tapi karena sesuai dengan perkembangan jaman maka saat
ini tradisi Peresean diadakan hanya pada saat-saat tertentu menjelang perayaan-
perayaan khusus seperti pada perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, hari
Ulang Tahun Kabupaten/Kotamadya di Pulau Lombok atau menjelang bulan
Ramadhan. Tradisi Peresean ini pada awalnya dilatar belakangi oleh rasa emosional
para raja-raja di masa lampau ketika mereka harus berjuang menuju medan
pertempuran untuk mengalahkan musuh-musuhnya.
Pada budaya tradisi Peresean ini biasanya para pesertanya
atau pepadu tidak pernah dipersiapkan terlebih dahulu seperti umumnya pada

122
pertarungan-pertarungan lainnya, karena para penonton yang hadir juga bisa ikut
mengambil bagian dalam pertarungan ini, atau pemimpin pertandingan yang
disebut pekembar bisa menunjuk secara langsung calon pepadu dari para penonton
yang hadir ketika acara pertarungan hendak dimulai saat itu. Dan selanjutnya wasit
atau pekembar akan mencarikan lawan seimbang untuk petarung
atau pepadu tersebut. Jumlah petarung (pepadu) dalam Peresean ini biasanya tidak
pernah dibatasi, dan pertarungan dilakukan satu lawan satu yang dipimpin oleh dua
orang wasit (pekembar) yaitu wasit tengah yang bertugas memimpin pertandingan,
dan wasit pinggir yang bertugas untuk memberikan nilai pada pasangan yang
bertarung. Pertarungan dalam Peresean ini dilakukan dengan sistem ronde sebanyak
5 ronde, dan para petarung (pepadu) hanya diperbolehkan memukul bagian atas
tubuh lawan yaitu bagian pundak, punggung dan kepala, dan petarung tidak boleh
memukul bagian bawah tubuh lawan dari pinggang, pahahingga kaki. Untuk nilai

gambar 2.52 pertarungan mepasah


tertinggi pada pertarungan Peresean ini adalah jika salah satu petarung
(pepadu) berhasil memukul kepala lawannya. Jika anggota badan salah satu
petarung (pepadu) mengeluarkan darah pada ronde awal maka petarung (pepadu)
tersebut akan dinyatakan kalah dan pertarungan dianggap selesai, atau salah satu
dari petarung ada yang menyerah. Tapi jika kedua petarung mampu bertahan hingga
ronde ke 5 selesai, maka pemenangnya ditentukan dengan nilai tertinggi yang
diberikan oleh wasit (pekembar) pinggir. Untuk semakin menambah semangat para
petarung (pepadu) biasanya tradisi peresean ini diiringi oleh musik gamelan khas

123
Sasak ketika pertarungan dimulai. Terkadang para petarung (pepadu) akan menari
mengikuti irama gamelan yang dimaikan oleh para penabuh.
Budaya Peresean ini memang bisa dikatakan salah satu budaya yang sangat
keras, karena pada budaya Peresean ini para petarung (pepadu) akan
memperlihatkan adegan saling pukul memukul dengan menggunakan rotan hingga
salah satupetarung (pepadu) mengeluarkan darah segar dari anggota badannya yang
terkena pukulan rotan atau penjalin, namun budaya Peresean ini adalah salah satu
budaya tradisional yang sangat menjujung tinggi nilai sportifitas, karena sekalipun
mereka di dalam arena saling pukul memukul dengan sengit hingga ada yang harus
mengeluarkan darah, tapi setelah pertandingan selesai mereka saling berpelukan
dan di luar arena tidak ada dendam diantara mereka sedikitpun. Sekalipun budaya
Peresean ini merupakan salah satu budaya tradisional yang sangat keras, akan tetapi
hingga saat ini budaya Peresean masih dilestarikan oleh masyarakat suku Sasak
Lombok dengan tujuan untuk menguji nyali atau keberanian para Teruna (pemuda)
Sasak.

33. Tradisi Wor Barapen (papua)

Di Papua kata Barapen yang berarti “bakar” merupakan kata yang umum
didengar, karena mudah diingat dan mudah diucapkan. Sementara kata Wor
memiliki arti “tradisi” dan bila disatukan menjadi Wor Barapen yang berarti tradisi
berjalan di atas api. Upacara Wor Barapen merupakan sebuah upacara yang
dilaksanakan oleh para pemuda sebagai peringatan ketika mereka mulai memasuki
usia remaja.

Setelah upacara selesai ribuan batu disusun dan dibakar sampai batu
tersebut menjadi bara. Batu yang masih membara kemudian disebar, sementara
menunggu pemimpin keagamaan mempersiapkan diri dengan melumuri kakinya
dengan cairan khusus sambil mengucapkan mantra. Ketika sang pemimpin upacara
sudah siap, dia kemudian berjalan di atas batu yang masih panas membara. Lebih
unik lagi, ribuan batu yang dibakar tersebut bukan batu biasa, melainkan batu
karang yang tajam. Di atas batu-batu yang berwarna merah karena terbakar inilah

124
tetua adat melangkah. Keberanian pemimpin spritual ini kemudian diikuti oleh
kaum muda yang tengah beranjak dewasa. Sebaliknya sang pemimpin spritual
dengan kemampuan magisnya membacakan doa bagi kaum muda yang sedang
berjalan di atas batu-batu itu.

Di sinilah ditentukan, seberapa besar dosa yang telah mereka lakukan. Jika
kaki pemuda yang menginjak batu tajam yang sudah menjadi bara tersebut terluka,
maka dia sudah terlalu banyak melakukan dosa.

gambar 2.53 Atraksi menyebrangi batu yang dibakar

Sayangnya tradisi Wor Barapen dalam masyarakat tradisional Biak Numfor,


Provinsi Papua kini terancam punah karena tidak lagi mendapat perhatian
pemerintah setempat untuk melestarikannya. Atraksi Wor Barapen merupakan
permainan khas masyarakat tradisional Biak Numfor yang biasa digelar pada
berbagai kesempatan pesta adat dan sebagainya. Atraksi ini pada masa lalu
dipelihara secara sangat baik oleh para leluhur sebagai bagian dari kebudayaan
masyarakat Biak Numfor namun sekarang terancam punah.

Atraksi Wor Barapen sangat menarik perhatian masyarakat Biak Numfor


karena melalui atraksi ini warga masyarakat setempat dapat saling bertemu,
menguatkan keakraban dan kekerabatan serta mempererat tali silaturahmi di antara
sesama warga. Melalui atraksi ini, setiap warga masyarakat memperlihatkan
kebolehannya berjalan di atas bara api yang tentu saja membutuhkan ketrampilan
tersendiri disertai bantuan kekuatan supranatural yang sering irasional.

125
34. Tradisi carok (madura, jawa tiimur)

gambar 2.54 korban pelaksanaan carok

Carok merupakan tradisi bertarung yang disebabkan karena alasan tertentu


yang berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok atau antar
klan dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi
dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan
kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku Madura dalam
mempertahankan harga diri dan "keluar" dari masalah yang pelik.

Biasanya, "carok" merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh


masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya
terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri
bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat
martabat/kehormatan keluarga).

Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan


dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan agama Islam pada
umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang tradisi Carok.
Pada tanggal 13 Juli 2006, tujuh orang tewas dan tiga orang luka berat akibat carok
massal di Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batu Marmar, Kabupaten Pamekasan,

126
Madura, Jawa Timur. Jumlah korban diduga masih akan bertambah, karena banyak
korban yang melarikan diri meskipun dalam keadaan luka.

a. Sejarah Carok

gambar 2.55 tokoh legenda sakera

Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa
dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman
penjajahan Belanda abad ke-18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam
memperjuangkan harga diri (kehormatan). Pada zaman Cakraningrat, Jokotole dan
Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada
waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang
atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera, seorang
mandor tebu dari Pasuruan yang hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap
pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan
simbol perlawanan rakyat jelata.

Carok dalam bahasa Kawi Kuno artinya perkelahian. Pertengkaran tersebut


biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan sering terjadi antar
penduduk desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini
berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga
dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan
Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan

127
Jokotole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan
Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M
tidak ada istilah carok.

Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan


Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakera tertangkap dan dihukum
gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan
perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian
melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau
dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang
menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi
Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu.

Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris
sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi
menggunakan celurit sebagai senjata andalannya. Senjata celurit ini sengaja
diberikan Belanda kepada kaum Blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera
sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena dia adalah seorang pemberontak dari
kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit
digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah
Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan
dan penjahat.Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian
masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan,
perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan
dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri.

Istilahnya, dari pada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik
mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi persoalan
perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang
Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan
maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat
melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.Kondisi semacam itu

128
akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap
orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu
sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit.

Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian. Masyarakat


Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka
bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya
adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang
zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah
Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit
untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang,
maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya,
tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.

b. Carok: hak, harga diri dan wanita

Tiang penyangga kuatnya tradisi Madura tak lepas dari prinsip “ Lebbhi
bagus pote tolang etembheng pote mata “ maksudnya lebih baik mati daripada
menanggung malu. Ungkapan ini berlaku untuk mempertahankan martabat, hak dan
harga diri sebagai orang Madura. Dan biasanya timbulnya perselisihan tidak lepas
dari permasalahan lingkungan dan wanita.

Dan tentang wanita sendiri, bagi laki-laki Madura mendapat tempat tertinggi,
karena dari wanitalah kaum pria di Madura menjadi lebih bersemangat, dan dari
kaum wanita pula dapat menimbulkan pembunuhan. Karena tingginya kedudukan
wanita Madura, maka kaum wanita khususnya para gadis dikonotasikan dengan
perlambang melati. Maka tak heran falsafah melati menjadi pujian bagi orang-orang
tua Madura dengan ucapan “duh tang malate”, ta’ gegger polana ojen, ban ta’ elop
polana panas are”, artinya; oh melatiku, yang tak gugur karena hujan dan tak layu
karena panas matahari.

129
Jadi kalaupun dalam suatu peristiwa carok lantaran wanita hal itu telah
merupakan kenyataan yang tak mungkin dihindarkan. Demikian pula masalah hak.
Permasalahan ini erat kaitannya dengan permasalahan linkungan yang dijajah atau
diganggu oleh pihak lain. Dalam wujud ini, biasanya banyak dikaitkan dengan
permasalahan irigasi yang merupakan penentu kelangsungan hidup bagi
masyarakat setempat. Karena hanya air yang menjadikan mereka dapat bertahan.

Tapi dalam kondisi yang lain, peranan wanita Madura dibandingkan dengan
kaum pria belum seluas sebagaimana peran-peran yang dilakukan wanita-wanita
kota besar, meskipun pada dasarnya wanita Madura telah mengenal persamaan hak
dan kewajiban dengan suami. Atau dengan kata lain bisa disebut semacam
emansipasi pembawaan naluri. Seorang istri mampunyai peran dan tanggung jawab
yang sangat penting untuk menegakkan martabat dan kehidupan rumah tangga.
Mereka bersama-sama turun ke lading membanting tulang dan memeras keringat
hingga “ agili pello koneng “ (mengalir keringat kuning), maksudnya bekerja keras
sampai tuntas. Rasa kebersamaan kerja ini juga berlaku dipasar, dilaut, atau juga
dimana saja sang suami membanting tulang.

Namun satu kelebihan wanita Madura, tugas-tugas yang lain, baik sebagai
ibu dari anak-anaknya maupun sebagai pendamping suami dari menyiapkan makan
dan minum maupun tetek bengek lainnya, sang istri akan selalu setia melayani.
Tetapi di dalam persamaan hak tersebut, wanita Madura menurut tradisi harus
selalu hidup dibawah kekuasaan pria (suami). Artinya wanita Madura harus tunduk,
patuh, taat dan menyerah pada kemauan suami dan tidak dibenarkan untuk menolak
maupun membantah. Bahkan untuk menentukan perkawinan diteruskan atau
diputuskan. Dan apabila suami tidak mampu memberikan keturunan, biasanya sang
suami mengambil inisiatif untuk menalak atau kawin lagi dengan alas an demi
meneruskan keturunan.

Demikian pula sebaliknya sang suami tidak akan merestui bila istri
berkehendak minta cerai. Kecuali bila suami melepaskan dengan suka rela. Tapi hal
itu jarang dan sulit terjadi, karena menyangkut prestise dan harga diri sebagai laki-

130
laki yang harus dipertahankan. Kalaupun sampai terjadi, maka akan berakibat buruk
dan berkepanjangan, terutama kalau perkawinan terjadi antar keluarga. Hubungan
keluarga akan menjadi retak. Akibat yang lain bila suatu ketika bekas istrinya kawin
lagi dengan pria lain, maka tak ayal akan terjadi dan timbul permusuhan, cemburu
dan sakit hati bekas suaminya. Apalagi dikemudian hari bekas istri menemukan
kebahagiaan lain.

Pada prinsipnya, suami Madura biasanya bersikap keras dan tegas dalam
membela kehormatan dan kesudian istrinya. Dan umumnya pangkal utama
timbulnya perselisihan dari kaum wanita. Sehingga tak heran timbulnya carok,
kadang hanya masalah sepele, yaitu lantaran bekas istri dilamar atau dikawin
dengan laki-laki lain.

Terkadang konflik antara dua orang biasanya merembet melibatkan orang


lain, antar keluarga, kerabat bahkan sampai melibatkan semua penduduk kampong.
Peristiwa carok antar kampong yang cukup mengerikan pernah terjadi beberapa
tahun lampau, tepatnya di Bangkalan. Carok missal itu terjadi antara penduduk desa
Bilaporah dengan penduduk Jodih saling berhadapan dengan clurit ditangan. Dan
akibatnya 5 orang tewas serta beberapa puluh lainnya luka-luka parah. Kejadian ini
sempat menggegerkan masyarakat Bangkalan khususnya, hingga membuat Bupati,
Polisi, Tentara dan para ulama prihatin dan turun tangan. Dan banyak contoh-
contoh lain yang kerap terjadi peristiwa carok di pulau Madura maupun daerah-
daerah lain di Jawa yang kebanyakan dilator belakangi oleh adat istiadat yang
dibawa dari Madura.

Beberapa pendapat mengatakan, pengertian carok sebenarnya duel antara


satu melawan satu. Itupun dilakukan dengan unsure sengaja. Artinya kemampuan
dan ketinggian ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan diketahui bila tanpa
dibuktikan dilapangan. Jadi bila seseorang telah memungkinkan untuk menjajal
ketinggian ilmunya, maka biasanya ia dengan sengaja mengganggu ketentraman
orang lain, baik mengganggu keluarga maupun istri seseorang yang dianggap
memiliki kemampuan dan ilmu yang setara. Bila tak heran akan memancing dan

131
merangsang emosi pihak yang keluarganya diganggu untuk menantang carok. Nah
saat itu pula mereka mengadakan perjanjian menetukan waktu dan tempat bertarung
dengan disaksikan beberapa orang/tokoh yang lain.

Sementara pendapat yang lain mengatakan, carok pada awalnya merupakan


suatu bentuk permainan pentas yang dilakukan masyarakat Madura tradisional.
Menurut cerita, pentas semacam itu tiap-tiap daerah mempunyai nama tersendiri.
Di daerah Sampang menyebut “karja” di Pamekasan menyebut “ salabadan”,
sedang di Sumenep disebut “pojian”.

Pentas semacam tersebut digelar dalam bentuk teater arena (semacam


Lenong Rumpi). Jadi antara pelaku dan penonton tidak ada jarak, mereka
bergantian tampil sesuai dengan karakter masing-masing dengan diiringi
“saronen”, yaitu sejenis tabuhan yang biasa dialunkan sebagai pengiring kerapan
sapi atau hajat lainnya, merupakan jenis music tradisional Madura.

Dalam gelar tersebut biasanya menampilkan nama-nama tokoh artificial


sebagai pengantar cerita kepahlawanan yang menggambarkan tokoh-tokoh Madura
seperti Sakerah, Ke’ Lesap dan sebagainya. Dalam babak tersebut diperagakan
suatu bentuk perkelahian sebagai klimaks cerita.

Bahkan pernah sampai terjadi perkelahian sungguhan, dan mengakibatkan salah


seorang diantaranya tewas. Melihat latar belakang peristiwa tersebut, karena orang-
orang Madura telah kadung di klaim sebagai orang yang berwatak keras, bringas
dan “mbalelo”. Maka setiap perkelahian dan menjatuhkan korban yang dilakukan
orang Madura, dianggap sebagai perkelahian carok.

Ironisnya, pada gilirannya masyarakat luar Madura memandang Madura


sebagai wujud berindentik kekerasan dan carok. Padahal bila ditelusuri lebih jauh,
justru di Madura banyak terkandung nilai-nilai luhur. Baik dari segi social budaya,
social masyarakat maupun social ekonomi. Dengan demikian, prospek masyarakat
Madura bak mutiara dalam bukit tanah kapur.

132
35.Tradisi pukul sapu (maluku)

gambar 2.56 luka sabetan lidi enau

Berbagai acara ditaja oleh umat Islam di Nusantara untuk memeriahkan


Hari Raya Idul Fitri setelah sebulan lamanya menunaikan ibadah puasa pada bulan
suci Ramadhan. Salah satu di antaranya adalah upacara adat Pukul Sapu yang
digelar oleh masyarakat yang bermastautin di Desa Morella dan Desa Mamala yang
masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku
Tengah, Provinsi Maluku. Baku Pukul Manyapu dan Pukul Manyapu adalah nama
lain bagi upacara adat ini.

Upacara adat yang tergolong ekstrem ini digelar setiap tanggal 7 Syawal
menurut perhitungan kalender Hijriah/kalender Islam, atau pada hari ke tujuh
setelah Hari Raya Idul Fitri. Biasanya, peserta upacara adalah pemuda dari dua desa
adat yang bertetangga tersebut. Namun, bila ada peserta dari daerah lain yang ingin
berpartisipasi, bisa mendaftarkan diri kepada panitia tiga hari sebelum upacara
dilaksanakan. Sekalipun Pukul Sapu adalah tradisi umat Islam Maluku, namun
upacara ini juga dihadiri dan melibatkan umat Kristen di daerah tersebut, terutama
mereka yang memiliki ikatan kekerabatan (pela) dengan masyarakat dua desa adat
ini, seperti masyarakat Desa Lateri yang memiliki ikatan kekerabatan dengan Desa
Mamala dan Desa Waai yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Desa
Morella.

133
a. Sejarah pukul sapu

Upacara adat Pukul Sapu merujuk pada perjuangan Achmad Leakawa, atau
yang lebih populer dengan nama Kapitan/Pimpinan Perang Telukabessy beserta
anak buahnya, ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala (1643-
1646 M). Perang ini dipantik oleh pendirian markas VOC (kongsi dagang Belanda)
di Teluk Sewatelu, Ambon, pada tahun 1636 M. Perang semakin tak terelakkan
ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, benteng milik warga
Maluku, dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru. Dalam perang ini, para
pejuang terdesak akibat serangan dari darat yang didukung tembakan meriam dari
kapal-kapal VOC dari laut. Karena tidak berimbang, akhirnya benteng yang
berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morella dan Mamala tersebut dapat
dikuasai oleh Belanda.

Pada perang itu, Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun, anak
buahnya banyak yang berhasil ditangkap tentara Belanda. Sebagian dari mereka
kemudian dijadikan tawanan di Teluk Sewatelu dan sebagiannya lagi dibuang ke
Batavia, atau Jakarta sekarang. Meskipun berhasil meloloskan diri, Kapitan
Telukabessy tetap dihadapkan pada situasi sulit, yaitu antara menyerahkan diri atau
anak buahnya dibunuh kompeni. Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih
menyerahkan diri pada Komandan Verheijden pada tanggal 19 Agustus 1646. Oleh
Gubernur Gerard Demmer, Kapitan Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di
Benteng Victoria, Ambon, pada tanggal 27 September 1646.

Pada tanggal 27 Oktober 1646, setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk
Sewatelu, anak buah Kapitan Telukabessy tersebut dibebaskan Belanda. Sebelum
berpisah dan kembali ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara
perpisahan yang terbilang heroik, dengan menampilkan aneka tari adat,
menyanyikan lagu-lagu daerah, dan acara pukul sapu. Tujuan acara pukul sapu
adalah agar tetesan darah dari tubuh mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat
mengingatkan mereka untuk berkumpul kembali di tempat tersebut suatu saat nanti.

134
Ekstrem, atraktif, dan menghibur. Kira-kira demikianlah kesan para
pengunjung ketika menyaksikan upacara adat Pukul Sapu yang dihelat di daerah
yang dijuluki dengan Negeri Seribu Bukit ini. Karena, setiap peserta upacara yang
rutin dihelat saban tahun ini akan mencambuk peserta lain yang berada di
hadapannya secara bergantian dengan menggunakan lidi dari pohon enau (arenga
pinnata), yang dalam bahasa Maluku disebut dengan pohon mayang. Lidi enau yang
digunakan untuk mencambuk peserta upacara memiliki panjang 1,5-2 meter dengan
diameter pangkalnya mencapai 1-3 sentimeter.

Sekalipun upacara adat yang diwariskan secara turun-temurun ini dihelat


pada tanggal 7 Syawal, namun kesibukan sudah terlihat di dua desa adat tersebut
beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara. Sebab, berbagai hal harus dipersiapkan
panitia untuk menunjang kelancaran dan kemeriahan upacara, seperti podium, tenda
para undangan, arena upacara, stand pameran, warung-warung pedagang, umbul-
umbul, dan lain sebagainya.

Sebelum acara puncak Pukul Sapu berlangsung, terlebih dahulu digelar


berbagai kegiatan, seperti hadrat (rebana), karnaval budaya, pameran dan festival,
balap perahu, penampilan band lokal, dan bahkan penampilan artis ibukota
keturunan Maluku. Selain itu, juga ditampilkan aneka tari dari daerah tersebut,
seperti tari putri, tari mahina, tari perang, hingga pertunjukan musik yang
dibawakan oleh masyarakat dari negeri pela yang beragama Kristen.

Sementara itu, meskipun pelaksanaan upacara baru dimulai setelah shalat


Ashar, para wisatawan baik domestik maupun mancanegara telah berbondong-
bondong datang ke dua desa tersebut sejak pagi hari. Bahkan, ada yang tiba di sana
1-2 hari sebelum upacara dimulai. Hal ini dimaksudkan supaya mereka dapat
menyaksikan secara langsung tahapan-tahapan persiapan upacara, seperti melihat
latihan para peserta upacara, meraut lidi enau, dan proses pembuatan minyak
Mamala yang kesohor dengan khasiatnya itu. Konon, minyak yang dibuat pada
malam 7 Syawal ini hanya boleh dilakukan oleh keturunan Imam Tuni, tokoh
agama Desa Mamala yang menjadi salah satu pendiri Masjid Al-Muttaqien.

135
Sebelum upacara dimulai, para peserta terlebih dahulu dikumpulkan di
suatu tempat untuk mendapatkan doa dari para tetua adat. Hal ini dilakukan dengan
harapan agar prosesi upacara berjalan dengan lancar dan seluruh peserta diberi
keselamatan oleh Allah SWT. Sebelum memasuki arena upacara, mereka terlebih
dahulu berlari-lari kecil mengelilingi kampung. Di Desa Mamala, upacara Pukul
Sapu diawali dengan mencambukkan lidi enau ke tubuh peserta upacara oleh
pejabat daerah setempat. Sedangkan di Desa Morella, pembukaan upacara ditandai
dengan penyulutan obor Kapitan Telukabessy oleh pejabat atau pemuka masyarakat
setempat.

gambar 2.57 peserta pukul sapu diarak keliling desa

Selepas acara pembukaan, upacara adat Pukul Sapu pun dimulai dengan
diiringi tepuk tangan dan sorak-sorai dari para penonton. Para peserta yang hanya
menggunakan celana pendek, ikat kepala, dan bertelanjang dada ini dibagi ke dalam
dua kelompok dan berdiri berhadap-hadapan. Kedua kelompok tersebut secara
bergantian akan menyabetkan lidi enau yang berada di genggaman masing-masing
ke pinggang, dada, dan punggung peserta di hadapannya sampai lebam dan
berdarah-darah. Untuk mengatur pergantian kelompok yang dicambuk dan
kelompok yang menyambuk, para peserta mengikuti aba-aba dari koordinator
upacara atau mengikuti alunan gendang. Pergantian juga bisa dilakukan bila peserta
yang dicambuk telah terdesak hingga mendekati tempat penonton di pinggir
lapangan.

Uniknya, meskipun sekujur tubuh peserta upacara memar-memar dan


mengeluarkan darah, namun tak terlihat pada mereka ringis kesakitan atau rintihan
mengaduh. Di samping itu, bercak sabetan dan goresan darah akibat cambukan lidi

136
enau dapat disembuhkan dengan cepat tanpa meninggalkan bekas. Di Desa Morella,
luka-luka akibat cambukan diobati dengan ramuan dari daun jarak yang terkenal
berkhasiat menyembuhkan luka. Sementara di Desa Mamala, luka-luka peserta
upacara diobati dengan mengoleskan minyak kelapa yang telah didoakan oleh para
tetua adat kepada bagian tubuh yang luka. Minyak kelapa yang dapat mengobati
luka dengan cepat tersebut dinamakan minyak Mamala atau minyak Tasala. Konon,
khasiat minyak ini telah kesohor ke mana-mana, sehingga menarik minat para
ilmuan dari dalam dan luar negeri untuk menelitinya.

Setelah upacara adat Pukul Sapu usai, hal lain yang menarik dan membuat
wisatawan terhibur adalah ketika para penonton berlomba-lomba memperebutkan
lidi-lidi enau dan minyak kelapa bekas peserta upacara. Hal ini dikarenakan lidi-
lidi atau minyak tersebut diyakini membawa keberuntungan. Selain untuk
memperoleh keberuntungan, sebagian masyarakat menganggap kedua benda
tersebut sekadar kenang-kenangan mengikuti upacara adat Pukul Sapu yang dihelat
sekali dalam setahun itu.

Sedangkan bagi turis yang punya waktu luang, dapat mengikuti Pesta
Basudara, yaitu acara syukuran upacara adat Pukul Sapu, yang digelar di Desa
Morella pada malam hari setelah upacara adat tersebut berlangsung.

Upacara adat Pukul Sapu dipusatkan di Stadion Hutusela Desa Morella dan di
pelataran Masjid Al-Muttaqien Desa Mamala, Kecamatan Leihitu, Kabupaten
Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia.

Bagi wisatawan yang berasal dari luar Provinsi Maluku, dapat memulai
perjalanan dari Bandara Pattimura Ambon. Dari sini kemudian wisatawan dapat
mencapai lokasi upacara adat Pukul Sapu di Desa Mamala dan Desa Morella
dengan menggunakan bus, taksi, atau menyewa mobil carteran. Kedua desa adat
tersebut berjarak sekitar 30 kilometer di sebelah utara Kota Ambon, Ibu Kota
Provinsi Maluku. Sedangkan bagi wisatawan yang memulai perjalanan dari Kota
Masohi, Ibu Kota Kabupaten Maluku Tengah, dapat naik bus atau menyewa mobil
carteran menuju lokasi upacara adat Pukul Sapu.

137
Bagi turis yang datang dari luar kota dan ingin menyaksikan prosesi upacara
adat Pukul Sapu secara keseluruhan, dapat menginap di rumah penduduk
(homestay) Desa Mamala dan Desa Morella yang banyak disewakan ketika upacara
adat ini digelar. Ketika upacara berlangsung, terdapat warung-warung dan stand-
stand pameran yang menyediakan berbagai kebutuhan wisatawan, seperti makanan,
minuman, isi ulang pulsa, dan cenderamata khas Maluku. Fasilitas lainnya adalah
masjid, toilet umum, dan area parkir yang aman.

36. tradisi Sorongi'is (nagekeo)

gambar 2.58 proses meratakan gigi

Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah


proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap
dan cara berpikir. Sama halnya di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang
perempuan harus melalui sebuah proses adat. Seperti yang dilakukan oleh
masyarakat suku Dhawe di Kabupaten Nagekeo. Proses pendewasaan seorang
perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi, yang dalam bahasa setempat
ritual adat ini disebut “Sorongi’is”. Uniknya, ritual ini biasa dilakukan pada
rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak.
Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan.
seorang bapak yang ditunjuk sebagai petugas potong gigi mendekat dan memegang

138
rahang sang anak sambil memintanya untuk membuka mulut. Sebuah batu asah
kecil langsung ditancapkan ke gigi sang anak. Kontan saja wajah sang anak
meringis dan mengeluarkan rintihan menahan ngilu ketika batu asah tersebut di
gosok berulang-ulang kali.

gambar2.59 pemberian obat gambar 2.60 pelaksanaan tandak

Setelah dirasa permukaan gigi telah rata, sang anak kemudian diserahkan ke
salah satu ibu untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan ramuan ala
kampung berupa buah pinang yang masih mentah. Sang anak diharuskan
mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar menghilangkan rasa ngilu.
Inilah puncak dari semua rangkaian pendewasaan perempuan di suku
Dhawe Kabupaten Nagekeo. Ritual Sorongi’is mengandung makna bahwa anak
tersebut telah dewasa dalam hukum adat. Seperti yang di tuturkan Donatus Dua,
salah satu tetua adat suku Dhawe, suatu saat jika sampai pada usia siap pinang,
hukum adat sudah merestui jika ada lelaki yang datang meminang, Sebelum
menuju ritual Sorongi’is, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara
adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan
tandak. Mereka mulai menari, bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun
sambil berpegang tangan.
Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang
dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali di selingi dengan pantun
yang diucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi pantun
kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para penonton. Untuk
menambah semangat, seorang petugas akan terus menghidangkan sirih pinang dan

139
moke, minuman khas Nagekeo kepada para peserta tandak. Dalam bahasa setempat,
acara tandak ini disebut “Wai Sekutu”.
Tidak lama kemudian, anak yang akan potong gigi diboyong oleh orang
tuanya untuk disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana
adat dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak
tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk tidak
berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara tandak, sang anak
hanya diberikan kesempatan lima kali berputar mengelilingi api unggun bersama
peserta tandak yang lain. Kemudian kembali diboyong ke kamar untuk beristirahat.
Acara tandak berlangsung non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit, acara
tandak pun bubar.

gambar 2.61 sesajin gambar 2.62 ritual mengayun


Sebelum menuju acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan
sebuah ritual lagi yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya
terdiri dari nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan
syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan acara.
Ketika tiba sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh
orang tuanya. Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga yang masih
memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju rumah tetangga,
terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh salah satu tetua adat. Sapaan
adat diikuti dengan percikan beras sebanyak lima kali ke arah anak. Ritual
pemberkataan ini di sebut “Resa Kuras”. Setelah itu, sang anak akan diayun oleh
ayahnya sebanyak lima kali di atas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada
hitungan yang kelima, anak tersebut diayun melewati babi dan siap berjalan

140
menuju rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di rumah
tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan sebuah batu asah
kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.
Seluruh rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala
kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang siap di
korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan acara ini mungkin
bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang dibawa oleh para undangan.
Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk bagaimana membalas
kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah menjadi tradisi, pihak
keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan berupa tikar, bantal ataupun
beras akan menerima balasan berupa kambing ataupun babi. Sebaliknya, yang
membawa bingkisan babi ataupun kambing akan menerima balasan tikar ataupun
beras. Bagaimanapun, dibalik semua proses Sorongi’is ini, terselip perasaan lega
dan bangga. Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat telah
dilaksanakan, walaupun secara ekonomis biaya yang dikeluarkan cukup besar.

37. Tradisi adu fisik (suku nagekeo, nusa tenggara timur)

gambar 2.63 luka para pemain


Pertarungan fisik selalu selalu diidentikan dengan simbol keperkasaan
seseorang. Mungkin jika ada yang kalah, lantas berdarah-darah, semua orang
mencemoohkannya. Atau jika sang pemenang mengangkat kedua tangan sebagai
tanda kemenangan, sontak yang menonton langsung bertepuk tangan, semuanya

141
larut dalam suasana saling cibir, atau saling mengangungkan sang jagoan. Cerita
selanjutnya bisa jadi yang kalah akan menyimpan dendam yang teramat sangat, atau
sebaliknya malah penonton yang saling bertarung.

Namun,cerita seperti itu tidak akan terjadi jika sang jagoan berlaga dalam
arena “Etu”, tinju adat di masyarakat Nagekeo, sebuah kabupaten baru mekaran
dari kabupaten Ngada pada tahun 2006 silam. Bagi masyarakat suku Nagekeo yang
berada tepat ditengah pulau Flores-Nusa Tenggara Timur ini, etu adalah simbol
keakrabaan dan persaudaraan.

Etu adalah kesenian tradisional yang memperagakan adu ketangkasan


antara para pria dewasa diwilayah persekutuan adat Nagekeo dan sekitarnya.
Permainan adu ketangkasan ini selain merupakan arena pentas kesenian tetapi juga
merupakan ritual adat untuk melengkapi siklus kehidupan masyarakat adat
Nagekeo.

Menurut salah satu pemuka adat Nagekeo dikampung Boawae, Cyrilus Bau
Engo, etu telah dipentaskan sejak puluhan tahun silam secara turun temurun.
Namun, tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan secara pasti sejak kapan etu
mulai dipentaskan. Diperkirakan, kegiatan ini mulai dipentaskan sejak masyarakat
persekutuan adat tidak lagi terlibat dalam perang antar suku (papa wika). Ada versi
yang menerangkan bahwa kegiatan ini dibuat sebagai salah satu persembahan darah
kepada bumi (ibu pertiwi), sehingga bukan hal yang baru jika ada petinju yang
keluar dari arena dengan wajah lebam bardarah-darah. Diyakini oleh mereka, luka
yang diderita akan segera sembuh jika di sentuh oleh tabib kampung.

142
gambar 2.64 pengobatan oleh tabib gambar 2.65 lapangan pertandingan

Jika dikaitkan dengan kelender adat, etu biasa dipentaskan pada musim
kemarau, atau pada masa senggang sesudah panen. Selama masa itu, etu
dipentaskan pada beberapa kampung adat yang memiliki adat tinju yang dipegang
salah satu suku yang mendiami kampung tersebut dan biasa disebut “moi buku ‘etu”
(pemegang adat tinju). Giliran antar kampung ditentukan waktunya sesui
perhitungan yang mendasarkan pada peredaran bulan sehingga etu selalu
dipentaskan pada saat bulan purnama.

Para petarung akan memasuki sebuah arena ditengah kampung yang disebut
“kisa nata”. Arena ini dibatasi oleh pagar dari tonggak kayu yang dirangkaikan
dengan tali sehingga menjadi semacam ring tinju berlantai tanah yang dalam bahasa
adat disebut “mada” Mada membujur sesuai dengan tata letak kampung adat.
Penonton yang menyaksikan etu berdiri diluar mada. Jangan berharap perempuan
ada didalam mada, karena sudah tentu itu adalah hal yang “pamali” bagi sang
petinju.

Jelang beberapa hari pada saat bulan terang sebelum tinju, digelarkan
kegiatan pemanasan dan ajang latihan bagi petinju – petinju pemula, sekaligus
pengumuman bahwa di kampung tersebut akan digelarkan etu. Selanjutnya, malam
menjelang etu dipentaskan, seluruh masyrakat adat menggelar tarian dan

143
nyanyian. Rangkaian kegiatan ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang
budidaya tanam padi sejak kerinduan menantikan kedatangan hujan sampai saat
panen. Menariknya, dalam tradisi ini , kaum muda mudi dapat menjadikannya
sebagi ajang perkenalan. Sang pemuda akan melempar pantunnya, yang kemudian
akan dibalas oleh sang pemudi. Sepanjang malam, kaum tua dan muda akan larut
dalam tarian dan nyanyian.

Pagi – pagi sekali, pemegang adat tinju dan seluruh anggota suku yang laki-
laki pergi ke “loka lanu” yaitu tempat berkumpul untuk menyampaikan
persembahan kepada Tuhan dan para leluhur sambil memohon keselamatan bagi
para petinju, sehingga para petinju yang terluka cepat sembuh dan dalam
kenyataannya, luka karena bertinju adat, paling lama tiga hari sudah sembuh.
Sesudah upacara persembahan dan doa di loka lanu mereka akan menuju kampung
sambil menyanyi dan menari. Sampai dikampung akan melakukan semacam
seremoni pembukaan dengan pura – pura bertinju dengan seseorang sebagai tanda
bahwa acara tinju dapat dimulai.

Para penonton mulai berdatangan. Tidak sampai satu jam, arena etu sudah
dipadati para penonton dari berbagai penjuru kampung. Ada juga yang datang dari
luar kampung. Kebanyakan dari mereka memakai sarung adat, sedangkan kaum
lelaki mengenakan ikat kepala. Disini, penonton tidak perlu ragu kemana harus
mencari pengganjal perut jika lapar. Hidangan cuma-cuma akan diberkan kepada
siapapun yang datang. Masayrakat adat di sekitar kampung akan menjemput dan
mengajak kita menikmati makanan yang telah disiapkan disetiap rumah.

Kedua petinju pun mulai diperhadapkan oleh “Moi Seka”. Orang inilah
yang akan bertindak sebagai wasit, sekaligus juri. Tidak seperti petinju yang
kebanyakan kita tonton, disini para petinju akan dipasang kain pengalas dada, ikat
pinggang dari kain, dan ikat kepala. Yang terakhir adalah alat meninju lawan atau
dalam bahasa setempat disebut “Keppo”. Tidak seperti sarung tinju para
profesional, alat gebuk ini berupa tali ijuk yang dipilin kecil-kecil, selanjutnya
digumpal kira-kira pas dalam genggaman. Permukaan keppo kasar, siapapun yang
terkena pukulan benda ini pasti akan berdarah.

144
gambar 2.66 alat yang dipakai betinju

Penonton semakin tidak sabar menjejal di sekitar arena. Dari ujung arena,
sang petinju mulai kelihatan. Petinju ini akan dikawal oleh seorang “Moi sike”.
Dia berfungsi menjaga agar petinju tidak jatuh dan kadang kala bisa membantu
menangkis pukulan yang diarahkan ke arah perut petinju. Orang ini harus lincah
mengikuti gerak gerik petinju ketika menyerang maupun menghindari pukulan
lawan. Moi sike harus maju dan mundur seirama dengan petinju.
Kedua petinju mulai merengsek maju ketika wasit menepuk tangan. Satu
dua pukulan mulai dilontarkan, jauh dari kesan seorang petinju profesional. Moi
sike terlihat kerepotan menarik kain pinggang masing-masing petinju ketika mereka
mulai terbakar emosi. Sebuah pukulan telak berhasil didaratkan salah satu petinju
di wajah lawan. Wasit langsung memisahkan keduanya. Petinju yang berhasil
mendaratkan bogem mentahnya terlihat bangga, sambil melompat-lompat
kegirangan, sesekali menepuk dada. Pihak lawan tak puas. Pertarungan kembali
dilajutkan. Jual beli pukulan terjadi. Pelukan, saling tarik, menambah panas
suasana. Teriakan penonton semakin membakar emosi sang petarung. Wasit pun
tidak mau ambil resiko, pertandingan pun diakhiri.

B. Sebab punahnya budaya dan tradisi di indonesia

Budaya Indonesia yang seharusnya menjadi kebanggaan dan harusnya di


pertahankan sekarang mulai hilang dikarenakan masuknya budaya asing (modern).

145
Kita sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai hak penuh atas kebudayaan
tersebut seharusnya melestarikannya bukan malah mengesampingkannya dengan
berbagai alasan seperti takut dibilang ketinggalan jaman, takut dibilang kupper,
katrok, dan lain sebagainya.

Jika ditinjau melalui aspek global, globalisasi menjadi tantangan untuk


semua aspek kehidupan juga yang terkait dengan kebudayaan. Budaya tradisional
yang mencerminkan etos kerja yang kurang baik tidak akan mampu bertahan dalam
era global. Era global menuntut kesiapan kita untuk siap berubah menyesuaikan
perubahan zaman dan mampu mengambil setiap kesempatan. Budaya tradisional di
Indonesia sebenarnya lebih kreatif dan tidak bersifat meniru, yang menjadi masalah
adalah mempertahankan jati diri bangsa. Sebagai contoh sederhana, budaya gotong
royong di Indonesia saat ini hampir terkikis habis, individual dan tidak mau tahu
dengan orang lain adalah cerminan yang tampak saat ini. Perlu dipikirkan agar
kebudayaan kita tetap dapat mencerminkan kepribadian bangsa. Kebudayaan
tradisional adalah sebuah warisan luhur.

Dalam era globalisasi, kebudayaan tradisional mulai mengalami erosi.


Orang, anak muda utamanya lebih senang menghabiskan waktunya untuk
mengakses internet dari pada mempelajari tarian ataupun upacara-upacara adat dari
kebudayaan sendiri. Orang akan merasa bangga ketika dapat meniru gaya
berpakaian orang barat dan menganggap budayanya kuno dan ketinggalan.
Globalisasi akan selalu memberikan perubahan, kita lah yang harus meneliti apakah
budaya-budaya tersebut bersifat positif ataupun negatif.

Budaya-budaya serta tradisi di indonesia yang bersifat ekstrim juga telah


jarang ditemukan karena beberapa faktor. Diantaranya masuk dan menyebarnya
agama-agama yang kebanyakan menentang sifat kekerasan dan penyembahan
terhadap yang lainnya kecuali tuhan, seperti penyembahan pada roh-roh nenek
moyang. Tradisi ekstrim di indonesia juga semakin terkikis akibat pola pikir
masyarakat Indonesia yang selalu ingin mengikuti zaman modern, dan selalu
menganggap kebudayaan serta tradisi mereka sudah tidak penting lagi untuk
dilaksanakan, terlebih pada kaum remaja di Indonesia.

146
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki


budaya serta tradisi yang sangat bervariasi. Budaya tersebut harus dijaga agar dapat
memperkokoh ketahanan budaya bangsa. Selain itu kita harus memahami arti
kebudayaan serta menjadikan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia
sebagai sumber kekuatan untuk ketahanan budaya bangsa.

B. SARAN-SARAN

Perlu adanya perhatian yang besar terhadap budaya yang kita miliki agar
budaya tersebut tidak hilang dan tetap terpelihara sebagai identitas suatu daerah
tertentu. Melestarikan budaya lokal dengan aktif melakukan kegiatan
penyelenggaraan kebudayaan dalam rangka mengenalkan lebih dekat kepada
masyarakat tentang budaya-budaya lokal. Melibatkan dewan kebudayaan dan
lembaga-lembaga budaya dalam mengembangkan budaya lokal.

Memberikan pemahaman betapa pentingnya peran budaya lokal untuk


memperkokoh ketahanan budaya bangsa sehingga budaya kita juga akan dihormati
oleh bangsa lain.

147
DAFTAR PUSTAKA

Novita. 2013 . budaya tato suku dayak.


http://arsipbudayanusantara.blogspot.com/2013/06/budaya-tato-suku-
dayak.html. [8 april 2015]

Azmar Mahmud Farig. 2015. ujungan, upacara tradisional masyarakat adat


gumelem. http://www.umarazmar.com/2014/01/ujungan.html [19 april 2015]
Atom . 2014 . setetes darah dalam megaret pandan.
http://gennuss.blogspot.com/2014/01/setetes-darah-dalam-megaret-
pandan.html [19 april 2015]

Ririn sari. 2014 .ma'nene, tradisi unik sekaligus mengerikan di tanah


toraja. http://informasikankerservik.blogspot.com/2014/11/manene-tradisi-
unik-sekaligus-mengerikan-di-tanah-toraja.html [19 april 2015]

Nia. 2007 . adu kepala manusia, peninggalan nenek moyang suku mbojo.
http://www.indosiar.com/fokus/adu-kepala-manusia-peninggalan-nenek-
moyang-suku-mbojo_60778.html. [19 april 2015]
Anonim. 2015 . Rahasia mistik di balik 5 kesenian Indonesia.
http://soloraya.com/2014/05/06/5-kesenian-paling-mistis/.[11 april 2015]

kementerian pariwisata republik indonesia . 2013 . tradisi lompat batu di pulau


nias. http://indonesia.travel/id/destination/730/pulau-nias/article/137/tradisi-lompat-batu-di-
pulau-nias. [14 april 2015]

Nyamenusanet . 2015 .Tradisi Mesbes Bangke (Mencabik Mayat) Warga


Banjar Buruan, Desa Tampaksiring Bali.
http://nyamenusanet.blogspot.com/2015/02/pro-dan-kontra-tradisi-mesbes-
bangke.html

148
Liputan 6 . 2013 . potong jari, tradisi ekstrim suku dani saat berduka.
http://citizen6.liputan6.com/read/761129/potong-jari-tradisi-ekstrim-suku-
dani-saat-berduka.[17 april 2015]

Anonim . 2013 .kontroversi tradisi suku naulu maluku.


http://www.anehdidunia.com/2013/12/kontroversi-tradisi-suku-naulu-
maluku.html [18 april 2015]

radhacandrabb . 2012 . makalah agama hindu tentang ngaben.


https://radhacandrabb.wordpress.com/2012/12/17/makalah-agama-hindu-
tentang-ngaben/ [25 april 2015]

wikipedia. 2015 . suku asmat . http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Asmat [2


mei 2015]

Dwi pravita . 2012 .“…lais, seni tradisional akrobatik yang menegangkan


dari kaki gunung papandayan…” http://nrmnews.com/2012/06/22/lais-seni-
tradisional-akrobatik-yang-menegangkan-dari-kaki-gunung-papandayan [26
april 2015]

Anonim . 2014 . melihat wujud kearifan masyarakat tana toraja dengan


tradisi to sisemba. http://pariwisata.frontroll.com/berita-3261-menilik-wujud-
kearifan-masyarakat-tana--toraja-dengan-tradisi-to-sisemba.html [27 april
2015]

lontar madura . 2014 . Sejarah Karapan sapi, Tradisi, Pesta, dan Prestise
Rakyat Madura. http://www.lontarmadura.com/sejarah-karapan-sapi/ [29
april 2015]

Anonim. 2007 . mengayau: upacara keberanian laki-laki dayak iban,


kalimantan barat. http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2586/mengayau-
upacara-keberanian-laki-laki-dayak-iban-kalimantan-barat [16 april 2015]

wisnu wirandi. 2014 .laporan penelitian kesenian debus.


http://wisnunatural.blogspot.com/2012/04/laporan-penelitian-kesenian-
debus.html [20 april 2015]

149
Anonim. 2013 .kontroversi tradisi suku naulu maluku.
http://www.anehdidunia.com/2013/12/kontroversi-tradisi-suku-naulu-
maluku.html [27 april 2015]

Dharma putra. 2012 .Desa trunyan, warisan dan tradisi


leluhur.http://junkaristocrat.blogspot.com/2012/11/desa-trunyan-warisan-
dan-tradisi-leluhur.html [3 mei 2015]

Anonim. 2013 . tradisi indonesia.


https://chemember.wordpress.com/category/tradisi-indonesia/page/2/ [09 mei
2015]

Anonim. 2012 .tradisi adat pukul sapu.


https://galeriwisata.wordpress.com/wisata-maluku/wisata-provinsi-
maluku/upacara-adat-pukul-sapu/ [17 mei 2015]

Baktiar sontani. 2008 . Ritual Adu Fisik Ala Nagekeo.


http://awalnya.blogspot.com/2011/12/ritual-adu-fisik-ala-nagekeo.html [20
mei 2015]

150
BIODATA PENULIS

Nama : Nurul Mufidah

Tempat Dan Tanggal Lahir : Makassar, 09 maret 1999

Nama Sekolah : SMAN 21 MAKASSAR

Alamat Rumah : Bukit Hartaco Indah 2B nomor 2

Alamat E-Mail : Nurulmufidah11@yahoo.com

Nomor Ponsel : 0853-9600-9771

151

Anda mungkin juga menyukai