Anda di halaman 1dari 4

1. Pengaruh budaya luar yang masuk kedalam suku asmat.

Suku Asmat, seperti yang kita tahu, adalah salah satu suku tertinggal di Indonesia
yang hidup dengan kondisi wilayah yang terisolasi. Suku Asmat memiliki satu kepala suku
yang pemilihannya dilakukan secara demokrasi oleh masyarakatnya. Populasi suku asmat
sendiri terbagi menjadi dua, yakni Suku Asmat yang tinggal di pesisir dan Suku Asmat yang
tinggal di pedalaman.

Dalam kasus ini, Suku Asmat yang tergolong KLB adalah suku asmat yang tinggal di
pedalaman. Suku Asmat pedalaman sangat mengandalkan alam sekitar. Banyak dari mereka
pergi berburu, bertani, atau mencari sagu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perilaku-
perilaku kehidupan Suku Asmat tersebut telah membudaya dan seiring berkembangnya
zaman, terjadilah kegiatan intervensi budaya yang dengan gencar terus dilakukan oleh pihak
luar yang menyebut dirinya "modern" tanpa mengkaji lebih dalam dampak yang mungkin
akan terjadi pada kehidupan mereka.

Mengintervensi budaya dan cara hidup mereka dengan sesuatu yang disebut "modern"
tanpa melakukan pendekatan sosial secara matang bukanlah suatu hal yang bijak karena
budaya modern hanya dapat tercipta melalui proses adaptasi antara tradisi dan pendidikan.
Pernyataan menteri sosial yang mengatakan bahwa cara hidup mereka rentan terkena
penyakit adalah keliru. Dapat dibuktikan bahwa dengan cara hidup yang demikian, Suku
Asmat mampu bertahan hingga abad ini. Sebelum adanya intervensi dari luar, mereka hidup
dengan tentram, aman, dan tanpa penyakit. Pun halnya memang sakit, sudah pasti tenaga
medis adat setempat mampu menanganinya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bukan cara
hidupnya yang salah, melainkan sesuatu telah "ikut campur" dalam kehidupannya.

Cita-cita untuk turut memajukan kehidupan saudara sebangsa memang mulia. Namun
disisipkannya budaya baru justru akan membinasakan mereka yang tidak dapat beradaptasi
dengan benar. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya benturan budaya yang kini tengah
dirasakan oleh masyarakat Suku Asmat. Loncatan pembangunan infrastruktur, masuknya
produk-produk "modern", penanganan kesehatan seperti suntik vaksin dan imunisasi,
kesemuanya merupakan hal yang baru bagi mereka. \

Mereka yang semula dapat hidup hanya dengan memakan sagu dan umbi-umbian,
kini bergantung pada raskin (beras miskin) yang kerap kali didistribusikan kesana. Mereka
yang semula menghindari nyamuk hanya dengan mengoleskan minyak babi, kini bergantung
pada lotion anti nyamuk yang juga kerap kali didistribusikan kesana. Lantas
ketika supply produk modern tersebut terhambat dan mereka sudah terlanjur ketergantungan,
yang terjadi adalah mereka tidak dapat kembali pada cara hidup mereka semula dan akhirnya
mengalami gangguan-gangguan kesehatan seperti yang terjadi saat ini.

Penyebab terjadinya gizi buruk di Asmat diantaranya adalah akses yang jauh,
kurangnya persediaan obat, dan kurangnya tenaga medis. Namun apabila benang merah yang
tersedia ditarik lagi ke belakang, alih-alih gizi buruk, sebatas kekurangan gizi pun tidak akan
terjadi. Mereka hidup dengan alam, gizi-gizi hewani berdatangan dengan sendirinya di
sekitar clustermereka. Sementara yang terjadi saat ini adalah akses yang sulit dikatakan
sebagai penyebabnya. 

Padahal, pembangunan infrastruktur seperti akses jalan yang besar di hutan-hutan


yang lebat dan dalam waktu yang cepat selain berakibat pada surutnya sumber gizi hewani
karena lalu lintas hewan yang terhambat, juga berakibat pada mudahnya penyebaran penyakit
dari satu cluster ke cluster yang lain akibat terbuka lebarnya akses penularan virus. Virus
yang sebelumnya bersifat endemik dalam satu daerah kemudian berkembang menjadi
epidemik yang turut menular ke daerah lain. Kemudian kurangnya tenaga medis dijadikan
penyebab timbulnya penyakit yang lagi-lagi akibat dari akses yang sulit. Padahal masyarakat
Suku Asmat sendiri memiliki tenaga medis adat setempat yang apabila diberi pendidikan
kesehatan secara benar akan dapat membantu meringankan tugas tenaga medis "modern" dan
sekaligus menjadi upaya memajukan masyarakat Suku Asmat.

Sejak tahun 1700-an, suku Asmat di Papua telah dikenal dunia dengan keterampilan
mengukirnya. Kesenian mengukir di asmat merupakan aktualisasi dari kepercayaan terhadap
arwah nenek moyang yang disimbolkan dalam bentuk patung serta ukiran. Namun dalam
perkembangannya, ukiran-ukiran, salah satunya patung khas Asmat digemari di luar negeri.
Budaya mengukir di Asmat lahir dari upacara keagamaan. Di sebagian daerah, sebuah
upacara menghendaki adanya pemotongan kepala manusia dan kanibalisme guna
menenangkan arwah nenek moyang. Untuk menghormati arwah nenek moyang, mereka
membuat patung-patung yang menyerupai arwah nenek moyang tersebut, khususnya yang
datang dalam mimpi. Lambat laun, kepercayaan ini menjadi tradisi mengukir dan memahat
patung kayu.
Pada mulanya, patung-patung dibuat secara kasar dan setelah digunakan dalam upacara
agama tertentu lalu ditinggalkan di dalam rawa. Ini sebagai wujud para arwah yang tinggal
untuk menjaga hutan sagu dan pohon palem yang merupakan sumber makanan utama
masyarakat Asmat.
Namun demikian, kejayaan ukiran Asmat yang asli dari buah tangan putra asli secara
perlahan mulai pudar bersamaan dengan munculnya pemalsuan ukiran Asmat di sejumlah
wilayah di Indonesia. Lihat saja di Bali, Yogyakarta, Jepara, dan di daerah-daerah lain, di
mana ukiran-ukiran khas Asmat dengan mudah dapat ditemukan di daerah-daerah tersebut.
Di masa jayanya, para turis, baik asing maupun domestik, kolektor, seniman, dan
pencinta ukiran harus mengunjungi Asmat untuk mendapatkan ukiran atau patung asli.
Namun dimulai sejak tahun 2000-an, mereka tidak lagi datang ke Asmat. Selain biaya yang
cukup tinggi, mereka bisa mendapatkan patung Asmat dengan datang ke Jawa dan Bali.
Apalagi ukiran Asmat di daerah-daerah tersebut sangat mirip dengan aslinya yang dibuat
pengrajin dari Asmat sendiri.
Tentunya dalam hal ini, masyarakat Asmat sudah mengalami kerugian, baik dari sisi
bisnis maupun kekayaan intelektual. Apalagi para pengrajin di Asmat tidak tahu bagaimana
proses mendapatkan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) atas keterampilan itu. Jadinya
karya mereka dengan mudah ditiru di berbagai tempat di Tanah Air. Padahal ukiran itu
memiliki sejarah dan asal-usulnya.
Sejak era kolonial Belanda, patung Asmat yang tadinya dinilai sebagai benda primitif
dan wujud kepercayaan terhadap arwah-arwah jahat, pada akhirnya menjadi terkenal dan
disimpan di sejumlah museum di dunia. Nilai patung Asmat setingkat dengan barang-barang
hasil seni Eropa dan hasil kebudayaan yang tinggi dari daerah Sungai Nil, Eupharathes,
Gangga, dan Indus.
Saat ini, penduduk Asmat masih membuat ukiran secara kecil-kecilan untuk dijual atau
digunakan untuk upacara ritual. Namun demikian kualitas ukiran tetap tinggi sesuai standar
kualitas dan nilai seni internasional.
Sayangnya, sejumlah pemahat Asmat dari generasi berikutnya semakin mengedepankan
motif ekonomi. Mematung sekadar untuk mencari uang sehingga patung yang dihasilkan pun
bagai masakan tanpa cita rasa.
Akan tetapi, sisi positif pergesekan dengan dunia luar adalah makin berkembangnya
seni patung Asmat sehingga melahirkan kreasi baru yang semakin rumit. Para wisatawan dan
kurator juga merangsang para pemahat untuk membuat pahatan yang lebih mudah dibawa
bepergian dan dibuat dari bahan kayu yang lebih keras.
Bahan kayu yang lebih keras juga memungkinkan pemahat membuat pahatan yang
lebih lembut sehingga sebuah karya menjadi detail. Para pemahat generasi Primus Oambi pun
mulai berkenalan dengan kertas ampelas atau kikir meski lem kayu tetap diharamkan dalam
seni patung Asmat.

Anda mungkin juga menyukai