Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MATA KULIAH ETIKA PROFESI

Norma Hukum tidak tertulis di dalam masyarakat Sumbawa


( DosenPengampuh : Yuli Laraeni, SKM, MPH. )

Oleh :

Wiwin putri adekayanti


P07131119042
Tingkat III A Semester 5

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN GIZI
2021
PENDAHULUAN

Maladi (2010) menyatakan bahwa hukum adat Indonesia dipandang sebagai


sumber pembentukan hukum nasional karena merupakan perwujudan dari hukum
asli bangsa kita. Sopian (2015) menyatakan bahwa hukum adat terbukti memberikan
perlindungan kuat terhadap hak kebendaan dan dapat mengatasi konflik secara
efektif, terutama dalam sebuah komunitas kecil yang homogen. Selain itu, hukum
adat memberikan akses yang lebih besar, lebih fleksibel, dan memiliki legitimasi
yang kuat dalam proses rekonsilitasi diantara para pihak yang bersengketa. Dengan
demikian, hukum adat samawa berpedoman pada adat dan budaya (‟urf) yang
merupakan sebagai salah satu sumber hukum masyarakat Sumbawa. Maka sumber
hukum adat samawa bersumber pada Al-Quran dan Sunah (Zuhri, 2016:72). Adapun
yang menjadi pedoman hidup masyarakat samawa dalam menerapkan hukum adat
samawa dengan mengikuti syarat: 1) Adat tersebut harus secara umum dipraktikkan
oleh masyarakat atau sebagian tertentu dari masyarakat; 2) Adat harus menjadi
kebiasaan pada saat ditetapkan sebagai rujukan hukum; 3) Adat batal tatkala
bertentangan dengan sumber utama hukum Islam (Al-Qur‟an dan Al-hadist); 4) Jika
terjadi perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum jika tidak ada pihak
yang menolak adat tersebut.
PEMBAHASAN

A. Hukum Adat Samawa


Tau samawa asal kata dari Tau yang berarti orang, dan Samawa adalah nama
lain dari Sumbawa. Jadi Tau samawa adalah orang yang menempati atau
masyarakat yang menempati pulau sumbawa,tau samawa juga adalah sebuah suku
yang mendiami pulau sumbawa. Samawa adalah sebutan yang biasa digunakan
oleh penduduk lokal untuk Sumbawa. Berubahnya kata samawa menjadi Sumbawa
lebih dipengaruhi oleh penjajahan belanda pada masa lampau tepatnya pada jaman
kolonial Belanda. Penjajah belanda meyebut Samawa dengan kata Zhambava dan
seiring waktu dan juga penyebutan dengan lidah Indonesia Zhambava menjadi
sumbawa, sama halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia seperti Jawa
menjadi Java.
Budaya dan agama dalam masyarakat Sumbawa memiliki makna yang
sangat penting, yang oleh masyarakat Sumbawa digunakan sebagai pedoman
hidup, dalam konteks adat dan budaya (’urf) juga merupakan sebagai salah satu
sumber hukum masyarakat Sumbawa. Islam berpandangan bahwa adat dapat
menjadi dasar penetapan hukum dengan perasyarat adat tersebut tidak
bertentangan dengan Al-Quran dan Sunah, (Zuhri, 2016:72) dengan syarat:
1. Adat tersebut harus secara umum dipraktikkan oleh masyarakat atau
sebagian tertentu dari masyarakat;
2. Adat harus menjadi kebiasaan pada saat ditetapkan sebagai rujukan
hukum;
3. Adat batal tatkala bertentangan dengan sumber utama hukum Islam (Al-
Qur‟an dan Al-hadist);
4. Jika terjadi perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum jika
tidak ada pihak yang menolak adat tersebut.
Masyarakat Sumbawa dalam menerapkan adat selalu menghubungkan dengan
hukum Islam, hal itu termuat di dalam Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) yaitu
Adat barenti ko syara’ syara’ barenti ko Kitabullah, ini mengandung makna bahwa
masyarakat Sumbawa, memelihara (memegang teguh) agama, maka secara
otomatis juga memelihara (memegang teguh) adat, begitu pula sebaliknya,
memilihara agama mengandung arti memelihara alam dan seisinya, dalam konteks
keislaman bahwa manusia ditakdirkan untuk menjadi khalifah, yang berkewajiban
mengelola dan memakmurkan bumi (alam semesta) secara bertangung jawab.
Sehingga setiap kegiatan dan aktivitas tau samawa (masyarakat/orang Sumbawa)
atau siapapun yang berada pada tana samawa (wilayah Sumbawa) harus
dilaksanakan dengan mengedepankan adat- istiadat dan nilai agama tau samawa
(agama orang Sumbawa).
Hukum Islam dengan hukum adat dan budaya Sumbawa tidak dapat
dipisahkan. Tradisi masyarakat Sumbawa dalam bentuk budaya dan hukum adat
dalam bahasan kajian Islam disebut dengan „Urf haruslah yang sesuai dengan
kaidah, sehingga adat tersebut dapat dijadikan sumber hukum Islam, misalnya
budaya dan adat Sumbawa yang memuliakan lingkungan (tanah), yang dalam setiap
aktivitas sehari-hari mereka selalu berinteraksi dengan tanah, karena tanah adalah
aset dan sarana memenuhi kebutuhan mereka, baik untuk bertani maupun sarana
tempat melepas (memelihara) ternak, untuk pemeliharaan lingkungan
(tanah/ekologi) manjadi hal yang sangat penting bagi masyarakat Sumbawa.
Kemudian untuk menyelesaikan konflik atau sengketa masyarakat Sumbawa
menggunakan asas musyakarah. Menurut Zuhri (2016:77) bahwa Asas musyakara
(Musyawarah) dalam falsafah Sumbawa selalu digunakan oleh masyarakat
Sumbawa dalam memutuskan seluruh permasalahan yang ada di dalam masyarakat
Sumbawa, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, nilai saling
menghormati, nilai kebenaran dan nilai musyawarah dan mufakat, yang diayomi
dengan nilai Ketauhitan akan kekuasaan Allah SWT sebagai pemilik semesta alam
dan kehidupan ini. Sehingga dalam memutuskan segala permasalahan yang ada di
dalam masyarakat selalu menggunakan metode dan cara yang islami yaitu dengan
musyakara (musyawarah dalam bahasa Sumbawa).
Musyakara ini adalah pengambilan keputusan terbaik dalam masyarakat
Sumbawa, yang mana dalam musyakara masalah dibedah secara logis dan terbuka
dengan pola komunikasi yang efektif, dengan jalan dialogis yang terbuka bagi
seluruh anggota masyarakat serta mengedepankan nilai-nilai kebenaran, karena
musyawarah ini bertujuan untuk mencari akar masalah, memecahkannya secara
logis dan bertnggung jawab, kemudian dicari sumber rujukan dalam Al-Qur‟an dan
Al-hadist serta budaya dan adat istiadat Sumbawa, dari itu semua maka di
putuskanlah putusan yang terbaik untuk seluruh anggota masyarakat.
Musyakara ini biasanya dilakukan di masjid dengan melibatkan seluruh
anggota masyarakat dengan semangat kekeluargaan dan niat menuju kebaikan bagi
seluruh anggota masyarakat (kebaikan bersama). Apabila kesepakatan itu telah
tercapai maka kewajiban bagi seluruh masyarakat Sumbawa untuk melaksanakan
dan mengamankan kesepakatan yang telah menjadi konsensus bersama, dalam
budaya Sumbawa kesepakatan hukumnya sama dengan janji yang harus
dilaksanakan oleh pembuat janji, karena menurut masyarakat Sumbawa bahwa
manusia beradab atau masyarakat beradab adalah manusia yang menempati
janji (amanah). Melanggar janji merupakan satu tanda dari kemunafikan. Nabi
SAW bersabda: "Tanda orang munafik itu ada tiga; bila berbicara dia berbohong,
bila berjanji dia melanggarnya dan bila diberi amanat dia mengkhianatinya.
Namun ada pandangan lain yang membedakan antara adat istidata dengan
hukum tidak tertulus (rappang), rappang ini di masyarakat Sumbawa disebut hukum
adat. Dalam sistem budaya Sumbawa digambarkan dalam adat istiadat dan rappang
(hukum tidak tertulis. Adat istiadat muncul dari sikap tingkah laku serta
kebiasaan yang baik dan dianggap baik dalam masyarakat, sedangkan rappang
adalah hukum dan aturan yang mengatur tata kehidupan masyarakat untuk
mencapai martabat kehidupan yang diridoi Allah baik di dunia maupun diakhirat.
Rappang dibuat oleh rakyat bersama pemimpin, sedangkan adat istiadat lahir dari
kebiasaan-kebiasaan yang baik pula. (Zulkarnaen,
2011:28).
Masyarakat Sumbawa merupakan masyarakat Islam yang menjunjung tinggi
nilai- nilai Islam sehingga prinsip hidupnya selalu memegang teguh hukum-hukum
islam. Adapun konsep sendi agama yang berkembang di masyarakat sumbawa yaitu
adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan Kitabullah, adalah patokan mutlak.
Artinya tidak boleh ada pertentangan antara adat dengan ajaran agama. Dalam
keseharian kadang-kadang ada kerancuan dalam menilai dan menyikapinya. Untuk
itu perlu dipahami beberapa tingkatan adat yaitu adat yang sebenarnya adat, adat
yang diadatkan dan adat yang teradat (Zulkarnaen, 2011:28-30).
1. Adat yang sebenarnya adat
Adat yang sebenarnya adat adalah prinsip yang tidak bisa diubah-ubah.
Ketentuan- ketentuan adat yang bertentangan dengan hukum syarak tidak boleh
dipakai, dan hukum syaraklah yang harus dominan. Sandaranya terletak pada
Sunnah Nabi Muhammad saw. dan Alquran. Adat yang sebenar-benarnya adat
terlihat pada siklus hidup manusia Samawa, mulai dari lahir, kanak-kanak,
dewasa, kawin, melahir anak sampai kepada meninggal dunia dan bagaimana dia
mengisi kehidupannya harus bersandar pada sunnah. Seluruh sikap dan tingkah
lakunya harus tertuntun sesuai dengan kaidah-kaidah baku Qurani yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad.
Dalam tatanan kemasyarakat pola kehidupan seperti itu diatur dan diterapkan
mulai dari lembaga keluarga sampai dengan lembaga lebih luas cakupannya
yaitu pemerintah. Dalam hal ini jangan kacaukan pengertian adat istiadat dengan
upacara adat. Karena adat tatanan nilai yang membimbing sikap tingkah laku
individu dan kelompok yang membawanya kepada kehidupan masyarakat. Jadi
adat yang sebenarnya adat tidak mungkin akan dapat berubah sepanjang
pengemban amanah adat istiadat itu masih menyakini dan menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur berdasarkan keyakinannya. Keyakinan itu menempatkan
seseorang pada salah satu dimensi ruang masa kini di dunia dan masa datang di
akhirat kelak
2. Adat yang diadatkan

Adat yang diadatkan adalah kebiasaan yang diadatkan oleh pemimpin maupun
penguasa pada suatu kurun waktu tertentu, dan terus berlaku sampai jika diubah
oleh penguasa berikutnya. Kalau boleh diibaratkan sebagai peraturan
pelaksanaan dari adat yang sebenarnya. Contoh sederhana dari adat yang
diadatkan adalah peringatan mauludan maupun kebiasaan-kebiasaan masyarakat
dalam bulan Ramadhan. Pola penyelenggaraannya boleh berbeda-beda sesuai
potensi masing-masing daerah, namun intinya tidak berubah.
3. Adat yang teradat

Adat yang teradat merupakan consensus bersama yang dirasakan cikup baik
sebagai pedoman bersikap menghadapi suatu masalah atau peristiwa.
Consensus itu dijadikan pegangan bersama, lalu menjadi kebiasaan yang turun
temurun. Kebiasaan-kebiasaan itu berkembang dan terus menemukan bentuknya
menurut tata nilai yang bergeser. Karena itu adat yang teradat ini mungkin saja
bisa berubah-rubah sesuai dengan nilai- nilai yang berkembang kemudian. Adat
yang teradat inilah yang popular kita kenal sebagai tradisi.

Perbedaan antara adat dan hukum (Rappang). Rappang mengacu kepada


Sunnah Rasul dan Alquran, sedangkan adat adalah tata kebiasaan yang dianggap
baik sesuai masanya tetapi tidak bertentangan dengan rappang (Zulkarnaen,
2011:36). Ia juga menjelaskan bahwa hukum (rappang) ini pernah digunakan oleh
kerajaan Sumbawa, dimana di tuliskan dalam “buk” (naskah kuno) yaitu transisi masa
kerajaan ke kerajaan Islam bahwa riba yang berkembang sebelumnya di kalangan
penguasa dilarang oleh islam sehingga dalam maklumat sangat menekan raja untuk
menjalankan roda ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Demikian pula pada
aspek-aspek kehidupan yang lain. Kemudian berdasarkan sejarah adat istiadat dan
tata kehidupan tana samawa mendapat titik terang pada abad ke-17, ketika Tuan
Syarif Maulana Ali dari Bnaten bersama Tuan Faqieh Ismail yang memperkuat
Hukum Kitab dan Hukum Adat (Zulkarnaen, 2011:37).
Senada juga dengan pernyataan Hasanuddin yang bertugas di lembaga adat
tana samawa yaitu Wakil Ketua Pajadu Adat dan Sekretaris Dewan Kehormatan
Adat (Pengurus Pemberian Gelar Adat) Lembaga Adat Tana Samawa (LATS)
menguraikan bahwa:
“hukum adat di tempat kita secara lisan, kalau tertulis akan kaku maksudnya
kalau bertentangan dengan aturan Negara maka hukum adat tersebut tidak
bisa diterapkan karena Sumbawa bagian dari Indonesia, karena dia juga fleksibel
sesuai dengan kondisi-kondisi tertentu harus ada penyesuaian dalam pandangan
landasan agama tidak bertentangan dengan agama dengan mengacu pada
lawas mana manis puling lalo agama bari baruji`na suri` lalom ba dengkel
(kalau bertolak belakang dengan nilai-nilai agama maka hukum tersebut tidak bisa
digunakan maka hukum adat yang dilakukan harus mengacu kepada kitabullah
apakah ada pertentangan ataukah tidak bertentangan) jadi dihukum kita harus
kembali kepada kitab-kitab al-qur`an. Karena masyarakat samawa itu masyarakat
yang egaliter atau terbuka untuk siapapun”. (Hasil Wawancara, tanggal 18 Juli 2017)

Uraian di atas menunjukkan bahwa hukum adat Sumbawa sebenarnya tidak


tertulis akan tetapi bersifat secara lisan, hal ini sesuai dengan adat yang digunakan
masyarakat sumbawa dalam kehidupan sehari-hari yakni menjunjung tinggi sikap
patriotisme kepada Negara Kesatuan Republic Indonesia dengan mengabdi
kepada negara dan bangsa Indonesia. Kemudian sikap dan tingkah laku
masyarakat Sumbawa menyesuaikan diri dengan syariat-syariat islam terutama
mengatur pola kehidupan, tata krama, bergaul, kerkomunikasi dan mengatur
hubungan manusia dengan lingkungannya. Itulah semua mengacu kepada
penjelasan al-qur`an dan sunnah rasul. Apabila hukum adat bertentangan dengan
kitab suci maka hukum adat tersebut tidak berlaku, namun hukum adat tersebut
akan dikombinasikan antara fakta dan nyata yang berdasarkan al-qur`an dan
sunnah rasul atau kitab suci.
B. Prinsip Hidup Masyarakat Samawa yang Multikultural
Prinsip hidup yang berlaku pada masyarakat Samawa yang bernilai
multicultural mengacu kepada lawas atau syair kuno samawa, adapun lawas
tersebut adalah sebagai berikut:
mana tau barang kayu
lamin to sanyaman ate
banan si sanak parana
Terjemahan
Meskipun manusia dan benda
lainnya
Jika mampu memberi rasa
bahagia
Itulah saudara kita

Makna lawas di atas menunjukkan bahwa masyarakat Sumbawa sangat


toleransi dengan tidak membeda-bedakan etnis, budaya, agama semasih orang-
orang tersebut mampu menjaga keharmonisan dan mampu memberikan
kesejahteraan maupun kebahagian baik kepada masyarakat Sumbawa maupun
masyarakat etnik lain yang berada di Sumbawa adalah saudaranya. Lawas Samawa
tersebut berfungsi untuk menjaga hubungan persaudaraan sesama masyarakat
Sumbawa, baik penduduk asli Sumbawa maupun pendatang yang tinggal di tanah
Sumbawa dan juga memiliki berbagai etnik yang berbeda-beda.
Makna lawas tersebut sejalan dengan pendapat Zulkarnaen (2011:95)
menyatakan bahwa Sumbawa selama ini adalah Indonesia mini yang pancasilais,
tanpa pernah ada sentiment suku, ras, dan agama (SARA), karena orang
sumbawalah yang paling toleran terhadap siapapun yang datang. Pasti ada
konspirasi yang ingin menjatuhkan nama Sumbawa, atau stidak-tidaknya ingin
menjatuhkan nama baik saya selaku pemimpin daerah demi reputasi pribadinya
sendiri.
Demikian juga dengan istilah dari takut ko nene` kangila buat lenge` yang
berarti takut berbuat jahat dan takut kepada Allah (Hasanuddin, wawancara,
tanggal 18 Juli 2017). Prinsip itulah yang digunakan sebagai pegangan hidup
masyarakat Sumbawa yang bermakna bahwa malu berbuat jahat, jika berbuat jahat
pasti ada Allah swt atau Tuhan yang melihatnya setiap perbuatan baik perbuat yang
kecil maupun besar. Juga makna lain yaitu yang kecil menghormati kepada yang
besar. Jadi hukum adat Sumbawa merupakan aturan hukum yang mengatur pola
hidup masyarakat baik social, ekonomi, budaya, politik dan lingkungan.
Hal tersebut sesuai konsep hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang
benar- benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat yang
terintegrasi di dalam kehidupan masyarakat sebagai pembimbing, pengarah pola
perilaku kehidupan masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan pola social budaya
yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. (LATS, 2016:11). Kemudian
dasar hukum adat Sumbawa terdapat pada:
a. Permendagri Nomor 3 tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian
serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan lembaga adat di
daerah.
b. Inmendagri Nomor 15 tahun 1998 tentang petunjuk pelaksanaan pemberdayaan
dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan
lembaga adat di daerah.
c. Peraturan daerah kabupaten Sumbawa, Nomor 33 tahun 2007 tentang lembaga
adat.

Selain itu, ada prinsip yang tidak boleh diganggu oleh orang lain tentang jati
diri tau samawa (orang sumbawa). Prinsip yang dipegang teguh masyakat Sumbawa
adalah
1. Jangan ganggu agama
2. Jangan ganggu keluarganya dalam hal ini wanita
3. Jangan ganggu hartanya

Prinsip tersebut menandakan symbol kekuatan masyarakat Sumbawa untuk


menjaga harkat dan martabat sebagai manusia yang berakal, berbudi, berbudaya
dan beragama. Prinsip hidup ini jika digoyahkan atau dicuri serta diganggu maka
akan menimbulkan konflik atau sengketa. Misalnya kalau agama dijadikan alat untuk
menghancurkan seseorang maka agama lah menjadi pemicu utama dan akan
melahirkan konflik baru. Demikian juga dengan keluarga atau kekerabatan dan
harta neda lainnya. Akan tetapi jangan khawatir tau samawa ini memiliki sikap
yang egaliter dan terbuka untuk siapa saja yang penting seseorang terserang
tersebut mampu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan itulah saudaramu.
Untuk menjalankan hukum adat Sumbawa, masyarakat Sumbawa memiliki
lembaga adat yaitu Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) dan bertugas membantu
pemerintah daerah dalam pengembangan pembangunan baik di bidang agama dan
adat istiadat, hukum adat, sejarah dan kebudayaan daerah, bahasa dan sastra
daerah, kesenian dan permainan daerah, lingkungan hidup, hubungan masyarakat
dan kesejahteraan social, pendidikan dan penelitian dan pengembnagan, busana
dan upacara adat, usaha dan ekonomi rakyat, sarana dan prasarana budaya,
pagar adat, hubungan antar etnik dan budaya, dan publikasi informasi dan
komunikasi (LATS, 2016:13).
Tujuan majelis adat Sumbawa adalah sebagai berikut:
1. Melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai budaya local Sumbawa
2. Melindungi dan memelihara harta kekayaan adat istiadat Sumbawa, yang
mempunyai nilai sejarah baik bergerak maupun tidak bergerak.
3. Melakukan upaya pengembangan budaya dan adat istiadat Sumbawa yang
terencana, terpadu dan perarah.

Majelis adat Sumbawa ini memiliki tujuan yang sangat penting karena
mengembalikan nilai-nilai adat istiadat dan hukum adat yang berkembang pada
masa kerajaan Sumbawa beberapa abad yang lalu. Terutama melestarikan dan
mempertahankan budaya local Sumbawa sebagai budaya asli yang berfungsi untuk
menopang ajaran globalisasi sehingga budaya local Sumbawa tetap di gunakan
sebagai pola hidup masyarakat Sumbawa di era globalisasi sekarang ini. Untuk
mengembangkan tujuan majelis adat tersebut memiliki fungsi yang terarah.
Fungsi majelis adat Sumbawa mampu menghimpun segala urusan masyarakat
Sumbawa. Adapun fungsi tersebut, yakni:
1. Menghimpun, merumuskan, menyampaikan dan mempertahankan aspirasi
Tau dan Tana Samawa
Majelis adat samawa dalam menghimpun segala kebutuhan masyarakat
Sumbawa baik kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya dilakukan dengan cara
musyakarah. Selanjutnya aspirasi tersebut akan dirumuskan sesuai dengan
kebutuhan dan efisiensi kinerja majelis adat tana samawa. Sementara dalam
menyampaikan aspirasi tersebut lembaga adat akan menyampaikan kepada
pemerintah daerah untuk ditindak lanjuti untuk menyelesaikan permasalahan
yang muncul, misalnya jika terjadi kasus pelanggaran pidana berat maka
akan dilimpahkan kepada pihak penegak hukum dan aparat kepolisian serta
pengadilan negeri setempat untuk menanganinya. Sementara kalau kasus social
dan asusila maka akan diselesaikan secara kekeluargaan, jika terbukti maka
akan diberikan sanksi adat berupa dikeluarkan dari kampung. Untuk
mempertahankan adat istidat samawa majelis adat berusaha melakukan
sosialisasi kepada masyarakat di tanah Sumbawa secara kontinu.
2. Mendidik, mencerdaskan dan menyadarkan rakyat tentang hak dan
kewajibannya sebagai Tau dan Tana Samawa
Majelis adat Sumbawa memiliki tugas untuk mendidik masyarakat Sumbawa
mulai di tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tertinggi untuk memberikan
pemahaman dan pelatihan tentang hukum adat Sumbawa, adat istiadat dan
budaya sumbawa secara berkala agar masyarakat Sumbawa mengetahui secara
lebih dini. Majelis adat juga membentuk kelompok social sebagai tempat
berkumpul dan menyampaikan aspirasi masyarakat baik masyarakat Sumbawa
yang beretnik bali, etnik sasak, etnik bima, etnik bugis dan lainnya untuk
diberikan pemahaman antara hak dan kewajiban sebagai masyarakat tana
samawa.
3. Sebagai filterisasi budaya asing
Adat istiadat samawa menjadi alat untuk menfilterisasi penguaruh budaya
asing yang masuk pada masyarakat Sumbawa terutama di bidang social, ekonomi,
budaya, dan teknologi informasi. Cara untuk mempertahankan budaya sendiri yaitu
melestarikan budaya, dan perilaku sesuai dengan budaya local dengan berpedoman
pada adat barenti ko syara’ syara’ barenti ko Kitabullah. Sebagai masyarakat
Sumbawa wajib memelihara (memegang teguh) agama, juga memelihara
(memegang teguh) adat, sebagai pedoman hidup dalam berilaku sesuai
perkembangan jawab.
Keberagaman yang dimiliki tau samawa menjadikan Sumbawa sebagai
salah satu daerah yang multicultural tinggi karena memiliki berbagai macam
etnis, budaya, suku, dan agama yang hidup saling berdampingan tanpa saling
bentrok. Untuk menjaga hubungan social antar etnis di tau Samawa, maka majelis
adat Samawa membentuk Paboat (badan pelaksana adat) hubungan antar etnik.
Paboat ini bertugas mengawasi dan menjaga kerukunan umat beragama. Ada 19
etnis yang tersebar diseluruh wilayah Sumbawa, adalah sebagai berikut:
1. Etnis Samawa
2. Etnis Sasak
3. Etnis Mbojo
4. Etnis Bali
5. Etnis minang
6. Etnis Jawa
7. Etnis Madura
8. Etnis Kalimantan
9. Etnis Tionghoa
10. Etnis Bugis
11. Etnis Makassar
12. Etnis Mandar
13. Etnis Papua
14. Etnis Toraja
15. Etnis Sumba
16. Etnis Ambon
17. Etnis Luwu
18. Etnis Bantar
19. Etnis Sunda

Kelompok etnis ini, memiliki pengurus yang resmi yaitu kelompok


paguyuban etnis, seperti Forum Kerukunan Kristen Sumbawa (FKKS), Rukun
Keluarga Bima Sumbawa (RKBS), dan lainnya. Untuk mempertahankan keutuhan
Negara, majelis adat Samawa menugaskan dan memerankan tokoh-tokoh forum
kerukunan umat beragama untuk tetap mengawasi masyarakat sesuai etnisnya
dengan cara menjaga, mengingatkan kepada warganya untuk taat pada hukum adat
Samawa.

KESIMPULAN
Jadi, prinsip hidup masyarakat samawa mengacu pada lawas samawa
yaitu mana tau barang kayu, lamin to sanyaman ate, banan si sanak
parana (meskipun manusia dan benda lainnya, jika mampu memberi
rasa bahagia, itulah saudara kita). Kemudian yang menjadi dasar hukum
adat samawa adalah adat barenti ko syara` ke syara` barenti ko
kitabullah (adat Sumbawa berpedoman pada syariat, syariat yang
berpedoman kepada kitabullah yaitu al-qur`an dan sunnah rasul). Pola
hidup masyarakat Sumbawa sebagai daerah multikultural yaitu
1. toleransi selalu ada pada penduduk asli maupun pendatang;
2. masyarakat pendatang harus tahu diri tentang hukum adat
Sumbawa yang berpinsip pada mana tau barang kayu lamin to
sanyaman ate banan si sanak parana (dia datang dari suku
manapun, ras manapun, etnis manapun, agama manapun jika
mampu memberi rasa bahagia itulah saudara kita);
3. komunikasi harus dijaga antara penduduk asli dengan pendatang;
4. kalau sudah ada di tanah samawa harus meluluhkan dirinya menjadi
orang Sumbawa;
5. toleransi orang sumbawa tinggi dan egaliternya terbuka. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa peran hukum adat Samawa
dapat dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Indonesia yang
multikultural.

Anda mungkin juga menyukai