Anda di halaman 1dari 8

Dialog Sains dan Agama: Upaya Manusia Beriman Memahami Misteri Kosmos

1. Pengantar

Hampir dalam semua kebudayaan yang pernah tercatat oleh sejarah, dapat kita temukan
upaya untuk memahami misteri eksistensi guna menjawab, “Darimana kita datang dan kemana
kita akan pergi?” Isu-isu kosmologis misalnya terdengar dalam gema pencarian tertua manusia
di Epik Bugis, I La Galigo, yaitu kisah asal penciptaan dan kediaman para dewa serta
keturunannya di bumi. Di sini tampak orang haus akan Tuhan ketika melihat keberadaan
dirinya. Seiring perkembangan pemahamannya, lama-kelamaan kerinduan ini membawa
manusia untuk berdialog dengan ilmu-ilmu alam.

Sains, sejak abad ke-16, sudah memberi perhatian pada kerinduan itu. Ironisnya, manusia
modern terkadang menyerahkan pergulatan untuk memahami misteri keberadaannya sendiri ke
tangan para ahli. Akibatnya, kerinduan mereka yang menggetarkan itu hanya berujung pada
kumpulan definisi dan objek mental yang selalu berkembang dan berubah-ubah hasil pencarian
para ilmuwan kosmologi. Mereka menantikan sebuah jawaban atas pertanyaan, “Mampukah
Kosmologi memenuhi kerinduan spiritual manusia dengan memberikan ultimate explanation
mengenai Kosmos?” Jawaban itu dinanti-nantikan supaya bisa menjadi pengisi kekosongan atas
kehampaan dan kenestapaan yang ditanggung manusia.

Makalah ini mencoba memberikan pembahasan ringkas mampukah kosmologi


memberikan jawaban atas pertanyaan di atas yang terus hadir dalam benak manusia? Jika tidak,
bagaimanakah upaya dialog antara sains dan agama agar bisa memberikan makna lebih penuh
bagi manusia ketika menjumpai realitas kosmos yang demikian? Oleh karena topik sains dan
agama cukup luas, makalah ini akan difokuskan bagaimana iman akan penciptaan diselaraskan
dengan asal-usul semesta dan evolusi biologis.

2. Auto-Organisasi Alam Semesta


Seorang ahli astro-fisika Hurbert Reeves bertanya, “Apakah kosmos ini mempunyai suatu
makna (atau direksi)?” Konsep makna disini menyangkut dua pengertian yaitu signifikansi dan
arah.1 Kata kosmos yang memunculkan kata kosmologi berasal dari bahasa Yunani untuk
menggambarkan keteraturan dan keselarasan benda-benda langit. 2 Dalam kajian filsafat

1
Louis Leahy, “Sains dan Pencairan Makna,” Diskursus Vol. 4, No.1 (2005): 1.
2
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan,” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam
dan Manusia, diedit oleh Zainal Abidin Bagir, Liek Wilardjo, Arqom Kuswanjono, dan Mohamad Yusuf
(Yogyakarta: Program Studi dan Lintas Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana, UGM, 2007), 64.
1
Christian Wolff di abad ke-18, objek-objek kosmologi tidak secara a priori dibatasi benda
fisika-kimia dan biotik, tetapi juga manusia dan kosmos yang dialami manusia.
Proses pencarian makna secara serius bisa ditengarai sejak Aristoteles, Ptolomeus (abad
ke-2), sampai Galileo. Jika Aristoteles memiliki gagasan bahwa mengenai keabadian Langit dan
kefanaan Bumi, maka Galileo dalam Letter on Sunspots (1613) mengemukakan bahwa noktah-
noktah hitam di permukaan Matahari bergerak dan muncul-hilang secara teratur.3 Demikian apa
yang digagas Aristoteles gugur. Namun sejak tahun 1965, diskusi asal usul kosmos berubah
lagi. Hal itu misalnya diperlihatkan dengan teori Big Bang sebagai model kosmos berevolusi.
Teori ini hendak menunjukkan bahwa alam semesta sendiri mempunyai daya luar biasa dalam
kemunculannya dan evolusi kehidupan. Big Bang berintikan skenario mengenai kosmos yang
mengembang dan mendingin, tetapi tidak memaparkan bagaimana dan mengapa proses itu
bermula.4 Pemunculan dan pemuaian ruang yang membawa serta materi-energi belum juga
berhenti sampai sekarang.
Dengan dimulai tiga menit setelah dentuman besar, Big Bang menandai konstruksi sejarah
awal mula kosmis. Ketika itu, proton dan neutron tergabung membentuk inti atom, dan baru
lima ratus ribu tahun kemudian atom muncul. Satu milyar tahun sejak awal mula itu, galaksi-
galaksi dan bintang-bintang terbentuk, dan kemudian 10 milyar tahun lagi terbentuklah planet-
planet. Kemudian, bumi mulai mendingin dan cairan air muncul 3,8 milyar tahun yang lalu,
hampir secara langsung diikuti atom-atom pertama kehidupan bakteri dan alga fotosintesis.
Lalu, atmosfer bumi menjadi transparan dan fotosintesis menghasilkan atmosfer yang kaya
oksigen. Karena itu, bentuk-bentuk mikroskopik kehidupan mulai tampak dalam planet kita, dan
evolusi biologis mulai berjalan secara gradual, tidak sekali jadi.5
Model Big Bang sendiri berhasil berhasil mendudukkan diri sebagai paradigma kosmologi
modern yang berdiri kokoh di atas data empiris. Namun demikian, ia masih menyisakan
pertanyaan seputar bagaimana kawasan kosmos teramati bisa dibanjiri radiasi bersuhu sama,
ketika mereka tak saling berhubungan.6 Padahal radiasi ini terkait dengan pembentukan proton
dan neutron yang tergabung membentuk inti atom. Skala neutron di alam semesta secara
kebetulan bisa dengan pas lebih besar daripada proton sehingga neutron dapat meluruh menjadi

3
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan,” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam
dan Manusia, 43.
4
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan,” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam
dan Manusia, 54.
5
Bdk. deskripsi Ilmiah Penciptaan Alam dan isinya (Schroeder, 1997). Etty Indriati, “Waktu dan Evolusi Biologis.”
dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam dan Manusia, diedit oleh Zainal Abidin Bagir, Liek
Wilardjo, Arqom Kuswanjono, dan Mohamad Yusuf (Yogyakarta: Program Studi dan Lintas Budaya (CRCS)
Sekolah Pascasarjana, UGM, 2007), 96.
6
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan,” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam
dan Manusia, 72.
2
proton untuk menghasilkan hidrogen dalam jumlah besar. Hidrogen adalah salah satu bahan
baku bintang-bintang untuk menghasilkan reaksi fusi nuklir. Artinya, jika massa neutron lebih
kecil dari massa proton, maka alam semesta tidak akan dapat membentuk bintang. Tanpa adanya
bintang, segala keajaiban di alam semesta tidak mungkin terjadi.
Di tahun 1981, Stephen Hawking menguraikan gagasannya mengenai teori kuantum
gravitasi yang jika berhasil diformulasikan untuk bekerja pada batas kuantum akan menghapus
singularitas.7 Kosmos ada, ruang-waktu tak berhingga, tetapi tak ada penciptaan. Kosmos hadir
begitu saja dari fluktuasi kuantum. Dalam ungkapan Alan Guth, yang melahirkan model inflasi
kosmos, kosmos sepenuhnya ‘makan siang gratisan’.8 Maksudnya adalah alam semesta dapat
mengurusi dirinya sendiri, termasuk terjadinya.9 Ditengah pemahaman seperti itu, masihkah
konsep Tuhan sang Pencipta mempunyai tempat?
Menghadapi itu Hubert Reeves mencatat, “Satu-satunya masalah yang sejati adalah
eksistensi alam semesta sendiri.”10 Bagaimana realitas itu muncul memang menjadi bahan riset
ilmiah. Namun, pengetahuan bahkan konsep mengenai syarat awal masih kosong. Pendekatan
Hawking dan Guth tak lain merupakan pendekatan untuk mengatasi syarat awal. Dengan kata
lain, syarat batas kosmos adalah ‘tak bersyarat’. 11 Sementara itu, Alexander Vilenkin
merumuskan melalui mekanisme kuantum, lahirlah kosmos yang sekarang. Ini berarti kosmos
adalah semata-mata buah peristiwa kebolehjadian kuantum serupa peluruhan radioaktif.12
Pendekatan-pendekatan di atas mungkin akan memaksa para teolog mengubah
pandangannya. Ketika kosmos mencukupi dirinya sendiri dan terjelaskan oleh teori ilmiah serta
proses acak kuantum, kosmos tak memerlukan apapun di luarnya untuk mengadakannya. Ide
bahwa ‘penciptaan’ merupakan konsekuensi dari hukum-hukum fisika dan tak ditemukannya
syarat awal memaksa para teolog untuk memberikan jawaban.
Demikian juga tantangan itu datang ketika evolusi biologis secara spektakuler mampu
dipahami dengan penemuan struktur DNA (Deoxyribonucleic Acid) sebagai materi herediter
yang berisi kromosom-kromosom pada tiap-tiap inti sel yang menjadi sebuah pesan genetis
untuk mendirikan makkhluk hidup unik dan orisinal.13 Pesan itu mengandung prinsip

7
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan,” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam
dan Manusia, 57.
8
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan,” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam
dan Manusia, 57.
9
J. Sudarminta, “Sains dan Masalah Ketuhanan,” Diskursus Vol. 1, No.1 (2002): 42.
10
Louis Leahy, “Sains dan Pencairan Makna,” 6.
11
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan,” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam
dan Manusia, 60.
12
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan,” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam
dan Manusia, 60.
13
Etty Indriati, “Waktu dan Evolusi Biologis.” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam dan
Manusia, 102; Louis Leahy, “Sains dan Pencairan Makna,” 8.
3
reduksionisme biologis dimana kehidupan dihasilkan oleh informasi DNA bukan sebaliknya.
Akhirnya, prinsip ini menghantarkan pada keyakinan bahwa perjalanan panjang makhluk hidup
tak membutuhkan campur tangan sesuatu di luar dunia ini. Apa yang terus menerus diperbarui
dan digantikan dalam hidup adalah kumpulan atom-atom dan molekul-molekul yang masuk
dalam susunan makhluk hidup. Proses berlangsung sangat lama secara acak dan hasil yang
didapat sekarang ini adalah sebuah kebetulan. Dengan demikian, tak ada tujuan di semesta ini
karena manusia hadir melalui proses acak semata. Tanpa hadirnya penjelasan yang lebih luas
dan dalam daripada penjelasan biologi, eksistensi manusia kehilangan makna.
3. Kemahakuasaan dan Kedaulatan Tuhan dalam Dunia yang Berjalan Menurut
Hukumnya Sendiri Serta Tempat Bagi Faktor Kebetulan

Bagi orang yang percaya akan kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan, kenyataan yang
disimpulkan kosmologi bahwa dalam perjalanan panjang kosmos yang berjalan deterministik
menurut hukum alam, tetapi juga bersifat acak atau membuat unsur kebetulan tentu
menggelisahkan. Jika demikian, bagaimana hal ini dapat didamaikan dengan kepercayaan akan
Tuhan yang merancang dan mengarahkan segala sesuatu sesuai dengan finalitasnya? Pertanyaan
yang berkaitan dengan gagasan kemandirian alam itu bisa ditanggapi melalui kacamata iman
dengan dukungan rasionalitas.14 Pertama, pilihan kemungkinan yang dibiarkan terbuka oleh teori
kuantum bukan perkara kebetulan, tetapi dikerjakan Tuhan tanpa melanggar hukum alam
sekaligus tanpa bisa dideteksi sains. Hukum alam hanya menspesifikasikan jangkauan
kemungkinannya, sedangkan Tuhan yang menentukan mana yang senyatanya terjadi. Variabel
yang masih tersembunyi bukan pada tingkat yang lebih dalam dari hukum alam yang
deterministik. Kedua, baik adanya hukum maupun faktor kebetulan merupakan rancangan
Tuhan untuk tujuan kehidupan mulia.

Bagi Arthur Peacocke, faktor kebetulan yang menyiratkan keacakan kosmos berperan
positif dalam mengeksplorasi yang masih tersembunyi.15 Namun, hal itu tetap konsisten dengan
gagasan rancangan Tuhan. Tuhan dalam hal ini tetap pemberi arah umum terhadap
perkembangan evolusi meskipun urutan setepatnya satu per satu masih tetap terbuka. Maka,
tidak benarlah jika para saintis positivistik dan ateistik berpandangan bahwa perkembangan
sains di bidang fisika menjadikan semua penafsiran teistik atas alam semesta sebagai penafsiran
yang harus ditinggalkan karena usang ditelan zaman.

14
Barbour, Ian G., When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners? (San Francisco: Harper San
Francisco, 2001), 73.
15
J. Sudarminta, “Sains dan Masalah Ketuhanan,” Diskursus Vol. 1, No.1 (2002): 43.
4
Kemahakuasaan dan Kedaulatan Tuhan mungkin perlu dirumuskan ulang berhadapan
dengan perkembangan sains. Perumusan ulang misalnya dilakukan dalam teori DNA. Dalam hal
ini, Tuhan dipahami sebagai perancang suatu proses yang mengorganisasi dirinya. Pemahaman
ini hendak memadukan konsep Tuhan sang Pencipta dengan kenyataan biologis bahwa dalam
dunia molekul-molekul sudah memiliki kecenderungan inheren untuk bergerak ke arah
kompleksitas, kehidupan, dan kesadaran. Kompleksitas dan kesadaran yang ditunjang oleh
kehidupan berguna untuk menyadari keberadaannya sebagai makhluk yang selalu terarah pada
Tuhan yang menciptakannya. Maka, jika kita memiliki pemahaman bahwa rancangan Tuhan
sudah digariskan detail oleh-Nya, maka faktor kebetulan bertentangan dengan rancangan-Nya.
Sebaliknya, jikalau rancangan dipahami sebagai pemberi arah umum dalam pertumbuhan
organisme menuju kompleksitas, kehidupan, dan kesadaran, maka baik hukum maupun faktor
kebetulan menjadi bagian integral dari rancangan-Nya.16 Hal ini meyakinkan kita bahwa dalam
hal ini Tuhan bebas memilih untuk sengaja membatasi diri demi memberi ruang kebebasan pada
penciptaan diri setiap entitas aktual.

4. Dialog Sains dan Agama: Keteraturan Penciptaan Sebagai Janji Tuhan yang
Eskatologis
Berhadapan dengan fakta kosmologi alih-alih mampu menjawab kerinduan manusia
mengapa ia ada dan apakah kosmos ada bagi keniscayaan kehidupan, kosmologi malahan
menempatkan ‘Penciptaan’ ke tepi ruang-waktu kosmologi. Reduksionisme biologi menambah
terpinggirkannya peran Tuhan karena mendasarkan diri pada naturalisme (tak ada yang
supernatural atau metafisis) sehingga menjadi fondasi ateisme. Nietzsche sendiri menyatakan
dalam The Birth of Tragedy, “as the circle of science grows larger it touches paradox at more
places.”17 Tampaknya kosmologi sebagai bagian ilmu sains berhasil mencampakkan Tuhan yang
ribuan tahun membelenggu hati dan pikiran manusia,18 menggantikan dengan alam semesta
sendiri tanpa perlu menjelaskan adanya makna.
Meskipun sains tidak dapat menjawab masalah makna dan masalah Tuhan, sains setidak-
tidaknya bisa mengorientasikan kita ke arah masalah-masalah filosofis dan teologis dengan
memberi pertanyaan untuk memperkaya pemahaman tanpa menghilangkan kekhasan masing-
masing. Misalnya pertanyaan mengapa alam semesta ada merupakan pertanyaan yang muncul
dari kajian kosmologis dan mempunyai implikasi penting bagi teologi guna merenungkan Tuhan
sang Pencipta. Kosmologi baru seperti Big Bang telah membantu untuk menunjukkan alam

16
J. Sudarminta, “Sains dan Masalah Ketuhanan,” Diskursus Vol. 1, No.1 (2002): 44.
17
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan,” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir Alam
dan Manusia, 49.
18
Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2006), 78.
5
semesta yang bersifat kontingen ini berimplikasi bahwa keberadaannya secara keseluruhan tidak
dapat menjelaskan dirinya sendiri. Begitu pula dengan proses pembentukan kosmos dalam pola
yang acak dan faktor kebetulan mengarahkan manusia beriman untuk menghayatinya sebagai
bagian integral dari rancangan-Nya. Ketidakteraturan itu dipahami sebagai keteraturan karena
Tuhan tetap berperan sebagai pengarah umum sehingga berbagai ketidakteraturan (chaotic) itu
dapat membuahkan perubahan baru dalam ciptaan yang memiliki suatu struktur
pengorganisasian tingkat yang lebih tinggi.
Kosmologi baru ternyata dapat membuka pintu dialog antara sains dan agama (teologi)
untuk merespons penemuan baru yang membawa manusia pada pertanyaan-pertanyaan asasi
yang tidak dapat dijawab sains sendiri. Temuan-temuan dalam kosmologi baru telah membawa
kita ke pertanyaan-pertanyaan yang membuat iman akan adanya Tuhan sang Pencipta alam
semesta sebagai hal yang masuk akal. Ketika manusia dihadapkan pada proses kelahiran kosmos
yang seakan-akan semua terjadi secara diatur, sampai ke dalam detail-detail yang terkecil agar
dapat muncul suatu kosmos yang mendukung kehidupan makhluk hidup juga utamanya
manusia, sungguh masuk akal bahwa rancangan itu berasal dari Yang Maha Agung.
Maka, satu-satunya alasan mengapa dunia itu ada daripada tidak ada tidak dapat lain
kecuali cinta dan kemurahatian Tuhan yang tergambar dalam karya penciptaan yang
berlangsung terus-menerus sepanjang sejarah kosmik maupun manusia. Ajaran Kitab Suci
tentang penciptaan dalam kitab Kejadian19 adalah sumber untuk memahami siapa Tuhan dalam
rangka menjawab teori yang bisa memadukan tentang gagasan keterpahamian (intelligibility)
kosmos yang diandaikan oleh para ilmuwan. Kisah penciptaan sendiri bermaksud
menyampaikan pengalaman iman yaitu20 pertama, dunia itu pada hakikatnya baik, tertata, dan
koheren. Kedua, dunia tergantung pada Tuhan sebagai pencipta. Ketiga, Tuhan itu berdaulat,
bebas, transenden, dan memiliki maksud dan kehendak dalam karya penciptaan-Nya.
Dari kisah itu, ajaran tentang penciptaan tampak selaras dengan keyakinan akan
rasionalitas, keteraturan, keterpahamian, dan kontingensi kosmos yang diasumsikan ada di balik
kegiatan sains karena sejak semula keteraturan dunia material dikehendaki Tuhan yang rasional
dan dipilih secara bebas oleh-Nya. Keberadaan dunia material yang kontingen menjadi
pernyataan bahwa Tuhan sang Pencipta berbeda secara radikal darinya sekaligus keinginan
bersekutu dalam-dalam dengannya. Jelas, bahwa penciptaan menjadi suatu jalan terbangunnya
relasi otentik antara manusia dengan Tuhan dalam rangka penyampaian karya penyelamatan-
Nya melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus.

19
Kejadian 1:1-31.
20
J. Sudarminta, “Sains dan Masalah Ketuhanan,” Diskursus Vol. 1, No.1 (2002): 38.
6
Oleh karena penciptaan berguna menegaskan relasi antara manusia dengan sang
Penciptanya, maka evolusi seluruh kosmos termasuk evolusi kesadaran manusia yang makin
meningkat bertujuan merengkuh cinta kasih abadi. Teilhard de Chardin menyebut sasaran
puncak evolusi itu sebagai Titik Omega. Dengan demikian, kita menjadi sadar bahwa dalam
evolusi ada tujuan lebih ultimit, yaitu suatu janji yang diberikan Tuhan sebagai sumber tatanan
dan kebaruan. Evolusi dengan keteraturannya sesungguhnya adalah sebuah janji yang
eskatologis dan berorientasi ke depan. Dunia dan manusia akan terus mengalami evolusi dengan
membawa transformasi diri supaya makin terarah pada Yang Tak Terbatas. Evolusi yang sulit
dan dramatis untuk menuju bentuk yang kompleks, hidup, dan berkesadaran secara religius
adalah proses untuk menyambut pemberian cinta Tuhan yang tak terbatas pada dunia dan
manusia yang terbatas. Keyakinan akan cinta Tuhan itu perlu disambut manusia sejak sekarang
sampai pada masa kepenuhannya kelak, yaitu ketika janji keselamatan dipenuhi oleh-Nya
dengan merengkuh dunia ini kembali kepangkuan-Nya.
5. Penutup
Misteri kosmos dengan evolusinya bagaimana pun juga akan membuat manusia tidak
berhenti mempertanyakan makna dirinya. Kisah penciptaan menjadi pegangan bagi manusia
beriman untuk menjangkarkan diri-Nya guna memahami bagaimana kehadiran kosmos adalah
kehadiran Tuhan sendiri yang memberikan cinta-Nya dulu, sekarang, hingga kelak. Hidup
beriman, termasuk mengimani Tuhan sang Pencipta, menuntut lebih dari sekadar apa yang
masuk akal. Hidup beriman mengandaikan suatu keputusan eksistensial yang melibatkan
kehendak bebas dan komitmen personal untuk terus mencari Tuhan sesuai dengan kebenaran
yang diimani tersebut.

Daftar Pustaka

Ian G. Barbour. When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners? San Francisco:
Harper San Francisco, 2001.
Indriati, Etty. “Waktu dan Evolusi Biologis.” dalam Ilmu, Etika, dan Agama: Menyingkap Tabir
Alam dan Manusia, diedit oleh Zainal Abidin Bagir, Liek Wilardjo, Arqom Kuswanjono,
dan Mohamad Yusuf, 91-141. Yogyakarta: Program Studi dan Lintas Budaya (CRCS)
Sekolah Pascasarjana, UGM, 2007.
Leahy, Louis. “Sains dan Pencairan Makna.” Diskursus Vol. 4, No.1 (2005).
Magnis-Suseno, Franz. Menalar Tuhan. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2006.

Sudarminta, J. “Sains dan Masalah Ketuhanan.” Diskursus Vol. 1, No.1 (2002).


Supelli, Karlina. “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan.” dalam Ilmu, Etika, dan Agama:
Menyingkap Tabir Alam dan Manusia, diedit oleh Zainal Abidin Bagir, Liek Wilardjo,

7
Arqom Kuswanjono, dan Mohamad Yusuf, 39-90. Yogyakarta: Program Studi dan Lintas
Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana, UGM, 2007.

Anda mungkin juga menyukai