Oleh:
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada banyak pertanyaan yang sering timbul tentang adanya bumi ini.
Darimanakah bumi ini? Siapa dibalik adanya bumi ini? Apakah kisah penciptaan
adalah benar atau hanyalah sebatas mitos belaka? Dan berbagai pertayaan lainnya
yang menjadi wujud keingintahuan manusia mengenai asal usulnya. Karena itu, ada
banyak teori yang muncul karena keingintahuan tersebut. Setiap orang memiliki
pandangan masing-masing karena itu mereka membuat teori-teori baru untuk
menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada diatas maka rumusan masalah dari makalah
ini adalah:
3. Bagaimana Implikasi Creation Ex Nihilio bagi kehidupan orang Kristen masa kini?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada diatas, maka tujuan penulisan dari
makalah ini adalah untuk mengetahui tentang creation ex nihilo, kajian teks dari
konsep creation ex nihilo dan implikasinya bagi kehidupan orang kristen masa kini.
2
BAB II
ISI
A. Creation Ex Nihilo
1
Harun Yahya, Penciptaan Alam Semesta, acses in gramedia-online-download-buku-
gratis.blogspot.com
3
Ex-Nihilo adalah sebuah frase Latin yang artinya “muncul dari ketiadaan”. Ini
seringkali muncul bersamaan dengan konsep penciptaan, sehingga dalam creation ex
nihilo, yang artinya “penciptaan yang muncul dari ketiadaan”, utamanya berada dalam
konteks filsafat atau teologi, meskipun juga terjadi dalam bidang lainnya. Dalam
teologi, frase umum creation ex-nihilo (“penciptaan yang muncul dari ketiadaan”),
berseberangan dengan creation ex material (penciptaan dari beberapa materi abadi
yang telah ada sebelumnya) dan dengan creation ex deo (penciptaan yang muncul dari
sosok Allah). Creatio continua adalah penciptaan Ilahi yang berlangsung. Frase ex
nihilo juga muncul dalam perumusan filsafat klasik ex nihilo nihil fit, yang artinya
“Muncul dari ketiadaan yang mendatangkan ketiadaan”. Saat dipakai di luar konteks
agama dan metafisika, ex nihilo juga merujuk kepada beberapa hal yang datang dari
ketiadaan. Contohnya, dalam sebuah konservasi, orang mengangkat sebuah topik “ex
nihilo” jika itu dianggap tak ada hubungannya dengan topik pembicaraan
sebelumnya.2
Ketidak beradaan adalah suatu keadaan ketika alam semesta dijadikan, tidak ada
sesuatu pun materi yang dipakai untuk membantu prosesnya, melainkan hanya Firman
Allah saja. Keputusan penciptaan Ilahi tidak didahulu oleh suatu bahan apa pun yang
telah ada dari macam apa pun juga. Hal ini berarti suatu keadaan tentang ketiadaan ini
meniadakan pandangan tentang adanya suatu unsur lain di luar yang Ilahi, dan yang
kemudian dipakai Allah dalam proses penciptaan. 3
Mungkinkah ada “zat dasar” yang dapat menjadi bahan untuk membuat segala
sesuatu? Jika memang ada zat semacam itu, bagaimana ia dapat tiba-tiba berubah
menjadi setangkai bunga atau seekor gajah? 4 Sekarang ini banyak orang
membayangkan bahwa pada suatu waktu sesuatu pasti muncul dari ketiadaan, gagasan
ini tidak begitu tersebar luas di kalangan orang-orang Yunani karena satu atau lain
alasan, mereka berpendapat bahwa “sesuatu” itu selalu ada. Bagaimana segala
sesuatu dapat muncul dari ketiadaan karenanya bukanlah pertanyaan yang penting
sama sekali. Di lain pihak, orang-orang Yunani takjub melihat bagaimana ikan hidup
dapat muncul dari air, dan pohon-pohon besar serta bunga-bunga berwarna cemerlang
dapat muncul dari tanah yang mati. Belum lagi bagaimana seorang bayi dapat muncul
2
https://id.m.wikipedia.org
3
Christsonjames.blogspot.com
4
Jostein Gaarder. Dunia Sophie. Bandung: PT Mizan Pustaka. 66.
4
dari dari rahim ibunya. Semua filosof paling awal sama-sama percaya bahwa pasti ada
suatu zat dasar di akar seluruh perubahan. Bagaiamana mereka sampai pada gagasan
ini sulit kita ketahui. Kita hanya tahu bahwa pandangan itu lambat laun berkembang.
Pasti ada suatu zat dasar yang merupakan penyebab tersembunyi dari semua
perubahan di alam. Pasti ada “sesuatu” yang darinya segala sesuatu berasal dan
kepadanya segala sesuatu akan kembali.5
Berbicara mengenai asal usul adanya suatu zat dasar tak pernah lepas dari
kemahakuasaan Allah yang mecipta langit bumi beserta segala isinya. Tentunya
manusia memang layak untuk selalu bertanya-tanya mengenai hal itu bahkan bukan
hanya para filosof saja tetapi para teolog yang juga bertanya-tanya darimana
sebenarnya bumi dan segala isinya ini. Kalau melihat ke dalam Kejadian 1:1-3
mengenai penciptaan, bagi teologi kristiani-tradisional-konvensional yang amat
mengutamakan kedaulatan Allah sebagai Pencipta alam semesta dan segala sesuatu,
hanya ada satu kemungkinan di dalam menafsirkan perikop ini, yaitu menafsirkannya
di dalam kerangka prinsip creation ex-nihilo, yaitu penciptaan dari ketiadaan, untuk
memperlihatkan bahwa Allah amat berkuasa di dalam menciptakan, dan tidak
memerlukan bahan mentah atau bahan dasar apa pun dalam sabda dan tindakan
penciptaan-Nya. 6
Ciptaan adalah sebuah tindakan yang dengan sengaja dan terencana dilakukan
oleh Allah dengan tujuan tertentu, sehingga kosmos bukanlah sesuatu yang kebetulan
saja di dalam kegiatan ilahi ataupun emanasi yang mengalir secara otomatis dari Yang
Ilahi. Meskipun para teolog dari kalangan kristiani tradisional-konvensioanl ini
kemudian menggunakan pendekatan-pendekatan kritis-historis dengan memanfaatkan
hasil-hasil penelitian sejarah agama (Religionsgeschicte) dalam menafsir, biasanya
tekanan pada prinsip creation ex nihilo itu tetap kelihatan.7
B. KAJIAN TEKS
Seorang Filosof dari Miletus, sebuah koloni Yunani di Asia kecil bernama
Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu
5
Ibid, 68-69.
6
Emanuel Gerrit Singgih. Dua Konteks. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. 206
7
Ibid.
5
pasti apa yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh
kehidupan berasal dari air- dan seluruh kehidupan kembali ke air ketika sudah
berakhir. Selama perjalanannya di Mesir, dia pasti telah mengamati bagaimana
tanaman mulai tumbuh begitu banjir Sungai Nil surut dari wilayah daratan di Delta
Nil. Barangkali, dia juga mengamati bahwa katak dan cacing muncul di tempat-
tempat yang baru dibasahi hujan. Besar kemungkinan bahwa Thales memikirkan cara
air berubah menjadi es atau uap – dan kemudian berubah menjadi air kembali. Filosof
berikutya yang kita dengar adalah Anaximander, yang juga hidup di Miletus pada
yang kira-kira sama dengan masa hidup Thales. Dia beranggapan bahwa dunia kita
hanyalah salah satu dari banyak sekali dunia yang muncul dan sirna di dalam sesuatu
yang disebutnya sebagai yang tak terbatas. Tidak begitu mudah untuk menjelaskan
apa yang dia maksudkan dengan yang tak terbatas, tapi tampaknya bahwa jelas bahwa
dia tidak sedang memikirkan suatu zat yang dikenal dengan cara seperti yang
dibayangkan Thales. Barangkali yang dimaksudkannya adalah bahwa zat yang
merupakan sumber segala benda pastilah sesatu yang berbeda dari benda-benda yang
diciptakannya. Karena semua benda ciptaan itu terbatas, sesuatu yang muncul
sebelum dan sesudah benda-benda tersebut pastilah “tak terbatas”. Jelas bahwa zat
dasar itu tidak mungkin sesuatu yang sangat biasa seperti air. Filosof ketiga dari
Miletus adalah Anaximenes ( kira-kira tahun 570-526 SM). Dia beranggapan bahwa
sumber dari segala sesuatu pastilah “udara” atau “uap”. Anaximenes tentu saja
mengenal teori Thales menyangkut air. Tapi darimanakah asala air? Anaximenes
beranggapan bahwa air adalah udara yang dipadatkan . kita mengetahui bahwa ketika
hujan turun, air diperas dari udara. Jika air diperas lebih keras lagi, ia menjadi tanah,
pikirnya. Dia mungkin pernah melihat bagaimana tanah dan pasir terperas keluar dari
es yang meleleh. Dia juga beranggapan bahwa api adalah udara yang dijernihkan.
Menurutnya, udara karenanya adalah asal usul tanah, air, dan api. Seperti Thales dia
beranggapan bahwa pasti ada suatu zat dasar yang merupakan sumber dari seluruh
perubahan alam. 8
Big Bang dan Perluasan Alam Semesta. Menurut efek Doppler, bila galaksi
berjarak tetap dari bumi, spektrum gelombang cahaya akan muncul pada posisi
standard (atas). Bila galaksi bergerak menjauhi kita, gelombang itu akan tempak
meregang dan geser merah (tengah). Bila galaksi bergerak menuju kita, gelombang
8
Jostein Gaarder. Dunia Sophie. Bandung: PT Mizan Pustaka. 72
6
akan tampak mencitu dan geser biru (bawah). Pada abad ke-20, terjadi lompatan besar
di bidang astronomi. Pertama, pada tahun 1922, seorang ahli fisika Rusia, Alexandre
Friedmann, menemukan bahwa alam semesta tidak memiliki struktur yang statis.
Berpijak pada teori relativitas Einstein, Friedmann menghitung bahwa sebuah impuls
kecil saja dapat mengakibatkan alam semesta meluas atau mengerut. Georges
Lemaitre, salah seorang ahli astronomi terkenal Belgia, adalah yang pertama kali
menyadari pentingnya hitungan ini. Hitungan ini membawanya pada kesimpulan
bahwa alam semesta memiliki awal dan terus-menerus meluas sejak permulaan. Ada
hal penting lainnya yang diangkat Lemaitre: menurutnya: ada kelebihan radiasi yang
tertinggal dri Big Bang dan ini dappat dilacak. Lemaitre yakin bahwa penjelasannya
benar walaupun pada awalnya tidak mendapat banyak dukungan dari kalangan
ilmuwan. Sementara itu, bukti lebih lanjut bahwa alam semesta meluass mulai
bermunculan. Pada waktu itu, Edwin Hubble, seorang ahli astronomi dari Amerika,
yang mengamati bintang-bintang dengan teleskop raksasanya, menampilkan bahwa
bintang-bintang memancarkan cahaya geser merah (red shift) tergantung jarak
mereka. Dengan temuan ini, yang diperolehnya di Observatorium Mount Wilson,
California, Hubble menantang seluruh ilmuwan yang mengajukan dan membela teori
“keadaan tetap” (steady-state), dan mengguncangkan pondasi model alam semesta
yang dianut saat itu.
7
karena gaya gravitasinya yang sangat besar. Alam semesta kita menjadi ada sebagai
hasil dari ledakan titik massa yang memiliki “volume nol” ini. Ledakan ini disebut
“big bang”. Big bang menunjukkan hal lain. Mengatakan bahwa sesuatu memiliki
volume nol itu berarti ama dengan mengatakan bahwa sesuatu itu “tidak ada”. Seluruh
alam semesta ini diciptakan dari sesuatu yang “tidak ada” ini. Selanjutnya, alam
semesta ini memiliki awwal, bertolak belakang dengan pandangan materialisme, yng
beranggapan bahwa “alam semesta adalah kekal”. 9
8
Beresyit bara elohim et hasyamayim we et ha’arets
Bumi itu tadinya padang gurun belantara, dan gelap gulita di atas permukaan
samudera raya. Namun kemudian Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air,
dan Allah berkata: “Biarlah ada terang”. Lalu terjadilah terang.
Ayat 1 mulai dengan frasa beresyit. Menurut pengamatan van Wolde “in a
beginning”. Melalui penafsiran pada berbagai zaman sampai sekarang, beresyit
dianggap menunjuk pada permulaan absolut yang khas, ketika belum ada sesuatu
termasuk ruang dan waktu, hanya Allah sendiri saja. Tetapi Allah tidak pernah lepas
dari ruangan yang bernama langit. Oleh Karena itu, dalam tafsirannya mengenai ayat
1 terpaksa ia menerangkan keberdaan Allah sebelum ciptaan sebagai “suatu waktu”
(dalam tanda kutip) sebelum ada dunia dan waktu kita. ayat 2 menyebut ungkapan
tohu wabohu, yang diterjemahkan sebagai “padang gurun belantara” jika dihubungkan
dengan kalimat weha’arets haetah tohu wabohu adalah bahwa bumi ini masih kosong
melompong, dan kesimpulan inilah yang diambil oleh Tsumura dan van Wolde.
Ruakh elohim tidak diterjemahkan sebagai “roh Allah” secara tradisional, melainkan
angin yang dahsyat. Menurut de Roche, konteks Kejadian 1:2c memperlihatkan
bahwa ruakh lebih merupakan bagian dari Yahweh dan dengan demikian
berhubungan dengan penciptaan daripada bagian dari unsur alam dan karena itu
berhubungan dengan kaos. Kesimpulan mengenai makna tohu wabohu adalah bahwa
9
frasa ini menunjuk kepada situasi pra penciptaan, pada kaos yang digambarkan
sebagai padang gurun belantara yang kosong melompong. Jadi, kekacauan ditata oleh
Allah dengan jalan memisahkan ini dari itu.
11
Berdasarkan pemahaman atas buku Emanuel Gerrit Singgih. Dua Konteks. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. 2009. 213-245
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
11
Penciptaan prinsip creaatio ex nihilo artinya “penciptaan yang muncul dari
ketiadaan”, utamanya berada dalam konteks filsafat atau teologi, meskipun juga
terjadi dalam bidang lainnya. Frase umum creation ex-nihilo (“penciptaan yang
muncul dari ketiadaan”). Teori ini menjawab pertanyaan yang muncul sekaitan
dengan konsep penciptaan bahwa Allah menciptakan alam semesta dari ketiadaan
sesuai dengan apa yang difirmankan-Nya.
12