Anda di halaman 1dari 8

Prinsip Antropik dan Eksitensi Manusia di Alam Semesta

Tugas Mata Kuliah Kosmologi

\
Disusun oleh:
Muhammad Rizqi Akbar
18/426784/FI/04489

Dosen Pengampu:
Samsul Ma’arif M, S.Fil., M.A.

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2020
Pengantar
Bahasan mengenai alam semesta seringkali menawarkan berbagai pertanyaan-
pertanyaan sederhana yang tidak mudah dan definitif untuk menjawabnya. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut mungkin juga pernah kita tanyakan sebelumnya. Misalnya, “Mengapa
langit terang di waktu siang dan gelap ketika malam?”, “Mengapa matahari terbit dari timur
dan tenggelam di barat?”, “Mengapa benda di langit, seperti bulan dan bintang selalu tampak
bersinar?”, dan “Apakah ada makhluk lain di luar bumi?”.
Tentunya pertanyaan-pertanyaan di atas tidak mengharapkan jawaban seperti “Itu sudah
dari sananya” atau “Tuhan telah mengaturnya”. Jawaban seperti itu tidak dapat memuaskan
diri manusia. Bukan karena jawaban itu salah, tetapi jawaban itu tidak menjelaskan sama
sekali apa alasan di baliknya.
Jika kita refleksikan, pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengarah pada kekaguman
akan keteraturan yang sedemikian luar biasa. Pertanyaan-pertanyaan itu juga menyimpan
keinginan untuk tahu lebih banyak di balik “keteraturan” tersebut. Manusia selalu terusik
pada sesuatu yang menarik dan terlihat teratur.1 Segala jenis ilmu pengetahuan hanya akan
berkembang karena adanya kekaguman, keheranan, atau bahkan ketakutan akan keteraturan.
Sesuai dengan ungkapan Blaise Pascal dalam Les Pensees, “Pandangan pada alam semesta
dalam keseluruhannya selalu merupakan suatu sumber ketakjuban, keheranan, atau
ketakutan.”2
Berbagai pertanyaan dan rasa ingin tahu mengenai alam semesta tersebut sering
dijumpai dalam kosmologi. Secara bahasa (Yunani), kosmologi berasal dari kata cosmos
berarti alam dan logos berarti ilmu, dapat dikatakan kosmologi berarti ilmu tentang asal-usul
alam. Secara istilah, kosmologi adalah ilmu yang mempelajari asal-usul, evolusi, struktur dan
bentangan luas alam semesta.3 Menurut Katsoff, kosmologi adalah penyelidikan tentang
jagad raya fisik, yang terdiri dari dua bagian, yakni penyelidikan filsafat mengenai istilah-
istilah pokok dan praanggapan yang terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagad raya.4
Kosmologi merupakan cabang ilmu yang jarang dijamah oleh para pemikir. Salah satu
alasannya karena alam semesta terlampau luas untuk dipelajari dalam satu bidang keilmuan
saja. Karena sebegitu kompleksnya alam semesta, maka biasanya pembahasannya
menggunakan pendekatan fisika, kimia, dan matematika. Sedangkan, kosmologi adalah ranah
tersendiri yang mempelajari alam semesta secara menyeluruh.
Secara historis, kosmologi pertama kali digunakan Pythagoras (580-500 SM) untuk
menggambarkan keteraturan dan keselarasan benda-benda langit. Hingga sekarang manusia
tidak pernah selesai dalam mengeksplorasi alam semesta secara penuh, hal ini membuat
ketertarikan akan alam semesta semakin berkembang. Ketertarikan dan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan dalam perkembangannya menghasilkan model-model kosmologi
yang masih digali terus-menerus. Model-model kosmologi tersebut di antaranya ialah model
kosmologi Yunani Kuno, model kosmologi abad pertengahan, model kosmologi reinaisans
dan modern, serta model kosmologi kontemporer.

1
B. Christian Triyudo P, “Prinsip dan Eksistensi Manusia” dapat diakses di
https://www.academia.edu/7047697/Prinsip_Antropik_dan_Eksistensi_Manusia
2
Louis Leahy, “Permulaan Alam Semesta dan Paham Penciptaan” dalam Diskursus Vol.6, No.1 (April 2007),
hlm. 51.
3
Richard Yonck, “Making Waves in The Cosmos” dalam The Futurist Vol.48, No.4 (Juli/Agustus 2014), hlm.8-10.
4
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 255.
Model kosmologi kontemporer sendiri memiliki landasan metodologis yang penting,
yaitu prisip kosmologis. Secara embrional, prinsip kosmologis ada sejak revolusi Copernicus
dan oleh Milne pada tahun 1935 diperkenalkan dengan sebutan Einstein’s Cosmological
Principle karena didasarkan pada gagasan Einstein bahwa semua tempat dalam alam semesta
tidak berbeda.5 Dengan kata lain, alam semesta dipandang dari mana pun dan ke arah mana
pun tetap akan tampak serupa. Artinya, bumi tidak berada pada posisi khusus seperti yang
dipandang pada model kosmologi sebelumnya.
Secara metodologis, prinsip kosmologis diperlukan dalam penyelidikan kosmologi
karena dapat memberi jaminan. Hasil pengamatan kosmologis tidak hanya berlaku lokal di
wilayah sekitar pengamatan, tetapi berlaku di semua wilayah alam semesta.6 Prinsip
kosmologis menandai berkembangnya kosmologi yang melebihi spekulasi teoritis dan
menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan empiris. Karena secara observasional dan
teoritis, kosmologi berkaitan erat pada fisika dan astronomi. Dengan kata lain, kosmologi
menjadi bagian dari filsafat alam yang bertumpu pada klaim empiris yang menekankan
pendekatan matematis dan observasional. Kosmologi meninggalkan pendekatan kualitatif-
argumentatif, kosmologi menyangkut pemahaman mengenai mekanisme aktual yang
memunculkan gejala alam.
Kosmologi kontemporer menemukan keteraturan yang lebih mendasar daripada sekadar
yang tertangkap oleh indera manusia. Kosmologi ini menemukan bahwa strukutur alam
semesta yang diamati merupakan tampilan yang terbentuk akibat penyatuan dari berbagai
tetapan dasar dan interaksi-interaksi fisika yang terjadi dalam alam semesta. 7 Struktur fisika
yang teramati sangatlah bergantung pada tetapan-tetapan tersebut. Jika tetapan dasarnya
sedikit berubah, maka akan menghasilkan model alam semesta yang jauh berbeda. Dengan
mengacu pada kepekaan objek-objek astronomis dan struktur kosmologi terhadap perubahan
tetapan dasar, membuat banyak kosmolog menyimpulkan bahwa kehidupan seperti yang kita
ketahui saat ini, hanya mungkin ada akibat dari kombinasi kosmik yang sangat tepat. Semua
bukti menunjukkan bahwa alam semesta memiliki awal. Tetapi, yang menarik adalah bahwa
sejak awal mulanya, alam semesta seperti sudah diatur sedemikian rupa sehingga manusia
bisa hidup di dalamnya. Lalu, mengapa alam semesta seperti demikian?
Jawaban ideal dari pertanyaan di atas tentu dapat diperoleh, jika kosmologi dapat
menjangkau awal ruang-waktu, menemukan hukum-hukum, dan syarat-syarat awal yang
menentukan alam semesta seperti ini. 8 Sebelumnya, Model Big Bang belum dapat
menjelaskan bagaimana dan dari mana tetapan-tetapan dasar itu muncul. Bahkan sampai
sekarang para ilmuwan, termasuk Hawking yang ingin menyelidiki “syarat awal” itu tidak
mampu menyelidikinya. Gagasan mengenai “Theory-M” dalam buku Grand Design, karya
Hawking, hanya terbatas pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya. Dengan kata lain,
para ilmuwan juga masih meyakini bahwa keadaan pra-Big Bang itu tidak teramati.
Prinsip Antropik

5
Phillip James Edwin Peebles, Principles of Physical Cosmology, (New Jersey: Princenton University Press,
1993), hlm. 10.
6
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan” dalam Ilmu, Etika, dan Agama—Menyingkap Tabir
Alam dan Manusia,
7
Karlina Supelli, “Kosmologi Awam, Ilmiah, dan Religius: Dari Kosmologi ke Dekosmologisasi” (Makalah untuk
Diskusi Paramadina, 17 April 1998 di Jakarta), diunduh dalam bentuk digital dari
http://arusbawah20.wordpress.com/2010/07/24/kosmologi-awam-ilmiah-dan-religius-dari-kosmologi-
kedekosmologisasi/
8
B. Christian Triyudo P, “Prinsip dan Eksistensi Manusia” dapat diakses di
https://www.academia.edu/7047697/Prinsip_Antropik_dan_Eksistensi_Manusia
Kemungkinan besar metode kosmologis yang ada masih belum mampu menjawab asal
mula alam semesta. Dalam menghadapi itu, Brandon Carter (1973) melihat kemungkinan
untuk memanfaatkan hubungan logis antara keteraturan alam semesta dan keniscayaan
keberadaan kehidupan. Carter mengatakan bahwa kondisi alam semesta yang kita amati,
haruslah cocok dengan kondisi kehidupan manusia dan alam semesta, lalu yang tidak
menerima kondisi kehidupan akan ditolak. Ia mengajukan prinsip antropik, yakni prinsip
yang mencoba menjelaskan banyak ‘kebetulan’ yang memesona dari hasil jalinan berbagai
tetapan dasar (kecepatan cahaya, muatan elektron, tetapan gravitasi, dan sebagainya) baik di
atas kosmologis maupun subatom.9
Perhatian Carter pada persoalan ‘kebetulan’ ini merupakan tanggapan atas usulan
Bondi. Menurut Bondi, gagasan kosmologi memerlukan teori-teori non-konvesional atau
teori eksotik, contohnya teori penyimpangan hukum kekekalan ataupun ‘teori ketidaktetapan
G’. Carter melolak ide tersebut, menurutnya, justru kebetulan-kebetulan itu adalah
pengukuhan bagi fisika dan kosmologi standar. Carter pun ingin mempertahankan
pendekatan fisika yang sudah ada, tetapi dengan mengajukan prinsip antropik. Dengan
maksud, agar dapat memprakirakan batas a priori ‘yang mungkin’ untuk wujud-wujud dasar
alam semesta yang tampak sebagai kebetulan.10
Carter merumuskan bahwa apa yang dapat kita amati harus dibatasi oleh kondisi yang
diperlukan untuk kehadiran kita sebagai pengamat. 11 Ia membedakan prinsip ini menjadi
prinsip antropik lemah dan kuat. Prinsip antropik lemah menyatakan manusia harus siap
untuk memperhitungkan kenyataan bahwa lokasi kita di alam semesta, tentu saja memiliki
hak istimewa untuk menjadi kompatibel dengan eksistensi kita sebagai pengamat.12
Sedangkan prinsip antropik kuat menyatakan, bahwa alam semesta—dan dengan begitu
parameter-parameter dasar yang menentukan—harus begitu rupa, sehingga memungkinkan
penciptaan pengamat-pengamat di dalamnya pada suatu kehidupan tertentu.13
Dalam mengusulkan prinsip antropik, Carter memainkan diktum filsafat Rene
Descartes “Cogito Ergo Sum” (Aku berpikir maka Aku ada) menjadi “Cogito ergo mundus
tali est” (Aku berpikir maka kosmos seperti ini). 14 Prinsip tersebut seolah-olah ingin
mengatakan bahwa adanya alam semesta yang tertata ini terancang demi kelahiran manusia
dan memang tanpa penjelasan dari Carter. Kedua versi prinsip antropik ditafsirkan secara
bebas oleh para ilmuwan. Pada awalnya Carter menjelaskan mengenai upaya untuk
memprakirakan dan menjelaskan hubungan antara unsur alam semesta dengan beberapa
tetapan dasar alam, serta hubungan antara keduanya dengan eksistensi manusia sebagai
pengamat.15 Banyak yang menafsirkan prinsip antropik bersifat teleologis dan antroposentris,
terutama pada prinsip antropik kuat.16
Adapun versi lain dari prinsip antropik yang dipopulerkan oleh J.D Barrow dan F.J
Tipler lewat buku The Anthropic Cosmological Principle (1989). Dalam Introduction bagian
9
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan”, hlm. 74-75.
10
Brandon Carter, “The Large Number Coincidences and the Anthropic Principles” dalam Confrontation of
cosmological theories with observational data; Proceedings of the Symposium, Krakow, Poland, September 10-
12, 1973. (A75-21826 08-90) (Dordrecht, D. Reidel Publishing Co., 1974), hlm. 291. Atau dapat diakses secara
langsung di http://articles.adsabs.harvard.edu/full/1974IAUS...63..291C
11
Ibid., hlm. 291.
12
Ibid., hlm. 293.
13
Ibid., hlm. 294.
14
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan”, hlm. 75.
15
Ibid., hlm. 76.
16
B. Christian Triyudo P, “Prinsip dan Eksistensi Manusia” dapat diakses di
https://www.academia.edu/7047697/Prinsip_Antropik_dan_Eksistensi_Manusia
Anthropic Definitions, penulis menyajikan versi baru prinsip antropik, yakni prinsip antropik
partisipatoris dan prinsip antropik final.17 Dalam buku tersebut, terdapat bahasan mengenai
ketetapan fisik dan ukuran dari Big Bang kosmik primordial. Terlihat bahwa seolah-olah
semua yang terjadi sudah diatur sampai ke hal detail agar dapat muncul suatu kosmos yang di
dalamnya kita dapat lahir, dan memperoleh jenis mineral, lingkungan, serta atmosfer yang
kita perlukan. Maka, kehidupan dapat lahir, sesudah proses yang berlangsung miliaran tahun
lamanya, di mana bukan hanya galaksi kita, tetapi juga seluruh alam semesta. Akhirnya,
manusia tampak sendiri sebagai puncak dari seluruh evolusi kosmik tersebut. Artinya, bahwa
manusia hidup di alam semesta yang bersifat singular dan unik, di antara pluralitas dunia
yang tak terhitung jumlahnya.18
Secara umum, terjadi penafsiran bahwa alam semesta itu dibuat sedemikian rupa untuk
manusia, agar dapat beraktifitas di dalamnya. Eksistensi alam semesta itu ada demi eksistensi
sadar manusia. Apakah benar demikian?
Dalam suatu makalah, Carter menyatakan bahwa prinsip antropik diajukan sebagai
peringatan kepada para ahli astrofisika dan kosmolog akan risiko error ketika menafsirkan
informasi kosmologis.19 Risiko tersebut dapat dikurangi apabila dari awal kosmolog mau
memperhitungkan kendala biologis yang ikut berperan ketika mereka menyaring informasi.
Sebaliknya, para biolog juga hendak menghadapi risiko error yang sama ketika menafsirkan
rekaman proses evolusi, kecuali mereka mau memperhatikan kendala astrofisika yang bekerja
pada proses evolusi.
Jika diperhatikan, kalimat di atas menunjukkan bahwa prinsip antropik tidak ingin
memberi jawaban ontologis bagi pertanyaan, “Mengapa alam semesta menjadi demikian?”,
terlebih menujuk tujuan dan rancangan yang mengagungkan antroposentrisme. Carter sempat
menyebut bahwa prinsip antropik lemah dimaksudkan sebagai klaim faktual yang benar
secara informatif. Artinya, bukan hanya dengan kemampuan prediktif prinsip antropik dapat
diuji, tetapi kemampuannya juga memberi penjelasan fisika yang lengkap. 20 Sayangnya,
klaim itu juga tidak terpenuhi apabila penjelasan itu diartikan sebagai penyikapan mekanisme
—dalam bentuk hukum-hukum umum—yang memungkinkan kita mengerti secara ontik,
mengapa alam semesta seperti ini.21
Secara khusus, Carter ingin mengangkat fakta yang tidak mungkin dibantah, yakni
bahwa pengamat berkesadaran kalau sudah ada di dalam alam semesta. Melalui prinsip
antropik kuat, Carter menyebut bahwa alam semesta harus menyediakan kondisi yang
memungkinkan keharian pengamat. Pada titik ini, Carter menjadikan fakta kepengamatan
sebagai titik berangkat untuk memprakirakan harga a priori tetapan-tetapan dasar alam.
Tidak adanya pengertian pengamat merupakan penyebab dari harga tetapan dasar. Hal
tersebut berarti bahwa alam semesta secara teleologis merancang dirinya untuk itu, namun
sekali kondisi-kondisi itu tersedia, manusia yang mengada dan manusia yang memahami
merupakan bagian tak terhindarkan dari alam semesta.22
17
J.D. Barrow dan F.J. Tipler, The Anthropic Cosmological Principle, (Newyork: Oxford University Press, 1986),
hlm. 15. Diunduh dalam bentuk digital dari http://library.nu/docs/0R4VG5ZQIP/The%20Anthropic
%20Cosmological%20Principle
18
Louis Leahy, Jika Sains Mencari Makna, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 26.
19
Brandon Carter, “The Anthropic Principle and Its Implications for Biological Evolution” dalam Philosophical
Transactions of the Royal Society of London. Series A, Mathematical and Physical Sicences (1983), hlm 347-348.
20
Brandon Carter, “Large Number Coincidences and The Antrhopic Principle in Cosmology” dalam
Confrontation of Cosmological Theories with Observational Data (Dordrecht: Springer, 1974), hlm.295.
21
Karlinna Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan”, hlm. 78.
22
B. Christian Triyudo P, “Prinsip dan Eksistensi Manusia” dapat diakses di
https://www.academia.edu/7047697/Prinsip_Antropik_dan_Eksistensi_Manusia
Fungsi Prinsip Antropik
Fungsi utama prinsip antropik adalah sebagai prinsip heuristik yang memaksimalkan
landasan rasional kosmolog, ketika memilih model kosmologis sekaligus memperpendek
langkah penyelidikan selanjutnya. Fungsi itu bukan hanya dengan menunjuk pada model
yang memadai secara empiris, melainkan juga yang sesuai dengan kondisi faktual keberadaan
pengamat. Dengan begitu, jika prinsip antropik diterapkan bersama teori-teori fisika yang
relevan—sesuai yang diusulkan Carter atas penolakan ide Bondi, maka hasil penyelidikan
kosmologi pun tidak akan melampaui fakta kondisional seperti yang diisyaratkan oleh
keberadaan pengamat.
Jadi sebenarnya, tidak ada keperluan metodologis untuk menerima atau menolak
prinsip antropik. Kosmologi tetap dapat berjalan dengan atau tanpa prinsip antropik. Namun,
penyelidikan tanpa pelibatan prinsip ini akan mengandung risiko generalisasi yang sulit
dibantah: dalam alam semesta sudah dan sedang berlangsung kepengamatan oleh makhluk
berkesadaran, sebagian di antaranya merupakan makhluk cerdas.23
Respons terhadap Prinsip Antropik
Prinsip antropik telah dicoba diaplikasikan pada beberapa bidang yang masih menjadi
perdebatan, seperti mekanika kuantum, teori inflasi Big Bang, dan teori superstring. Karena
sifat inherennya, prinsip antropik membutuhkan variasi di sekitar apa yang teramati.
Implikasinya, prinsip ini melahirkan konsep-konsep spektakuler yang lebih dekat dengan
fiksi daripada ilmiah, misalnya konsep multi jagad raya.
Penerimaan atas prinsip antropik menguhkan kembali semangat kosmologi awal—
Yunani Kuno—sebagai penyelidikan manusia terhadap alam semesta, yang disebabkan
kerinduan manusia akan asal-usulnya. Sesahih apapun suatu model kosmologis, akan tepat
secara matematis-empiris, jika model itu tidak dapat diterjemahkan dalam skala faktisitas-
ontik keberadaan manusia yang mampu melakukan upaya epistemologis. 24 Maka model itu
hanya akan sia-sia.
Mengapa prinsip antropik menarik? Prinsip antropik memberikan makna kepada alam
semesta, yaitu manusia. Dalam prinsip tersebut, alam semesta seolah-olah memberikan pesan
kepada kita tentang keadaan istimewa alam semesta kita ini sekarang.
Meski begitu, prinsip antropik juga dapat kita sebut sebagai hantu seperti halnya energi
gelap—yang belum sahih kebenaran bukti empirisnya. Jika kita singkirkan kita belum punya
cara untuk keluar dari sejarah evolusi kosmis. Tapi jika kita terima, kosmologi rentan
terjebak pada penjelasan antroposentris. Sebab kita juga tidak pernah tahu wujud empirisnya,
karena yang kita tahu hanya kita berada dalam kosmos dan kita bisa bertanya tentang kosmos
yang kita tempati. Selain itu, prinsip antropik juga tidak memberikan argumen yang
mendasari mengapa alam semesta ini menjadi begitu istemwa. Padahal yang bisa kita telaah
hanya satu alam semesta, sehingga kita tidak mungkin membuat perbandingan dengan alam
semesta yang cirinya berbeda dengan alam semesta yang kita tempati.
Dalam perkembangannya, prinsip antropik telah disalahtafsirkan secara menyeluruh,
sehingga secara rutin digunakan untuk membenarkan pernyataan tidak logis dan non-ilmiah. 25
Orang menggunakan prinsip antropik untuk menyatakan bahwa alam semesta harus persis
23
Karlina Supelli, “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan”, hlm. 79.
24
Jayantika Soviani, “Prinsip-Prinsip Antropik” dalam Integrasi Science diakses
25
Ethan Siegel, “How The Anthropic Principle Became The Most Abused Idea in Science” dalam Forbes. Dapat
diakses di https://www.forbes.com/sites/startswithabang/2017/01/26/how-the-anthropic-principle-became-
the-most-abused-idea-in-science/amp/
seperti apa adanya, karena kita ada sebagaimana kita ada. Argumen itu bukan hanya tidak
benar, bahkan tidak sesuai dengan prinsip antropik.
Penutup
Kosmologi kontemporer menemukan keteraturan yang lebih mendasar daripada sekadar
yang tertangkap oleh indera manusia. Kosmologi ini menemukan bahwa strukutur alam
semesta yang diamati merupakan tampilan yang terbentuk akibat penyatuan dari berbagai
tetapan dasar dan interaksi-interaksi fisika yang terjadi dalam alam semesta. Carter
mengatakan bahwa kondisi alam semesta yang kita amati, haruslah cocok dengan kondisi
kehidupan manusia dan alam semesta, lalu yang tidak menerima kondisi kehidupan akan
ditolak
Prinsip antropik di sini, dapat dilihat sebagai sebuah pijakan bagi kosmologi, terutama
para kosmolog untuk melihat fakta yang paling sederhana, yaitu pengamat yang sudah ada
dan mengamati alam semesta itu. Kosmologi yang telah berjalan selama ini disibukkan
dengan situasi luar dengan langkah-langkah penyelidikan empiris dan akhirnya terbentur
pada titik di mana tidak ada pengetahuan mengenai syarat awal alam semesta itu sendiri.
Prinsip antropik merupakan pernyataan mengenai anjuran untuk mengintegrasikan historisitas
pengamat ke dalam setiap penyelidikan keilmuan sehingga ilmu pengetahuan, khususnya
kosmologi terbebaskan dari simpangan penafsiran.
Di balik segala perdebatan, ada sebuah kerinduan tersendiri dari manusia untuk mencari
makna atas segala hidup ini. prinsip antropik ingin melihat ke dalam diri guna memaknai
segala yang akhirnya menimbulkan kekaguman luar biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Barrow, J.D., dan F.J. Tipler. 1986. The Anthropic Cosmological Principle. New York: Oxford
University Press. http://library.nu/docs/0R4VG5ZQIP/The%20Anthropic%20Cosmological
%20Principle.
Carter, Brandon. 1974. “Large Number Coincidences and The Antrhopic Principle in Cosmology.”
Confrontation of Cosmological Theories with Observational Data. Dordrecht: Springer. 295.
http://articles.adsabs.harvard.edu/full/1974IAUS...63..291C.
—. 1983. “The Anthropic Principle and Its Implications for Biological Evolution.” Philosophical
Transactions of the Royal Society of London. Series A, Mathematical and Physical Sicences.
347-348.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Dialihbahasakan oleh Soenjono Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Leahy, Louis. 2006. Jika Sains Mencari Makna. Yogyakarta: Kanisius.
Leahy, Louis. 2007. “Permulaan Alam Semesta dan Paham Penciptaan .” Diskursus 51.
P, B. Christian Triyudo. t.thn. Academia. Diakses Mei 1, 2020.
https://www.academia.edu/7047697/Prinsip_Antropik_dan_Eksistensi_Manusia.
Peebles, Phillip James Edwin. 1993. Principles of Physical Cosmology. New Jersey: Princenton
University Press.
Siegel, Ethan. 2017. How The Anthropic Principle Became The Most Abused Idea in Science. 26
Januari. Diakses Mei 2, 2020. https://www.forbes.com/sites/startswithabang/2017/01/26/how-
the-anthropic-principle-became-the-most-abused-idea-in-science/amp/.
Soviani, Jayantika. 2019. INTEGRASI SCIENCE. 15 July. Diakses April 30, 2020.
integrasi.science/prinsip-prinsip-antropik/.
Supelli, Karlina. 2010. “Kosmologi Awam, Ilmiah, dan Religius: Dari Kosmologi ke
Dekosmologisasi.” 24 Juli. Diakses Mei 2, 2020.
http://arusbawah20.wordpress.com/2010/07/24/kosmologi-awam-ilmiah-dan-religius-dari-
kosmologi-kedekosmologisasi/ .
Supelli, Karlina. 2006. “Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan.” Dalam Ilmu, Etika, dan Agama -
Menyingkap Tabir Alam dan Manusia, oleh dkk Zainal Abidin Bagir. Yogyakarta: Center for
Religious and Cross-Cultural Studies Graduate School Universitas Gadjah Mada.
Yonck, Richard. 2004. “Making Waves in The Cosmos.” The Futurist 8-10.

Anda mungkin juga menyukai