Anda di halaman 1dari 22

I

UPACARA KELAHIRAN PADA


ORANG BATAK TOBA

Oleh:
B.A Simandjuntak
(IKIP Medan)

1. PENDAHULUAN

Di dalam hidup manusia selalu terdapat saat yang penting, yang


mengikat hidupnya dari masa lalu ke masa yang dihadapinya. Orang
selalu akan meninggalkan suatu tingkatan dan kemudian segera akan
memasuki tingkatan yang lain. Tingkatan kehidupan yang satu erat
kaitannya dengan tingkatan yang berikutnya.
Manusia dari banyak kebudayaan percaya sekali bahwa ada suasana
berbahaya yang ditemui, apabila ia tiba pada saat meninggalkan satu
tingkat dan memasuki tingkat kehidupan yang lain. Untuk menolak
bahaya itu, manusia menciptakan usaha untuk menyelamatkanh diri dari
bahaya tersebut. Usaha penyelamatan itu berbentuk upacara-upacara
yang dilakukan bersama atau sendirl; untuk berkomunikasi dan me-
ngembangkan hubungan baik dengan para kekuatan gaib, hantu, setan,
roh dan sebagainya. Upacara-upacara demikian yang dinamakan crisis-
rites atau rites de passage atau upacara peralihan oleh para antropolog
juga berfungsi sebagai sarana pengumuman kepada khalayak ramai ten-
tang tingkatan kehidupan yang telah dicapai oleh seseorang (Koen-
_tjaraningrat 1977: him. 89-90).

RITUS PERALIHAN DI INDONESIA — 4 49


Serupa dengan banyak sukubangsa lain di Indonesia pada khususnya
dan di seluruh dunia pada umumnya, orang Batak Toba juga mengang-
gap saat-saat sekitar kelahiran, seperti masa hamil, saat kelahiran, saat
pemberian nama, saat pembaplisan dan sebagainya sebagai saat-saat
peralihan yang mengandung unsur krisis dan ritus serta upacara
peralihan yang merayakan saat-saat itu yang akan menjadi pokok dari
bab ini, juga mempunyai ciri-ciri upacara krisis seperti apa yang
diuraikan oleh A. van Gennep (1975: hlm. 46 — 47).

2. ORANG BATAK TOBA


Wilayah suku bangsa Batak Toba yang luas wilayah seluruhnya
adalah 1.162.541] hektar dan yang terletak di Kabupaten Tapanuli Utara
pada 1° 30’ L.U’, dan antara 98° — 100° B.T. di Propinsi Sumatera
Utara, berbatasan dengan Kabupaten Dairi, Simalungun dan Karo di
_ bagian utara; dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten
Tapanuli Selatan di bagian selatan; Kabupaten Asahan dan Labuhan
Batu di bagian timur; serta berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli
Tengah, Kabupaten Aceh Selatan di bagian barat.
Menurut perhitungan tahun 1972, jumlah penduduknya adalah sekitar
624.540 jiwa. Mata pencaharian utama dari penduduk itu adalah untuk
sebagian besar pertanian. padi (75%) dan di samping itu mereka juga
berkebun kemenyan, kopi, karet, dan sayur-sayuran (Sinaga, 1972:
him 2-7). .
Suku bangsa Batak sebagai terbagi atas beberapa sub-suku bangsa
yaitu, Batak Toba, Batak Karo, Batak Angkola, Batak Mandailing,
Batak Simalungun, Batak Pakpak Dairi, Batak Pardembanan (Tobing,
1963: hlm. 21; Singarimbun 1975; Payung Bangun 1981).
Sub-sub sukubangsa Batak tersebut menempati seluruh wilayah Tanah
Batak yang terletak di antara Propinsi Aceh, Kabupaten Deli Serdang
dan Langkat di bagian Utara serta Sumatra Barat di bagian Selatan.
Antara Singkil (Aceh)-Barus-Sorkan di bagian barat sampai ke Asahan-
Labuhan Batu dan Batubara di bagian timur (Joustra, 1910; hlm. 5).

3. STRUKTUR SOSIAL ORANG BATAK TOBA

Sistem kekerabatan orang Batak Toba yang masih penting juga dalam
kehidupan masyarakatnya sampai masa kini, berdasarkan asas par-
trilineal artinya hubungan kekerabatan disusut menurut garis ayah dan
semua kerabat pria. Orang Batak Toba seperti orang Batak pada umum-

50
nya mengenal suatu. konsep kemasyarakatan yang bernama dalihan na
tolu.3° Konsep itu merupakan suatu sistem hubungan antara tiga kelom-
pok kekerabatan yang merupakan suatu kesatuan sosial yang erat.
Unsur-unsurnya ada tiga ialah unsur Au/a-hula (marga pemberi istri),
unsur boru (marga penerima isteri), dan unsur dongan sabutuha
(semarga atau seperut artinya marga sendiri).36
Di dalam konsep struktur sosial itu terkandung pandangan dan sikap
antara satu unsur terhadap unsur yang lain. Kedudukan Au/a-hula dipan-
dang amat tinggi, terutama bila dikaitkan dengan komponen emosi
keagamaan dari religi tradisional orang Batak. Kelompok kerabat ini
oleh orang Batak dipandang sebagai sumber anugerah (pasu-pasu) yang
tak akan kering, karena mereka dipercayai memiliki kekutan rohaniah
dalam yang dinamakan sehu/a (Ossenbrugen, 1935: hlm 6). sikap orang
terhadapnya harus menyembah (sormba).
Penjelmaan emosi keagamaan lain dalam hubungan dalihan na tolu
adalah yang mengatakan bahwa sikap terhadap teman semarga atau
seperut (dongan sabutuha) harus hati-hati (manat). Arti konsep hati-hati
di sini adalah menjaga jangan sampai terjadi perkelahian yang menjurus
ke perpecahan di kalangan orang yang menjadi warga semarga dan
senenek moyang. Sedangkan sikap yang terkandung dalam hubungan
sosial terhadap marga penerima istri (boru) adalah sikap memberi hati
(elek), sikap lemah lembut, halus dan sopan agar jangan menyinggung
perasaan.

4. KONSEP RELIGI

Orang Batak yakin akan adanya Tuhan Yang Maha Tinggi yang diberi
nama Ompu Tuan Mula Jadi Na Bolon (Tuhan Yang Mula-mula Yang
Maha Besar) atau secara singkat Debata. Tuhan itu secara fungsional
terbagi tiga dan mempunyai tiga nama yaitu Tuan Bubi Na Bolon artinya
Tuhan di alam lapisan atas atau sorga (banua ginjang); Ompu Stlaon Na
Bolon artinya Tuhan di dunia bagian tengah (bumi), serta Tuan Pane Na

35, Tungku orang Batak jaman dahulu terbuat dari tiga batu yang diletakkan dalam ben-
tuk segi tiga. Di atasnya diletakkan alat memasak makanan. Tungku ini melam-
bangkan dasar hubungan sosial orang Batak.
36, Pada orang Batak Karo sistem hubungan ketiga rarga itu disebut sangkep si tola dan
ketiga unsurnya adalah Xa/imbubu, anak beru dan senina.
Pada orang Batak Simalungan istilahnya adalah fo/u saodoran, sedangkan ketiga un -
surnya disebut /ondong, boru dan sanina (Simandjuntak 1966: him. 91 — 92).

SI
Bolon artinya Tuhan yang menguasai dunia bawah laut dan cahaya
(banua toru) (Tobing 1963: hlm 35).

Konsep Tuhan yang demikian itu menurut para ahli antropologi dan
teologi adalah akibat dari pengaruh Hindu yang menyusup ke dalam
konsep keagamaan asli orang Batak (Parkin, 1978: hlm. 253). Sebelum
itu, konsepsi keagamaan orang Batak adalah suatu konsep totalitas, di
mana alam kosmos, komuniti, perorangan, dan lain-lain menjadi satu
dalam pandangannya. Konsep kesatuan totalitas itu, juga dilukiskan
dalam pernbagian alam menjadi tiga yaitu dunia atas, tengah dan bawah
di mana Ompu Tuan Mula Jadi Na Bolon adalah Tuhan yang menguasai
seluruhnya (Tobing 1963: hlm. 28)
Dalam jaman sebelum ada pengaruh Hindu tersebut, orang Batak
yakin akan adanya roh nenek moyang, Tuhan tanah dan roh-roh lain di
tempat-tempat suci (Parkin 1978: hlm. 13). Kemudian dalam abad ke-
XIX, terjadi Perang Paderi di tanah Batak dalam dua gelombang ialah
dari tahun 1825 sampai 1829 dan dari tahun 1830-1833. Kedua gelom-
bang peperangan itu membawa masuknya agama Islam ke tengah-tengah
orang Batak, terutama di kawasan Angkola dan Mandailing; sedangkan
dengan datangnya para pendeta dari Rheinische Mission Gesellschaft,
agama Kristen mulai mendesak agama asli Batak tersebut di atas (Sihom-
bing 1961: 15-19). —
Dalam mitologi orang Batak Toba, Tuhan tertinggi Ompu Tuan Mula
Jadi Na Bolon diceritrakan bertempat tinggal di benua atas. Ia telah
mengirimkan putrinya Si Boru Deak Parujar turun ke benua tengah un-
tuk menciptakan bumi untuk kemudian menetap di sana. Kemudian
Tuhan menurunkan lagi Si Raja Odap-Odap, yang kemudian kawin
dengan Si Bori Deak parujar dan dari perkawinan ini lahir Si Raja Batak
yang dianggap sebagai nenek moyang orang Batak.

5. KOMUNITI

Orang Batak Toba hidup di dalam satu wilayah perkampungan yang


didasarkan kepada marga. Sesuatu kampung atau Aufa selalu ditempati
oleh orang-orang yang merupakan keturunan dari satu nenek moyang
secara patrilineal. Kelompok kerabat yang menempati sesuatu Auta
seperti itu mempunyai hak utama atas pemilikan tanah yang dinamakan
golat. Adapun warga marga boru yang secara uxorilokal menetap di
kampung itu, tidak mempunyai hak go/at walau mereka boleh menger-

52
jakan sawah marga pemilik Auta atau marga raja berdasarkan sistem
bagi hasil.
Kampung orang Batak selalu diberi tembok yang dibuat dari tanah
dan di atas tembok tersebut ditanam bambu duri dan pohon-pohon.
Tembok dan bambu itu dimaksud sebagai benteng pelindung orang desa,
karena dalam jaman dahulu kala sering terjadi peperangan antar kam-
pung.
Rumah-rumah di dalam Auta yang biasanya berjumlah 20 sampai 30
buah, berdiri dalam dua deret yang berbanjar berhadap-hadapan. Di
tengah-tengah ada halaman yang selalu dipakai untuk pesta dan
upacara. Rumah kepala kampung didirikan selalu menghadap gunung
atau tempat keramat. Apabila kampung sudah penuh dan jumlah rumah
melebihi 30 buah, orang akan membuka perkampungan baru setelah
mendapat izin dari kepala induk huta ialah kampung yang paling asli.
Huta yang baru dibuka dan yang dianggap anak dari Auta asal
dinamakan sosor, atau /umban. Ikatan kekerabatan di antara penduduk
induk huta dan sosor-sosornya tetap erat (Simandjuntak 1978: him.
114-116).
Apabila sesuatu keluarga melakukan upacara adat atau religi seperti
upacara perkawinan, kematian, kelahiran dan lain-lain upacara sepan-
jang lingkaran hidup dan juga upacara mendirikan rumah, desa baru,
membuka hutan atau persawahan baru, maka seluruh warga Auta akan
terlibat.

6. ADAT MANGHARE (MANGGANJE)

Apabila seorang wanita Batak Toba hamil tua, maka diadakan adat
manghare atau mangganje. Istilah manghare berasal dari kata mang dan
hare, mang adalah awalan aktif dan hare adalah sejenis bubur yang
' dibuat dari ramuan semangka (gundur), mentimun (ansimun), pisang
(gaol), tebu (tobu), nangka (pinasa), kencur (hasior), jahe (pege), kelapa
(simarateate), kemiri (gambiri), ramuan dukun (‘aor sibaso), telor ayam
(pira ni manuk), tepung beras (itak), susu kerbau (bagot ni horbo),
kunyit (hunik), serta daging ayam muda seberat 1% kg. Istilah manghare
berlaku di Toba Holbung, sedangkan di wilayah Humbang berlaku
istilah mangganyje.
Ramuan itu dibuat menjadi halus, disaring lalu diaduk menjadi satu.
Proses pencampuran dilakukan dalam satu periuk besar yang dibuat dari
tanah (hudon) yang diletakkan di atas api yang menyala kecil. Bubur

53
yang dinamakan Aare atau gan/je itu kental dan berwarna agak kecoklat-
coklatan. Makanan demikian dihidangkan oleh ibu dari seorang wanita
yang sedang hamil anak pertama.
Setiap unsur ramuan mempunyai ‘arti simbolik tertentu, misalnya
semangka, ketimun, pisang, tebu dan nangka melambangkan hati damai
dan seluruh ramuan menurut orang Batak bertujuan agar semua warga
huta dan semua makhluk halus dan roh sekitarny2 berhati damai, serta
memberi restu kepada si calon ibu dan sang bayi yang akan lahir. Unsur
kencur, jahe, kelapa dan kemiri dalam ramuan adalah lambang pen-
jagaan dan bertujuan agar makhluk halus dan roh-roh jahat tidak meng-
‘ganggu keselamatan si perempuan dan bayi dalam kandungan. Unsur
telur ayam berfungsi agar kandungan tetap utuh (seperti utuhnya telur)
tidak cacat. Sedangkan daging ayam bermaksud memberi kekuatan
kepada si bayi.
Menurut adat, suami calon ibu harus berkunjung ke Auta kerabatnya
(hula-hula) untuk meminta dare. Dengan disaksikan oleh semua karabat
pihak istri, ayah dan ibu dari siwanita calon ibu terlebih dahulu member-
kati dengan do’a selamat (*angupa) anak dan menantunya itu, sambil
memberikan tiga ekor ikan lele (stbahut) yang sudah masak dan diletak-
kan di atas nasi dalam pinggan. Pada saat itu kedua orang tua meng-
ucapkan kata-kata yang bersifat magis ialah:
"On ma hare silas ni roha
hipas ma ho manganhon
hipas na didapothon hipas na naeng ro
tumpahon ni amanta pardenggan basai”’
Artinya:
**Inilah hare pemberi kegembiraan
selamatlah engkau memakannya
selamat or:ng yang akan datangi
selamat anak yang akan datang
berkat anugerah Tuhan yang maha pengasih itu’’

Acara itu ditutup dengan suatu pemberian (pasu-pasu) oleh pihak


hula-hula kepada suami-istri muda yang akan mempunyai bayi tadi.
Kemudian mereka pulang ke rumah di Auta pihak suami di mana para
kerabat si suami telah berkumpul di halaman tengah untuk menyambut
mereka. Ibu dari wanita yang hamil tadi juga mengirimkan Aare untuk
dibagi-bagikan kepada keluarga pihak suami, tetapi bila tidak cukup,
maka ia hanya akan mengirimkan tanda bahwa para kerabat menan-
tunya (borunya) telah menerima hare dari hula-hula.

54
Di beberapa tempat, terutama di Toba Holbung (sekitar Bake,
Porsea dan Silaen), Humbang dan Silindung, terdapat perbedaan dalam
pelaksanaan adat manghare. Sebagian mewajibkan kerabat penerima
istri (boru) terdapat lebih dahulu memberikan makanan adat berupa .
babi yang lengkap secara adat yang dimakan ma marmiak-miak, sete-
lah itu baru kerabat istri memberikan Aare. Ada juga yang melakukan
pembicaraan adat (marhata) untuk menyampaikan anugerah kepada
pihak boru setelah acara makan hare selesai, tetapi di beberapa tempat
lain hal demikian tidak dilakukan dengan alasan bahwa para peserta dari
upacara itu hanya kaum ibu.
Di beberapa’ tempat terutama di wilayah Toba Holbung manghare
masih dilakukan, dengan beberapa perobahan; antara lain, do’a tidak
lagi dipanjatkan kepada Ompu Tuan Mula Jadi Na Bolon dan roh-roh
nenek moyang, tetapi sudah kepada Tuhan Yang Maha Esa (Kristen,
atau Islam). Pada upacara mangupa pemberian ikan lele tidak dilakukan
lagi, tetapi adat itu berobah menjadi pemberian ikan batak (ihan) atau
ikan mas.
Perobahan yang menyolok sekali adalah bahwa penentuan waktu baik
untuk melaksanakan upacara itu, tidak lagi ditanyakan kepada dukun
(datu pangulpuk), tetapi semata-mata telah berdasarkan pertimbangan
faktor waktu senggang dan kesempatan baik bagi kedua belah pihak.

7. ADAT PABOSURHON

Arti pabosurhon adalah memberi makanan kenyang (bosur = ke-


nyang). Dalam hal ini pihak Au/a-hula dan pihak paranak (orang tua
suami) memberi makanan yang -bernilai religi dan bersifat kerainat
kepada si wanita yang hamil serta berkat (pasu-pasu). Arti sederhana
dari adat ini adalah memberi si calon ibu makan kenyang supaya kuat
dan tahan menghadapi masa bersalin yang sudah dekat. Pada kesem-
patan seperti ini, pemberian makanan dari orang tua perempuan itu
lebih merupakan titik utama upacara. Sedang makanan dari orang
tua suami hanya pelengkap saja.
Pelaksanaan adat pahosurhon dilakukan apabila usia kehamilan su-
dah tujuh atau delapan bulan. Kalau sudah demikian maka ibu dari si
wanita yang hamil meminta kepada anaknya beserta suami anaknya agar
datang ke Aul/a-hula dan meminta do’a restu selamat dengan melaksana- .
kan upacara pabosurhon.

55
Dengan petunjuk seorang dafu, si suami dari wanita hamil tadi
mempersiapkan makanan adat yang terdiri dari babi yang beratnya
sekitar 40 atau 50 kg untuk disembelih untuk nanti dibawa ke Auta mer-
tuanya (Aula-hulanya). Setelah makanan adat tadi masak, ia lalu
mengundang beberapd kerabat terdekat untuk bersama-sama dengan dia
dan istrinya yang hamil berangkat ke Auta hula-hula biasanya pada
waktu menjelang jam 12 siang (parnangkok ni mataniari). Pada saat
yang sama, pihak Au/a-Au/a telah juga mengundang para kerabat dekat-
nya untuk bersama-sama menerima kedatangan tamu-tamu dari pihak
boru tadi dan melaksanakan adat pabosurhon.
Di hadapan hAula-hulanya, suami dari wanita haimil tersebut
mempersembahkan kepada ayah dan ibu mertuanya, bagian dari daging
babi yang telah menjadi hak mereka menurut kedudukan mereka dalam
adat (tadu-tadu ni sipanganon) dengan cara meletakkan potongan-
potongan daging yang telah tersusun rapih di atas sebuah piring, tepat di
depan mereka. Saat itu si suami tadi memohon kepada seluruh hula-
hulanya agar bersedia kiranya memberi berkat dan restu kepadanya dan
terutama kepada istrinya yang sedang mengandung agar si bayi dan
ibunya selamat dan tidak terganggu segala roh jahat. Karena masa men-
jelang kelahiran adalah masa krisis yang berbahaya, demikian juga masa
melahirkan. Karena itu ia mohon agar roh Au/a-hu/a melindungi si istri
dari segala mara bahaya:37
Sebagai pengganti pemberian daging babi yang mengandung lambang
status tadi, Au/a-hula memberikan ikan batak (iham) yaitu ikan mas yang
diletakkan di atas nasi dalam piring (pinggan pasu) ke hadapan suami
dan istrinya yang hamil tadi. Pada saat penyerahan itu, ayah mertua
menyampaikan kata-kata restu yang memohon kepada Tuhan (Mula
Jadi Na Bolon) agar putrinya yang sedang mengandung anak pertama
itu dilindungi dari mara bahaya, dari roh-roh halus yang jahat, serta dari
pekerjaan jahat orang lain (guna-guna, tenung, racun dan sebagainya)
dan supaya anak dalam kandungan tetap sehat dan lahir tepat pada
waktunya tanpa kurang suatu apapun.
Setelah pengucapan kata-kata do’a tadi, ayah dan ibu dari wanita
yang hamil memberikan selimut jiwa dan roh (ulos tondi) kepada anak
dan menantunya dengan cara menyelimutkannya sekitar pundak kedua
orang itu. Lambang dari perbuatan itu adalah bahwa uwi/os itu akan
37, Bagian-bagian tubuh dari hewan (babi, kerbau, lembu, ayam, ikan) yang disembelih
merupakan lambang status orang yang menerimanya pada saat daging itu dibagi-
bagikan pada upacara adat.

56
melindungi putri dan menantunya serta roh kandungan dari pengaruh
roh-roh jahat (Ossenbruggen 1935: hlm. 13, 21). U/os itu selanjutnya
akan dipakai oleh si wanita yang hamil tadi agar badan dan jiwanya
tetap hangat, kuat dan penuh semangat dalam menghadapi bahaya pada
saat kelahiran bayinya.38
Kemudian ikan yang diberikan kepada suami-istri tadi, terlebih
dahulu dimakan oleh mereka dan baru hidangan untuk para tamu diberi-
kan. Dalam jaman dahulu upacara makan dimulai setelah datu
mengucapkan do’a (tonggo) kepada Mula Jadi Na Bolon; sekarang do’a
diucapkan oleh pendeta atau guru.
Apabila acara makan telah selesai, maka diadakan acara berbicara
secara adat marhata). Dalam pembicaraan yang sambut-menyambut ini,
pihak Aula-hula menyampaikan kata-kata hiburan dan memberi
semangat kepada si wanita hamil dan memohon do’a restu dari Tuhan
Yang Maha Esa agar putri mereka dan kandungannya diberkati dan
dilindungi dari mara bahaya dan roh-roh jahat.

8. MANGHAROAN
Mangharoan adalah kelahiran. Pada saat wanita yang hamil tadi telal
melahirkan, si suami menjatuhkan sebatang kayu besar dari atas atar
rumah ke halaman, lalu memotong-motongnya menjadi batang-batang
kecil dengan kapak. Upacara ini dinamakan manaha saganon
(Vergouwen 1964: him 225-226) di mana batang kayu tadi kemudian
dibakar di atas tungku perapian (tataring). Suara kapak yang
memotong-motong kayu tersebut merupakan tanda pengumuman
kepada seisi huta bahwa seorang bayi telah lahir. Orang-orang akan ber-
tanya songon dia yang artinya ’’jenis kelaminnya apa?’’ Maka si suami
akan menjawab_ ’’si butet’’ kalau bayinya perempuan dan *’si unsok’”’
atau ’’si bursok’’ kalau bayinya laki-laki. Kata-kata tadi juga
merupakan nama panggilan sementara menunggu adanya nama tetap
yang akan ditentukan melalui upacara. Si suami kemudian mengambil
beberapa tangkai daun jeruk yang disangkutkan di setiap sudut rumah
yang didatangi sambil memberitahukan kelahiran sang bayi. Pada saat
itu, para penghuni rumah juga akan menanyakan jenis kelamin si bayi. ‘
38. Ada beberapa perbedaan saat, dalam hal pemberian uw/os itu. Di beberapa tempat
terutama di wilayah Humbang, Silindung dan sebagian di Toba kain itu diberikan
pada saat acara pabosurhon yang sering disebut dengan acara mangalap ulos tondi
(mengambil ulos tondi). Adapun di tempat lain (di sebagian dari tanah Toba) ulos
diberikan pada saat pemberian nama kepada si bayi.

57
Mereka yang mendengar tentang kelahiran itu segera mengunjungi si ibu
yang baru melahirkan.
Apabila proses kelahirannya itu berjalan agak sulit, maka si suami
akan memutuskan semua tali pengikat, kemudian membunyikan bedil
(AMP 1898: hlm 17), atau kadang-kadang si suami memukul lantai
rumah tepat di bawah tempat si istri berbaring. Maksud semua tindakan
ini adalah agar kelaharian itu cepat berlangsung, karena suara yang
mengejutkan akan menyebabkan kelahiran secara tiba-tiba.
Kelahiran anak ditolong oleh seorang bidan tradisional pedesaan yang
disebut sibaso. Setelah sibaso memotong tali pusat dengan kulit bambu
(sambilu), dan kemudian membersihkan si ibu dan bayinya, lalu ia mem-
balut si bayi dengan selimut (ulos Batak) dan kemudian membaringkan-
nya di samping ibunya dekat perapian (tataring parapian) yang dibuat
khusus pada kelahiran itu oleh si suami (AMP 1898: hlm. 17; Tobing
1963: him. 154). Api perapian menyala terus sepanjang hari secara
lambat-lambat selama beberapa hari sampai satu minggu. Maksudnya
adalah agar badan si ibu dan bayi tetap hangat sehingga cepat sehat; dan
fungsinya yang lebih dalam adalah agar hantu atau roh-roh jahat tidak
berani mengganggu si ibu yang sedang lemah fisiknya itu. Ada ke-
yakinan bahwa hantu dan segala macam roh takut kepada api.
Ibu-ibu yang datang menjenguk segera memotong seekor ayam dan
mencampurnya dengan sejenis sayur yang rasanya asam bernama
bangun-bangun (Vergouwen 1964: hlm. 225-226). Bila yang lahir adalah
bayi laki-laki, maka ayam yang disembelih adalah ayam jantan dan bila
bayinya perempuan maka ayamnya adalah ayam betina. Pada waktu
makanan khusus tersebut yang dinamakan nanidugu dimakan, maka
secara simbolis nasi dan lauknya didekatkan ke mulut bayi sehingga
kena, sebagai pertanda bahwa kedatangannya ke dunia ini adalah untuk
makan,?? Pada saat itu sepotong paha ayam diberikan kepada bidan
(sibaso) sebagai haknya menurut adat (jambar).
Ekor ayam diberikan kepada ibu yang melahirkan; hati dan jantung
kepada si bayi, untuk dimakan oleh ibunya; kepala diberikan kepada
istri kepala Aufa yang juga hadir saat itu; paha yang sebuah lagi
diberikan kepada istri kakak atau adik (paidua ni suhut); pinggang
diberikan kepada isteri saudara suami dari nenek yang bersaudara,
demikian juga bagian sayap; leher adalah bagian orang yang membagi
jambar tersebut; empedal disimpan bagi orang yang kemungkinan
39, Bandingkan adat ini dengan adat yang juga didiskripsi dalam buku A. van Gennep
1975: him. 54).

58
datang belakangan; kaki adalah bagian bagi para pemuda dan bagian
dada dicampur dengan sayur asam (bangun-bangun) setelah dipotong
kecil-kecil. Semua orang dipersilakan mulai makan bagian-bagiannya
dari nanidugu tersehut dan pada saat itu, para hadirin disuguh nira
(tuak) yang dibuat dari bunga enau atau kelapa. Ada keyakinan bahwa
makanan nanidugu dan tuak adalah merupakan obat tradisional bagi si
ibu yang baru melahirkan, agar darahnya yang terbuang segera terganti
dan agar kekuatannya segera pulih kembali.
Setelah acara makan selesai salah seorang di antara para tamu
(terutama kalau ada laki-laki) memberi kata-kata do’a restu, yang kemu-
dian dijawab oleh ayah si bayi dengan ucapan terima kasih atas do’a
restu tersebut, Kemudian beberapa patah kata juga disampaikan kepada
bidan yang diikuti dengan pemberian u/os sampe-sampe sebagai tanda
terima kasih. U/os tersebut bermakna bahwa restu akan sampai kepada
si bayi dari Tuhan Mula Jadi Na Bolon; agar usia anak panjang, serta
selalu sehat sepanjang hidupnya.
Setelah acara makan itu selesai, tibalah masa krisis yang dinamakan
robu-robuan \amanya tujuh hari tujuh malam. Selama masa itu pen-
duduk Aufa secara bergantian berkumpul di rumah orang tua si bayi
setiap malam. Maksudnya adalah agar selalu ada orang yang tetap men-
jaga, agar hantu-hantu dan roh jahat jangan dapat mengganggu atau
mengambil si bayi. Bila hari yang ketujuh telah lalu, orang tidak perlu
datang lagi tetapi tidak ada larangan untuk tidur di rumah itu pad
malam-malam berikutnya.
Di daerah Humbang dan Silindung makan nanidugu (mandugu), di-
namakan juga mangan esek-esek yang artinya memakan makaman anak
yang baru lahir, dan upacara itu biasanya dihadiri oleh kaum wanita,
walaupun kaum pria tidak dilarang untuk menghadirinya. Di kota
(misalnya Medan) para peserta mangan esek-esek sudah diperluas
dengan kaum pria kerabat dekat serta para tetangga (jiran) dekat dari
orang tua si bayi, baik dari suku bangsa Batak maupun dari sukubangsa
lain.
Di beberapa tempat masih dilakukan upacara miangalalo bayi, pada
saat tali pusat si bayi telah diputuskan dari ibunya, dan si bayi diman-
dikan oleh bidan sibaso. Setelah itu seorang ibu yang termuda dari
hadirin mengambil si bayi dari samping ibunya kemudian mengayun-
kannya di atas perapian dengan menghitung satu sampai tujuh. Pada
hitungan yang ketujuh, si pengayun mengatakan: ’’buat on begu, molo

59
dang dibuat ho di hami nama on’’ dan segera setelah kalimat itu habis
diucapkan, si bayi itu terus dipeluknya erat-erat. Arti ucapan itu ialah:
“ambillah bayi ini hai hantu, kalau tidak kau ambil maka dia milik
kami’’. Perbuatan demikian nampaknya merupakan tindak persyahan
bahwa bayi yang baru lahir itu, adalah warga resmi dari marga orang
tuanya.
Setelah habis masa robu-robuan tujuh hari tujuh malam, pagi harinya
si ibu membawa bayi itu turun ke halaman agar, berkenalan dengan
matahari (Meerwaldt 1905: hlm. 119).40 Pada saat itu si ibu menunjuk-
kan di mana sawah si bayi, di mana hutannya, di mana kebunnya sambil
mengacungkan tangan ke arah-arah yang ditunjuk, bila bayi itu laki-
laki. Bila bayi perempuan, maka si ibu menunjukkan di mana sawahnya,
tepiannya, dan tempatnya mencari kayu bakar (persobanan). Maksud
dari tindakan ibu demikian itu, dianggap sebagai usaha untuk mencegah
si bayi menjadi terkejut kalau didatangi hantu ladang’ yang dinamakan
panungkunan (baca: panukkunan).
Bila si ayah tidak hadir pada saat kelahiran si bayi, maka pada perte-
muan yang pertama kali si ayah tidak boleh langsung menggendong atau
memangkunya. Terlebih dahulu si ayah harus memberikan pisau (piso)
kepada bayi laki-laki atau u/os kepada bayi perempuan (Meerwaldt
1905: hlm. 119). Pemberian itu melambangkan adanya hubungan darah
dan batin antara si anak dengan si bapak, serta merupakan
pemberitahuan kepada khalayak ramai bahwa bayi itu adalah anaknya
serta titisan darahnya.

9. MARTUTUAEK
Martutuaek berasal dari kata aek yang berarti air. Jadi air sebenarnya
ialah pergi ke air, dalam hal ini berarti pergi ke pemandian ke mata air
atau ke sungai (Tobing 1963: hlm. 154-155). Acara ini adalah acara adat
yang penting bagi bayi yang baru lahir berumur tiga hari, Sesudah tiga
hari si bayi dibawa ke tempat mandi umum untuk dipermandikan kemu-
dian sekembali dari sana si bayi diberi nama. Itulah sebabnya-upacara ini
sering juga dinamakan mampe goar (memberi nama).

40. Bandingkan tindakan itu dengan tindakan upacara yang dideskripsi oleh A. van
Gennep dalam bukunya (1975: him. 63-64)-

60
Sebelum pergi ke pancuran, terlebih dahulu diadakan upacara adat di
dalam rumah yang dinamakan menjamu raja (martonggo raja).
Biasanya apabila akan ada suatu rencana kerja keluarga dalam bidang
adat, maka si empunya hajad (suhut) terlebih dahulu mengadakan acara
fonggo raja tersebut. Di dalam pertemuan itu suhut memberitahukan
secara resmi apa yang akan dilakukannya, dan kepada raja-raja yang
hadir dimintakan partisipasinya yang penuh, do’a restu agar upacara
yang bersangkutan berjalan dengan baik. Pada pertemuan itu akan hadir
kelompok-kelompok sosial teman Sekampung (dongan sahuta, terutama
di kota), kerabat satu adat (dongan sabutuha saparadaton), kelompok
boru, dan kelompok hula-hula. Acara pertemuan yang mirip rapat adat
itu. sifatnya demokratis dan semua orang berhak bicara dan
mengeluarkan pendapat, bebas menolak pendapat orang lain. Acara
demikian selalu dibuka dengan makan dengan memotong babi atau ker-
bau, pada waktu sebelum acara sartutuaek dilaksanakan.
Para undangan yang diharapkan hadir adalah para warga kerabat
sekampung (dongan sahuta), kerabat semarga (dongan sabutuha), hula-
Aula, dan para wakil keturunan dari marga-marga pemberi istri dari para
nenek moyang (bona ni ari) sedikitnya lima generasi ke atas. Kecuali itu
biasanya juga diundang warga marga boru dan keturunan dari mes
yang dulu turut membuka kampung. Mereka itu dinamakan bor
hatopan.
Apabila si anak (biasanya laki-laki) akan mengambil nama salah
seorang nenek moyang, maka semua hadirin berdasarkan cabang garis
keturunan genealoginya, akan menerima bagian-bagian dari binatang
yang disembelih, menurut kedudukan mereka, beserta lauk istimewa di
atas piring sebagai tanda bahwa mereka turut menyetujui dan
memberkati pengambilan nama tersebut.
_ Pada acara ini pihak Au/a-hula membawa {kan mas yang ditaruh di
atas piring istimewa khusus untuk keperluan adat (pinggan pasu) dan di-
upakan (diupahon) kepada si bayi. Mereka juga menyerahkan ulos
parompa yaitu u/os untuk menggendong si bayi, yang diselimutkan
langsung ke tubuhnya. Kemudian Au/a-hul/a dan semua keturunan nenek
moyang yang hadir di situ, mengambil beras yang diberi nama boras si
pir ni tondi dan meletakkannya di kepala bayi dengan maksud agar roh
,si bayi menjadi sekeras beras, tahan melawan hantu dan roh-roh jahat.
“ Acara adat memandikan si bayi dilakukan setelah datu memilih hari
baik berdasarkan kalender Batak yang dinamakan parha/aan (Burton &
Ward 1826: hlm. 500-510). Setelah hari baik ditentukan, tanah di sepan-

61
jang jalan ke tempat permandiah diberi lobang-lobang mulai dari
halaman rumah. Pelobangan ini dianggap sebagai pemberitahuan
kepada penguasa bawah bumi Boras Pati Ni Tano bahwa ada seorang
bayi yang akan dipermandikan dengan harapan bahwa roh itu menerima
persembahan itu dan sekaligus memenuhi undangan menyaksikan
upacaranya melalui suara saat melobangi tanah tersebut. Kecuali itu
dipersiapkan bahan dan peralatan untuk upacara yang terdiri dari
tepung beras sebanyak 1% liter, sejumlah daun sejenis daun terong (/an-
teung), satu alat penugal yang dinamakan giringan; dipersiapkan daun
lanteung berfungsi sebagai penutup lobang,4! di atasnya ditaruhkan se-
jemput tepung beras yang dinamakan ifak gurgur.
Dengan membawa perlengkapan demikian, semua orang yang hadir
berprosesi membawa si bayi ke tempat permandiannya. Si pembawa
giringan berjalan di depan sekali, si pembawa daun /anfeung menyusul
dengan menutup setiap lobang yang dilaluinya dengan daun tersebut. Di
belakangnya berjalan ibu yang menggendong bayi; di belakangnya lagi si
pembawa tepung, yang meletakkan tepung di atas setiap daun yang
menutupi lobang. Di samping si penggendong bayi berjalan seorang ibu
yang membawa pecahan periuk tanah (ngarngar), yang berisi api (api ni
anduhur) (Loeb 1974: hlm. 64)
Setiba di pancuran, anak itu dimandikan, lalu dibawa pula dengan
meninggal ngarngar berisi api tadi di tepi pancuran sebagai tanda kepada
setiap orang bahwa baru saja ada bayi yang untuk pertama kali diper-
mandikan.
Sering juga upacara martutuaek dinamakan upacara mencuri jalan
. (manangko dalan), karena dianggap telah menipu dewa tanah tersebut.
Dipercayai bahwa dewa tanah asik memakan tepung di atas daun yang
gatal sehingga lupa pada si bayi. Dengan demikian si bayi selamat sam-
pai ke pancuran dan juga selamat sampai kembali ke rumah.
10. MANGEBANG
Bila bayi sudah berumur 21 hari, ibunya serta kaum kerabatnya mem-
bawanya ke pasar (onan), dengan mengenakan pakaian yang cantik-
cantik (AMP 1898: hlm. 17-18). Upacara ini disebut mangebang. Kata
mangebang berasal dari kata ebang yang artinya berjalan-jalan atau
berkeliling dan berarti berjalan-jalan atau berkeliling-keliling di pasar

4]. Daun /Janteung sifatnya lembut tetapi berbulu dan gatal. Demikian juga sifat penguasa
bawah bumi Boras Pati Ni Tano yang gatal dan ganas. Karena itu5 harus diberi sajian
agar menjadi baik.

62
ramai. Si ibu menggendong bayi dan berjalan di depan bersama ibu mer-
tua serta ibu-ibu lain keluarga dekat. Iringan tersebut selalu disapa orang
yang ketemu di jalan dengan pertanyaan hendak ke mana bayi dibawa.
Dengan ramah pertanyaan itu harus dijawab bahwa si bayi akan dibawa
ke pasar untuk ‘berbelanja.
Di pasar mereka membeli makanan misalnya pisang (gaol), lepat
(sagu-sagu) dan nira (tuak). Makanan dan minuman tersebut dibagi-
bagikan kepada para kerabat, Au/a-hula, para raja dan para kenalan.
Sambil memberikan makanan dan minuman, si ibu atau si nenek akan
memberitahukan bahwa makanan dan minuman itu adalah pemberian si
bayi. Para penerima secara spontan akan mengucapkan kata-kata pujian
dan do’a restu kepada bayi. Kemudian apabila ketemu kerabat atau
kenalan di perjalanan pulang, mereka juga diberi makanan dan
minuman tuak dengan pemberitahuan yang sama.
Maksud upacara mangebang tersebut adalah sebagai pengumuman
kepada semua pihak para kerabat sermarga, para kenalan, maupun para
raja tentang kelahiran bayi tersebut. Makanan dan minuman itu
merupakan lambang syahnya si bayi diterima sebagai warga masyarakat
kecil (kerabatnya) maupun masyarakat luas yaitu kampungnya atau
negerinya.4-

11. MAMPE GOAR

Upacara ini erat bersangkut-paut dengan upacara martutuaek adalal,


upacara pemberian nama atau mampe goar, karena nama si bayi diberi-
kan setelah kembali dari tempat permandian di mana si bayi dibersihkan
dan disucikan sebelum menerima nama. Istilah mampe goar artinya
meletakkan nama, berasal dari kata ampe (appe) artinya letak atau
terletak, sehingga arti harfiah dari istilah tersebut adalah ’’meletakkan
nama’’ ;
Pada saat si bayi sedang mengalami upacara martutuaek, pada saat itu
kaum kerabatnya memilih nama untuk dipimpin oleh seorang datu.
Sistem pemilihan nama ialah dengan cara mengajukan nama-nama
kepada datu baik dari ayah si bayi, maupun nenek atau kakeknya atau
juga kerabat dekat lainnya. Satu demi satu nama-nama tadi disampaikan
kepada datu (Vergouwen 1964: hlm. 230-232) yang mnenilainya dengan
cara menghitung jumlah huruf dan memperhitungkan kembali jumlah
42. Bandingkan upacara ini dengan data dari masyarakat lain yang diajukan oleh A. van
Gennep (1975: him. 62-63).

63
-
itu kepada jari tangannya.*? Apabila hitungan terakhir nilai total huruf
itu jatuh ke salah satu jari yang berarti kurang baik, kurang meng-
untungkan, atau kurang memberi rezeki, terutama berkaitan dengan
panjang umur dan jumlah anak, maka nama itu akan ditolak; demikian
seterusnya sampai suatu nama yang cocok ditemukan. Nama itu yang
kemudian dinilai dengan berpedoman kepada buku pedoman ilmu gaib,
pustaha (yang juga berisi cara-cara menentukan hari baik dan hari
buruk) sampai orang yakin bahwa rama yang dipilih mengandung arti
baik, panjang umur, murah rezeki, banyak anak, kesehatan badan dan
kebahagiaan dari si bayi yang akan memakai nama itu.
Bila orang yang pergi memandikan bayi, kembali dari tepian mereka
langsung menanyakan kepada da/u siapakah nama yang dipilih (diririt)
untuk si bayi. Apabila dafu memberitahukannya, maka mereka
menyatakan persetujuannya dengan mengatakan ke arah si bayi:

"sai goar tulut mai


sai goar sipajou-jouon
goar si paehet-eheton
donganna sari matua’’

Artinya:
"semoga nama yang sebenarnyalah itu,
nama yang selalu dipanggil,
nama yang selalu disebut-sebut,
temannya hingga masa tua’’

Biasanya dalam pemilihan nama, orang Batak memilih nama nenek


moyang yang mempunyai keunggulan dan sifat kepahlawanan. Atau
nama tumbuh-tumbuhan atau tempat yang berarti sangat baik, yang bisa
mengangkat si pemakai nama ke derajat yang tinggi, menjadi pembesar,
orang terkenal, orang kaya, dan orang yang mempunyai banyak anak
(gabe).44 Menurut mereka nama itu mempunyai arti yang menentukan
nasib si pemiliknya di hari depan. Demikian menurut keyakinan dan
pengalaman orang-orang tua sering nama itu sesuai sekali dengan si
pemakai, dengan melihat kehidupan sehari-hari atau sifat perangainya.
Sering nama itu dinilai terlalu tinggi bagi si pemilik, sehingga dia
dianggap tidak mampu memakainya. Bila keadaan seperti itu terjadi

43. Di kalangan orang Batak Toba jari tangan masing-masing punya arti simbolik yang
berbeda-beda.
44. Bandingkan hal itu dengan bahan yang tercantum dalam buku A, van Gennep (1975:
him. 62) dan dalam buku J.C. Vergouwen (1964: him. 230).

64

ool
maka si pemilik nama sering sakit, atau hidupnya sengsara atau ia akan
mati muda. Lalu diambil jalan keluar dari nasib malang itu, dengan cara
mengganti namanya dengan nama yang dinilai lebih sesuai atau lebih
rendah nilainya dari nama yang pertama. Misalnya nama yang diberikan
pada masa bayi ialah Bungaran, tetapi sejak nama itu diberikan kepa-
danya dia sering sakit; bahkan ia sesudah besar dan telah kawin, namun
hidupnya tetap sengsara. Maka orang-orang tua menganjurkan agar ia
mengadakan pergantian nama dengan upacara. Karena nama Bungaran
artinya terkenal, populer, jaya, hebat, mungkin nama itu tidak cocok
baginya, karena ternyata dia tidak menjadi orang yang terkenal itu,
tetapi malah menjadi sakit-sakitan, miskin, dan sama sekali tidak
terkenal atau tenar. Karena nama itu dianggap terlalu tinggi untuknya,
lalu oleh orang-orang tua diganti menjadi nama Sabam yang artinya
sabar, rendah hati, lapang dada.
Peresmian nama yang dipilih dilakukan di ruang tengah rumah
(tonga) dengan suatu upacara di mana tiga ekor ikan yang dimasak tan-
pa dipotong-potong dan disajikan di atas piring berisi nasi putih, di
depan si bayi dengan keépala ikan mengarah kepadanya. Kata-kata do’a
yang diucapkan orang-orang tua si anak pada saat itu adalah:
"On ma ale Ompung upaupa nai anak nami on, ale Ompung parsinangotan;
ba sat horas ma ibana gonggomon nami horas hami manggomgom"'
Artinya:
"inilah upaupa anak kami wahai Tuhan
kiranya dia sehat selamat dalam asuhan kami dan kami selamat mengasuhnya’’.

Suatu upacara besar diadakan bila seseorang ayah hendak memilih


nama salah seorang nenek moyangnya bagi bayinya. Upacara ini
dinamakan mambuat goar ni ompu atau imamarpe goar (Vergouwen
1964: hlm. 231) dan pelaksanaannya harus mendapat persetujuan dari
seluruh keturunan nenek moyang yang namanya dipilih tadi dan pesta
besar-besaran yang diadakan setelah upacara menyaratkan memotong
kerbau, menari (manortor) dan kehadiran semua unsur sosial dalihan na
tolu (hula-hula, boru dan dongan sabutuha). Alasan untuk mengambil
kembali nama nenek moyang adalah karena kebesaran, ketenaran, ke-
pahlawanan, kebijakan, kekayaan, serta banyak keturunan
(hagabeaon), sehingga anak yang akan memakai nama itu, diharapkan
bernasib sama dengan nenek moyang tersebut.
Pada masa sekarang sistem pemberian nama telah mengalami per-
ubahan terutama setelah orang memeluk agama-agama baru ialah

RITUS PERALIHAN DI INDONESIA — 5 65


Kristen, Islam atau Katolik. Memang sisa-sisa kepercayaan lama di
.dalam memilih nama masih ada, misalnya dengan menilai arti nama itu
dihubungkan dengan masa depan atau nasib si anak. Pemilihan nama
sudah cenderung berorientasi kepada nama tokoh-tokoh yang terdapat
dalam Al-Kitab atau Al-Qur’an misalnya Johannes, Jahia, Yahya,
Peterus, Petrus, Maria, Magdalena dari Al-Kitab, maupun Muhammad,
Sulaiman, Yunus dan lain-lain dari Al-Qur’an.
Akibat pengaruh pendidikan orang tua masa kini, maka teradi juga
perubahan nama-nama itu misalnya menjadi nama tokoh-tokoh film,
seperti Johnny, Anthony, Roy maupun nama dari sukubangsa lain di
mana Si orang tua pernah belajar atau bermukim misalnya Sowinoto,
I’in, Indra, A’ang, A’ad dan lain-lain.
Perubahan dasar yang kelihatan inilah, bahwa pengambilan nama itu
tidak dikaitkan lagi dengan nasib, tetapi sering didasarkan pada kebang-
gaan, rasa terhormat, rasa mentereng aneh, maupun demi kemudahan
sosial bagi anak itu kelak.
Pengesahan nama sekarang biasanya dilakukan di Gereja dan jarang
lagi dengan upacara tradisional yang dipimpin oleh seorang datu.
Walaupun demikian, juga mereka yang sudah menganut agama baru,
mengesahkan nama secara adat melalui suatu pesta adat yang dihadiri
oleh unsur sosial dalihan na tolu ditambah dengan teman sekampung
(dongan sahuta) terutama bagi mereka yang tinggal di kota atau daerah
perantauan. Upacara dimulai dengan pemanjatan do’a oleh pihak Gere-
ja, kemudian golongan boru memberikan (tudu-tudu ni sipanganon
kepada golongan Aula-hula. Sebagai balasannya Au/a-hula memberikan
ikan mas (dengke si marudur-udur)45 sebanyak tiga ekor atau lebih.
Kemudian Au/a-hula memberikan u/os yang diselimutkan sekitar pundak
orang tua si bayi, serta satu w/os penggendong. Maksud pemberian itu
adalah agar mereka terlindung dari roh jahat, selamat, serta panjang
umur.

11. MANJALO INDAHAN ARIAN

Apabila suatu keluarga telah mempunyai anak laki-laki yang pertama,


maka diadakan upacara adat yang disebut manjalo indahan arian
(Vergouwen 1964: hlm. 226). Istilah indahan arian berarti ’’nasi siang”’
sedangkan manjalo berarti ’’menerima’’ sehingga seluruh istilah tersebut,
45, Arti harfiah istilah ialah ikan yang berbaris-baris, dikatakan demikian karena
jkan itu diletakkan berbaris di atas nasi seperti sedang berenang. Diharapkan
keturunan mereka seperti dan sebanyak ikan yang berenang berbaris di dalam air.

66
berarti ’’menerima nasi makan siang’’. Tempat meminta indahan
arian ialah hula-hula dan yang diberi adalah sebidang sawah atau
ladang, kebun atau barang berharga. Sawah yang diberikan sebagai in-
dahan arian dinamakan ulos naso ra buruk yang artinya ’’selimut yang
tidak akan buruk.’’ Dengan itu dilambangkan bahwa Au/a-hula memberi
persediaan makanan untuk jangka panjang kepada keturunan dari
seorang Warga wanitanya, agar bisa hidup dengan selamat dan sejahtera
untuk waktu yang lama karena tanah tidak akan pernah menjadi buruk.
Sedangkan kain biasanya tentunya akan buruk dan musnah.
Secara tidak langsung sebenarnya pemberian indahan arian juga
melambangkan bahwa kehidupan pihak boru banyak tergantung kepada
hula-hula. Dengan demikian ikatan sosial antara kedua kelompok
kekerabatan itu tidak bisa putus. Keterikatan sosial itu diperlihatkan lagi
oleh adanya sistem perkawinan yang mengambhil putri paman. Baik u/os
naso ra buruk maupun u/os Kain yang diberikan oleh hula-hula kepada
boru adalah pettanda bahwa Aula-hula telah melindungi boru dengan
kekuatan rohnya (saha/a), kuasanya, sehingga selamat (Van Ossenbrug-
gen 1935: hlm. 6, 21).
Sebagai perwujudan dari asas keturunan patrilineal, pada upacara
manjalo indahan arian nenek dari si bayi dari pihak ayah memberikan
sebidang sawah atau ladang maupun kebun kepada cucu laki-laki yang
pertama itu (Vergouwen 1964: hlm. 60; Ypes 1932: hlm. 285). Kecuali /n-
dahan arian, pemberian itu sering juga dinamakan saba bangunan
(Ossenbruggen 1935: hlm. 14, 15, 20) atau ’’upah kepada cucu”’ (upa
pahompu). Mengenai soal ’’sawah bangunan’”’ ada perbedaan pendapat.
Ypes menyebutkan bahwa sawah bangunan (saba bangunan) adalah
sawah yang diberikan oleh orang tua kepada seorang anak wanita yang
Sangat dicintainya tetapi belum kawin (Ypes 1932: hlm. 336). Apabila
sudah kawin maka sawah itu tetap miliknya dan dianggap sebagai
hadiah dan bekal hidupnya serta keturunannya yang dinamakan pau-
seang (Vergouwen 1964: hlm. 226, 239). :
Baik indahan arian, maupun upa pahompu atau saba bangunan
diberikan hanya kepada cucu pertama yang laki-laki saja, yang lain
tidak. Hal ini menurut konsepsi status sosial Batak Toba yang meman-
dang bahwa dengan kelahiran bayi itu status sosial ayah dan ibunya serta
nenek dan kakeknya menjadi naik satu tingkat. Di sini kemudian
berlaku adat teknonimi*: dan kalau si bayi diberi nama Bungaran maka
46. Adat teknonimi (feknonymy) adalah adat untuk menyapa seseorang dengan nama
anaknya.

67
sapaan ayahnya berobah dari panggilan nama asli menjadi Ama ni
Bungaran, sapaan untuk ibunya menjadi Nai Bungaran, dan untuk
nenek dan kakeknya menjadi Ompu Bungaran (Loeb 1974: him. 65).
Bagi orang Batak Toba meraih nama baru tersebut merupakan suatu
idaman, dan bila tercapai maka ia akan merasa naik kedudukannya dan
kehormatannya. Demikian juga seorang kakek atau nenek bila mening-
gal telah berhak dipestakan dengan melaksanakan adat yang penuh (adat
na gok). j
Untuk memperoleh indahan arian maupun upa pahompu atau saba
bangunan, si bayi dibawa oleh ayah dan ibunya dan saudara ayahnya
mengunjungi pihak Au/a-hula, yaitu orang tua si ibu dan bila orang tua si
ibu itu sudah meninggal saudara laki-lakinya yang dikunjungi. Mereka
membawa makanan adat berupa nasi dan lauk pauk daging babi yang
lengkap dengan bagian-bagian utama penunjuk status sosial penerima
(namargoarna). Dalam upacara itu saudara pria ayah dari si bayi
mengutarakan maksud kedatangan mereka untuk membawa berkunjung
(paebathon) anak mereka kepada Aula-hula dan sekaligus meminta in-
dahan arian, Dalam pembicaraan itu golongan Au/a-hula dengan senang
hati mengabulkan permintaan itu dan sekaligus menunjukkan atau
memberitahukan sawah mana atau ladang mana yang akan diserahkan,
berapa luasnya serta berapa jumlah padi yang biasanya dihasilkannya.
Kemudian raja-raja kaum kerabat Aula-hula, kaum kerabat boru dan
para tetangga yang juga diundang, menyampaikan rasa sukur kepada
Tuhan dan menjadi saksi dari pemberian anugerah (pasu-pasu) kepada si
bayi kepada orangtuanya, serta semua anggota rombongan yang meng-
antarkannya. Tidak seorangpun yang menjadi saksi dari pemberian
tanah tadi akan berani mengingkari bila pada suatu hari kelak, salah
seorang keturunan Au/a-hula mencoba menggugat pemberian tersebut.
Kesaksian itu dikukuhkan dengan suatu acara makan bersama yang di-
lakukan sebagai penutup upacara. Seperti pada semua acara makan ber-
sama semua hadirin mendapat bagian-bagian dari daging, yang menurut
adat sesuai dengan status sosialnya dalam hubungan kekerabatan (jam-
bar). Kecuali daging yang mereka terima berdasarkan status sosial
mereka tadi (jambar juhut), pada pertemuan makan bersama itu,
mereka juga mendapat hak bicara yang tata-urutnyd juga berdasarkan
status sosial (jambar hata) juga uang untuk membeli tuak (pasituak na
tonggi). Uang itu harus diartikan sebagai lambang kegembiraan akan
pemberian yang dirasakan manis seperti tuak.
Upacara seperti terlukis di atas juga dilakukan dalam acara menerima

68
upah cucu (manjalo upa pahompu) dari nenek si anak. Perbedaannya
ialah bahwa yang hadir hanya warga satu marga ditambah boru yang
tinggal menetap di Auta yang bersangkutan (boru na gojong).
Apabila apa yang diminta kepada hula-hula atau orang tua ayah si
bayi telah diberikan atau disebutkan di depan hadirin, maka sebagai im-
balannya ayah si bayi menyerahkan suatu pemberian yang dinamakan
piso-piso*’? kepada hAula-hula. Dahulu pemberian itu benar-benar
berupa pisau, yang melambangkan alat yang dapat dipergunakan oleh
hula-hula untuk menyembelih babi atau hewan lain yang akan selalu
diberikan boru. Adapun arti simbolik lain yang bersifat politik adalah
bahwa penyerahan piso-piso berwujud pisau sesungguhnya melam-
bangkan bahwa golongan boru tetap kalah dan harus tunduk kepada
hula-hula serta tidak akan membahayakan kedudukan hAu/a-hula (Ossen-
bruggen 1935, hlm. 15, 20). Sekarang piso-piso berupa pemberian ter-
nak, padi, emas atau uang.

12. PENUTUP

Pada masa kini banyak dari upacara sekitar kelahiran anak sudah
disederhanakan dan dipersingkat. Generasi muda sekarang mulai tidak
begitu mementingkan arti dasar dari upacara-upacara itu, tetapi masih
enggan juga untuk samasekali meniadakannya. Akibat perkembangan
kenaikan penduduk, intensifikasi komunikasi, perkembangan pen-
didikan, dan kemajuan teknologi memang akan menyebabkan hilangnya
upacara-upacara itu sehingga mungkin hanya akan tinggal sisa-sisanya
sebagai petunjuk bahwa upacara sekitar kelahiran itu, pernah ada di
kalangan orang Batak Toba.

13. DAFTAR KEPUSTAKAAN

American Mission Press, AMP


1898 Ruhut Parsaoron di Habatahon. Singapore, AMP.
Burton, Ward
1827 Transactions of the Royal Asiatic Society of Great and Ireland, 1, London,
J.L. Cox. ~
Gennep. A. van
1975 The Rites of Passage, Translated by M.E. Visedom, G.L. Coffe, Chichago,
University of Chicago Press.

47. Kata piso, berarti ’'’pisau’’. Piso-piso adalah pemberian dari pihak boru kepada pihak
hula-Aula, atau dari anak kepada orangtuanya.

: 69
Harahap, T. .
1979 Upacara Adat Istiadat Batak Toba Holbung. Medan, Laporan Penelitian,
Jurusan Antropologi FKIS, IKIP Medan
Joustra, M. '
1910 Batakspiegel, Leiden, S.G. van Doesburgh Bataksch Instituut No. 3.
Koentjaraningrat
1977 Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta, P.T. Dian Rakyat.
Loeb, M.
1974 Sumatra Its History and People. Kuala Lumpur, Oxford University Press.
Meerwaldt, J.H.
1904-05-06 Gebruiken der Bataks in het Maatschappelifk Leven. Rotterdam, Mededee!-
ingen van wege het Nederlandsxhe Zendelinggenootschap, XLVIII, 49, 50.
Ossenbruggen, F.D.E. van
1935 Het Economisch Magisch Element in Tobasche Verwantschapsverhou-
' dingen. Amsterdam, Mededeelingen der Koninkelijke- Akademie van
Wetenschappen, Afd. Letterkunde, LXXX, Serie B, 3: hlm. 63-125.
Parkin, H.
1978 Batak Fruit of Hindu Thought. Madras, The Christian Literatur Society,
Diocesan Press.
Payung Bangun
1981 Pelapisan Sosial di Kabanjahe. Jakarta, Universitas Indonesia (Disertasi
Dokter Antropologi Sosial, Universitas Indonesia).
Sihombing, J.
1961 Saratus Taon HKBP. Medan, Philemon & Liberty.
Siagian C.
1979 Selayang Pandang Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Silaen.
S:mandjuntak, B.A.
1966 Pengaruh Sosial Antara Agama dan Kebudaygan. Yogyakarta (Skripsi
UGM).
1978 Struktur Sosial Politik Batak Toba. Leiden (Skripsi Universitas Leiden).
Sinaga, M.S.M.
1972 Mengenal Daerah Kabupaten Tapanuli Utara Dewasa ni. Tarutung,
Kabupaten Tapanuli Utara.
Singarimbun
1975 Kinship Des cent and Alliance Among the Karo Batak. Berkeley, University
of California Press.
Tobing, Ph. O.L. ,
1956 The Structure Of The Toba-Batak Belief in The High God. Amsterdam (Di-
sertasi Universitas Utrecht).
Vergouwen, J.C.
1964 The Social Organisation and Customary Law Of Nothern Sumatra. Ter-
jemahan dari bahasa Belanda. The Hague, Martnius Nijhoff.

70

Anda mungkin juga menyukai