Abstrak
Kearifan lokal sebagai suatu kekayaan budaya yang mengandung nilai pandangan,
kebijakan, dan kearifan hidup masyarakat dalam banyak ragam variannya, seperti
tercermin dalam konsep krama, sesenggak. perteke, atau lelakaq. Namun saat ini
kearifan lokal masih belum difungsikan secara optimal, padahal kearifan lokal dapat
dijadikan rujukan sebagai model dalam pengelolaan konflik dan masalah sosial di
masyarakat. Keterlibatan kearifan lokal dapat diupayakan melalui pembangunan
perdamaian untuk mencegah dan melokalisir konflik di masyarakat, karena melibatkan
kearifan lokal terbukti mampu mempertahankan harmoni sosial. Artikel ini berupaya
mendeskripsikan kearifan lokal suku Sasak dengan pendekatan kualitatif berbasis
content analisis. Dalam upaya pengelolaan konflik harus ada keterlibatan tokoh agama
dan tokoh adat dalam mendorong hadirnya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap
kearifan lokal. Oleh karena itu, untuk menjadikan kearifan lokal sebagai model dalam
pengelolaan konflik, maka perlu direvitaliasi dan disosialisasikan secara sistematis dan
massif sehingga dapat fungsional sebagai model pengelolaan konflik di masyarakat
Lombok. Pendekatan multikultural berbasis kearifan lokal ini merupakan model
penting yang dapat dimanfaatkan untu pngelolaan konflik di wilayah ini.
Kata kunci: konflik, kearifan lokal suku Sasak, pendekatan multikultural, pengelolaan
konflik
Abstract
Local wisdom can be defined as a local cultural treasure that contains the values of life policy,
life viewpoints, and living wisdom. Local wisdom not only applied locally to a particular culture
or ethnic, but also to be a cross-cultural or cross-etnical known as the concept of Bhineka
Tunggal Ika (Unity in Diversity) in which there are teachings of mutual assistance, tolerance,
64
65 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85
hard work, and mutual respect. Local wisdom can be used as a reference in solving problems
in the community.In the related reconciliation efforts, it was revealed that there was the
involvement of religious and traditional leaders in encouraging the enhancement public
appreciation of local wisdom. The local wisdom of the Sasak tribe varies widely, as reflected
in the concept of krama, sekenggak. perteke, or lelakaq. Sasak local wisdom needs to be
revitalized and socialized systematically and synergistically by traditional leaders, religious
leaders and stakeholders in the region to function as a model of conflict management in Lombok
society. This multicultural approach based on local wisdom is an important model that can be
utilized to minimize conflicts in the region.
Keywords: conflict, local wisdom of Sasak tribe, multicultural approach, conflict resolution
ingatan masyarakat adalah apa yang masyarakat. Tentunya hal itu tidak
terjadi di pesantren Umar bin Khattab diinginkan terulang kembali. Oleh
(UBK) di Bima. Demikian juga, karena itu, dibutuhkan suatu bentuk
fenomena benih-benih paham upaya preventif agar tidak terulang serta
keagamaan radikal dan potensi konflik penanganan permasalahan yang timbul
komunal masih bercokol di sejumlah dengan baik secara proporsional,
tempat di pulau Lombok, seperti terutama dengan pendekatan kearifan
konflik Monjok versus Karang lokal.
Taliwang.
Lebih jauh, dalam konteks 2. Kerangka Teori
kelompok-kelompok masyarakat yang 2.1. Kearifan Lokal Suku Sasak
berbeda agama, jika dicermati Kedamaian dan keharmonisan
pergerakannya, meski di permukaan sebetulnya merupakan kultur dominan
nampak rukun dan tenang, namun di masyarakat Sasak. Sejumlah idiom
bawah permukaan sesungguhnya terjadi yang dikenal di lingkungan masyarakat
persaingan dan perebutan pengaruh dan Sasak sangat dekat dengan orientasi
pengikut. Lebih jauh, konflik sosial kedamaian. Konsep ajinin yang secara
akibat sara telah menimbulkan kerugian harfiah berarti saling menghormati,
besar bagi masyarakat maupun reme, rapah, regen yang berarti suka
pemerintah, dari sisi materiel yakni memberi, memilih situasi aman damai
hancurnya infrastruktur yang ada dan dan mendukung toleransi menambah
hilang/rusaknya harta kekayaan. Lebih khazanah kearifan lokal masyarakat
dari itu, konflik juga berdampak pada Lombok dalam menjalani relasi sosial.
sosio-psikologik dan sosio-kultural Sejak masa lampau, etnis Sasak
yang memprihatinkan bagi masyarakat telah mengenal wadah yang menjadi
di mana konflik terjadi. Konflik sosial induk dalam kehidupan bermasyarakat
tersebut telah menimbulkan depresi mereka yang mengatur tentang
sosial, traumatik, keinginan balas pedoman hidup warga masyarakat, dan
dendam, dan menguatnya fenomena tempat mereka mencari rujukan untuk
social tention, cultural disintegration menetapkan sanksi atas terjadi
dan rendahnya social trust terhadap pelanggaran dalam tata pergaulan
pemerintah maupun terhadap kelompok komunitasnya. Wadah itu dikenal
67 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85
dengan istilah krama. Konsepsi ini a. Krama banjar urip pati, yaitu suatu
teraktualisasikan atau terjabarkan kelompok adat atau perkumpulan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat yang anggotanya
masyarakat Sasak sejak masa lampau terdiri atas penduduk di suatu
sehingga pelaksanaan dari konsepsi kampung/dusun (dasan) atau berasal
kultural itu telah menjelma menjadi dari beberapa dasan, yang
berbagai elemen atau unsur yang tidak keanggotaannya berdasarkan dan
terpisahkan. mempunyai tujuan yang sama.
Secara konseptual, krama Krama banjar lebih banyak bergerak
merupakan institusi adat yang pada banjar yang terkait urusan
memayungi kearifan lokal yang terdiri orang hidup dan orang yang mati.
atas dua macam, yaitu krama sebagai Jenisnya antara lain krama banjar
lembaga adat dan krama sebagai aturan subak, krama banjar merariq, krama
pergaulan sosial. Ajikrama terdiri atas banjar mate, dan krama banjar haji.
kata, aji yang berarti harga atau nilai b. Krama Gubuk, yaitu bentuk krama
dan krama \DQJ EHUDUWL µsuci¶ dan adat yang beranggotakan seluruh
terkadang berarti µdaerah atau kesatuan masyarakat dalam suatu gubuk
penduduk dalam suatu wilayah dalam (dasan, dusun, kampung) tanpa
VXDWX GDHUDK DGDW¶. Dengan demikian, kecuali. Keanggotaan krama tidak
ajikrama lambang adat, artinya nilai memandang bulu asalkan secara adat
suci dari suatu strata sosial adat Sasak dan administratif yang bersangkutan
berdasarkan wilayah adatnya. adalah penduduk yang sah di dalam
2.2. Krama dalam Fungsi Sosial dan gubuk.
Hukum c. Krama Desa, yaitu majelis adat
Subbab di atas telah menjelaskan tingkat desa, terdiri atas pemusungan
bahwa ajikrama lambang adat yang (Kepala Desa Adat), juru arah
artinya nilai suci dari suatu strata sosial (Pembantu Kepala Desa), lang-lang
adat Sasak ini dibagi menjadi dua, desa (Kepala Keamanan Desa),
yaitu: jaksa (Hakim Desa), luput
1. Krama sebagai lembaga adat terdiri (Koordinator Kesejahteraan Desa),
atas beberapa bagian, antara lain: dan kiai penghulu.
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAKY ~DX , Œ(]v •µZ ]• | 68
(baik yang dikerjakan maka akan Ketiga hal inilah yang akan
mendapat kebaikan dan buruk yang mewarnai setiap pandangan, ucapan,
dikerjakan maka akan mendapatkan dan perbuatan masyarakat Sasak
keburukan), piliq buku ngawan, semet menjadi adab budaya yang tidak hanya
bulu mauq banteng, empak bau, aik diukur dengan hasil karya secara
meneng, tunjung tilah. Masyarakat material, namun yang lebih penting
memahami bahwa seluruh alam raya adalah nilai-nilai yang diperoleh selama
diciptakan untuk digunakan oleh hidup yang tercermin dari pelaksanaan
manusia dalam melanjutkan evolusinya adat istiadat mereka (Sarjana, 2004).
hingga mencapai tujuan penciptaan. Aspek kearifal lokal suku Sasak
Kehidupan mahluk-mahluk Tuhan inilah yang perlu dielaborasi dan
saling terkait. Bila terjadi gangguan dieksplorasi secara komprehensif dan
yang luar biasa terhadap salah satunya, holistik sehingga terbentuk pola
mahluk yang berada dalam lingkungan pemahaman tentang kearifan local yang
hidup akan ikut terganggu pula. terpadu, bersinergi, dan harmoni yang
Berdasarkan aturan adat budaya dimiliki masyarakat Sasak dalam hidup
ini, muncul budaya tradisional bermasyarakat sebagai model dalam
masyarakat Sasak yang tidak lepas dari mengeloala konflik yang melibatkan
pola trinitaris dasar yakni: pertama, semua elemen masyarakat dan stake
³epe-aik´ VHEDJDL 3HPLOLN \DQJ 0DKD holder yang ada dalam masyarakat.
Kuasa atas segala asal kejadian alam Sementara itu, fenomena maraknya
dan manusia. Kedua ³gumi-paer´ konflik sosial yang terjadi di
sebagai tanah tempat berpijak di situ masyarakat suku Sasak, baik di
langit dijunMXQJ NDUHQD GL ³gumi-paer´ Lombok Barat, Lombok Tengah,
ini masyarakat Sasak dilahirkan, diberi Lombok Timur, dan Kota Mataram
kehidupan dan selanjutnya diwafatkan. harus dilihat secara komprehensif.
Ketiga ³budi-kaye´ \DQJ PHUXSDNDQ Fenomena konflik saat ini memang
kekayaan pribadi dari kesadaran akan melanda hampir semua etnis
³budi-daye´ \DQJ PHQXUXQNDQ ³DNDO- masyarakat di Indonesia. Hal ini
EXGL´ SDGD VHWLDS GLUL PDQXVLD XQWXN menjadi fenomena umum ketika saluran
mendapatkan kemuliaan hidup yang informasi dapat diakses secara masif,
akan dibawa sampai meninggal dunia. sehingga dapat membawa ekses kepada
75 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85
NRPXQLWDV ODLQ \DQJ VHFDUD ODWDK ³LNXW- merawat dan mengelola perbedaan
LNXWDQ´ XQWXN PHQJHNVSUHVLNDQ tersebut. Hanya saja, berbagai kearifan
eksistensi identitas etnis atau lokal yang mungkin dikembangkan di
kelompoknya. negeri ini masih saja membutuhkan
Di samping itu, konflik juga apresiasi dan penguatan dari para elit
dipicu oleh adanya ketimpangan sosial agar kearifan lokal ini bekerja
dan anomali moral dalam masyarakat. (workable) secara baik. Para pemimpin
Hal inilah yang menyebabkan pada tradisional adalah penggerak yang
batas-batas tertentu tidak berfungsinya menentukan harmoni sosial pada suatu
kearifan lokal secara maksimal komunitas.
sehingga perlu dilakukan upaya Dalam komunitas Sasak,
revitalisasi kearifan lokal dan reka cipta sejumlah kearifan nilai lokal sejatinya
kearifan lokal baru (institutional dapat dikembangkan sebagai upaya
development), suatu reka cipta kearifan mengelola konflik dan membangun
lokal baru, yang tepat guna untuk harmoni. Nilai-nilai kearifan lokal bisa
menjawab tantangan sosial, ekonomi dilacak dari naskah kuno Kotaragama,
dan budaya, serta politik masa kini di sesenggak (peribahasa), perteke, atau
masyarakat. lelakaq (pantun). Berikut ini
Rekomendasi perlunya diketengahkan beberapa pantun
PHOLEDWNDQ ³RUDQJ GDODP´ PHODOXL (lelakaq) kearifan lokal Sasak yang
kearifan lokal sebagai alternatif resolusi memiliki makna luhur dalam
konflik sebetulnya bisa digunakan membangun harmoni kedamaian untuk
untuk kasus-kasus konflik bernuansa meredam konflik dan mengingatkan
agama. Meskipun agama masih tentang tujuan akhir kehidupan untuk
diperdebatkan sebagai unsur budaya mendapatkan kebahagiaan dan
atau bukan dalam konstruksi sosial keselamatan dunia-akhirat. Hal ini
masyarakat, fakta historis tergambar dari pantun (lelakaq) Sasak
memperlihatkan bahwa proses integrasi berikut ini:
dan harmoni di antara keyakinan yang Niniq Bai, Bije Sanaq Naken
Bagus ± bagus ntan jauq diriq endak
berbeda yang pernah hidup di Indonesia
langgar adat krama tertip tapsila endak
dapat berlangsung justru karena piwal leq dengan towaq, pengelingsir
leq pesware dengan si kwase silaq
kontribusi kearifan lokal dalam
beriuk tunas ring arepan dekaji Allah
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAKY ~DX , Œ(]v •µZ ]• | 76
7D¶ DOH 1HQHT VL .XDVH DPSRT WH MDUL ini mengarah pada upaya menjaga
dengan besanakan si tao jauq diriq
harmoni sosial, seperti budaya roah
Saleh-solah-soloh, Patut-patuh-pacu
genem geger gerasak Lombok Mirah atau begawe, yang berarti pesta. Dalam
Saksaq Adi, sekadi siq tesurat leq dalam
banyak kesempatan, roah dilakukan
kitab negare kerta game maliq perlu te
pade iling, Sai-sai juaq si te ican jari pada upacara kelahiran, pernikahan
perkanggo endaq jari dengan si besifat
hingga kematian serta aktivitas
bahil loba tamaq beterus betabeat
angkuh iri dengki dait sombong iling- perayaan hari-hari besar keagamaan,
iling-iling beriuk pade iling.
VHSHUWL 0DXOLG 1DEL GDQ ,VUD¶-PL¶UDM
Tradisi ini dilaksanakan dengan cara
Berdasarkan pantun tersebut,
sebuah keluarga biasanya memasak
tergambar bahwa kedamaian dan
makanan dan mengundang tetangga,
harmoni sebetulnya merupakan kultur
teman, atau sanak sadara untuk makan
dominan masyarakat Sasak. Sejumlah
bersama. Mereka secara kekeluargaan
idiom yang dikenal di lingkungan
melakukannya dengan cara duduk
masyarakat Sasak sangat dekat dengan
bersila melingkar dan bersama-sama
orientasi kedamaian. Konsep ajinin
menyantap makanan yang dihidangkan.
yang secara harfiah berarti saling
Aktivitas ini biasanya disebut begibung
menghormati, reme, rapah, regen, yang
(Suprapto, 2013).
berarti suka memberi, memilih situasi
Dalam begibung, semua orang
aman damai dan mendukung toleransi
duduk sejajar tanpa dibedakan status
menambah khazanah kearifan lokal
sosialnya. Mereka membaur menjadi
masyarakat Lombok dalam menajalani
satu dan dalam suasana penuh
relasi sosial.
kekeluargaan. Meskipun sejumlah
Selain terdapat sejumlah petuah
orang tokoh seperti tuan guru dan kiai
lama yang menjadi nilai-nilai luhur
biasanya memperoleh hidangan lebih
yang mengatur interaksi sosial di Pulau
awal ketimbang warga yang lain tetapi
Lombok, terdapat pula banyak tradisi
secara keseluruhan posisi mereka dalam
yang jika ditelusuri dapat menjadi
proses begibung adalah sama.
bagian dari upaya bina damai (peace
Menyantap makanan tanpa
building). Tradisi-tradisi tersebut
menggunakan sendok, semua orang
hingga kini masih dipraktikan di
merasakan menu masakan yang sama
komunitas Sasak, terutama di daerah
sambil bercengkerama secara lepas.
pedesaan. Hampir keseluruhan tradisi
77 | Mabasan, Vol. 12, No. 1, Januari--Juni 2018: 64--85
Tradisi ini jelas menggambarkan ini, masyarakat suku Sasak juga sadar
adanya kerukunan dan keharmonisan di dan tidak menutup mata jika kehidupan
antara warga. Semangat menjalin mereka memang berbeda dan mereka
silaturahim sangat kental dalam juga biasa memuji kepada orang-orang
kegiatan ini. yang mampu menjaga diri dan
Praktik kearifan lokal Sasak keluarganya dari perbuatan-perbuatan
dalam bentuk institusi roah atau tercela.
begawe ini merupakan institusi Di luar falsafah hidup yang dapat
slametan yang berkaitan dengan digali dari kearifan lokal tersebut, pada
kerukunan dalam kehidupan beragama. beberapa desa di Lombok, terdapat pula
Kerukunan dan keselarasan sejumlah aturan yang disepakati
menggunakan media slametan pada bersama oleh anggota masyarakat dan
suku Sasak tercermin dalam slametan menjadi semacam hukum tak terlulis.
kelahiran anak, slametan kematian, Aturan yang disepakati bersama ini
slametan ibadah keagamaan seperti dinamakan awig-awig. Awig-awig, ada
haji, slametan untuk menuntut ilmu dan yang tertulis dan ada yang tak tertulis.
rizki dan bermacam-macam bentuk Dalam praktiknya, awig-awig ini dapat
slametan lainnya. Pada masyarakat lebih efektif dibanding hukum formal
suku Sasak, jika dalam acara slametan yang dikonstruksi negara. Rumusan
ini, maka tidak seorangpun merasa awig-awig yang bersumber dari
dibedakan dari orang lain. masyarakat dan dirumuskan secara
Dengan adanya acara slametan partisipatif mendorong masyarakat
masyarakat suku Sasak, akan dapat dengan sukarela menaati dan
tercipta hubungan yang harmonis, tanpa menjaganya. Jadi, ketaatan yang
adanya jarak antara orang per orang dan muncul lebih karena kesadaran, bukan
kelompok dalam komunitas paksaan.
masyarakat. Namun demikian, 4.2 Revitalisasi Prinsip Nilai
Kearifan Lokal Suku Sasak
meskipun ada jarak dalam interaksi
sosial kehidupan masyarakat suku Untuk memahami nilai budaya
Sasak --hal ini tidak dapat dipungkiri-- suku Sasak secara komprehensif,
, dengan slametan akan tetap terjaga dibutuhkan pengertian dan pemahaman
keharmonisannya. Dengan slametan terhadap makna dari setiap perangkat
KEARIFAN LOKAL SUKU SASAKY ~DX , Œ(]v •µZ ]• | 78