Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN

PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

Acara III
(Sub Kultur)
Oleh:
Yanuar Saputra
Karimatul Aini
Maulidiana Dwi Arini
Wahyul Inayah
Indah Suciati
Khusnul Khotimah
Sylvia Anggaeni
Zhahro Arifa W.
Diana Widyaningtyas
Asrinindias

(130210103001)
(130210103012)
(130210103001)
(130210103049)
(130210103051)
(130210103053)
(130210103054)
(130210103062)
(130210103067)
(130210103092)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara
memperbanyak jaringan makro tanaman yang akan di tumbuhkan secara in vitro
menjadi tanaman yang sempurna dalam jumlah yang banyak atau tidak terbatas.
Sedangkan sub kultur adalah pemindahan tanaman kultur tanaman dari media

yang lama ke media yang baru setelah selesai di kulturkan untuk memperoleh
pertumbuhan yang baru yang diinginkan dan dalam jumlah banyak. Sehingga
untuk melanjutkan pertumbuhan tanaman kultur jaringan maka perlu dilakukan
pemindahan dari keadaan in vitro ke in vivo untuk perkembangan dan
pertumbuhan tanaman selanjutnya.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam subkultur ini tidak jauh berbeda
dengan saat melakukan kultur jaringan yaitu sub kultur ini harus di lakukan secara
aseptik sehingga saat pemotongan bahan tanam dilakukan di dalam laminar air
flow untuk mencegah kontaminasi pada bahan tanam yang akan kita tanam.
Kegiatan sub kultur ini dilakukan sesuai dengan jenis tanaman yang di kulturkan
dan dalam tahapannya juga diperhatikan beberapa langkah untuk mendukung
keberhasilan adaptasi tanaman dari heterotrof ke autotrof. Dalam laporan ini akan
dijelaskan tahap sub kultur dari awal pemindahan, penanaman hingga hasil
pertumbuhannya dan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tersebut.
1.2 Tujuan
Tujuan dilakukan praktikum ini untuk mengetahui pertumbuhan kultur baru
setelah dilakukan sub kultur dengan media yang berbeda.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum, produksi bibit melalui metode kultur jaringan memerlukan


beberapa tahap, yaitu (1) penyediaan bahan tanaman (eksplan) dari induk terpilih,
(2) sterilisasi eksplan yang akan ditanam pada media inisiasi, (3) penanaman pada
media untuk penggandaan atau multiplikasi tunas,(4) penanaman pada media
untuk perakaran atau pembentukan planlet, dan (5) aklimatisasi. Penyediaan bibit

dengan teknik kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman yang seragam,baik


dari bentuk maupun umur tanaman, juga dapat dihasilkan bibit yang bebas
pathogen (Lingga, 2007).
Pengembangan teknik kultur jaringan atau teknik in vitro bagi
perbanyakan tanaman setelah berhasil dilakukan melalui kultur tunas pucuk.
Penguasaan teknik tersebut, selain bermanfaat bagi penyediaan bibit unggul
diharapkan dapat dijadikan langkah awal bagi perbaikan mutu genetikiles-iles
baik melalui poliploidisasi, induksi mutasi maupun hibridisasi somatik.
Penggunaan tangkai daun (petiole) sebagai sumber eksplan sudah banyak
diterapkan pada kultur jaringan tanaman hias. Eksplan batang, akar dan daun
menghasilkan kalus yang heterogen dengan berbagai macam sel. Kadang-kadang
jaringan yang kelihatannya seragam histologinya, ternyata menghasilkan kalus
dengan sel yang mempunyai DNA yang berbeda yang mencerminkan level ploidi
yang berbeda. Begitupun pada kultur akar kalus yang dihasilkan dapat berupa
campuran sel dengan tingkat ploidi yang berbeda. Sel-sel yang heterogen dari
jaringan yang komplek menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. Dengan
mengubah komposisi media, terjadi seleksi sel-sel yang mempunyai sifatk husus.
Hal ini berarti bahwa media tumbuh menentukan komposisi kalus. Sel yang
jumlahnya paling banyak merupakan sel-sel yang paling cepat membelah dan sel
yang paling sedikit adalah sel yang paling lambat pertumbuhannya (Yuliarti,
2010).
Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat
penting adalah sitokinin dan auksin. NAA (Naftaleine Asetat Acid) adalah zat
pengatur tumbuh yang tergolong auksin. Pengaruh auksin terhadap perkembangan
sel menunjukkan bahwa auksin dapat meningkatkan sintesa protein. Dengan
adanya kenaikan sintesa protein, maka dapat digunakan sebagai sumber tenaga
dalam pertumbuhan. Adapun kinetin (6-furfury amino purine) tergolong zat
pengatur tumbuh dalam kelompok sitokinin. Kinetin adalah kelompok sitokinin
yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Dalam
pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan
pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan (Lingga, 2007).

Teknik kultur jaringandenganadanya zat pengatur tumbuh sangat nyata


pengaruhnya. Sangat sulit untuk menerapkan teknik kultur jaringan pada upaya
perbanyakan tanaman tanpa melibatkan zat pengatur tumbuhnya. Hendaryono
(1994) menyatakan bahwa pada hasil percobaan pada tanaman tembakau ternyata
kalus tidak tumbuh pada media dengan auksin saja, tetapi untuk pertumbuhan
kalus memerlukan penambahan sitokinin. Auksin dan sitokinin merupakan zat
pengatur tumbuh yang dibutuhkan dalam media budidaya jaringandan diberikan
dalam konsentrasi yangsesuai dengan pertumbuhan yang diinginkan (Hendrayono
dan Wijayani, 1994).
Massa kultur yang ditumbuhkan terlalu lama dalam media yang tetap,
akan menyebabkan terjadinya kehabisan hara dan air. Kehabisan hara dan air
dapat terjadi karena selain terhisap untuk pertumbuhan juga karena media
menguapkan air dari masa kemasa. Kalus tersebut kecuali kehabisan unsur hara,
kalus juga mengeluarkan persenyawaan-persenyawaan hasil metabolisme yang
menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri. Untuk menjaga kehidupan dan
perbanyakan

yang

berkesinambungan,

kalus

yang

dihasilkan

perlu

disubkulturkan. Massa sel yang dipindahkan pada subkultur harus cukup banyak
antara 5-10 mm atau seberat 20-100 mg, supaya ada pertumbuhan yang cepat
dalam media baru. Subkultur sebaiknya dilakukan 28 hari sekali (4-6 minggu
sekali). Namun waktu yang tepat untuk memindahkan kultur, tergantung dari
kecepatan pertumbuhan kalus. Massa kalus ada 2 macam yaitu massa yang remah
(friable) dan kompak. Bila massa kalus remah maka pemindahan kalus cukup
dilakukan dengan menyendok kalus dengan spatula atau skapel langsung
disubkultur ke media baru. Namun bila kalus kompak mesti dipindah ke petridish
steril untuk dipotong-potong dengan skapel baru disubkultur ke media baru. Kalus
yang sudah mengalami nekrosis (pencoklatan) sebaiknya tidak ikut disubkultur
karena tidak akan tumbuh dengan baik (Lingga, 2007).
The shoot cultures were further multiplied by two approaches (i) repeated
transfer of mother explants and (ii) subculture of in vitro produced shoots. The
original explants were repeatedly transferred (after harvesting shoots) to fresh MS
medium supplemented with 3.0 mgl-1 BAP and 0.5 mgl-1 IAA to yield more

shoots up to five passages. After 2-3 weeks regenerated shoots isolated from
explants were cut into segments with 1-2 nodes (1.0-2.0 cm in length) and
subculture on MS agar gelled as well as liquid medium containing different
concentrations of BAP (0.1-3.0 mgl-1). These experimental sets were maintained
for three subcultures, with each passage of 3-4 week intervals. Rooting of in vitro
produced shoots Rooting of shoots was attempted on agar-gelled medium. The
healthy shoots were excised, separated and transferred individually to full, half,
one-third and one-fourth strength of MS medium + 0.1% activated charcoal with
3% sucrose and various concentrations (0.5-5.0 mgl-1) of IBA or IAA. (Kannan,
2012).
In plant tissue culture, the selection of suitable types and sources of
explants are critical factors for obtaining a successful culture [1, 2].
Conventionally, wounding the surface of explants can initiate callus tissues or
direct regeneration through organogenesis or embryogenesis in in vitro culture [1,
3]. However, the browning or blackening of cultures is an obstacle in the
establishment of explants, chiefly because of the phenol-like or oxidized
compounds that are secreted from wounded tissues [4, 5]. Tissue darkening is a
major problem in orchid tissue culture, despite treatments such as the addition of
adsorbents and antioxidants, selection of explant types, and shortening of
subculture periods [1, 6, 7], which inhibit callus formation or regeneration from
explants in several types of orchids [613]. In the previous works on Phalaenopsis
orchids, light induced explants to secrete toxic substances and gave an almost
complete inhibition on direct embryo induction. (Feng, 2014)
The callus formation affect of TDZ addition [24]. Other factors, including
number of subcultures and environmental conditions, were also considered in
regeneration of Dieffenbachia in vitro. Subcultures found to be essential to
increase the number of shoots. Voyiatzi and Voyiatzis [49] demonstrate that
successive recultures of the basal clump of tissue remaining after the first culture,
resulted in an increase in the number of new shoots. Mogollon [27] noticed
significant differences in the in the number of shoots, length of shoots and roots

between two subcultures. The highest values were obtained at second subculture.
The effects of temperature [49] and light quality [50] on aseptically growth of
Dieffenbachia were regarded to lesser extent. (Elsheikh, 2013)

BAB III. METODE PELAKSANAAN


3.1 Waktu dan tempat

Waktu
Tempat

: 07.00 09.30
: Laboraturium Bioteknologi, Fakultas Pertanian UNEJ

3.2 Bahan dan Alat


3.2.1 Bahan

Media tanam
Aquadest
Kentang
Tembakau
Air
Alkohol 70%
Botol aqua
Akar pakis

3.2.2 Alat

Beaker glass
Scalpel
Laminar air flow
Bunsen
Petridish
Pinset

3.3 Prosedur Kerja


Menyiapkan kultur tembakau yang sudah siap disub kultur dan media
kosong

Mengeluarkan tanaman tembakau dari botol kultur dan meletakkan di


petridist steril

Memisahkan satu persatu tanaman yang tumbuh menggerombol


menggunakan pinset dan pisau steril

Membuang daun tembakau dan memotong tembakau secara horizontal


pada bagian nodus

Menanam satu persatu tembakau kedalam media kosong

3.4 Parameter Pengamatan

Menentukan faktor yang menyebabkan keberhasilan sub kultur dengan ada

tidaknya kematian dan penyebabnya.


Mengamati hasil subkultur dengan parameter jumlah tunas, panjang tunas
dan jumlah akar.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Pengamatan
U
KENTANG
TEMBAKAU
L
Hari ke 4
Hari ke 5
Hari ke 4
Hari ke 5
A

N
P.

P.

P.

P.

G
aka
aka
aka
aka
tunas tunas
tunas tunas
tunas tunas
tunas
A tunas
r
r
r
r
N
A1
0
2
0
1.4
2
2
0
0
0
0
0
0
A2 1.75
0
3
0
0
0
0.25
0
0.5
0.75
0
0.5
B1 0.3
1
1
0.4
1
2
0
0
0
0
0
0
B2 1.5
0
2
0
0
0
0.75
2
1
3.2
2
2.5
C1
0
4
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
C2 1.25
0
2
0
0
0
0.25
0
0.5
0.5
0
1
D1 0.2
0
1
0.3
2
1
0
0
0
0
0
0
D2 1.75
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Keterangan :
A
= 2.4D 0,5 ppm
B
= BAP 0,5 ppm
C
= IAA 0,5 ppm
D
= BAP 1 ppm + IBA 0,5 ppm

= Jumlah
P.
= Panjang dalam satuan cm
4.2 Pembahasan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan ada beberapa perlakuaan pada
media yang digunakan. Praktikum Subkultur tembakau dan kentang ini
menggunakan medium tanam dengan berbagai variasi komposisi media yaitu
ulangan 1 (A1 dan A2) menggunakan media MS perlakuan 2,4 D 0,5 ppm , untuk
ulangan 2 (B1 dan B2)

menggunakan media MS perlakuan BAP 0,5 ppm,

Ulangan ketiga (C1 dan C2) dengan perlakuan IAA 0,5 ppm, untuk ulangan
keempat menggunakan media MS perlakuan dan BAP 1,0 ppm + IBA 0,5 ppm.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa pada botol A1
menggunakan media MS perlakuan 2,4 D 0,5 ppm, dengan tumbuhan kentang
pada botol satu tidak terdapat tunas dan jumlah akar sebanyak 2 pada hari

keempat, pada hari kelima panjang tunas 1,4 cm, jumlah tunas adalah 2 dan
jumlah akar adalah 2. Pada botol A2 tumbuhan kentang pada botol satu memiliki
panjang tunas 1,75 cm dan jumlah akar nol pada hari keempat. Pada hari kelima
panjang tunas 0, jumlah tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk
kelompok menggunakan tembakau pada botol A1,

tidak terdapat tunas dan

jumlah akar sebanyak 0 pada hari keempat. Pada hari kelima panjang 0, jumlah
tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk tembakau pada botol A2, jumlah
tunas adalah 0,25, jumlah akar nol, panjang tunas 0,5 cm pada hari keempat. Pada
hari kelima panjang tunas 0,25 cm, jumlah tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah
0,5.

Menurut (Rai et.,al, 2014). 2- 4, D (asam 2,4-Dichlorophenxyacetic)

digunakan untuk induksi kalus dan peningkatan perakaran. Dari empat auksin
sintetik ini, 2,4-D telah banyak digunakan sebagai pengatur pertumbuhan dalam
kultur sel tanaman dan ada laporan bahwa konsentrasi tinggi 2,4-D penyebab
epigenetik dan variasi genetik dalam beberapa tanaman 14 di bawah in-vitro
kondisi. Terlihat pada data kelompok satu sesuai dengan teori karena yang
mengalami respon adalah akarnya bukan tunas, Karen 2,4-D ini merupakan auksin
sintetik.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa pada botol B1
menggunakan media MS perlakuan BAP 0,5 ppm. dengan tumbuhan kentang pada
botol B1 panjang tunas adalah 0,3 cm, jumlah tunas adalah 2 cm dan jumlah akar
sebanyak 1 pada hari keempat, pada hari kelima panjang tunas 0,4 cm, jumlah
tunas adalah 2 dan jumlah akar adalah 1. Pada botol B2 tumbuhan kentang pada
botol satu memiliki panjang tunas 1,5 cm, jumlah tunas adalah 2 dan jumlah akar
nol pada hari keempat pada hari kelima panjang tunas 0, jumlah tunas adalah 0
dan jumlah akar adalah 0. Untuk kelompok menggunakan tembakau pada botol
B1,

botol satu tidak terdapat tunas dan jumlah akar sebanyak 0 pada hari

keempat,, pada hari kelima panjang 0, jumlah tunas adalah 0 dan jumlah akar
adalah 0. Untuk tembakau pada botol B2, botol satu panjang tunas adalah 0,75
cm, jumlah akar 2, jumlah tunas 1 cm pada hari keempat,, pada hari kelima
panjang tunas 3,5 cm, jumlah tunas adalah 2,5 dan jumlah akar adalah 2. Menurut
(Ferdaus, et.,al, 2015) BAP dengan konsentrasi 0.5 mg/l dan konsentrasi IBA of

0.3 mg/l

merupakan konsentrasi yang paling baik untuk proliferasi tunas

(perbanyakan sel tunas) dan pemanjangan akar. Jadi tumbuhan pada media ini
yang berkembang adalah tunasnya.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa pada botol C1
menggunakan media MS perlakuan perlakuan IAA 0,5 ppm, dengan tumbuhan
kentang pada botol C1 panjang tunas adalah 0 cm, jumlah tunas adalah 0 dan
jumlah akar sebanyak 4 pada hari keempat, pada hari kelima panjang tunas 0 cm,
jumlah tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 5.

Pada botol C2 tumbuhan

kentang pada botol satu memiliki panjang tunas 1,25 cm, jumlah tunas adalah 2
dan jumlah akar nol pada hari keempat pada hari kelima panjang tunas 0, jumlah
tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk kelompok menggunakan
tembakau pada botol C1,

botol satu tidak terdapat tunas dan jumlah akar

sebanyak 0 pada hari keempat,, pada hari kelima panjang 0, jumlah tunas adalah 0
dan jumlah akar adalah 0. Untuk tembakau pada botol C2, botol satu panjang
tunas adalah 0,25 cm, jumlah akar 0, jumlah tunas 0.5 cm pada hari keempat, pada
hari kelima panjang tunas 0,5 cm, jumlah tunas adalah 1 dan jumlah akar adalah
0. Terlihat pada hasil pengamtan kelompok 1 menggunkan media dengan
perlakuan IAA 0,5 ppm pada tumbuhan kentang jumlah akarnya banyak kerena
menurut (Ngomuo,2013) auksin yang menginisiasi pembentukan akar pada
keadaan in vitro, jadi pada medium ketiga ini ditambah zat pengatur tumbuh yang
berperan untuk pembentukan akar. Terlihat bahwa medium ke tingga dengan IAA
0,5 ppm jumlah akar lebih banyak dibadingkan medium C2. Jadi yang diindukasi
pada botol dengan perlakuan IAA 0,5 ppm adalah akarnya, terlihat juga juga pada
kentang tidak terbentuk tunas. Pada kelompok 3 dan 4 menggunkan kentang dan
tembakau akar tidak tumbuh malah tunas tumbuh hal ini terjadi karena tumbuhan
mati lalu sisa potongan diatas dikira tunas padahal bukan.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa pada botol D
menggunakan media MS perlakuan perlakuan BAP 1,0 ppm + IBA 0,5 ppm.
Dengan tumbuhan kentang pada botol D1 panjang tunas adalah 0,2 cm, jumlah
tunas adalah 2 dan jumlah akar sebanyak 0 pada hari keempat, pada hari kelima
panjang tunas 0,3 cm, jumlah tunas adalah 1 dan jumlah akar adalah 1. Pada botol

D2 tumbuhan kentang pada botol satu memiliki panjang tunas 1,75 cm, jumlah
tunas adalah 2 dan jumlah akar nol pada hari keempat pada hari kelima panjang
tunas 0, jumlah tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk kelompok
menggunakan tembakau pada botol D1,

botol satu tidak terdapat tunas dan

jumlah akar sebanyak 0 pada hari keempat,, pada hari kelima panjang 0, jumlah
tunas adalah 0 dan jumlah akar adalah 0. Untuk tembakau pada botol D2, botol
satu panjang tunas adalah 0 cm, jumlah akar 0, jumlah tunas 0.5 cm pada hari
keempat, pada hari kelima panjang tunas 0 cm, jumlah tunas adalah 0 dan jumlah
akar adalah 0. Menurut (Ferdaus, et.,al, 2015) BAP dengan konsentrasi 0.5 mg/l
dan konsentrasi IBA of 0.3 mg/l merupakan konsentrasi yang paling baik untuk
proliferasi tunas (perbanyakan sel tunas) dan pemanjangan akar. BAP disini
berperan perkembangan tunas sedangkan IBA untuk pemanjangan akar, sehingga
media yang ditambahi BAP dan IBA maka pertumbuhannya akan seimbang
karena tunas maupun akarnya ada yang membantu untuk berkembang atau
tumbuh yakni BAP dan IBA. Terlihat pada data pertumbuhan antara akar dan
tunas tidak berbeda jauh atau seimbang.
Subkultur merupakan salah satu tahap metode dalam kultur jaringan, yaitu
suatu teknik yang dilakukan di antara tahapan kultur. Subkultur atau overplanting
adalah pemindahan planlet yang masih sangat kecil (planlet muda) dari medium
lama ke dalam medium baru yang dilakukan secara aseptis yang dilakukan di
dalam Laminar Air Flow (LAF). Pada dasarnya subkultur merupakan teknik
memisahkan, memotong, membelah dan menanam kembali eksplan yang telah
tumbuh sehingga jumlah tanaman akan bertambah banyak dengan tujuan tertentu
di dalam suatu kegiatan kultur jaringan (Hendaryono, 1994).
Dilakukannya suatu teknik subkultur (overplanting) ketika terjadi suatu
keadaan-keadaan atau kondisi tertentu yang mengharuskan suatu kultur jaringan
untuk dilakukan suatu subkultur, antara lain yaitu, pertama unsur hara dalam
media sudah banyak berkurang, hal ini terjadi disebabkan semakin besar eksplan
dan semakin banyaknya jumlah eksplan di dalam kultur menyebabkan jumlah
nutrisi di dalam media akan banyak berkurang, sebaiknya tumbuhan didalam

kultur jaringan cepat di subkulturkan kedalam media baru, agar pertumbuhan dan
perkembangannya tidak terganggu (Suliansyah, 2013).
Kondisi Kedua, yaitu pertumbuhan tanaman sudah memenuhi botol atau
tabung sehingga berdesakan dan memungkinkan terjadi perebutan nutrisi pada
tanaman di dalam kultur jaringan, jika tidak dilakukan subkultur makan akan
terjadi kompetisi perebutan nutrisi di dalam suatu media kultur jaringan, dan dapat
menyebabkan tanaman pertumbuhan dan perkembangannya menjadi lambat
karena nutrisi yang didapatkan dari media kultur jaringan yang terbatas. Kondisi
ketiga, yaitu sudah saatnya dipindah untuk diperbanyak atau diakarkan. Kondisi
ini bertujuan untuk memperbanyak populasi dari tanaman yang akan dikulturkan
sehingga dari satu tanaman dapat dihasilkan banyak tanaman dengan sifat yang
sama (Suliansyah, 2013).
Kondisi Keempat, terjadi pencoklatan pada media sehingga bila dibiarkan
akan mematikan jaringan. Kecoklatan pada media disebabkan karena adanya
senyawa fenol pada tanaman yang dikultur, yang dapat mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan tanaman yang akan dikulturkan. Kondisi kelima, eksplan
memerlukan komposisi media baru untuk membentuk organ atau struktur baru.
Dan kondisi keenam yang terakhir adalah terjadinya perubahan pada media
menjadi cair karena penurunan pH oleh tanaman (Suliansyah, 2013).
Menurut Wattimena, et al dalam Kasli (2011) menyatakan bahwa ada
beberapa faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis
tanaman dalam sub kultur yang dapat digolongkan menjadi 4, yaitu: (1) genotipe
sumber bahan tanaman yang digunakan, (2) media yang mencakup komponen
penyusunnya, (3) lingkungan tumbuh yaitu keadaan fisik tempat kultur
ditumbuhkan, dan (4) fisiologi jaringan tanaman.
Dimana dari faktor-faktor yang yang disebutkan di atas berarti faktor
genotip sumber bahan tanam yang digunakan sangat penting untuk tumbuh dan
berkembangnya tanaman setelah di subkultur dimana jika sumber tanaman yang
didapatkan dari tanaman yang kurang sehat dan kurang baik, maka kemungkinan
besar tumbuhan yang di subkultur akan mati. Kemudian media yang digunakan

sesuai atau tidak untuk pertumbuhan tanaman yang di subkultur, karena jika
media yang digunakan tidak sesuai maka kemungkinan tanaman yang akan di
subkultur tidak akan bisa berkembang dan akhirnya akan mati. Selain itu factor
lingkungan juga sangat penting untuk pertumbuhan tanaman yang di subkultur.
Jika factor lingkungan yang digunakan untuk subkultur itu kurang bersih maka
akan banyak kemingkinan terjadi kontaminan, dan kontamian tersebut bisa berupa
jamur atau bakteri yang tumbuh di media subkultur ataupun timbuh di tanaman
yang di subkkultur. Sehingga tanaman yang di subkultur tidak dapat berkembang
bahkan mati. Fisiologi jaringan tanaman juga sangat penting dalam tumbuh atau
tidaknya tanaman, Karena jika jaringan dalam tanaman sudah rusak, maka
tanaman tidak akan dapat tumbuh atau mati.
Menurut Jumroh (2014), bahwa organ propagul yang digunakan dalam
subkultur dipisahkan dari tunas-tunas yang 100% tumbuh dengan baik, agar nanti
setelah di subkultur dapat tumbuh dengan baik. Selain itu, isolasi bahan tanaman
yang dilakukan sewaktu sub kultur eksplan yang digunakan dapat dipertahankan
dalam kondisi yang steril dan tidak rusak akibat kerusakan mekanis selama
pengkulturan dan ruang kultur yang digunakan dapat dipertahankan secara
konsisten suhu, cahaya, dan kelembaban. Suatu eksplan/propagul dapat tumbuh
apabila eksplan yang digunakan adalah organ jaringan yang sehat dan sesuai
dengan lingkungan tumbuhnya. Ada 4 faktor lingkungan yang harus tetap
terkontrol untuk keberhasilan tujuan kultur jaringan, yaitu keasaman, kelembaban,
cahaya, dan temperature. Apabila semua factor dan langkah-langkah tersebut
sudah dilakukan dengan baik maka tanaman yang disubkultur akan tumbuh
dengan baik. Tetapi jika cara melakukan subkultur itu tidak benar dan lingkungan
yang digunakan untuk subkultur tidak sesuai maka kemungkinan tanaman yang
disubkultur akan layu dan mati.
Adanya sifat totipotensi pada sel tumbuhan, menyebabkan eksplan
tumbuhan yang dikulturkan pada media agar yang mengandung nutrisi untuk
pertumbuhan tanaman serta telah diberikan zat pengatur tumbuh (ZPT), akan
mengalami pembelahan dan pemanjangn sel sel sehingga berkembang menjadi

akar, yang dipengaruhi oleh hormon auksin yang merangsang pembentukan akar
lateral. Umumnya eksplan akan membentuk akar pada minggu awal pertumbuhan,
kemudian dilanjutkan dengan pertumbuhan tunas-tunas. Tunas dapat terbentuk
karena konsentrasi hormon sitokinin lebih besar daripada konsentrasi hormon
auksin. Tetapi jika konsentrasi hormon auksin lebih besar daripada konsentrasi
hormon sitokinin, maka yang terbentuk adalah kalus yaitu sekumpulan sel
amorphous (tidak berbentuk atau belum terdiferensiasi) yang terbentuk dari sel-sel
yang membelah terus menerus secara in vitro atau di dalam tabung.
Inisiasi perakaran dapat dirangsang dengan auksin (IAA, NAA dan IBA).
IBA merupakan jenis auksin yang paling sering digunakan dalam menginduksi
akar dibandingkan jenis auksin lainnya, karena memiliki kemampuan yang tinggi
dalam mengendalikan inisiasi akar. Disamping itu, IBA juga lebih stabil dan
tingkat toksisitas yang rendah dibandingkan NAA dan IAA. Widiastoety dan
Soebijanto (1988) menggunakan IBA untuk menginduksi akar pada stek bunga
sepatu dengan persentase keberhasilan lebih dari 96%. Pemberian IBA pada
tanaman pule pandak, memberikan pengaruh yang nyata pada jumlah akar,
panjang akar maupun waktu inisiasi akar. Konsentrasi IBA 3 ppm adalah paling
efektif pada tanaman pule pandak dengan rata-rata persentase keberhasilan
pertumbuhan akar 70%.
Setelah tahap perakaran, maka fase selanjutnya yang harus dilakukan
adalah aklimatisasi tanaman di rumah kaca. Keberhasilan aklimatisasi selain
dipengaruhi faktor perakaran tanaman, juga kemampuan mengendalikan kondisi
lingkungan, dan media tumbuh di rumah kaca. Menurut Imelda et al. (2007),
keberhasilan aklimatisasi planlet sungkai dipengaruhi oleh cara penanganan saat
pengeluaran plantlet dari botol kultur, media tumbuh saat di rumah kaca (harus
steril) dan lingkungan mikro plantlet (disungkup selama 2 minggu sampai muncul
daun baru) (Kristina.2012).
Hal ini sesuai dengan teori, menurut Aladele, et. all (2012), Di antara
semua hormon pertumbuhan yang digunakan, IBA ( 0.05 mg / l ) + BAP ( 0.01 mg
/ l ) kombinasi memberikan hasil terbaik untuk kedua perakaran dan panah

sementara terbanyak node ditemukan di BAP ( 0.05 mg / l ) + NAA ( 0.01 mg / l).


Penerapan kinetin baik dalam kombinasi dengan naa dan sendirian mengakibatkan
prematur penuaan dengan nomor node lebih rendah. Hal ini merupakan sebuah
ketentuan untuk 27 hasil yang menunjukkan bahwa kinetin bukan penyimpan
hormon untuk regenerasi sel, terutama jika itu akan tetap ditumbuhkan secara in
vitro untuk waktu yang lama. Namun BAP ( 0.05 mg / l ) + IAA( 0.01 mg / l )
adalah kombinasi yang memunculkan paling sedikit node dan kallus yang
dihaslkan tanpa regenerasi menjadi plantlet. Hasil menunjukkan bahwa
pertumbuhan T. occidentalis secara in vitro dipengaruhi oleh hormon yang
spesifik. Karena faktor perbedaan jenis tanaman yaitu kentang dan tembakau,
maka munculnya akar dan tunas dari masing-masing eksplan berbeda.
Pemanjangan organ merupakan proses akhir dalam diferensiasi. Setiap
bagian akan terorganisir menjadi calon plumula batang dan calon akar (Goerge
Shanington, 1984). Masalah perkembangan embrio somatik tidak hanya pada
ketersediaan jenis hormone sitokinin, tetapi dan konsentrasi juga pencoklatan
yang terjadi pada bahan tanam. Pada kadar tertentu, senyawa phenol penyebab
pencoklatan tersebut dapat menghambat metabolism sel daerah dalam dan
masalah jaringan (Carimi dan Pasquale, 2000 dalam Rossa 2011). Salah satu
upaya untuk menekan masalah pencoklatan adalah dengan menambahkan asam
askorbat pada media subkultur sebagai antioksidan. Diferensiasi diawali dengan
inisiasi embrio, yang ditandai oleh pertambahan ukuran embrio, pemanjangan
bentuk serta perubahan warna sel bagian luar (Rangaswami, 1982 dalam Rossa,
2011).
Media yang banyak digunakan untuk subkultur sampai saat ini adalah
media MS. Untuk mengarahkan biakan pada organogenesis yang diinginkan, ke
dalam media ditambahkan zat pengatur tumbuh, zat pengartur tumbuh yang
digunakan dalam praktikum kali ini adalah 2,4 D 0,5 ppm, BAP 0,5 ppm, IAA 0,5
ppm, dan kombinasi antara BAP 1,0 ppm dan IBA 0,5 ppm, dan jika dilihat dari
hasil pengamatan untuk pengaruh hormone yang pertama yaitu pada medium A1
2,4 D 0,5 ppm, lebih menginisiasi pertumbuhan akar, dibandingkan pertumbuhan

tunas. Hal ini sesuai dengan teori, yang menyebutkan, peran auksin adalah
merangsang pembelahan dan perbesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman
dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru. Penambahan auksin dalam
jumlah yang lebih besar, atau penambahan auksin yang lebih stabil, seperti asam
2,4-D cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan
menghambat regenerasi pucuk tanaman (Yusnita, 2003). Hal ini dikarenakan asam
2,4-D yang merupakan salah satu zat pengatur tumbuh golongan auksin sintetik
dan kinetin merupakan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin sintetik yang
menyebabkan peningkatan pembelahan sel. Namun, pada medium A2 hormon ini,
menunjukkan induksi yang berbeda, yakni lebih menginduksi pertumbuhan tunas
dibandingkan pertumbuhan akar. Hal ini dikarenakan factor dari hormone itu
sendiri yang juga mengandung sitokinin, tipe kinetin, yang dapat meningkatkan
pertumbuhan dan pembelahan sel yang lebih menginduksi pertumbuhan tunas,
factor lain yang mempengaruhi adalah factor cahaya, dimana menurut (Katuk,
1989). Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan. secara umum
intensitas cahaya yang optimum untuk tanaman pada tahap inisiasi kultur adalah 0
- 1000 Lux, jadi dapat dimungkinkan intensitas cahaya yang didapatkan kultur
pada medium A1 dan A2 berbeda, sehingga kerja dari hormone 2,4 D yang
didapatkan pun berbeda.
Dan hormone yang kedua adalah BAP 0,5 ppm, pada medium B1 dan B2
dari hasil pengamatan menunjukkan pada kedua medium tersebut, BAP lebih
menginduksi pertumbuhan tunas dibandingkan pertumbuhan akar, hal ini sesuai
dengan teori yang menyebutkan bahwa perlakuan tanpa BAP (0,5 ppm) ternyata
memberikan jumlah akar banyak dan kecenderungan jumlah akar menurun dengan
meningkatnya konsentrasi BAP. Keadaan ini membuktikan bahwa BAP mampu
menekan pertumbuhan akar. Kemampuan menghambat pertumbuhan akar ini
sangat penting dalam penggandaan tunas atau (multiplikasi) (Maryani, 2005).
Jadi, dengan kandungan BAP 0,5 ppm, dapat menginduksi petumbuhan tunas dan
juga akar, namun cenderung menginduksi pertumbuhan tunas dari eksplan.
Sedangkan untuk medium C yang terisi oleh IAA 0,5 ppm didapatkan hasil
bahwa pada C ulangan 1 memiliki panjang tunas yang semakin bertambah setiap

pengamatan. Hal ini diarenakan medium C merupakan medium yang mengandung


hormon auksin sehingga memiliki tingkat pertambahan panjang akar yang relatif
tinggi. Adanya pertambahan panjang tunas ini sesuai teori karena IAA merupakan
hormon yang mengatur induksi pertumbuhan akar (Darwesh, Bazaid, dan Samra,
2014). Namun, untuk medium C ulangan 2 terdapat perbedaan hasil dimana tidak
nampak pertumbuhan akar, tetapi lebih berpengaruh pada pemanjangan tunas.
Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa selain berfungsi sebagai pemanjangan
akar, hormon auksin juga dapat menginduksi proses pemanjangan tunas (Patel dan
Krishnamurthy, 2013). Tunas yang dihasilkan bukan berasal dari titik tumbuh
aksilar atau terminal tetapi berasal dari jaringan tanaman seperti daun, petiole,
tangkai bunga atau yang lainnya, tetapi melalui tahap pembentukan kalus disebut
dengan tunas adventif. Kemampuan kalus beregenerasi membentuk tunas selain
dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh dan media tumbuh, dipengaruhi pula oleh
ukuran atau umur kalus. Kalus yang baru terbentuk dengan ukuran berkisar
antara 2-5 mm dan umur kurang dari 4 minggu, mempunyai peluang lebih besar
untuk diregenerasikan menjadi tunas dibandingkan yang sudah disubkultur
beberapa kali. Kalus yang masih muda, daya mersitematis, kandungan zat
pengatur tumbuh dan asam amino seperti prolin atau senyawa lain seperti spermin
atau spermidin masih tinggi (Khadimi et al.,. 2014).
Untuk medium yang terakhir (D) yang merupakan perpaduan antara BAP
1,0 ppm dan IBA 0,5 ppm pada ulangan pertama didapatkan hasil bahwa ada
pertumbuhan akar maupun tunas, hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan
bahwa penggunaan sitokinin dan auksin dalam satu media dapat memacu
proliferasi tunas maupun pemanjangan akar tanaman

karena ada pengaruh

sinergisme antara zat pengatur tumbuh tersebut (Darwesh, Bazaid, dan Samra,
2014). Namun hal ini tidak berlaku bagi medium D ulangan ke 2, dari hasil yang
diperoleh hanya pada hari ke 4 eksplan menunjukkan pertumbuhan tunas dan akar,
dan pada hari selanjutnya tidak menunjukkan adanya pertumbuhan akar maupun
tunas. Hal ini bisa terjadi karena dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya ialah
cahaya maupun lama penyinaran, dimana faktor-faktor luar tersebut juga bisa
mempegaruhi pertumbuhan eksplan (Yusnita, 2003). Pada perbanyakan tanaman

secara invitro, kultur umumnya diinkubasikan pada ruang penyimpanan dengan


penyinaran.

Tunas-tunas

umumnya

dirangsang

pertumbuhannya

dengan

penyinaran, kecuali pada teknik perbanyakan yang diawali dengan pertumbuhan


kalus. Sumber cahaya pada ruang kultur ini umumnya adalah lampu flourescent
(TL). Hal ini disebabkan karena lampu TL menghasilkan cahaya warna putih,
selain itu sinar lampu TL tidak meningkatkan suhu ruang kultur secara drastis
(hanya meningkat sedikit). Intensitas cahaya yang digunakan pada ruang kultur
umumnya jauh lebih rendah (1/10) dari intensitas cahaya yang dibutuhkan
tanaman dalam keadaan normal. Intensitas cahaya dalam ruang kultur untuk
pertumbuhan tunas umumnya berkisar antara 600-1000 lux. Perkecambahan dan
inisiasi akar umumnya dilakukan pada intensitas cahaya lebih rendah (Khadimi et
al.,. 2014).
Ogero et al. (2012) juga menyatakan bahwa selain intensitas cahaya, lama
penyinaran atau photoperiodisitas juga mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang
dikulturkan. Lama penyinaran umumnya diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman
sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode terang dan gelap umumnya diatur pada
kisaran 8-16 jam terang dan 16-8 jam gelap tergantung varietas tanaman dan
eksplan yang dikulturkan. Periode siang/malam (terang/gelap) ini diatur secara
otomatis menggunakan timer yang ditempatkan pada saklar lampu pada ruang
kultur. Dengan teknik ini penyinaran dapat diatur konstan sesuai kebutuhan
tanaman.

BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari pengamatan yang kami lakukan setelah melakukan subkultur dengan
media yang berbeda dan tanaman yang bebeda, bahwa untuk media pertama yang
menggunakan 2,4-D, terlihat pada data kelompok satu sesuai dengan teori karena
yang mengalami respon adalah akarnya bukan tunas, Karena 2,4-D ini merupakan
auksin sintetik. Tetapi ada juga tanaman yang tidak tumbuh karena adanya
kontaminan dan kesalahan saat melakukan subkultur. Untuk media yang kedua
menggunakan BAP dengan konsentrasi 0.5 mg/l dan konsentrasi IBA of 0.3 mg/l
merupakan konsentrasi yang paling baik untuk proliferasi tunas (perbanyakan sel
tunas) dan pemanjangan akar. Jadi tumbuhan pada media ini yang berkembang
adalah tunasnya. Dimana hasil yang didapatkan ada beberapa tanaman yang
belum tumbuh tunasnya. Selanjutnya media yang ketiga yaitu IAA 0,5ppm,
dimana

yang diindukasi pada botol dengan perlakuan IAA 0,5 ppm adalah

akarnya, terlihat juga juga pada kentang tidak terbentuk tunas. Pada kelompok 3
dan 4 menggunkan kentang dan tembakau akar tidak tumbuh malah tunas tumbuh
hal ini terjadi karena tumbuhan mati lalu sisa potongan diatas dikira tunas padahal
bukan. Media yang terakhir BAP dan IBA, dimana BAP disini berperan
perkembangan tunas sedangkan IBA untuk pemanjangan akar, sehingga media
yang ditambahi BAP dan IBA maka pertumbuhannya akan seimbang karena tunas
maupun akarnya ada yang membantu untuk berkembang atau tumbuh yakni BAP
dan IBA. Terlihat pada data pertumbuhan antara akar dan tunas tidak berbeda jauh
atau seimbang.
5.2 Saran
Sebaiknya pada penanaman tanaman yang disubkultur harus lebih hati-hati
dan menjaga agar tidak terjadi kontaminan. Sehingga jika media dan tanaman
yang digunakan dalam subkultur tidak terjadi kontaminan maka tanaman akan
dapat tumbuh dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Darwesh, Hadeer Y., S.A. Bazaid dan B.N.A. Samra. 2014. In Vitro Propagation
Method of Ficus carica at Taif Governorate Using Tissue Culture Technique.
International Journal of Advanced Research. Vol 2(6). Hal: 756-761
Ferdaus, et.,al. 2015. BAP and IBA pulsing for in vitro multiplication of banana
cultivars through shoot-tip culture. Journal of Bioscience and Agriculture
Researc. Vol. 03, Issue 02: 87-95
Hendaryono, D.P.S, dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
Jumroh, Putri Hasanah, dkk. 2014.

Pertumbuhan Dan Perkembangan Tunas Puar

Tenangau (Elettariopsis sp.) Akibat Perbedaan Periode Sub Kultur. Jurnal Online
Agroekoteknologi. ISSN No. 2337- 6597. Vol.2, No.3 : 1010 - 1014 , Juni 2014
1010
Kasli. 2011. Upaya Perbanyakan Tanaman Krisan (Chrysathemum sp) Secara In Vitro.
Jerami. ISSN 1979-0228. Volume 2 No. 3, September - Desember 2011 122.
Padang: Universitas Andalas

Katuuk, J. R. P. 1989. Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman.


Jakarta: Departemen P dan K.
Khadimi, et al. Tissue culture and some of the factors affecting them and the
micropropagation of strawberry. Life Science Journal 2014. Vol 11(8).
Kristina, Natalini, N. 2012. Induksi Perakaran Dan Aklimatisasi Tanaman Tabat
Barito Setelah Konservasi In Vitro Jangka Panjang. Bogor. Bul. Littro. Vol
23 No 1 : 11-20
Maryani, Y dan Zamroni. 2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur
Jaringan. http://agrisci.ugm.ac.id/vol12_1/6.krisan_yekti.pdf. (Diakses 7
juni 2016)
Ngomuo, E. Mneney, P. Ndakidemi. 2013. The Effects of Auxins and Cytokinin
on Growth and Development of (Musa sp.) Var. Yangambi Explants in
Tissue Culture. American Journal of Plant Sciences, 2013, 4, 2174-2180

Ogero et al. 2012. In vitro Micropropagation of Cassava Through Low Cost


Tissue Culture. Asian Journal of Agricultural Sciences. Vol 4(3). Hal: 205209. ISSN: 2041-3890.
Patel, Heena dan R. Krishnamurthy. 2013. Elicitors in Plant Tissue Culture. IC
Journal. No: 8192 Volume 2 Issue 2. ISSN 2278- 4136.
Rai, et.,al. 2014. EFFECT OF 2,4-D ON PHENOLICS PRODUCTION AND
DETECTION
THROUGH

OF

INVITRO

INTER-SIMPLE

CULTURE-INDUCED
SEQUENCE

VARIATION

REPEAT AND

RAPD

ANALYSIS IN ARTEMISIA ANNUA L. International Journal of Pharma


and Bio Sciences. 5 (2) : (B) 181 193 ISSN 0975-6299
Rossa Yunita, Endang dan Gati Lestarai. 2011. Perbanyakan Tanaman Pulai
Pandak (Rauwolfia serpentina L.) dengan Teknik Kultur Jaringan. Jurnal
Natur Indonesia 14(1): 68-72 ISSN 1410-9379, Keputusan Akreditasi No
65a/DIKTI/Kep./2008.
Suliansyah, Irvan. 2013. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Leutikaprio
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan : Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.
Jakarta: Agromedia Pustaka.

LAMPIRAN SUBKULTUR
a. Pengamatan subkultur hari ke-4
No.
1.

Gambar

Keterangan
Tidak
terjadi
pertumbuhan tanaman
karena
kontaminasi
jamur.

2.

Tidak
terjadi
pertumbuhan tanaman
karena
kontaminasi
jamur.

3.

Tidak
terjadi
pertumbuhan tanaman
karena
kontaminasi
jamur.

4.

Tidak
terjadi
pertumbuhan tanaman
karena
kontaminasi
jamur.

b. Pengamatan subkuktur hari ke-5


No.
1.

2.

Gambar

Keterangan
Tidak
terjadi
pertumbuhan tanaman
karena
kontaminasi
jamur.

Tidak
terjadi
pertumbuhan tanaman
karena
kontaminasi
jamur.

3.

Tidak
terjadi
pertumbuhan tanaman
karena
kontaminasi
jamur.

4.

Tidak
terjadi
pertumbuhan tanaman
karena
kontaminasi
jamur.

LANGKAH KERJA
Menyemprot tangan dengan alkohol

Menyeterilkan media kosong


Menyiapkan kultur kentang dan media
kosong

Menanam planlet pada media kosong tadi


Menyalakan bunsen

Menutup
dengan
menyimpannya
Membuka
kultur
mengambilnya

kentang

Memotong planlet dengan pisau steril

dan

plastik

dan

Hasil Pengamatan
Kelompok 1 (Kentang)
-

Hasil Pengamatan Hari ke-4

A1

B1

Hasil Pengamatan Hari ke-5

C1

D1

A1

B1

C1

D1

Kelompok 2 (Tembakau)
-

Hasil Pengamatan Hari ke-4

A1

B1

C1

D1

Hasil Pengamatan Hari ke-5

A1

Kelompok 3 (Kentang)

B1

C1

D1

Hasil Pengamatan Hari ke-4

A2

B2

D2

Hasil Pengamatan Hari ke-5

A2

B2

Kelompok 4 (Tembakau)
-

C2

Hasil Pengamatan Hari ke-4

C2

D2

A2

B2

C2

D2

Hasil Pengamatan Hari ke-5

A2

B2

C2

D2

Anda mungkin juga menyukai