Anda di halaman 1dari 8

DASAR TEKNOLOGI BENIH

VIABILITAS DAN VIGOR BENIH


Studi Kasus:

Viabilitas dan Vigor Pada Benih Kelapa Sawit

Oleh:

Kelompok 6

Nurul Fajrin 150510160015

Esnakelga Keliat 150510160096

Muhammad Dyfan 150510160108

Andika Alif Suangga 150510160163

Yongki Umam Sandi 150510160181

Program Studi Agroteknologi

Fakultas Pertanian

Universitas Padjadjaran

2017
VIABILITAS DAN VIGOR BENIH

A. Pengertian Viabilitas dan Vigor

Viabilitas benih mencakup vigor dan daya kecambah benih. Viabilitas adalah daya
hidup benih yang ditunjukan dengan gejala pertumbuhan atau gejala metabolisme. Vigor
adalah kemampuan benih menumbuhkan tanaman normal yang berproduksi normal pada
kondisi lapangan yang optimum maupun suboptimum (Sadjad, 1994).

Menurut Copeland dan McDonald (2001), viabilitas benih dapat diukur dengan tolak
ukur daya berkecambah (germination capacity). Perkecambahan benih adalah muncul dan
berkembangnya struktur terpenting dari embrio benih serta kecambah tersebut menunjukkan
kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman normal pada kondisi lingkungan yang
menguntungkan. Viabilitas benih menunjukkan daya hidup benih, aktif secara metabolik dan
memiliki enzim yang dapat mengkatalis reaksi metabolik yang diperlukan untuk
perkecambahan dan pertumbuhan kecambah.

International Seed Testing Association (2010) mendefinisikan bahwa vigor sebagai


sekumpulan sifat yang dimiliki benih yang menentukan tingkat potensi aktivitas dan kinerja
benih atau lot benih selama perkecambahan dan munculnya kecambah. Copeland dan
McDonald (2001) menyatakan kinerja tersebut adalah proses dan reaksi biokimia selama
perkecambahan seperti reaksi enzim, dan aktivitas respirasi, keserempakkan pertumbuhan
kecambah di lapang, dan kemampuan munculnya kecambah pada kondisi dan lingkungan
yang unfavorable.

Menurut Lindayanti (2006), pengujian vigor dapat memberikan petunjuk mutu benih
yang lebih tepat daripada pengujian daya berkecambah, memberikan tingkatan yang
konsisten dari lot benih yang acceptable germination mengenai mutu fisiologis, fisik lot
benih, dan memberikan keterangan tentang pertumbuhan dan daya simpan suatu lot benih
guna perencanaan strategi pemasaran. Benih yang mampu menumbuhkan tanaman normal,
meskipun kondisi alam tidak optimum atau suboptimum disebut benih memiliki vigor (Vg).
Benih yang memiliki vigor akan menghasilkan produksi diatas normal bila ditumbuhkan pada
kondisi optimum (Sadjad, 1994).

Menurut Sutopo (2002), benih yang memiliki vigor rendah akan berakibat terjadinya
kemunduran benih yang cepat selama penyimpanan, makin sempitnya keadaan lingkungan,
tempat benih dapat tumbuh, kecepatan berkecambah benih yang menurun, serangan hama
dan penyakit meningkat, jumlah kecambah abnormal meningkat, dan rendahnya produksi
tanaman. Benih yang memiliki vigor mampu menumbuhkan tanaman normal pada kondisi
alam suboptimum dikatakan memiliki vigor kekuatan tumbuh (VKT) yang mengindikasikan
bahwa vigor benih mampu menghadapi lahan pertanian yang kondisinya suboptimum
(Sadjad, 1994).

B. Konsep Periodisasi Viabilitas Benih Steinbauer-Sadjad

Gambar 1. Konsep periodisasi viabilitas benih Steinbauer-Sadjad (Sadjad, 1993).

Keterangan:
Vp = viabilitas potensial, Vg = vigor, dan D = delta atau selisih antara nilai Vp dan Vg.

Konsep periodisasi viabilitas benih Steinbauer-Sadjad menerangkan hubungan antara


viabilitas benih dan periode hidup benih. Periode hidup benih dibagi menjadi tiga bagian
yaitu periode I, periode II, dan periode III. Periode I adalah periode penumpukan energi
(energy deposit). Periode ini merupakan periode pembangunan atau pertumbuhan dan
perkembangan benih yang diawali dari antesis sampai benih masak fisiologis. Periode II
merupakan periode penyimpanan benih atau penambatan energi (energy transit), nilai
viabilitas dipertahankan pada periode ini. Periode kritikal (akhir periode II) adalah kritikal
periode dua (KP-2) yang merupakan batas periode simpan benih, setelah KP-2 nilai vigor dan
viabilitas potensial mulai menurun sehingga kemampuan benih untuk tumbuh dan
berkembang menurun. Periode II merupakan periode penggunaan energi (energy release).
C. Faktor Yang Mempengaruhi Viabilitas dan Vigor Benih

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi viabilitas benih dibagi menjadi dua, yaitu
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi viabilitas
benih yaitu kondisi lingkungan pada saat memproduksi benih, saat panen, pengolahan,
penyimpanan, dan lingkungan tempat pengujian benih. Kondisi tersebut seperti kemasan
benih, suhu, komposisi gas, dan kelembaban ruang simpan. Faktor internal yang dapat
mempengaruhi viabilitas benih yaitu sifat genetik benih, kondisi kulit benih, dan kadar air
benih.

Faktor genetik yang mempengaruhi vigor benih adalah pola dasar perkecambahan dan
pertumbuhan yang merupakan bawaan genetik dan berbeda antara satu spesies dan spesies
lain. Faktor fisiologis yang mempengaruhi vigor benih adalah semua proses fisiologis yang
merupakan hasil kerja komponen pada sistem biokimia benih. Faktor eksternal yang
mempengaruhi vigor benih adalah kondisi lingkungan pada saat memproduksi benih, saat
panen, pengolahan, penyimpanan, dan penanaman kembali (Bedell, 1998). Faktor-faktor
yang dapat menyebabkan perbedaan vigor benih menurut Powell (2006), adalah penuaan
benih akibat kemunduran benih, kerusakan benih pada saat imbibisi, dan kondisi lingkungan
pada saat pengembangan benih serta ukuran benih.

VIABILITAS DAN VIGOR BENIH PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (diambil


dari jurnal Kartika, dkk (2015) dengan judul “PEMATAHAN DORMANSI BENIH
KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MENGGUNAKAN KNO3 DAN
SKARIFIKASI”)

Tanaman kelapa sawit adalah salah satu komoditas perkebunan. Departemen


Pertanian Republik Indonesia (2007), menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit merupakan
komoditas perkebunan yang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat dan negara,
sehingga kelangkaannya di pasar domestik berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan produksi tanaman kelapa sawit yang
produktif, dibutuhkan benih bermutu.

Benih yang berkualitas tinggi untuk meningkatkan produktivitas tanaman kelapa


sawit adalah benih hasil persilangan antara pohon induk varietas dura dengan pisifera. Salah
satu permasalahan dalam meningkatkan produksi benih kelapa sawit adalah pada tahap awal
perkecambahan, karena benih kelapa sawit memiliki kulit yang sangat keras sehingga harus
melalui perlakuan khusus agar benih dapat berkecambah lebih cepat. Mangoensoekarjo dan
Semangun (2005) menyatakan bahwa ketika baru dipanen, benih kelapa sawit mengalami
dormansi dan perkecambahan alami sangat jarang terjadi.

Menurut Silomba (2006), umumnya perlakuan pematahan dormansi diberikan secara


fisik, seperti skarifikasi mekanik dan kimiawi. Skarifikasi mekanik meliputi pengamplasan,
pengikiran, pemotongan dan penusukan bagian tertentu pada benih. Kimiawi biasanya
dilakukan dengan menggunakan air panas dan bahan-bahan kimia seperti asam kuat (H2SO4
dan HCl), alkohol dan H2O2 yang bertujuan untuk merusak atau melunakkan kulit benih.

Penelitian ini melakukan perlakuan skarifikasi, yaitu pengamplasan dan perendaman


KNO3 untuk melihat respon tanaman untuk berkecambah. Adapun taraf perlakuan yaitu
faktor pertama adalah skarifikasi yang terdiri atas S0 = Tanpa skarifikasi dan S1= Skarifikasi
Faktor kedua adalah konsentrasi KNO3 yang terdiri atas 3 taraf perlakuan , yaitu P1= 0 %
KNO3, P2= 0,1 % KNO3, P3 =0,2% KNO3.

Hasilnya, untuk perlakuan tunggal skarifikasi berpengaruh nyata terhadap daya


kecambah, kecepatan tumbuh dan panjang radikula sedangkan untuk first count germination,
potensi tumbuh maksimum, intensitas dormansi, embrio normal dan panjang plumula tidak
berpengaruh nyata. Perlakuan tunggal KNO3 dan perlakuan skarfikasi dan KNO3 bersama-
sama tidak berpengaruh nyata pada semua peubah yang diamati (Kartika, Surahman, &
Susanti, 2015).

Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) benih merupakan persentase benih yang


berkecambah sampai akhir pengamatan terhadap jumlah keseluruhan benih yang
dikecambahkan. Potensi tumbuh maksimum digunakan untuk mengidentifikasi viabilitas total
dari benih sawit yang diuji.

Potensi tumbuh maksimum semua perlakuan tidak berbeda nyata. Potensi tumbuh
maksimum tertinggi pada kombinasi perlakuan skarifikasi tanpa KNO3 (S1P0) dan
skarifikasi dengan perendaman KNO3 0,2% (S1P2) yaitu 86,25%, nilai terendah pada
perlakuan tanpa skarifikasi dengan perendaman KNO3 0,2% (S0P2) yaitu 62,50%.
Gambar 2. Potensi tumbuh maksimum pada pematahan dormansi benih kelapa sawit pada
berbagai konsentrasi KNO3 dan skarifikasi.

Daya berkecambah diukur dengan menghitung persentase kecambah normal pada


pengamatan pertama dan kedua. Perhitungan kecambah normal yaitu hari ke- 35 dan hari ke
42. Pengamatan yang dilakukan meliputi kecambah normal, kecambah abnormal dan benih
dorman. Daya berkecambah tanpa skarifikasi memiliki rerata 57,083% berbeda nyata dengan
perlakuan menggunakan skarifikasi yang memiliki rerata 80,42%.

Tabel 1. Daya berkecambah pada pematahan dormansi benih kelapa sawit menggunakan
KNO3 dan skarifikasi.

Kecepatan tumbuh merupakan persentase kecambah normal per etmal. Kecepatan


tumbuh ini digunakan untuk mengukur vigor kekuatan tumbuh dari benih yang diuji.
Kecepatan tumbuh tanpa skarifikasi memiliki rerata 1,66%/etmal berbeda nyata dengan
perlakuan menggunakan skarifikasi yang memiliki rerata 2,38%/etmal.
Tabel 2. Pematahan dormansi benih kelapa sawit menggunakanKNO3 dan skarifikasi
dengan tolok ukur kecepatan tumbuh (% / etmal)

First count germination, potensi tumbuh maksimum, intensitas dormansi, embrio


normal dan panjang plumula tidak berpengaruh nyata meskipun sudah dilakukan skarifikasi,
karena dapat diketahui benih kelapa sawit merupakan benih yang sulit untuk berkecambah.
Mulai dari kulit benih yang begitu keras, impermeable terhadap air dan gas, dan hormon yang
ada didalam benih itu sendiri (Kartika et al., 2015). Menurut Abidin (1987), apabila hormon
ABA yang ada didalam benih mengalami peningkatan maka ABA akan menurunkan hormon
pertumbuhan lainnya. Akibat menurunnya kadar hormon pertumbuhan, biji tidak dapat
merombak cadangan makanan pada endosperm sehingga tidak ada hormone pertumbuhan
yang menginduksi, maka metabolisme lemak tidak akan terjadi.

KESIMPULAN

1. Perlakuan skarifikasi mampu memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan


perlakuan KNO3 pada perkecambahan benih kelapa sawit yaitu pada indikator daya
berkecambah (DB), kecepatan tumbuh maksimum (KCT) dan panjang radikula (PR).
2. Perlakuan KNO3 tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perkecambahan benih kelapa
sawit.
3. Tidak terdapat interaksi antara skarifikasi dan KNO3 terhadap perkecambahan benih
kelapa sawit.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Z. 1987. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung:


Angkasa.

[DEPTAN] Departemen pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis


Kelapa Sawit. Ed ke-2. Purwakarta: DEPTAN.

Kartika, Surahman, & Susanti. (2015). PEMATAHAN DORMANSI BENIH KELAPA


SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) MENGGUNAKAN KNO3 DAN SKARIFIKASI.
Jurusan Agroteknologi, FPPB, Universitas Bangka Belitung, Jl. Raya Balunijuk,
Bangka 33125 Departemen Agronomi Dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Jl. Raya Meranti Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, 8(2), 48–55.

Mangoensoekarjo S. dan H. Semangun. 2005. Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press. pascasarjana 27:2.

Sadjad S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Jakarta:PT Gramedia Widiasarana


Indonesia.

Silomba SDA. 2006. Pengaruh Lama Perendaman dan Pemanasan Terhadap Viabilitas Benih
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jaqc.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai