Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN KEBUDAYAAN KALO SARA

TOLAKI

Guru Pembimbing : Bu Siti Aminah,S.Sos


Disusun Oleh :Aufa Nahdah
SMA NEGERI 4 KENDARI

2022/202
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan inayah-Nya sehingga sayadapat menyelesaikan makalah yang
berjudul ‘KEBUDAYAAN KALOSARA TOLAKI’. Terima kasih saya ucapkan kepada
bu Aminah,S.Sos . yang telah membantu saya baik secara moral maupun materi.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman seperjuangan yang telah
mendukung saya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini tepat
waktu.

Kami jauh dari sempura, dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan saya, maka
kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini
dapat berguna bagi saya pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan
pada umumnya

Kendari, Maret 2023

Aufa Nahdah
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar belakang ..................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah................................................................................................. 2
C.Tujuan..................................................................................................................... 2

BAB II
PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3
Sejarah Kalosara......................................................................................................... 3
Peran Dan Fungsi Kalosara........................................................................................ 4
Peran Kalosara Dalam Menyelesaikan Masalah Adat
Dikendari................................................................................................................... 5

BAB III
PENUTUP ................................................................................................................. 10
Kesimpulan ............................................................................................................... 10
Saran.......................................................................................................................... 10
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kabupaten Konawe adalah salah satu daerah administratif di wilayah daratan Sulawesi Tenggara yang
didiami oleh Orang Tolaki. Reformasi yang menuntut penerapan otonomi daerah menyebabkan
terbentuk daerah-daerah pemekaran baru di daratan Konawe, yang hari ini menjadi daerah administratif
otonom seperti: Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara, dan Kabupaten
Konawe Kepulauan.

Secara antropologis, orang Tolaki memiliki kedekatan kekerabatan dengan suku-suku di Sulawesi
Tengah, terutama dalam rumpun Bungkulaki. Sumber-sumber lisan dan legenda juga menyebutkan
hubungan kekerabatan orang Tolaki dengan orang Toraja dan Luwu. Lebih jauh lagi adalah nenek
moyang orang Tolaki yang berasal dari Tiongkok, yang tercermin dalam istilah tolahianga, yaitu asal
muasal orang Tolaki dari negeri langit.

Perjumpaan orang Tolaki dengan agama Islam menyebabkan perluasan kekerabatan dengan
etnik-etnik terdekat di Sulawesi Tenggara, seperti: Buton, Muna, dan Bugis. Sedangkan yang cukup jauh
adalah Ternate. Raja Lakidende II yang bergelar sangia ngginoburu atau raja yang pertama kali
dikuburkan, sebelum

dinobatkan sebagai raja, ia menuntut ilmu agama Islam di kesultanan Buton. Hubungan dengan
kesultanan Buton tetap terpelihara hingga Lakidende menjadi raja, yang menandai islamisasi di tanah
Tolaki. Kerajaan Tiworo (Muna) ditugaskan oleh Kesultanan Buton membantu proses pengajaran agama
Islam pada masyarakat Tolaki.

Secara kultural, orang Tolaki memiliki identitas kebudayaan sendiri yakni kebudayaan Tolaki.
Simpul dari kebudayaan Tolaki adalah Kalo Sara yang disimbolkan dalam bentuk anyaman rotan yang
dibuat melingkar. Kalosara mengekspresikan bentuk dan susunan alam semesta dan isinya. Lingkaran
rotan merupakan simbol dunia atas atau Tuhan Yang Mahakuasa. Kain putih menjadi simbol dunia tengah
yang dihuni manusia. Adapun wadah anyaman atau siwoleuwa adalah simbol dunia bawah

Sementara tiga rotan yang dipilin menjadi satu menjadi simbol pertemuan tiga unsur,
menggambarkan bahwa apa pun kesulitan yang ditemui masyarakat Tolaki selalu dapat
diselesaikan melalui musyawarah yang mempertemukan kedua pihak yang bermasalah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yaitu?
pa di
1. Bagaimana sejarah terbentuknya kalosara
2. Apa peran dan fungsi kalosara
3. Bagaimana peran kalosara dalam menyelesaikan masalah adat di Kendari?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya kalosara
2. Untuk mengetahui peran dan fungsi kalosara
3. Untuk mengetahui bagaimana peran kalosara dalam menyelesaikan masalah adat di Kendari

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Kalosara

Bagi masyarakat Tolaki, Kalosara diyakini merupakan peninggalan Raja Wekoila, raja pertama
Konawe  yang bertakhta dari tahun 948 hingga 968 M. Raja Wekoila diyakini merupakan keturunan
Dewa dari langit yang berhasil mempersatukan rakyat Konawe.

Dikisahkan, pada pertengahan abad ke-10 terjadi kekacauan di wilayah Konawe karena tidak
ada sosok pemimpin yang berdaya untuk menertibkan dan mengatur kehidupan masyarakat. Kekacauan
tersebut masih diperparah dengan perang saudara di tiga kerajaan yang berada di Konawe, yaitu Kerajaan
Padangguni, Kerajaan Besulutu, dan Kerajaan Wawolesea. Akhirnya setelah melalui konflik yang
berkepanjangan, Kerajaan Padangguni menjadi pemenang. Setelah itu, hadir seorang tokoh perempuan
bernama Wekoila di hadapan raja dari Kerajaan Padangguni, yaitu Raja Rundulangi, membawa sebuah
benda sakti bernama ‘kalo’. Wekoila kemudian menikah dengan anak Raja Padangguni yang bernama
Ramandalangi. Setelah pernikahan itu, Wekoila memindahkan pusat Kerajaan Padangguni ke daerah
Unaaha.

Nama kerajaan lalu berganti menjadi Konawe dengan Wekoila menjadi raja pertama. Atas penobatan
itu, Wekoila menjadikan kalo sebagai alat kebesaran Kerajaan Konawe. Melalui petunjuk Wekoila,
terdapat tiga ukuran kalo sesuai penggunaannya. Pertama, kalo dengan lingkaran berukuran tubuh orang
dewasa ditujukan untuk urusan golongan ningrat atau bangsawan. Kedua, kalo dengan lingkaran
berukuran bahu orang dewasa dikhususkan untuk urusan golongan toono motuo atau pemangku adat.

Ketiga, kalo yang berukuran kepala atau lutut manusia dewasa diperuntukkan bagi urusan golongan toono
dadio atau masyarakat umum.

Sejak saat itu, kehidupan yang tenteram terwujud di tanah Konawe. Alhasil, kalo memiliki peran
untuk mengatur hubungan kekeluargaan dan menjaga persatuan masyarakat Tolaki yang ada di wilayah
Konawe. ‘Kalo’ juga dihormati sebagai simbol Kerajaan Konawe secara turun-temurun dan dijadikan
sebagai simbol penerapan hukum adat.

B. Peran Dan Fungsi Kalosara

a. Secara harfiah, kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang
melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama dengan pelaku membentuk lingkaran. Sebagai
benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti
emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya.

Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain
putih sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu anyaman dari daun palem berbentuk persegi.
Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya
menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa
simoleuwa, kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini
diletakkan kalo.
Berdasarkan bahan pembuatan dan pemanfatannya, maka kalo banyak jenisnya, tetapi dalam
tulisan ini hanya membahas kalosara yaitu kalo yang digunakan sebagai alat upacara perkawinan
adat, upacara pelantikan raja, upacara penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu
sengketa, alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada pejabat,
alat untuk menyampaikan undangan pesta keluarga. Kalosara ini dalam pemanfaatannya
dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun pelem, dan kain putih sebagai alas

b. Bagi masyarakat Bugis etnopedagogi didasarkan pada nilai-nilai yang telah lebih dahulu
dikembangkan oleh La Mellong yang bergelar Kajao Laliddong seorang cendekiawan
(negarawan) dari Kerjaan Bone atau penasehat Raja Bone ke-6 La Uliyo memerintah 1543-1568
dan Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe memerintah 1568- 1584. (Ali, 1986). Semboyang tersebut
berbunyi:

Ri oloi napatiroang = di depan memberi contoh/pentunjuk

Ri tengngai nasiraga-raga = di tengah memberi semangat


Ri munri nappong lopi = di belakang memberi dorongan

Semboyang ini kemudian mengilhami sikap dan perilaku dalam sistem pendidikan masyarakat
Bugis/Makassar. Secara bersistem konsep pendidikan tersebut diaplikasikan dalam lembaga
Pendidikan Kedinasan bernama Anreguru Ana Karung (Sejenis Sekolah Tinggi Pemerintahan
Dalam Negeri) yang khusus mendidik anak bangsawan yang dipersiapkan akan menjadi calon
pemimimpin di berbagai tingkatan dalam sistem pemerintahan Kerajaan Bone, Dalam sistem
pendidikan keluarga dan kemasyarakatan juga diimplementasikan oleh pendidik atau orang yang
dituakan sebagai pendidik yang memperlihatkan keteladanan dan pemberi semangat.

Dalam masyarakat Tolaki, terdapat filsafat pendidikan yang berakar pada ungkapan Inae kosara ie
pinesara; ie liasara ie pinekasara = siapa yang tahu adat akan dihormati; siapa yang melanggar
adat akan dikasari. Dari filsafat ini kemudian tersimpul dalam simbol kalosara yang mengatur tata
hubungan antar manusia dan lingkungannya (Tamburaka, 2004).

c. Dalam hubungan antar anggota masyarakat ini, terdapat unsur-unsur yang mengandung nilai
filsafat tinggi. Mereka menjadikannya sebagai tongkat pegangan untuk menjalani kehidupan
sehari-hari. Adapun jenis budaya hasil karya dan cipta yang mempunyai nilai sosial tinggi dan
merupakan perwujudan karakter positif yang lahir dari etnopedagogi melalui media kalosara
antara lain:
1. Kohanu Kohanu, sering juga disebut dengan budaya malu. Kohanu, merupakan sistem
pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan malas bekerja, maka
selanjutnya mereka menerapkan budaya kohanu ini dengan cara lebih tekun dan rajin dalam
bekerja, sehingga sebutan sebagai pemalas akan hilang dari dirinya, berganti dengan sebutan
pekerja keras yang rajin dan tekun. Secara tidak langsung budaya ini mengajak setiap orang untuk
selalu memaksimalkan tenaga maupun pikiran yang dimilikinya untuk memajukan dia sendiri
atau anggota kelompok yang lain.

2. Merau Merau, adalah budaya yang mengajak orang untuk selalu mengedepankan sikap sopan
dan santun dalam pergaulan, serta mau memberikan rasa hormat bagi semua anggota masyarakat
Tolaki maupun orang lain.

3. Samaturu Samaturu, merupakan salah satu budaya yang mengutamakan hidup untuk selalu
menjalin persatuan, suka menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan dengan
senang hati. Ini juga merupakan wujud dari gotong royong yang menjadi pandangan hidup utama
dari masyarakat Tolaki.

4. Taa Ehe Tinua-Tuay, merupakan ajakan untuk selalu merasa bangga karena menjadi bagian
dari masyarakat Masyarakat Tolaki. Sesungguhnya budaya ini menjadi bagian dari Kohanu.
Namun karena adanya suatu perbedaan yang bersifat mengutamakan kemandirian, maka budaya
yang satu ini selanjutnya dipisah menjadi budaya sendiri.

5. O’Sapa

Istilah O’Sapa ialah semacam aturan-aturan klasik yang mengatur hubungan hukum antara
manusia dengan hewan. Hubungan-hubungan itu timbul manakala manusia melakukan
pemburuan (berburu) terhadap binatang liar seperti kerbau, rusa dan anoa, dengan
menggunakan tombak, menggunakan anjing, perangkap, dan alat-alat penangkap lainnya,
Aturan-aturan O’sapa itu berwujud ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu mengambil
bagian dari jerih payah yang tidak menyalahi ketentuan O’Sapa misalnya: Bila binatang buruan
itu mati berkat bantuan peralatan tombak dan anjing, maka bagian tertentu dari daging kerbau
atau rusa itu, harus diberikan kepada anjing (pemilik anjing) dan tombak (yang menombak
pertama) diluar dari bagian tertentu yang biasa diberikan/diambil/dikuasai si pemburu (3/4
bagian) dan bagian penguasa wilayah untuk daging dan tulang-tulang tertentu. Bila binatang,
tersebut adalah binatang liar, tetapi bekas binatang peliharaan, maka aturan pembagiannya
telah tertentu pula bagi pemburunya, untuk anjing, untuk tombak dan untuk penguasa
wilayah/pu’utobu atau kepala kampung.
Aturan-aturan pembagian itulah disebut O’Sapa, yang menurut kaidah hidup bermasyarakat
harus dipatuhi oleh semua Masyarakat Tolaki termasuk Penguasa/Raja. Bila aturan hukumnya
tidak dijalankan, maka da¬pat menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat
dan negeri

6. O’Liwi O’Liwi ialah seperangkat pesan wasiat, nasihat dan petunjuk hidup yang
ditinggalkan/diwasiatkan untuk diikuti oleh anak cucu /generasi berikut dari para leluhur, secara
turun temurun terutama dalam hal ini dapat disamakan dengan Yurisprudensi artinya putusan
Hakim tertinggi yang telah berlaku tetap yang dapat dicontoh oleh Hakim-hakim berikutnya
dalam perkara yang sama maupun selainnya

d. Selain itu, Kalosara juga digunakan sebagai sarana komunikasi. Kalo Sara digunakan untuk
memberi tahu masyarakat tentang peristiwa penting, seperti wafatnya seseorang, pernikahan,
penyampaian berita kepada pemerintah, dan sebagai undangan kepada tamu terhormat.. Anggota
masyarakat yang selalu menggunakan Kalosara untuk berkomunikasi dianggap memiliki etika
yang baik. Sebaliknya, anggota masyarakat yang tidak menggunakan Kalosara untuk
berkomunikasi dianggap sombong.

C. Peran Kalosara Dalam Menyelesaikan Masalah Adat Dikendari

Kalosara berperan penting dalam kehidupan masyarakat Tolaki, utamanya untuk menangani konflik
dan mempererat persatuan. Dalam melaksanakan upacara tradisi kalosara, kalo yang berupa lingkaran
rotan berpilin tiga dialaskan wadah anyaman segi empat yang ditempatkan di tengah-tengah majelis
pertemuan.

Kemudian, kedua belah pihak yang berkonflik duduk berhadapan di kedua sisi kalo. Sebagai saksi,
perwakilan pemerintah dan tokoh adat juga duduk dan menyaksikan musyawarah perdamaian di dua
sisi lainnya dari wadah anyaman itu. Berikut beberapa kasus kasus yang melibatkan kalosara.

1. Kasus Pembunuhan

Kasus penyelesaian pembunuhan dapat diselesaikan dengan hukum Adat Tolaki yaitu adanya
konsensus antara keluarga korban dengan pihak pelaku yang disaksikan oleh toono motuo, kapala
kambo/kapala desa, pabitara untuk berdamai. Pelaku harus memenuhi permintaan keluarga
korban dengan menghadirkan kalosara. Secara empiris bahwa sesuai ketentuan adat bahwa pelaku
harus menanggung denda berupa: (1) satu pis kain kaci sebagai pemgganti pembungkus mayat,
(2) ongkos pesta kematian, dan (3) satu ekor kerbau sebagai tanda berkabung. Diadakan
perdamaian dengan jalan upacara mosehe yaitu upacara perdamaian antara keluarga korban dan
keluarga pelaku dengan menghadirkan kalosara di hadapan kedua belah pihak.

2. Kasus Tambang

Penemuan tambang nikel dan emas di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara, menyebabkan
masuknya berbagai perusahaan yang berusaha memiliki Kuasa Penambangan. Berbagai cara
untuk memperoleh tanah sebagai wilayah penambangan diantaranya membeli tanah masyarakat
setempat dengan harga yang murah, setelah itu secepatnya melakukan penambangan dengan jalan
menggali tanah tanpa memperhatikan AMDAL, sehingga dalam waktu singkat para anggota
masyarakat merasakan dampaknya. Misalnya: (1) nelayan tidak lagi dapat memperoleh ikan
dalam radius tertentu dari pantai karena tercemar air pembuangan tambang yang langsung
mengalir ke laut tampa adanya proses penyaringan, (2) akan terjadi kecemburuan sosial dalam
jangka menengah dan pajang, melalui rekrutmen tenaga kerja umumnya dari luar, karena
masyarakat sekitar kurang terampil dan pendidikan rendah, (3) belum ada pemikiran untuk
memberdayakan masyarakat melalui pendidikan kepada generasi muda sekitar tambang dengan
memanfaatkan dana CSR. Kondisi ini merupakan suatu titik rawan di Sulawesi Tenggara, karena
telah terbukti dirasakan dampaknya di berbagai wilayah di Nusantara. Untuk itu, bagi masyarakat
Tolaki perlu memelihara peran pabitara (juru bicara adat) yang selalu hadir menjadi mediasi
dalam berbagai permasalahan masyarakat dengan memanfaatkan istrumen kalosara.
BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Kalosara berasal dari dua kata, kalo dan sara. Kalo mengekspresikan kesatuan dan persatuan semua
warga Tolaki yang berasal dari satu nenek moyang, adat dalam kehidupan kerabat, dan pola dari suatu
wilayah  tempat permukiman. Sedangkan sara adalah adat istiadat. Dengan demikian, Kalosara bisa
diartikan sebagai lingkaran hukum adat.

Kalosara difungsikan baik sebagai penyebab suatu kegiatan/acara, maupun sebagai akibat. Contoh
sebagai penyebab: Dalam suatu rangkaian pernikahan, kalosara wajib diadakan sebagai instrumen utama
adat dan sekiranya kalosara tidak ada, maka acara tidak bisa dilaksanakan. Contoh sebagai akibat: jika
terdapat dua orang yang berselisih paham, maka untuk mendamaikan harus diadakan kalosara. Akhirnya,
apapun aktivitas masyarakat Tolaki, maka kalosara harus ada, sehingga semua aktivitas seseorang dan
kelompok orang harus selalu bersandar pada kalosara.

Saran
Pembahasan tentang kebudayaan kalosara ini bukan pembahasan singkat yang akan
selesai dalam sekali duduk. Masih ada banyak lagi yang belum dibicarakan disini. Untuk itu,
diharapkan kita mau mencari sumber-sumber lain diluar sana untuk menambah pengetahuan
kita tentang kalosara dalam segala aspeknya yang belum terjelaskan dalam karya ilmiah ini.

Anda mungkin juga menyukai