Anda di halaman 1dari 3

Page 1 of 3

SEJARAH DESA PULAU BAPA


Tersebutlah nama seorang raja yang berasal dari daerah Bajoe Sulawesi Selatan (Bugis)
yang bernama Tutu Ali dan istrinya Tutu Wati. Adapun nama kecil dari raja Tutu Ali ini adalah
Bapa, selain itu pula orang-orang pada zaman itu biasa menyebutnya dengan gelar raja yang
putih darahnya, dengan maksud bahwa Raja Tutu Ali tersebut adalah seorang raja yang putih dan
bersih hatinya, serta bijaksana dalam memimpin.
Menurut penuturan (Oral history) tokoh masyarakat setempat bahwa kedatangan Raja Tutu Ali ke
daerah yang sekarang namanya Desa Pulau Bapa tidak terlepas dari masalah yang terjadi di
kerajaan Bajoe, dimana saat itu wilayah Kerajaan Bajoe terserang hama penyakit tanaman yang
merusak tanaman perkebunan penduduk hingga akhirnya Raja Tutu Ali bersama istrinya Tutu Wati
bersepakat meninggalkan daerah Bajoe sementara waktu, dan daerah yang dituju adalah Sulawesi
Tengah (sekarang), tepatnya di daerah Kepualaun Banggai. Di daerah Kepulauan Banggai inilah
kemudian raja beserta istri serta beberapa orang pengawalnya kemudian menetap, dan mengatur
tatanan hidup yang baru, aman, dan tentram.
Adapun yang pertama kali dilakukan oleh raja saat berada di daerah Kepulauan Banggai
adalah memerintahkan para anak buah beserta penduduk setempat untuk bersama-sama menanam
Kelapa, yang kemudian boleh kita katakan bahwa saat ini daerah Banggai sekarang adalah daerah
penghasil Kelapa (Kopra).
Selama masa kejayaan ini bukan berarti tidak ada masa kelam. Tepatnya pada tahun 1595 Raja
Tutu Ali hendak pulang kembali ke daerah asalnya Bajoe, karena kehidupan pemerintahannya
terganggu akibat kehadiran tentara-tentara Tobelo utusan dari Kerajaan Tidore (Kepulauan
Maluku), terntara-tentara Tobelo tersebut telah menebar teror dimasyarakat, masyarakat banyak
yang diculik, dijadikan budak, bahkan dibunuh, hal ini pula mereka lakukan pada raja yang
ditaklukkan. Tindakan teror seperti inilah yang kemudian mengganggu kestabilan pemerintahannya,
karena telah menimbulkan keresahan, kekhawatiran terhadap raja dan rakyatnya. Masih dalam masa
periode ini pula kehadiran bangsa asing Belanda tidak dapat kita nafikan bahwa telah pun ikut
menambah keresahan, dan kekhawatiran terhadap kestabilan sistem pemerintahan, dengan politik
adu domba (devide et impera) yang dijalankannya telah memecah belah keutuhan pemerintahan
yang dipimpin oleh Raja Tutu Ali pada saat itu.
Dalam perjalanan kembali pulang ke daerah asalnya Bajoe, Raja Tutu Ali menggunakan
jalur laut yang kemudian melalui daerah Salabangka (Sekarang Kecamatan Bungku Selatan) tahun
1608. Dalam perjalanan tersebutlah raja lalu memutuskan untuk singgah beristirahat sejenak guna

Page 2 of 3

menambah persediaan air minum, tak pelak lagi daerah yang disinggahi itu tenyata adalah daerah
Pulau Bapa sekarang. Kala itu nama Salabangka belum ada, begitu pula Pulau Bapa, bahkan
pada saat itu belum ada sama sekali orang yang mendiami daerah Pulau Bapa dan sekitarnya.
Masalah kemudian muncul setelah beberapa orang pengawal diperintah hendak mencari sumber
mata air disekitar daerah tersebut yang ternyata tidak diketemukan, dan memang disekitar daerah
itu tidak ada sumber mata air tawar. Kemudia Raja Tutu Ali dengan pengetahuan ilmu yang
dimiliki bertindak mengambil tombak, bermunajad kepada Tuhan, lalu segera menghujamkan
tombak yang ada dikepalannya ke tanah, kemudian mencabutnya kembali. Atas kekuasaan Tuhan
maka memancarlah air yang tawar dari bekas hujaman tombak Raja Tutu Ali tersebut, yang oleh
masyarakat setempat hingga saat ini kemudian memberi nama sumber mata air tersebut dengan
nama Boe Banggai yang maksudnya Sumber Mata Air Banggai.
Setelah usai mengambil air, sekaligus mengisi beberapa bejana untuk perbekalan
diperjalanan merekapun kemudian kembali ke atas kapal sembari beristirahat sejenak menanti
cuaca membaik untuk kemudian meneruskan perjalanan pulang kembali ke Bajoe. Sebelum
meninggalkan pulau tersebut, raja kembali bertitah kepada segenap orang yang ada pada saat itu
termasuk para pengawal, bahwa berhubung di pulau ini belum ada penghuninya sebelum saya
(Raja Tutu Ali), maka pulau ini saya beri nama sama dengan panggilan nama kecil saya yaitu
Bapa. Maka sejak saat itulah daerah persinggahan mereka ini kemudian dikenal dengan nama
Pulau Bapa sesuai dengan nama kecil Raja Tutu Ali.
Adapun bukti-bukti peninggalan dari Raja Tutu Ali tersebut yang ada di Pulau Bapa adalah:
1. Memberikan nama daerah persinggahannya dengan nama kecilnya Pulau Bapa.
2. Hujaman tombak Raja Tutu Ali saat hendak mengambil air yang menyisakan bekas lubang
pada tanah, tepatnya dibagian timur dari perkampungan Desa Pulau Bapa masi dapat kita
saksikan hingga kini meski tidak lagi mengeluarkan air selain diisi oleh air hujan.
Jadi dua tanda jasa tersebut yang ditinggalkan oleh Raja Tutu Ali untuk Pulau Bapa yang
hingga kini tidak dapat kita lupakan, khususnya bagi masyarakat yang berada di Desa Pulau Bapa
saat ini.
Demikianlah sekilas penuturan sejarah lahirnya penamaan Pulau Bapa sejak sekelompok
manusia tersebut menginjakkan kaki pertama kali di daerah tersebut untuk berdiam diri dalam masa
tertentu, yang hingga kini terus tumbuh subur turun temurun dibenak orang-orang yang saat ini

Page 3 of 3

telah menjadi kelompok masyarakat yang acapkali selalu dituturkan dalam bentuk kisah lisan (Oral
History) dalam mengenang jasa Raja Tutu Ali di Desa Pulau Bapa.
Dalam perkembangan masa-masa selanjutnya yang begitu pesatnya tak terkecuali dalam
sistem pemerintahan, maka di daerah tersebut diangkatlah pula seorang Kepala Kampung, guna
memimpin segolongan orang-orang yang ada di daerah tersebut, menjalankan tatanan pemerintahan
dengan kepemimpinan yang berwibawa, serta pemerintahan yang bersih, maka disusunlah pula
tatanan kehidupan yang layak guna kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya. Pada saat itu dapat
dikatakan masyarakatnya masih sangat sederhana, banyak yang belum berpendidikan, dan mata
pencahariaan yang menjadi penunjang utama masyarakat saat itu adalah bertani dan nelayan.
Segolongan masyarakat yang mendiami daerah Pulau Bapak dimasa perkembangan periode
selanjutnya kemudian mengangkat lagi seorang Kepala Desa yang disebut dengan nama Jawana,
dimana Jawana tersebut berasal dari daerah Banggai. Sementara itu pula, dalam hal kepercayaan
masyarakatnya saat itu mayoritas menganut Agama Islam sebagai kepercayaan mereka, dengan
ditunjang rumah ibadat yang sederhana yang dibuat secara gotong royong dan suka rela, maka
mereka pun mengangkat seorang Amir selaku pemimpin rohani, dimana Amir tersebut berasal
dari daerah Bugis.
Edited by;
ARDANSYAH TODING D

Anda mungkin juga menyukai